Chapter 9: Duel Sihir
Seringaian di bibir Ayumu bertambah lebar ketika mendapati ada beberapa anak yang ikut naik ke tribun. Bersiap menyaksikan hari kehancuranku. Aku menenggak saliva kasar begitu tubuhku dibuat melayang oleh satu baris mantra milik Ayumu.
BRUK!
Tubuhku terjatuh di tengah-tengah lapangan persegi. Pusing kurasakan seketika. Namun, Ayumu tidak membiarkanku berlama-lama terlena. Gadis bersurai merah muda itu ikut masuk ke dalam arena lewat bagian atas pagar. Tentu saja dengan bantuan sapu terbangnya.
"Siap hancur?" tanya Ayumu. Aku membelalakan netra.
Tangan Ayumu sudah siap dengan tongkat sihir. Berbanding terbalik denganku yang bahkan belum diberi tongkat sihir oleh pihak sekolah. Mereka hanya memberikanku buku-buku tebal. Melupakan hal paling penting jika terjadi situasi seperti ini.
"Ayumu, bisakah kita bicarakan ini baik-baik?" tanyaku. "Maksudku, hilangnya Natcy saja belum terpecahkan, kan?"
Ayumu membelalak. "Bagaimana kau tahu kalau yang hilang kali ini adalah Natcy? Butuh waktu dua hari untuk mendata semua murid, kau tahu?"
Sial, aku kelepasan.
"Dia ketua OSIS, kan? Pasti banyak orang yang sadar kalau dia menghilang," jawabku asal. Mendengar jawaban itu, gadis di depanku langsung memutar bola mata, merasa bodoh.
"Terserah," ujarnya ketus. Ayumu memutar-mutar tongkat sihirnya dan satu mantra pun lolos, "Trixinum!"
Tiba-tiba saja embusan angin kencang muncul, mendorong tubuhku. Kini aku pun menempel di pagar-pagar besi, sangking besarnya kekuatan angin yang menerpa. Napasku terasa dicekik, aku benar-benar kesulitan.
Setelah kukira napasku akan pergi, embusan angin berhenti. Memberikan sedikit waktu untukku meraup oksigen. Sedikit waktu? Ya, benar. Karena setelahnya Ayumu kembali melontarkan mantra aneh, "Aquaxil!"
Dari serangan angin, kini berganti menjadi serangan air. Sejurus ombak besar menghantam tubuhku hingga kurasakan tubuh remuk. Aku kembali kepayahan bernapas. Ombak yang dikirim Ayumu bertranformasi menjadi sebuah bola air yang mengungkung diri.
Pandanganku buram. Netraku terasa perih. Gelembung-gelembung udara mulai bermuculan dari mulutku yang sudah tidak kuat bertahan. Samar, kulihat Ayumu tersenyum sambil tetap mempertahankan suatu posisi yang aneh. Sementara itu para anak yang menonton memandang ngeri ke arahku.
BYUR!
Bola air yang memenjarakanku akhirnya tumpah ke tanah. Aku jatuh tertelungkup. Napasku sesak, padahal aku sudah bebas meraup udara semauku.
"Lihatlah, Kawan-kawan!" Ayumu tampaknya mulai berpidato. "Inilah akibat dari melawan seorang Ayumu Almahera! Dipermalukan dan dihilangkan harga dirinya!"
Keterlaluan. Ingatanku seketika melayang kepada kaum bawah. Keluarga, tetangga, dan temanku yang masih hidup susah di Downmere. Mereka harus menanggung semua beban itu karena kaum atas bertingkah semaunya.
"Untuk itulah, jangan sekali--" Ayumu tersentak kaget begitu aku memegangi satu kakinya. "Lepaskan kakiku, Gadis Downmere!"
"T-tidak," ucapku kepayahan, "tidak lagi. Sudah cukup."
"Oh, jadi kau masih mau merasakan beberapa mantra sihirku?" tantang Ayumu sinis. Bibirnya kembali menyeringai.
Emosiku seketika membuncah naik. Mengingat semua perlakuan Ayumu juga orang-orang di atas sini terhadapku berbanding terbalik dengan apa yang telah kaumku lakukan untuk kaum mereka. Kami dikirim ke medan perang. Kami melindungi kaum mereka yang hanya bisa menangis dan mengadu seperti anak kecil.
Aku mengeratkan peganganku di kaki Ayumu. Amarah menguasai. Untuk ayah, untuk ibu, untuk orangtua Yobi, untuk Yobi, aku janji akan bangkit.
Seberkas cahaya terang seketika keluar dari telapak tanganku yang memegangi kaki Ayumu. Semua orang tersentak kaget. Apakah ini adalah tipuan sihir Ayumu atau semacamnya?
Cahaya itu bersinar sangat terang. Namun, setelah beberapa detik berlalu, cahaya itu kembali redup. Semua orang mematung. Beberapa dari mereka ada yang menarik napas kaget, termasuk Ayumu.
"Apa itu tadi?" tanyanya cepat.
Aku menggeleng.
"Sial. Kau memang harus ditiupkan beberapa angin kencang lagi." Ayumu kembali memutar-mutar tongkat sihirnya, lalu satu mantra pun kembali terdengar, "Trixinum!"
Aku memejamkan netra. Jika aku harus berbenturan lagi dengan pagar-pagar besi itu, aku sudah siap. Siap merasakan sakitnya.
"Trixinum!" Ayumu bersuara lagi. "Trixinum! Trixinum! Trixinum!"
BRUK!
Kumembuka netra. Kulihat Ayumu terduduk di tanah sambil menatap horor pada tongkat sihirnya. Bibirnya bergertar. Suara riuh penonton mulai terdengar.
"Ada apa ini?" Madam Teressa masuk ke arena diikuti oleh Tuan Edgard dan seorang guru lainnya yang berpakaian serba abu.
Tidak ada yang menjawab.
"Bubar kalian!" Si guru berpakaian serba abu mengacungkan tongkat sihirnya ke udara. Netranya memandangi satu-persatu anak yang menonton dengan tatapan mematikan. Refleks, mereka pun mengikuti perintahnya. Ada yang kabur dengan mantra juga kabur dengan sapu. Dalam sekejap, tribun kosong.
"Nona Ayumu, apa yang terjadi?" tanya Madam Teressa. Iris cokelatnya menatap Ayumu yang masih duduk bersimpuh sambil memandang horor pada tongkat sihirnya.
"Sudah cukup. Aku telah melihat semuanya." Tuan Edgard seketika bersuara. Lelaki itu berlutut untuk membantuku berdiri. Aku pun melempar senyum tipis kepadanya, sebagai pengganti ucapan terima kasih.
"Ho, kau telah melihat semuanya dengan ilmu terawangmu, Tuan Edgard Davidson?" sinis si guru berpakaian serba abu.
"Ya, benar, Tuan Gonculus Almahera. Tanpa berniat menyalahkan, tetapi putri Anda telah melakukan aksi penindasan terhadap murid baru akademi kita," ungkap Tuan Edgard dengan nada datar.
Aku tersentak di dalam tangan Tuan Edgard yang memapahku berdiri. Ayumu adalah anak dari si guru berpakaian serba abu? Tuan siapa tadi? Gonculus?
"Kalau begitu." Tuan Gonculus menjeda ucapannya, netranya menatap tajam ke arah putrinya yang masih duduk bersimpuh. "Akan kuurus ini empat mata dengan putriku."
"Baik, masalah selesai. Kuharap tidak ada lagi kejadian seperti ini di akademi kita." Madam Teressa mengakhiri duel sihir itu.
🌜🌟
Aku terbaring di ruang perawatan akademi. Seragamku telah kering seutuhnya berkat mantra sihir milik Tuan Edgard. Sesekali aku terbatuk setiap kurasakan sesak di dada. Terpaan angin dan ombak di waktu berdekatan bukanlah hal biasa bagiku.
Tuan Edgard pergi beberapa saat lalu. Perawat yang biasanya menjaga ruangan ini sedang cuti. Otomatis, aku pun sendirian.
Aku menghela napas perlahan. Setelah ini kehidupan si gadis Downmere akan menjadi mimpi buruk selamanya. Ya, pasti. Trio monster itu tak lama lagi akan balas dendam.
"Apa kami menganggu?" Suara pintu terdengar bersamaan dengan suara seseorang yang familier.
"Ah, tentu tidak, Madam," jawabku. Kuberusaha bangkit ke posisi duduk. Kemudian, kudapati Madam Teressa berjalan menghampiriku, diikuti oleh Tuan Gonculus dan sesosok pemuda bersurai perak.
"Kau," desis Tuan Gonculus. Telunjuknya teracung ke depan hidungku. "Apa yang telah kau lakukan terhadap Ayumu?!"
"Tahan emosimu, Tuan Gonculus," ujar Madam Teressa. Tangannya menepuk pundak rekan guru di sampingnya. "Nona Luna."
Aku berjengit. "Ya?"
"Mantra apa yang kau gunakan kepada Nona Ayumu sewaktu di arena?" tanya Madam Teressa. Netranya menatapku penuh keseriusan.
"Mantra?" ulangku. "Naik sapu terbang saja aku tidak bisa. Kenapa Anda menuduh saya menggunakan mantra?"
Madam Teressa mengembuskan napas pelan. Alisnya saling bertaut. "Beberapa orang saksi mengatakan bahwa mereka melihat sebuah cahaya terang yang muncul dari telapak tanganmu, Nona Luna."
Ah, benar. Cahaya yang tadi itu apa? Berarti itu bukanlah salah satu trik mantra sihir milik Ayumu. Aku pun lantas menggeleng, sama tidak pahamnya dengan mereka.
Tuan Gonculus maju selangkah mendekati ranjangku. Raut wajahnya sarat akan emosi. Kemudian, sambil menunjukku dengan tongkat sihirnya, dia berkata, "Apa yang telah terjadi kepada putriku seharusnya menimpamu juga!"
"Sabar, Tuan Gonculus!" hardik Madam Teressa. Netranya terbelalak kaget. Tidak menyangka rekan gurunya sampai harus repot mengeluarkan tongkat sihir.
"Bagaimana aku harus sabar?!" balas Tuan Gonculus. "Anak ini ...."
Ujung tongkat sihir Tuan Gonculus mengeluarkan cahaya hitam. Dan buruknya, ujung tongkat itu mengarah kepadaku. Sial.
"Anak ini telah merenggut kekuatan sihir anakku!" lanjut Tuan Gonculus terbakar emosi.
Ha?
🌜🌟
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top