Chapter 2: Pekerjaan Kotor

Alun-alun desa penuh sesak. Semua mata tertuju ke arah panggung batu besar di tengah-tengah. Di atas sana, Jenderal Lock Virzonium mengangkat sebuah perkamen di hadapan wajahnya. Baju zirah bajanya berdenting seiring tubuhnya melakukan gerakan, membuat sebagian kaum bawah merasakan sensasi merinding. Kemudian dengan lantang, suara berat lelaki itu terdengar.

Seperti biasa, untuk memenangkan perang yang menurutku sudah berkepanjangan, Kerajaan Zirania akan mengambil satu-persatu orang desa yang menurut data dianggap pantas pergi ke medan perang sebagai pasukan tambahan atau profesi apa pun yang berguna. Dan tentu saja kaum bawah tidak dibayar untuk itu. Semua dipaksa melakukannya secara cuma-cuma dengan keadilan untuk negeri sebagai tameng pembenaran kaum atas.

Lima tahun lalu, mereka mengambil ayahku. Tenaga beliau, digadang-gadang cocok dijadikan sebagai seorang dokter. Dan sampai sekarang, aku belum pernah mendapat kabar apa pun dari ayah. Aku mengedik dalam kehampaan. Mungkin ayah sudah mati.

Tanganku bergerak lincah dan sunyi ke sana dan ke mari. Seakan tanpa dosa, kurebut apa pun yang bisa kuraih dari saku pakaian dan tas orang-orang. Biasanya benda-benda yang kudapat bisa menghidupiku untuk lima hari ke depan. Itu pun jika aku berhemat.

Suara Jenderal Lock Virzonium sudah tidak terdengar. Otomatis, aku pun segera menghentikan aksiku. Langkahku kini terhenti di barisan paling ujung kanan. Diam menatapi kepergian Jenderal Lock Virzonium dari atas panggung menuju kereta kuda yang dilapisi berlian warna-warni. Konon kereta itu tidak dapat ditembus oleh peluru. Sama seperti baju zirah yang dikenakan kudanya.

Aku menguap. Pura-pura tidak punya dosa. Lalu pergi berbaur mengikuti rombongan penduduk desa yang mulai membubarkan diri.

Dalam hati aku bersorak girang. Seingatku, tadi tangkapanku cukup banyak. Terbayang sudah daging sapi Kedai Berg yang akan memenuhi perutku malam ini. Tanganku bergerak menepuk-nepuk tas selempangku yang kini penuh dengan benda berkilau. Ah, sungguh bahagia hari ini.

🌜🌟

Aroma merica bubuk masuk ke penciumanku begitu seporsi daging sapi khas Kedai Berg mampir di atas meja. Setelah berdebat dengan penjual di pasar demi mendapat pundi-pundi uang dari hasil merampok, akhirnya aku bisa juga duduk santai di salah satu kursi kedai ini.

PUK! Seseorang menepuk bahu kiriku. Lantas, aku pun menoleh ke arah sana. Tidak ada siapa pun. Aku mengernyit lalu kembali bersiap untuk makan.

"WHOAAA!!" pekikku geram. Seorang pemuda bersurai cokelat gelap tampak asyik memotong daging sapiku. Netranya yang tajam menatapku sekilas, tetapi dia tampak tidak peduli dengan keberadaanku.

"Yobi!!!" pekikku lagi. Kali ini aku menjambaki rambutnya.

"Aw! Iya! Ampun! Luna, aku hanya bercanda!" ringis pemuda itu kesakitan. Ketahuilah, bahwa anak kurang ajar itu adalah teman karibku. Yobi Rezirnox, sesama pencopet. Dan juga, orang inilah yang tadi siang datang ke rumahku.

"Huh!!" gumamku kesal sambil buru-buru mengambil sepiring daging sapiku kembali. Aku lantas memotongnya jadi dua bagian lalu kumasukkan sebelah bagian yang lain ke dalam kantung plastik.

"Apakah itu untukku? Oh, ya ampun, Luna kau sangat--" Ucapan Yobi yang bernada menyebalkan itu langsung saja kusela.

"Ibuku."

Yobi mengerjap-ngerjap, seakan mencoba mengingat-ingat sosok ibuku. Kemudian dia mengembuskan napasnya. Pandangannya menatapku iba. "Semoga Nyonya Elgaria cepat sembuh dari dukanya."

"Hm. Entah," ucapku menjeda. Kukunyah daging sapi di mulutku sejenak lalu menelannya. "Aku tak yakin dia bisa sembuh. Dia terlalu mencintai ayah."

Yobi terdiam. Tidak tahu harus menanggapiku dengan apa. "Yah, setidaknya kau masih punya salah satunya."

Dia benar. Dan akan sangat bodoh jika aku menangis-nangis dan meraungkan bahwa aku adalah anak paling menderita di Downmere hanya karena aku tidak tahu kabar ayah dan sekarang ibuku sakit-sakitan.

Sementara itu, Yobi tak pernah sekali pun merasakan kasih sayang orangtuanya karena mereka berdua dikirim ke medan perang sewaktu usia anak itu masih lima tahun. Maksudku, yah, Yobi tidak terlalu mengingat mereka. Selama ini dirinya hidup dalam kehampaan.

Orang tua Yobi adalah seorang perawat. Dahulu mereka bekerja di klinik kecil milik ayahku. Namun, pihak kerajaan mengendus kegiatan mereka dan alhasil, ketiganya dibawa ke medan perang. Didahului oleh orang tua Yobi lalu ayahku beberapa tahun kemudian.

Hal tersebut, menimbulkan satu jawaban sederhana di benak. Pihak kerajaan mengambil ayah karena orang tua Yobi sudah mati. Ayah menggantikan peran mereka berdua dan kurasa sekarang ayah ikut mati.

"Bodoh," ucapku singkat, lebih kepada diriku sendiri.

"Boleh aku ... minta dagingnya?" cicit Yobi sambil berusaha meraih garpu di tanganku.

"Tidak!!" balasku kasar. Kutepis tangannya yang sedang menggapai-gapai di udara.

"Pelit," komentar Yobi. Bibirnya cemberut. Tangannya terlipat di depan dada. Kini pemuda itu duduk membelakangiku.

Aku mendelik ke arahnya sebentar. Yobi tampak lucu jika sedang seperti itu. Dia mengingatkanku dengan si Pak Tua Lonso bergigi satu yang pemarah.

"Yobi," panggilku.

Pemuda itu tak bergeming.

"Yobi," panggilku lagi.

Yobi, tetap diam. Aneh, jika dia benar-benar marah, seharusnya dia pergi saja dari sini. Ingin sekali aku mencubiti perutnya, tetapi aku tahu dia sangat membenci itu.

"Yobi," panggilku untuk yang ketiga kalinya. Namun, sekarang kubalikkan badannya lalu buru-buru menyuapkan potongan daging sapi ke dalam mulutnya.

Netra Yobi berbinar-binar. Seakan sedang memakan makanan terlezat di bumi, dia mengunyah daging sapi itu perlahan. Wajahnya memerah.

"Sudah puas marahnya?" tanyaku ketus.

Yobi menelan daging sapi yang ada di mulut, lalu mengangguk pelan ala gaya bangsawan. Huh, padahal dia cuma pencopet sama sepertiku. "Nona Luna Elgaria, alangkah baiknya, Anda menyuapkan daging sapi lezat ini lewat mulut manis Anda langsung ke mulut saya."

"Menjijikan!" ujarku sambil memukul kepala Yobi. "Berhenti berlagak seperti kaum ningrat sialan itu!"

"Kenapa? Padahal aku hanya berlagak seperti pacarmu yang katanya akan menjemputmu ke Uporania untuk melihat langit biru siang hari," cibir Yobi. Astaga, anak ini memang benar-benar tidak tahu terima kasih.

"Kau belum pernah bertemu dengannya, asal kau tahu," balasku sambil menyuapkan daging sapiku lagi ke dalam mulut. Dan bagaimana kau bisa memprediksi caranya berlagak?

"Aku cemburu kepadanya, lho, Luna," rengek Yobi. "Aku kan, menyukaimu."

Aku menatapnya sekilas, lalu membuang muka. Sejak kecil, Yobi memang selalu seperti itu dan aku tahu tak ada kata-katanya yang serius. Maksudku yang menjurus ke arah hubungan antar lawan jenis. Dia mengatakannya karena yah, memang dia mau. "Iya, iya. Aku sudah tahu."

"Sudah sepuluh tahun berlalu sejak hari itu. Kapan dia menjemputmu?" tanya Yobi seketika. "Kau membenci kaum atas, kan?"

"Aku tidak tahu," jawabku sedih.

Yobi benar. Seharusnya Nick sudah menyadari bahwa dirinya sudah cukup dewasa jika dibandingkan dengan hari perjanjian waktu itu. Seharusnya Nick segera menemuiku di Downmere sambil menunggangi ikan terbang.

Aku percaya kau tidak seperti kaum Uporania yang lain, Nick. Aku percaya dirimu berbeda. Oh, Nick, sejak hari itu, aku selalu rindu kepadamu.

🌜🌟

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top