10
Pagi yang cerah di hari minggu. Yeji terbangun dari tidurnya. Segera ia arahkan pandangannya ke samping dan hanya menemukan kakaknya yang masih bergumul dengan selimut.
Menguap selebar-lebarnya, gadis itu lantas menyingkap selimutnya dan keluar dari kamar. Pendengarannya segera menangkap suara yang berasal dari dapur. Kembali menguap, gadis itu berjalan ke arah dapur sembari menggaruk kepalanya.
"Apa yang Ayah lakukan sepagi ini?" tegurnya, terdengar begitu malas dan memilih duduk menghadap meja makan.
"Baru bangun?"
Yeji melongokkan kepalanya untuk melihat apa yang berada di dalam mangkuk yang kini ia hadap, dan bisa di lihatnya bahwa itu adalah Sup rumput laut. Makanan khusus yang tidak boleh di lupakan dalam perayaan ulang tahun.
"Kakakmu belum bangun?" Minhyun menaruh lauk lainnya di atas meja.
"Dia masih tidur."
"Aigoo, kau ini anak perempuan. Begitu bangun, cucilah wajahmu sebelum pergi kemana-mana."
Yeji melipat kedua tangannya di atas meja dan menyangga wajahnya. Tampak sangat malas untuk membuka matanya. Dia kemudian berujar, "aku tidak bisa tidur lagi."
"Kenapa? Kau tidak nyaman tinggal di sini?"
"Orang itu mendengkur keras sekali, bagaimana aku bisa tidur?"
Minhyun menertawakan tanpa suara protesan yang di lontarkan oleh putrinya. "Sebelum kau datang kakakmu tidak mendengkur sekeras itu. Mungkin dia kelelahan."
"Siapa suruh selalu pulang malam," acuh Yeji.
"Sudah, sekarang bangunkan kakakmu sana."
"Ayah saja, aku malas berurusan dengannya sepagi ini."
"Jika dia tidak mau bangun, cium saja. Dia pasti akan bangun dengan sendirinya."
Dengan malas Yeji kembali ke kamar dan langsung menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Hyunjin.
"Hwang Hyunjin, cepat bangun ..."
Yeji mengangkat kepalanya dan memainkan wajah Hyunjin. Menolehkannya ke kanan dan ke kiri untuk beberapa kali. "Hyunjin ... Ya! Hwang Hyunjin, bangun sekarang atau aku akan menciummu."
Hyunjin mendorong Yeji hingga gadis itu terjatuh ke lantai dan mengaduh. Tanpa berniat membuka matanya, dia memiringkan tubuhnya dan meringkuk.
Yeji bangkit sembari mengusap keningnya, dan hal itulah yang membuat kesadarannya kembali sepenuhnya. Dia berdiri dan langsung menarik selimut Hyunjin lalu membuangnya ke lantai.
"Cepat bangun, Babi!"
Mata Hyunjin segera terbuka. Dengan cepat ia menoleh, memandang tak terima dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka.
"Kau memanggilku apa?"
"Babi, Babi Hwang Hyunjin. Kau ingin marah?"
Hyunjin memalingkan wajahnya. Tampak jengah sebelum langsung bangkit dari tidurnya, dan saat itu juga Yeji berlari dengan tawa yang semakin membuat Hyunjin bertambah kesal.
"Ya! Kau sudah bosan hidup!"
Yeji kembali ke dapur dan duduk di tempat sebelumnya dengan senyum yang mengembang di kedua sudut bibirnya.
"Kau apakan kakakmu?"
"Asal Ayah tahu, orang itu selalu seperti itu setiap hari. Tidak ada hari tanpa marah-marah ... aku khawatir, bagaimana jika tekanan darahnya sangat tinggi karena dia sering marah-marah."
Minhyun tertawa pelan. "Kau ini ada-ada saja."
Hyunjin datang dengan wajah kesalnya yang tampak kusut dan menarik perhatian Minhyun.
"Hyunjin, kau sudah bangun? Kemarilah, kita sarapan bersama." Minhyun menempati tempat duduknya.
Hyunjin sempat memukul kepala Yeji tak terlalu keras sebelum menempati kursi yang berseberangan dengan gadis itu. Pandangan keduanya bertemu, layaknya dua musuh bebuyutan.
"Kenapa melihatku seperti itu?" ketus Hyunjin.
"Dasar Babi!"
"Apa?" Netra Hyunjin membulat seiring dengan suaranya yang meninggi. "Katakan sekali lagi! Coba katakan sekali lagi!"
"Sudah, sudah ... ini masih pagi, kenapa sudah ribut?" ujar Minhyun menengahi, namun malah di acuhkan.
"Babi, Babi, Babi. Hwang Hyunjin tidur seperti Babi ... suara dengkurannya bahkan lebih keras dari pada Babi. Babi Hwang Hyunjin."
Hyunjin berdiri sembari tangannya meraih sendok di atas meja. Dia kemudian memukul kepala Yeji menggunakan sendok di tangannya.
"Aduh!" Yeji memegangi kepalanya. "Ayah ... lihatlah kelakuannya. Dia bukan anak kecil lagi ..."
"Ini rumahku! Jika tidak suka, kalian boleh pergi. Awas saja, memanggilku Babi lagi ... kutendang kau dari rumahku."
Minhyun menggelengkan kepalanya dengan seulas senyum yang tertahan di kedua sudut bibirnya. Namun ada perasaan bahagia di hati sang ayah ketika mereka berkumpul kembali di meja makan, meski tanpa kehadiran Joohyun.
"Bercandanya di tunda dulu. Sekarang, kita sarapan."
Untuk kali pertama. Meja makan yang di tempati oleh Minhyun terasa lebih hidup oleh kehadiran kedua buah hatinya. Ayah dua anak itu bersyukur, karena meski Joohyun tidak bisa menerima kehadiran Hyunjin di keluarga mereka, namun Yeji sangat terbuka dengan hal itu.
Setelah selesai sarapan. Yeji membantu Minhyun membereskan meja makan, di saat Hyunjin yang sudah menghilang entah kemana.
"Ayah, biar aku saja yang cuci."
"Tidak. Jika mejanya sudah bersih, pergilah mandi."
Yeji kemudian pergi ke kamar mandi. Memeriksa apakah kakaknya itu sudah menyelesaikan urusannya atau belum. Terdapat celah di pintu dan hal itu membuat Yeji heran.
"Apa-apaan dia? Kenapa tidak mengunci pintunya?" gumamnya, dan meski begitu gadis itu tetap saja masuk.
"Babiku ..." panggil Yeji dengan pelan ketika ia melongokkan kepalanya ke dalam. "Kau di dalam?"
Menunggu sejenak dan tak ada respon. Yeji kemudian membuka pintu lebar-lebar dan berjalan masuk. Namun langkahnya segera terhenti dengan netra yang membulat terkejut ketika mendapati Hyunjin terkapar di lantai dengan tangan yang bersimbah darah.
"Ayah!!!"
Minhyun menghentikan mobilnya di depan Rumah Sakit. Buru-buru ia turun dan langsung membuka pintu bagian belakang di mana Hyunjin berada. Dengan cepat namun berhati-hati, ia mengangkat tubuh putranya dan langsung membawanya memasuki bangunan Rumah Sakit dengan Yeji yang menyusul di belakang.
"Dokter, tolong putraku. Suster ..." terdengar panik.
Seorang Dokter yang bertugas di IGD pun menghampirinya dan mengarahkannya untuk menempatkan Hyunjin di ranjang yang kosong dan seorang Perawat kemudian turut mendekat.
"Apa yang terjadi?" tanya Dokter itu yang segera memeriksa denyut nadi dan beralih pada detak jantung Hyunjin.
"Kami menemukannya pingsan di kamar mandi. Tolong, lakukan yang terbaik untuk putraku."
Sang Dokter memberikan tatapan peringatan pada si Perawat yang kemudian mendekati Minhyun. Perawat itu lantas berucap, "Tuan, mohon Tuan menunggu di luar. Kami akan memeriksa putra Tuan."
"Tolong, tolong lakukan yang terbaik untuk putraku."
"Kami akan berusaha melakukan yang terbaik, silahkan tunggu di luar."
Yeji menggandeng lengan Minhyun dan membawa ayahnya itu keluar. Keduanya duduk di bangku panjang yang berada di dekat pintu ruang IGD.
"Ayah tenang sedikit, sudah ada Dokter di dalam sana," ucap Yeji, mencoba menenangkan sang ayah yang tampak khawatir.
"Kenapa tiba-tiba begini?"
"Darah yang ada di tangannya ... sepertinya itu keluar dari hidungnya."
Minhyun memandang putrinya. "Apa kakakmu pernah mengeluhkan sakit sebelumnya?"
"Sejak aku tinggal di sana, Oppa sering merasa pusing dan mengkonsumsi obat sakit kepala."
"Seberapa sering?"
Yeji sejenak berpikir sebelum menjawab. "Jika tidak salah, setiap hari ... terkadang saat pagi atau malam."
"Kenapa kau tidak mengatakannya pada ayah?"
"Aku tidak tahu jika akhirnya akan jadi seperti ini ... aku pikir dia hanya sakit kepala biasa."
"Ya sudah, tidak apa-apa. Ayah tidak menyalahkanmu."
Minhyun menggaruk keningnya. Terlihat frustasi dan beberapa kali memandang ke arah pintu. Sangat khawatir, dan saking khawatirnya. Keduanya tidak sadar bahwa mereka masih mengenakan piyama dan sendal rumahan. Bukan hanya mereka, melainkan juga dengan Hyunjin. Dan tentu saja hal itu menjadi pemandangan yang sangat menggelitik bagi beberapa orang yang melihat mereka, terlepas dari alasan kenapa mereka sampai tidak sempat mengganti pakaian.
Selesai di tulis : 17.05.2020
Di publikasikan : 17.05.2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top