Chapter 7: Sekte Arkanis

Kelas dibubarkan untuk hari ini. Jam dinding raksasa yang ada di menara menunjukkan pukul tiga sore. Kepalaku terasa penuh. Bukan ilmu yang kudapat melainkan kenangan-kenangan memalukan.

Selama pelajaran sejarah, aku sama sekali tidak mengerti. Kemudian, berlanjut ke pelajaran praktek mengendarai sapu. Bahkan mantra dasar untuk membuat diriku melayang saja aku tidak bisa. Uh, dan semua kegagalan itu berakhir dengan diriku yang ditertawakan seluruh penghuni kelas.

"Hoho, bagaimana hari pertamamu, Dekil?" Si pemuda perak muncul entah dari mana. Aku heran, setelah melewati hari yang melelahkan, penampilannya tidak kusut sama sekali.

"Berhenti menggangguku. Asal kau tahu, namaku Luna," balasku ketus. Kuberjalan pelan menuju asrama sesuai dengan peta yang terselip di dalam tasku. Asrama putri ada di sebelah timur. Berbeda dengan asrama putra yang ada di sebelah barat. "Aku mau langsung pulang."

"Huh, membosankan sekali, ya, jadi dirimu. Dasar, Kaum Bawah," cibir si pemuda perak lalu berjalan menjauh entah ke mana. Sekilas, dia tampak tergesa. Awalnya aku penasaran, tetapi setelah dipikir, persetan dengan orang itu.

Orang-orang berlalu lalang di sekitar. Beberapa anak perempuan menatapku sebal setelah si pemuda perak pergi menjauh. Masa bodoh. Aku tidak peduli. Sekarang aku hanya ingin meregangkan otot-ototku di atas kasur.

BRUK! BRUK! BRUK!

Aku tersekat. Kupandangi orang sekitar yang tiba-tiba tidak sadarkan diri. Mereka semua jatuh begitu saja ke tanah. Aku mencoba membangunkan seorang gadis berkepang yang kutahu namanya adalah Natcy.

"Natcy, bangun!" ujarku. Kupukul pelan wajahnya dengan jariku. "Natcy, ayolah!"

Nihil. Kuberanjak ke tubuh orang lain. Melakukan hal yang sama. Bahkan kali ini kuberteriak di telinganya. Sia-sia. Dia juga tidak bangun. Sebenarnya ada apa?

Bayangan hitam seketika memenuhi rerumputan halaman. Aku terlonjak kaget begitu tiga ekor naga merah terbang berputar di atas akademi. Mereka meraung-raung, seakan meminta pertolongan.

Aku pun berlari dari tempat itu. Langkahku otomatis bergerak ke arah belokan tempat si pemuda perak menghilang. Kuharap dirinya masih tersadar sama sepertiku. Namun, pemandangan yang kudapat setelah berbelok di antara bangunan kelas, malah membuat jantungku terasa berhenti berdetak.

Sebuah lubang dimensi berwarna hitam muncul di depanku. Aku menenggak salivaku perlahan. Tubuhku gemetaran. "A-a-apa ini penyebab semua kekacauannya?"

GREP!

Seseorang membekap mulutku dan menarikku ke salah satu ruangan kelas. Aku meronta-ronta, ketakutan menguasaiku. Namun, ketika netraku dihadapkan dengan netra hitam si pemuda perak, aku pun mulai tenang.

"Sst!" desisnya sangat pelan. Telunjuknya diletakan di depan bibir. Wajah si pemuda perak yang putih kini terlihat bertambah pucat.

"Sebenarnya ada apa?" bisikku.

"Sudah sering terjadi," gumamnya. "Orang-orang itu selalu datang untuk mengambil salah satu dari kita."

Netraku terbelalak begitu mendengar jawaban si pemuda perak. Kini tubuhku kembali bergetar takut. Kugenggam erat lengan si pemuda perak. "Kenapa kau tidak ikut tertidur bersama mereka?"

Si pemuda perak memandangku dengan tatapan cemas. Kepalanya menggeleng, sama tidak mengertinya denganku.

Tak lama kemudian, suara derapan langkah terdengar. Kuintip dari sela-sela pintu kelas, tiga orang berjubah merah yang berjalan ke arah lapangan. Mereka muncul dari dalam lubang dimensi.

Aku berusaha menahan napas. Takut ketahuan. Kemudian, kulihat salah satu dari mereka menunjuk seorang gadis yang sedang tertidur tak berdaya. Astaga, orang itu menunjuk Natcy!

Diriku semakin mengeratkan peganganku di lengan si pemuda perak ketika Natcy dibuat melayang lalu bergerak mengikuti tiga orang itu ke dalam lubang dimensi. Raungan naga semakin terdengar menyayat hati, seakan berduka sekaligus sedih karena tidak ada yang bisa mereka lakukan.

Setelah beberapa detik berlalu, lubang dimensi menghilang. Orang-orang yang sempat tidak sadarkan diri kini mulai tersadar. Ekpresi wajah mereka ketika membuka mata sama. Ketakutan ngeri bercampur teror.

Si pemuda perak bernapas lega. Dengan cepat, dia menepis peganganku dari lengannya dengan kasar. "Sial, kenapa hanya kamu yang kondisinya sama sepertiku?"

"Entah," balasku.

"Tadi itu mantra sihir untuk menghilangkan kesadaran seseorang yang dikirim lewat bebauan daging buah sihir. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku tidak terpengaruh." Si pemuda perak mengacak rambutnya frustrasi. "Aku lemah. Tidak bisa mengatasi mereka."

"Kurasa itu wajar mengingat kau hanya seorang murid," ujarku.

"Bodoh. Aku ini seorang pangeran. Seharusnya aku bisa melindungi rakyatku," balas si pemuda perak. Bibirnya tersenyum miris.

Tunggu. Pangeran, katanya? Itu berarti ... jangan-jangan ....

"Di mana Nick?!" pekikku.

Si pemuda perak mengangkat alis. "Nick?"

Aku mengangguk cepat. "Benar. Nick, dia saudaramu, kan? Aku ingin menagih janjinya!"

"Hei, tunggu dulu, Dekil! Tidak semudah itu jika kau ingin bertemu sang Raja," ujar si pemuda perak sambil mengedikan bahu.

"R-raja?" gumamku syok. Selama ini Nick rajanya? Orang yang memasukkan nama Yobi ke daftar pasukan perang adalah dirinya? Termasuk orang yang memerintahkan ayah untuk menjadi dokter di medan perang?

Gigiku bergemeletuk. Emosiku membuncah naik. Satu tetes bulir bening tumpah dari sudut mataku. Selama ini, aku percaya kepadanya. Kenapa? Kenapa jadinya malah seperti ini?

"Hei, berhenti menangis, Dekil! Ada apa, sih?" gerutu si pemuda perak.

"A-a-aku kecewa," isakku sedih.

"Yah, aku juga kecewa karena ayahku memilih adikku sebagai penerus takhta sementara," cibir si pemuda perak. Matanya menatap sinis ke sudut ruangan.

"Penerus sementara?" tanyaku.

Si pemuda perak mengangguk. "Ayahku sakit sejak kematian ibuku, Ratu Zevina."

Aku tertegun menatap si pemuda perak. Meskipun berbeda kasta, tetapi nasib buruk yang menimpa kami hampir sama. Menyedihkan. Bukankah seharusnya kami bisa saling mengerti?

"Aku ... juga sama sepertimu," ujarku tanpa kontrol. "Ayahku mati di medan perang lalu ibuku jadi sakit-sakitan setelah kepergiannya."

Si pemuda perak membelalakan matanya. Iris hitamnya tampak berkaca-kaca, tetapi dengan cepat dia terpejam. Berusaha menahan luapan emosi. "Kau boleh memanggilku Nathan."

"Eh?" gumamku kaget. Bukankah dia anak sombong yang gila akan kehormatan?

"Sudah. Panggil saja aku begitu," ujar si pemuda perak. Wajahnya memerah karena malu menahan rasa gengsi.

"Tapi--" ujarku yang langsung saja diselanya.

"Banyak yang harus kita bicarakan seputar orang-orang berjubah merah itu. Mulai sekarang kau adalah partner-ku. Kita harus mencari tahu siapa mereka sebenarnya dan apa tujuannya," ujar si pemuda perak, Nathan. Atau haruskah aku menyebutnya Pangeran Nathan? Atau barangkali Nathanael Zirania?

"Sudah berapa lama kau menyelidiki mereka ... seorang diri?" tanyaku hati-hati.

"Sejak enam bulan lalu. Aku curiga kalau mereka adalah anggota Sekte Arkanis," jawab Nathan. Aku terdiam mematung, sama sekali tidak mengerti.

"Kau mau membantuku, kan, Luna?"

Aku pun dibuat tambah terdiam. Nathan si pangeran sombong baru saja memanggilku dengan namaku.

"Pangeran Nathan!" Suara melengking yang familier terdengar dari arah lapangan. Makin lama, suara itu terdengar semakin dekat.

BRAK!

Pintu terbuka lebar. Memperlihatkan Ayumu yang memandangi kami dengan ekspresi syok. Nathan langsung berdiri, berusaha menenangkan Ayumu.

"Apa yang kau lakukan di kelas sepi bersama si bocah kaum bawah?" tanya Ayumu geram. Wajahnya merah karena marah.

"Oh, bukan apa-apa. Aku hanya terjebak bersamanya di sana. Kau pikir aku akan mengkhianatimu, Sayang?" balas Nathan. Netranya memandangi Ayumu penuh kasih.

Aku mual.

"Ekhem!" Madam Teressa muncul entah darimana. Membuat fokus kami bertiga teralih. "Luna Elgaria, ikuti saya ke kantor."

🌜🌟

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top