Chapter 6: Kelas Luna
Pegasus yang kami tunggangi mendarat di sebuah tanah lapang. Tubuhku gemetaran karena barusan adalah pengalaman terbangku yang pertama kali. Naik kereta kuda terbang milik Jendral Lock tidak termasuk karena rasanya sama seperti naik kereta kuda di tanah.
"Kita sampai," ujar si pemuda perak. Dia turun duluan lalu mengulurkan tangannya kepadaku.
"A-aku bisa lompat sendiri," tolakku gagap. Dan alhasil, diriku pun terjatuh ke tanah karena keseimbanganku masih melayang-layang. Untung saja tanahnya empuk, tidak seperti tanah Downmere yang keras.
"Wah, pangeran telah kembali!" Terdengar jerit-jerit yang menusuk telinga dari kejauhan. Netraku memicing, hanya untuk memandangi gerombolan kaum hawa yang berterbangan naik sapu. Mereka memelesat ke arah kami.
Aku didorong keluar dari gerombolan entah oleh siapa. Sementara itu si pemuda perak seketika sibuk menjadi pusat perhatian. Kudengar dirinya tertawa-tawa. Rasanya menyebalkan sekali.
"Tcih!" decihku sambil melangkah menjauh. Akan kucari kantor guru sendiri. Eh, tunggu dulu. Bukankah Madam Teressa tadi ikut terpental bersamaku?
"Kau murid baru, ya?" Seorang gadis berkepang dua mendekat. Wajahnya berbintik kecil.
"Um, iya. Aku murid jalur undangan," jawabku.
"Oh, mari ikuti aku. Pasti kamu tersesat, kan? Kebetulan Madam Teressa tengah heboh di kantornya karena dia bilang, um ..., kau terpental?" Gadis itu mengangkat sebelah alisnya.
"Ho, syukurlah dia baik-baik saja," ujarku lega. Lalu kuikuti langkah si gadis berkepang. "Ngomong-ngomong namaku Luna Elgaria."
"Namaku Natcy Xaberina. Aku ketua OSIS di akademi ini. Salam kenal, Luna," balas si gadis berkepang, Natcy.
🌜🌟
Di sinilah aku sekarang. Duduk di sebuah sofa empuk. Berhadapan dengan meja kerja milik kepala akademi. Aku tidak pernah bisa melupakan tatapan cemas Madam Teressa sewaktu pertama kali aku tiba di kantornya.
Dia mengingatkanku dengan sosok Ibu yang dulu. Sewaktu ayah masih hidup tentunya.
"Sudah menjawab semua formulirnya?" tanya Madam Teressa. Ya, benar aku menjawabnya. Pasalnya selain meja kerja, di depanku juga ada secarik kertas dan pena bulu melayang. Aku cukup membaca pertanyaan dan menyebutkan jawabannya, lalu si pena bulu akan menuliskan semua yang kukatakan.
"Sudah," jawabku.
"Bagus, kalau begitu...." Madam Teressa beranjak dari kursi putarnya. Wanita itu berjalan dan meraih bel emas kecil yang terletak di atas lemari dokumen dengan bantuan tongkat sihirnya. "Telekinacio."
Bel mungil itu melayang ke tangannya. Kemudian dibunyikannya bel itu tiga kali dentangan.
Aku dibuat terpana begitu asap berwarna hijau muncul di sampingku. Lalu asap itu perlahan mewujud menjadi seorang pria tegap bersurai cokelat. "Ada yang bisa saya bantu, Madam?"
Madam Teressa melirikku. Sontak, si pria itu pun mengikuti arah pandang sang kepala akademi dan membelalakan netra gelapnya. "Astaga, kau sudah datang. Terima kasih telah menerima tawaran kami, Alice."
Mendengar kalimat si pria, entah kenapa Madam Teressa langsung menatap tajam kepadanya. Si pria yang sadar, langsung mengerjap-ngerjap dengan raut wajah kaget.
Yah, lagipula aku tidak diberi pilihan lain. "Nama saya bukan Alice, Tuan. Saya Luna Elgaria dari Downmere."
"Ho, maaf. Kau mengingatkan saya dengan seseorang. Mari ikuti saya ke kelasmu," balas si pria ramah. Tangannya terulur ke arahku.
Aku sempat ragu, tetapi Madam Teressa mengangguk ketika aku menatapnya. Kuraih tangan si pria perlahan, lalu memasang senyum tipis.
"Kami permisi, Madam," ujar si pria ramah. Tangannya mengeluarkan tongkat sihir. Setelah memutar-mutar tongkat itu di udara, bibirnya membuka, "Teleporta."
BUF!
Diriku dan si pria tiba di sebuah ruangan yang dipenuhi meja dan kursi kayu. Masing-masing di sana, terdapat anak-anak seusiaku yang memandangiku dengan kaget.
Pakaian mereka sama. Murid laki-laki memakai kemeja putih dan jas almamater berwarna navy yang selaras dengan celana mereka. Pembedanya dengan murid perempuan hanya terletak di rok rempel di atas lutut yang mereka kenakan. Ah, dan satu lagi. Di punggung mereka terdapat jubah yang ujungnya terkait oleh kancing emas di pundak.
"Siapa dia, Tuan Edgard?" Seorang anak perempuan bersurai merah muda mengangkat tangan. Netranya menatapku tidak suka.
"Hoho, dia murid jalur undangan," jawab si pria, Tuan Edgard. "Namanya Luna Elgaria. Dia datang dari Downmere."
Satu tarikan napas tersekat terdengar memenuhi ruangan. Semua orang memandangiku horor.
"Kenapa bisa?" Si anak bersurai merah muda kembali mengeluarkan suara. "Di-dia dari Downmere, lho! Astaga, akademi ini semakin aneh saja!"
"Tenang dulu Nona Ayumu. Ini adalah keputusan mutlak dari kepala akademi jadi kuharap kalian bisa memperlakukan Nona Luna dengan baik." Tuan Edgard menjelaskan panjang lebar. Bibirnya tersenyum.
"U-um maaf, Tuan Edgard," ujarku pelan. Gugup menerjang. "Aku belum memakai seragam."
"Ah, maafkan aku!" pekik Tuan Edgard sambil memukul keningnya. Lalu setelah memutar-mutar tongkat sihirnya di hadapan wajahku, satu mantra lolos dari bibirnya, "Movario."
BUF!
Seluruh pakaianku dipenuhi cahaya glitter. Kemudian di dalam cahaya, bentuknya mulai berubah. Kini tubuhku pun sukses dibalut seragam, sama seperti murid lainnya. Aku mengerjap takjub. Belum pernah diriku memakai pakaian sebersih dan serapi ini.
"Nah, Nona Luna, silakan duduk di kursi kosong barisan ketiga, ya! Pelajaran pertamamu akan segera dimulai," ujar Tuan Edgard. "Ah, dan ini buku-buku yang akan kau butuhkan."
Tangan Tuan Edgard merogoh sesuatu dari sebuah kantung kain yang mirip seperti kantung milik Madam Teressa. Dan dari sana, keluarlah buku-buku tebal juga sebuah tas selempang cokelat.
Aku pun menaruh buku-buku itu ke dalam tas selempang. Kemudian dengan kaku, kuberjalan menuju kursi kosong yang tadi dimaksud Tuan Edgard.
"Baiklah, buka buku sejarah sihir kalian bab 20 halaman 347." Tuan Edgard mulai mengajar tanpa mempedulikanku yang seketika sibuk memilah buku di dalam tas. Yang mana buku sejarah sihir?
"Buku sejarah sihir yang warnanya hijau." Seorang gadis berpita besar memberitahuku. Dia tersenyum.
"Oh, terima kasih," ujarku sambil cepat-cepat mengeluarkan buku berwarna hijau dari dalam tas. Kubuka buku itu dengan tergesa karena takut ketinggalan pelajaran. Walau bagaimanapun, ini adalah pengalaman pertamaku bersekolah.
"KYAAAAAAA!!!" Kututup telingaku erat. Siapa sangka buku hijau itu seketika mengeluarkan suara teriakan melengking yang menusuk. Refleks, semua orang pun memandangiku kesal. Tangan mereka kini terpasang di telinga dengan erat.
Tuan Edgard tampak memutar-mutar tongkat sihirnya lalu percikan sihir hijau pun muncul. Percikan itu meluncur cepat ke arah buku hijau yang kubuka lalu dengan keras menutupnya. Suara teriakan terhenti.
"K-k-kau," desisku kepada si anak perempuan berpita besar. Dan seakan tak berdosa, dirinya malah melirikku dengan tatapan remeh sambil menjulurkan lidah.
"Nona Luna, saya maklumi karena ini hari pertamamu. Namun, tolong jangan ulangi kesalahan yang sama. Santai saja di kelas ini karena saya adalah wali kelasmu," ujar Tuan Edgard. Tangannya mengelus telinganya perlahan.
Aku mengangguk pelan menahan malu. "Baik, Tuan Edgard. Maafkan saya."
Sekilas, kupandangi si anak perempuan berpita besar saling melempar tatapan jenaka dengan si anak perempuan bersurai merah muda yang tadi dipanggil Ayumu. Sial, mereka satu komplotan dan kutahu mereka tidak menyukaiku.
🌜🌟
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top