Box Anonymous (?)

“Gue rasa bagian paling menyenangkan dari hidup, ya ... saat-saat belum mengenal jatuh cinta dan patah hati. Rasanya, kayak bebas mau melakukan apapun.”

—Piatos.

🌜🌜🌜

“Ciye ... yang dapat surat dari secret admirer.”

“Asyik! Bentar lagi jadian, jangan lupa kasih pajak, ya? Siomay juga nggak apa-apa, kok.”

“Gue penasaran, kira-kira siapa yang ngirim ini. Kelas 8 H. Artinya itu kakak kelas, ‘kan?”

“Weh, anjir! Ditaksir kakak kelas.”

Suara kasak-kusuk itu berhasil mengusik indra pendengaran seorang cewek yang baru saja melekatkan ranselnya di atas meja.

“Apaan, sih?” tanyanya begitu mendekat ke meja paling depan—tempat teman-teman perempuannya berkumpul.

“Ini, loh ... Marina baru aja dapat surat dari Box Anonymous.” Salah satu dari mereka menyahut.

Piatos langsung mengerutkan dahi. Box Anonymous?  Apalagi itu?
Selama satu bulan bersekolah di SMP Diponegoro, baru kali ini dia mendengar tentang hal ini.

“Kotak surat? Maksudnya gimana, sih?” tanya Piatos sekali lagi.

“Jadi, anak mading, tuh punya program namanya Box Anonymous. Kita bisa kirim surat, tanpa ketahuan siapa pengirimnya.” Vaseline berusaha menjelaskan dengan sabar. “Misalnya, nih ... lo lagi naksir salah satu cowok di sekolah ini, terus nggak berani buat ngomong. Lo bisa kirim surat pakai kotak tanpa nama ini. Syaratnya, nggak boleh kasih ciri-ciri, ataupun hal-hal yang merujuk ke identitas si pengirim. Kita cuman boleh kasih clue  dari kelas berapa kita berasal.”

“Yah, nggak asyik dong kalau gitu.”

Vaseline terkekeh pelan. “Justru di situ bagian menariknya. Kita jadi menebak-nebak siapa pengirimnya. Berasa lagi main detektif-detekfan, deh.”

Piatos mengerucutkan bibir. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri—seolah sedang memikirkan makna menarik yang dikatakan oleh Vaseline tadi.

“Lo udah pernah dapat surat begituan emang, Lin?” tanya Pia.

Vaseline mengangguk antusias sambil tersenyum aneh. “Udah, dari pacar gue.”

“Biasa aja, dong mukanya. Najis lihatnya.” Piatos melengos.

Sambil mengusap pangkal hidung, dia melirik Marina yang sedang memeluk surat beramplop biru langit. “Lo udah tahu itu dari siapa, Na?”

Marina menggeleng lesu. “Belum. Gue deg-degan, deh.”

“Ya, kalau dia nembak lo, terima aja.”

“Tapi gue nggak kenal.”

“Tak kenal, maka tak sayang.”

“Gimana kalau dia jelek?”

“Coba dilihat tulisan dia. Biasanya kalau tulisannya rapi, orangnya ganteng atau minimal dia pinter.”

“Ah, masa sih?”

“Biasanya kan gitu.”

Lagi, Piatos menggelengkan kepala. Dia sedikit malas dengan pembahasan mengenai cinta-cintaan semacam ini. Oh, ayolah! Umur mereka masih belasan tahun, dan sudah memikirkan tentang pacar-pacaran? Bukankah, menonton film kartun Spongebob rasanya itu lebih menyenangkan dari sekadar jatuh cinta?

“Heh! Psikologi said; orang-orang yang memiliki tulisan tidak rapi, itu biasanya orang yang cerdas—karena tingkat kecepatan berpikirnya berbeda dengan seseorang yang memiliki kecerdasan standar,” ucap Piatos sembari beranjak dari tempat duduk.

Segerombolan cewek-cewek berisik itu mendadak bungkam, tepat setelah nada sinis yang Piatos katakan.

Sedangkan cewek berambut pendek itu sudah kembali ke tempat duduknya dengan kepala yang disandarkan di meja.
Entah apa yang sedang berkeliaran dalam otaknya, tetapi entah mengapa perasaan Pia mendadak gelisah.

“Ayam kalau ngantuk disembelih. Lo mau gue sembelih?”

Piatos lekas mendongak saat mendengar suara maskulin yang amat-sangat dikenali. Dia menyengir—menampilkan deretan giginya yang tidak rapi.

“Uh, lo lama banget, sih berangkatnya?”

Jasuke tersenyum miring. “Kenapa? Kangen?”

“Najis!”

Cowok berkulit putih itu mengangkat bahu, lalu meletakkan ransel berwarna navy di atas meja. Dia belum berniat untuk duduk, iris keabu-abuan miliknya bergerak menelisik seisi ruang kelas VII D.

Beberapa murid perempuan terlihat sedang bergosip di meja paling depan, dua cowok yang mengenakan seragam cokelat identitas khas SMP Diponegoro terlihat baru saja memasuki ruang kelas, lalu suara tawa mereka terdengar saling bersahutan.
Bising; pengap; dan tak terasa nyaman untuknya.

“Lo nggak gabung sama mereka?” tanya Jasuke setelah keheningan beberapa saat.

“Mereka siapa?” Piatos balik bertanya—masih dengan kepala yang menempel di meja, bahkan kelopak matanya hampir tertutup.

“Anak-anak cewek.”

“Oh, males. Mereka lagi bahas surat rahasia dari Box Anonymous. Gue nggak ngerti, apa esensinya dapat begituan.”

Kali ini mata Piatos benar-benar terpejam—kantuk benar-benar menyergapnya dalam sekejap. Atau bisa jadi, ini berhubungan karena dia adalah tipikal cewek pelor, alias tempel molor.

“Udah gue bilang, ayam kalau ngantuk disembelih. Eh, lo malah molor.” Jasuke menarik-narik rambut pendek Piatos.

“Lo kira gue ayam?!” ketus Piatos masih dengan mata terpejam.

Suara decakan samar terdengar. Jasuke memilih untuk mengambil komik Jepang yang biasa disimpan di laci meja.

Hening.

Senyap.

Dan ... Jasuke merasa tenang. Namun, hanya sesaat sebelum suara cempreng Piatos kembali menelusup ke dalam gendang telinganya.

“Lo pernah dapat surat atau ngirim surat lewat kotak tanpa nama itu?

“Nggak!” Jasuke mengusap lensa kacamatanya menggunakan sapu tangan berwarna merah muda. “Lo aja sana ngirim buat susu Milo!”

“Milo?” tanya Piatos dengan suara pelan. “Oke! Ide bagus, brother!”

🌜🌜🌜

Mencoba untuk update rutin lagi. Happy Reading ♥️♥️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top