Chapter 8: Tantangan

Dahulu kala hiduplah dua dewi bersaudara. Namun, meskipun bersaudara, sifat dan perilaku mereka saling bertolak belakang. Sang dewi matahari, memiliki perangai keras dan kasar. Berbanding terbalik dengan sang dewi bulan yang cenderung bersikap tenang dan lembut.

Oleh karena itulah, mereka tidak pernah akur. Suatu hari, dewi matahari menemukan sebuah kacang polong emas di bawah laut. Tak ada yang mengerti kenapa kacang polong emas itu bisa berada di sana.

Kemudian, ketika sang dewi membukanya, keluarlah seorang bayi kecil dari dalam kacang polong emas itu. Sang dewi pun jatuh hati kepada sang bayi dan memutuskan untuk menjadi ibunya.

Anehnya, seiring bertambah besar, tubuh si bayi mengeluarkan aura sihir kegelapan. Tanaman-tanaman di sekitar mendadak layu. Kolam dan sungai mengering. Dan hewan-hewan mati karena wabah penyakit.

Dewi bulan yang melihat hal itu mulai khawatir.Akan tetapi dewi matahari tidak mendengarkan saudarinya itu. Karena situasi semakin gawat di setiap tahunnya, bahkan bulan pun mulai meleleh, sang dewi bulan terpaksa membunuh sang anak yang diasuh saudarinya.

Akan tetapi, aksinya tersebut telah lebih dulu terendus oleh dewi matahari. Pada akhirnya, kedua saudari itu pun bertarung. Dewi matahari kalah hingga meregang nyawa. Sedangkan si anak kabur dengan dendam membara kepada sang dewi bulan.

🌜🌟

Aku menguap bosan, memperhatikan lembar demi lembar buku tebal yang diberikan Madam Teressa. Banyak sekali tulisan yang menceritakan kisah-kisah aneh di setiap lembarnya. Dan aku sama sekali tidak paham.

Masih teringat jelas di benak, bagaimana satu-persatu orang tumbang. Kemudian tiga ekor naga yang meraung sedih, juga lubang dimensi dan orang-orang berjubah merah yang menculik Natcy.

Siapa sangka Madam Teressa memanggilku ke kantornya hanya untuk memberikan buku tebal ini? Kukira ada sesuatu yang penting, yang berhubungan dengan kejadian tadi.

Tok! Tok!

Seseorang mengetuk pintu kamar. Keras. Dengan terpaksa, kubangkit dari kasur lalu menatap jendela sebentar. Bulan sudah muncul. Argh, pengganggu.

Daun pintu kubuka lebar. Seketika sepasang iris hitam pun menyambut iris biru langit milikku. Aku terbelalak. Kenapa dia ada di sini?

"Sst!" desisnya sinis. Tubuh tegapnya yang diselimuti jubah bertudung itu merangsek masuk lalu buru-buru menutup pintu. Di tangannya ada semacam lentera berisi bunga menyala.

"Apa yang kau lakukan di kamarku? Terlebih ... di jam segini?!" protesku tak terima.

Si pemuda perak, maksudku, Nathan membuka tudungnya. Tanpa persetujuan, dirinya langsung duduk di kursi depan meja belajar. Netranya menatapku tajam. Aku tersentak, lalu perlahan duduk di pinggir ranjang. "Ada apa?"

"Ini mendesak," ujarnya cepat. "Mereka bergerak semakin cepat!"

"S-s-siapa yang bergerak?" tanyaku heboh.

Nathan memutar bola matanya, kesal kurasa. Kemudian setelah menghela napas, bibirnya kembali bersuara, "Sekte Arkanis. Mereka membuat keributan di Kota Reverselight."

"Hah? Kota Riverslaik?" ulangku bingung.

Untuk kedua kalinya, pemuda di depanku kembali memutar bola mata. Lalu disusul oleh tepukan di kening. "Aku lupa kau berasal dari Downmere."

"Maaf saja kalau aku ini kaum bawah, ya, Tuan Pangeran," ujarku penuh penekanan. Emosiku meluap, mengingat kenyataan bahwa ada begitu banyak perbedaan di antara kami.

Si kaya dan si miskin.

"Kota Reverselight berada di Distrik Moon. Bagian gelap Zirania untuk para bangsawan nocturnal. Kau pasti pernah mendengar desa yang seluruh wilayahnya ditutup perisai penghalang sinar matahari, kan?" ungkap Nathan panjang lebar.

Aku mengangkat alis. Bagian gelap Zirania, katanya? Lalu dia sebut Downmere dengan apa? Wilayah palung?

"Jelaskan saja. Aku mengikuti," ucapku agak kesal.

Pip pip pip.

Nathan terperanjat kaget. Kemudian dia buru-buru mensejajarkan lentera yang dia bawa dengan netranya. Bunga cahaya kecil di dalamnya berkedip-kedip.

"Kita lanjutkan nanti saja. Waktuku habis. Sebentar lagi ada pemeriksaan istana," ucap Nathan. Pemuda itu pun dengan gesit segera memasang tudung jubahnya lalu melompat keluar jendela.

Aku memekik tertahan. Kuikuti langkahnya mendekat ke jendela, lalu menatap ke bawah dengan horor. Kulihat punggung Nathan yang ditutupi jubah dengan cepat menjauh bersama seekor pegasus hitam yang waktu itu pernah kulihat.

Ah, dia pergi.

🌜🌟

Langkahku bergerak menuju ruang kelas sihir 1 B dengan susah payah. Kelopak netraku bengkak karena semalaman sibuk memikirkan Kota Reverselight dan Sekte Arkanis. Ah, aku tidak tahu, sih masalahnya terletak di mana.

"Hai, Mata Panda!" Ayumu menghalangi jalanku. Di samping kirinya ada si anak perempuan berpita besar. Sedangkan di samping kanannya ada seorang anak lelaki yang tampak ... um, seperti perempuan?

"Awas," sinisku.

Ayumu memutar bola mata malas. "Oh, setelah asyik berduaan dengan pacar orang, kau mau mencoba berlagak bagai bos?"

Siapa juga yang berlagak seperti bos? batinku mengutuki Ayumu dan dua temannya. Namun, yang keluar dari bibirku adalah, "Kau salah paham."

"Hmph! Aku tidak peduli kejadian kemarin itu benar atau tidak. Intinya kau salah dan aku menantangmu berduel sihir." Kalimat Ayumu bagaikan sambaran petir di punggungku. Netraku terbelalak. Tentu saja aku berniat menolak ajakannya.

Gila. Aku kan, tidak bisa sihir. Sudah jelas, kekasih seorang Nathan ini sedang mencoba mempermalukanku. Selamanya, kaum bawah akan selalu berada di bawah telapak kaki kaum atas.

"Tidak. Aku menolak. Dasar, Wanita Gila," ujarku hilang kontrol.

Mendengar ucapanku, sontak saja tiga monster di depanku langsung memasang tatapan menyeramkan. Jemari mereka saling bergemeletuk ketika ditekan, seakan bersiap meninju makhluk menyedihkan di depannya.

"Kau bilang apa, Gadis Downmere?" tanya Ayumu penuh penekanan.

Aku menggeleng cepat dalam rasa ngeri. Sebodoh apa aku hari ini?!

"Nona Ayumu, lebih baik kita bawa saja dia ke arena," usul si gadis berpita besar yang langsung disusul oleh anggukan manja dari si anak lelaki.

Mual.

"Ide bagus," ujar Ayumu dengan nada remeh. "Hari ini, akan ada tulang belulang yang patah."

Si gadis berpita besar tiba-tiba mengeluarkan tongkat sihirnya dari dalam saku rok. Sebelum dia sempat memutar-mutar tongkat dan meluncurkan mantra aneh, kakiku telah lebih dulu berlari menjauh.

Mereka gila! Mereka berniat membunuhku!

Sebenarnya aku belum sempat berkeliling akademi. Alhasil, ketika langkahku dirasa telah cukup jauh, aku pun berhenti. Kuterdiam memandangi daerah sekitar.

Sebuah lapangan tembok persegi luas dengan pagar besi menjulang juga tribun pentonton di setiap sisi. Aku ada di mana?

"Wah, wah, wah." Terdengar suara si pemimpin trio monster dari arah belakang. Perlahan, kuberbalik hanya untuk menerima kenyataan bahwa mereka bertiga menyusulku dengan sapu terbang.

"Siapa sangka kau malah berlari ke arena?" Ayumu menyeringai.

Arena? Lapangan tembok persegi luas, pagar besi menjulang, tribun pentonton ..., kenapa aku begitu bodoh?! Astaga, jadi ini arena yang mereka maksud?

"Kau sudah siap menghadapi mimpi terburukmu, ya, Gadis Downmere?" Ayumu turun dari sapunya sementara dua temannya memelesat ke arah tribun penonton.

Beberapa anak yang melintas otomatis langsung menghentikan aktivitasnya. Kini semua mata tertuju kepada kami berdua. Berbagai macam ekspresi mereka tunjukkan. Satu yang mereka tahu, bahwa akan ada sebuah pertarungan sihir di sini.

Aku memejamkan netra. Berusaha tenang. Namun, seketika muncul wajah Nathan di benak. Diam-diam aku berharap dia datang menyelamatkanku dan menghentikan semua kegilaan ini.

Ah, akan tetapi, pasti pemuda itu akan membela Ayumu mengingat gadis itu adalah kekasihnya. Yah, persis seperti kejadian kemarin ketika Ayumu menangkap basah kami tengah berduaan di kelas sepi.

Mati sudah diriku.

🌜🌟

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top