Epilogue

.

Sekitarnya samar, hijau. Tangan berhias luka goresan terentang demi menghalau semak belukar. Beberapa kali ia tersandung, menghiraukan telapak kaki yang terbakar, ia terus bergerak. Yang ia tahu adalah ia harus terus berlari demi hidupnya. Hingga, sampailah ia di penghujung jalan yang ditutupi oleh asap pekat. Tangan ramping terulur, lagi-lagi, namanya dipanggil oleh baritone yang sama, "Kagome!"

Kagome terbelalak, ia menyingkap selimut. Peluh membasahi kening dan lehernya. Air mata membanjiri pipinya. Jantungnya berdegup kencang, untuk ke tiga kali di bulan itu, ia mengalami mimpi aneh di dalam tidurnya. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda yang ia dengar, yang malah membuatnya tenggelam dalam kesedihan bahkan setelah ia bangkit dari pembaringan.

Kagome menatap ke sekeliling kamarnya yang temaram, dadanya masih naik turun dengan cepat. Tangan kanannya menyapu rambut yang menempel di wajahnya. Ia melirik jam di atas nakas. Waktu sudah menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit. Masih terlalu pagi untuknya bangun, tapi ia enggan untuk kembali merebahkan badan dan kembali memikirkan bunga tidur aneh yang baru saja ia dapatkan.Oleh karena itu, ia mengganti pakaian dan bersiap untuk lari pagi sedikit lebih awal dibanding biasanya.

Rute yang Kagome lalui pagi itu lebih panjang. Puluhan menit sudah berlalu, gadis itu memutuskan untuk duduk sebentar di taman. Ia memandang cahaya dari puncak pepohonan.  Otaknya sibuk memikirkan pekerjaan, sampai akhirnya, pikirannya kembali mengerucut pada dirinya sendiri. Seraya memandang alam, ia mengingat-ingat dan menyadari bahwa bunga tidur tentang hutan tadi sering kali berulang dan berkesinambungan dengan mimpi yang ia dapat pada malam-malam sebelumnya.

Gadis itu tertawa kecil, menepis segala praduga dan tak ingin terlalu memusingkan hal itu lagi. Ia pun kembali melanjutkan kegiatannya.

.

.

Pagi yang cerah, seperti biasa Kagome makan bersama di satu meja dengan orang-orang yang sangat disayanginya,ibunya, sang kakek, dan Souta, adiknya. Yang dua terakhir sedang sibuk membahas makhluk-makhluk mitologi. Kagome hanya mendengarkan sambil lalu.

"Dahulu kala, dunia dihuni tidak hanya manusia, tapi juga youkai dan hanyou yang diciptakan bersamaan dengan penciptaan manusia. Ketiga Kami yang terlahir saat Izanagi menjalani misogi menciptakan makhluk yang mereka kehendaki. Amaterasu, Dewi Matahari menciptakan manusia yang menguasai siang hari, Tsukuyomi sang Dewa Bulan menciptakan youkai, dan Susanoo sang dewa lautan dan badai menciptakan hanyou, percampuran dari youkai dan manusia."

Souta mengangguk-angguk. Si kakek jadi semangat untuk lanjut menerangkan, "Semua itu terjadi sebelum Susanoo turun dari Takamagahara dan tinggal di dunia. Youkai yang kau kenal dan lihat dari film sangat jauh berbeda dengan aslinya, mereka bukanlah makhluk lemah. Bahkan, ada gulungan yang menggambarkan mereka adalah penguasa wilayah Jepang kuno. Karena pertempuran dan kekacauan yang terus terjadi, maka Amaterasu dan kedua Kami lainnya memutuskan untuk mengubah dunia."

"Apa yang terjadi dengan mereka?" bocah laki-laki itu tak kalah antusias.

"Seluruh youkai dan hanyou menghilang tatkala sebuah permohonan disematkan pada Shikon no Tama. Tidak ada yang tersisa dari mereka. Gulungan kuno mengatakan bahwa kelak mereka akan terlahir kembali sebagai manusia. Karena perubahan besar itulah kita bisa menjalani hidup di dunia yang kita kenal selama ini." Kakek mengangguk khidmat pada ucapannya sendiri. Kemudian, ia menoleh pada cucu perempuannya sebelum mengimbuhkan, "Itu adalah bagian dari kepercayaan kita sebagai penganut ajaran Shinto."

Belum sempat Kagome merespons orang tua dari mendiang ayahnya, sang ibu mengambilkan lalu menaruh beberapa potong tamagoyaki ke mangkuk gadis itu. "Makan ini, Kagome!"

"Hai, terima kasih, Mama, aku akan memakannya," sahut sang putri sambil tersenyum.

"Kau terlihat pucat, tidakkah kau sebaiknya beristirahat hari ini?" kekhawatiran sang ibu tercurah dari suaranya.

Kagome menggelengkan kepalanya, "Tidak, Ma, hari ini akan ada pameran penting. Sebuah koleksi baru peninggalan masa sebelum sengoku jidai akan melengkapi koleksi kami dan aku harus masuk hari ini. Lagi pula, aku hanya sedikit pusing. Tidurku kurang nyenyak semalam."

"Kagome," panggil ibunya lembut, "kita bisa membatalkannya bila kau mau?" tatapan wanita yang telah melahirkannya itu begitu teduh.

Kagome menatap ibunya, ia mengerti yang dimaksud ibunya adalah acara perkenalan dalam perjodohan yang disebut omiai. Gadis yang besar di lingkungan kuil itu menggelengkan kepalanya dengan mantap. "Tidak apa-apa, Mama." Ibu dan anak itu saling bertatapan untuk sesaat.

Hitomi tersenyum lembut, ia mengerti kegelisahan yang dirasakan putrinya. Dia tidak akan mendorong putri kesayangannya untuk hal yang tidak dapat memberikan Kagome kebahagiaan, karena dia adalah orang pertama yang akan bersedih bila ada seseorang atau suatu hal membuat air mata putri kesayangannya itu jatuh.

Seulas senyum terpampang untuk menyakinkan ibunya, sebelum gadis itu lanjut makan. Bagi Kagome, ia tidak ingin mengecewakan kakeknya dan terlebih lagi ia tidak ingin mengecewakan ibunya bila menolak perkenalan itu. Ketiga orang yang makan bersamanya adalah orang-orang yang sangat dicintainya. Selain kesedihan ditinggal pergi sang ayah karena kecelakaan lalu lintas, sejak kecil tidak ada hal pelik yang terjadi di dalam hidupnya. Saat ini, hidup Kagome hampir sempurna. Hampir, bila tidak ada perjodohan yang sebenarnya membuatnya sedikit cemas.

Bukan karena Kagome telah memiliki sosok pria tambatan hati, tapi lebih karena ia tidak pernah memiliki ketertarikan kepada lawan jenis, apalagi sesama jenis. Mungkin itu pulalah yang membuat sang ibu khawatir lalu menerima usul sang kakek tentang omiai untuk Kagome.

Kegundahan yang dirasakan Kagome semakin menebal tatkala waktu yang disepakati kian menipis. Minggu depan ia harus menemui laki-laki itu, anak dari salah satu kenalan sang kakek. Sebuah kata 'perjodohan' pasti akan terdengar mengerikan hampir bagi semua perempuan di zaman modern ini, tak terkecuali bagi Kagome.

Walau begitu, Kagome berhasil meredam kerisauannya itu dengan menegaskan kepada ibu dan kakeknya bahwa pertemuan itu hanyalah sebuah acara untuk saling mengenal, tidak lebih. Tentu, keluarganya setuju. Setelah yakin bahwa tidak ada yang bisa memaksanya untuk melakukan sesuatu bila itu bertentangan dengan kehendaknya, pada akhirnya, ia menyetujui acara pertemuan itu. Walaupun, Kagome sangat sangsi bahwa perkenalan itu dapat berlanjut ke hubungan yang lebih dari sekadar pertemanan.

Terkadang, ia mengira-ngira bagaimana rupa laki-laki itu, kepribadiannya, dan penampilannya. Tapi bayangan Kagome terhapus cepat karena teringat bahwa laki-laki itu adalah anak dari salah satu kenalan kakeknya. Teman-teman sang kakek yang diingat Kagome membuatnya membayangkan kandidat laki-laki yang akan ia temui itu adalah pria konservatif yang berumur lebih dari tiga puluh tahun. Kagome bergidik, ia ngeri membayangkan harus memaksa diri tersenyum di acara pertemuan itu nanti. Eri, Yuka, dan Ayumi pasti akan menjerit mendengar apa yang akan terjadi padanya. Diam-diam Kagome menghela napas berat, kepalanya tertunduk lesu memandang nasi di mangkoknya.

"Hari ini akan sangat sibuk untukmu, Nee-chan?" tanya Souta yang sekarang sudah memasuki sekolah menengah pertama.

Kagome berpikir sejenak sebelum menjawab, "Tidak terlalu sibuk sebenarnya, tapi bolos kerja di hari ini sangat fatal."

"Aku kira kau tidak suka tempat kerjamu seperti kau tidak menyukai cerita-cerita jii-chan."

Kagome dan ibunya tertawa saat sang kakek membela diri, "Hati-hati dengan ucapanmu pria muda, itu bukan hanya sekedar cerita, tapi sebuah sejarah."

Kagome memilih untuk menjawab pertanyaan Souta dan setengah hati mendengarkan ocehan kakeknya. "Aku sangat mencintai pekerjaanku Souta, walau teman-temanku menganggap pekerjaanku itu sangat membosankan tapi menurutku menyenangkan."

"Dengarkan aku pria muda, semua itu benar-benar terjadi di masanya. Dan kalian beruntung, karena leluhur kita termasuk di dalam sejarah itu. Kita memiliki kuil ini secara turun-temurun. Kuil yang banyak menyimpan benda-benda bersejarah lain yang menjadi saksinya atas apa yang pernah terjadi," kakek mereka berdeham sebelum melanjutkan.

"Salah satu yang terbaik yang kita miliki adalah Pedang Murakumo. Pedang berharga keluarga penjaga kuil yang diwariskan dari generasi ke generasi. Nama lain pedang Murakumo adalah pedang Kusanagi. Dengan kata lain, ini adalah harta berharga milik negara yang ada di dalam sejarah Kojiki dan Nihon Shoki. Pedang Murakumo adalah pedang magis yang ditemukan Kami Susanoo di tubuh Yamata no Orochi yang ia bunuh. Dan seperti itulah, ketenaran warisan yang kita miliki. Bahkan satu bulan yang lalu anak seorang pengusaha besar di Jepang menemuiku untuk sekedar melihat pedang Murakumo."

Pria tua itu belum merasa lelah berkisah, ia menarik napas panjang sebelum kembali melanjutkan, "Pedang Murakumo adalah pedang yang hanya ditampilkan beberapa hari di dalam pameran setiap tahunnya. Pedang yang sangat berharga itu ditemukan oleh generasi nenek moyang kita yang terdahulu di dasar sumur tua kuno, ada sebuah gulungan yang menggambarkan kejadian tersebut. Gulungan itu ditemukan bersamaan dengan beberapa gulungan lainnya yang berisikan tentang keberadaan youkai yang lenyap seiring dengan munculnya Shikon no Tama yang terlahir bersamaan dengan seorang hanyou ...," Kakeknya Kagome terus berbicara, pembicaraan itu melebar tentang kekuatan reiki yang para miko miliki zaman dulu itu benar adanya, kertas mantra yang ampuh, dan merembet ke berbagai hal mistis lainnya.

"Kau sebaiknya percaya itu, Nona Muda. Bahkan nama mu sendiri pun diberikan karena keinginan leluhur Higurashi yang masa kecilnya pernah dirawat oleh seorang Dai youkai. Kagome, itulah nama yang diinginkan olehnya bila ada keturunan Higurashi yang berjenis kelamin perempuan." Kakeknya menatap Kagome tajam sebelum mengalihkan pandangannya pada Souta, "Dan kau, Pria Muda, kau bahkan belum mengetahui tentang kakek buyut kita yang menjadi pembasmi para youkai. Kau harus mulai belajar dari sekarang bila ingin menjadi penerusku kelak. "

Souta hampir saja tersedak mendengar kata-kata kakeknya tentang menjadi penerus kuil, ia segera menggeser topik pembicaraan. "Bukankah Shikon no Tama hanyalah cerita yang kita buat agar bola kaca kecil yang menempel pada gantungan kunci yang kita jual itu laku sebagai jimat, ya 'kan, Kek?" serobot Souta.

Si ibu dan Kagome susah payah menahan tawa.

Telinga kakek tua itu sedikit memanas mendengar celetukan cucunya yang paling muda, belum sempat ia menjelaskan lagi panjang lebar tentang barang berharga milik kuil perhatiannya sudah teralihkan oleh perhatian sang menantu.

"Kau harus mencoba ini, Ayah!" Hitomi menyodorkan semangkuk kecil acar lobak kepada mertuanya.

"Hm, lobak ini mengingatkanku~" sang kakek hampir saja memulai sebuah kisah yang lain saat Souta berhasil memotongnya.

"Mama, apa boleh aku minta oden untuk makan malam nanti?" pinta Souta.

Kagome ikut berpendapat, "Ah, itu kesukaanku! Boleh ya Mama?"

"Tentu saja!" balas ibu mereka.

Kagome dan Souta bertukar pandangan jahil sebelum tersenyum lebar melihat tingkah kakek mereka yang jengkel.

.

BSOF

.

Setelah mereka selesai sarapan bersama, semua siap-siap memulai aktivitasnya masing-masing. Sang kakek akan mengurus kuil, ibunya akan sibuk seharian mengurus pekerjaan rumah, Souta berangkat sekolah dan Kagome siap-siap menuju tempat kerjanya. 

Hari ini, Kagome mengenakan kaos tanpa lengan biru muda yang dimasukan kedalam flare skirt sedikit di atas lutut berwarna hitam, senada dengan warna blazer sepanjang siku semi formal yang dikenakannya.

Di usianya yang memasuki 20 tahun ia telah mandiri dan bekerja di Museum Nasional Tokyo, tempat koleksi benda-benda bersejarah dan kekayaan budaya Jepang berkumpul. Sebuah tempat yang wajib di datangi para pelancong yang bertandang ke Jepang. Berbanding terbalik dengan ketidakpercayaannya akan cerita sang kakek tentang mahluk mitologi, mistis, dan semacamnya, Kagome sangat menyukai benda-benda warisan sejarah.

Tak seperti ketiga temannya yang masih bergelut dengan pendidikan, untuk melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi bukanlah sebuah pilihan untuk perekonomian keluarga Kagome yang hanya ditopang dari pendapatan kuil. Untuk saat ini, ia cukup puas dengan gelar diploma satu yang diraihnya.

Meski terdengar kolot, Kagome menyukai pekerjaannya sebagai ahli arsip. Seperti nama pekerjaannya, tugasnya adalah mengurus arsip-arsip museum yang berupa, kertas, foto, dokumen, surat kabar, dan lainnya. Ia juga berhubungan dengan masyarakat untuk menanggapi permintaan penelitian yang diajukan.

Dan hari ini, ia harus membantu mempersiapkan pameran dari koleksi yang baru di datangkan. Dari yang ia ketahui dari arsip yang diurusnya, benda bersejarah berupa pedang itu awalnya koleksi pribadi yang dihibahkan oleh seorang kolektor seni yang tak ingin disebutkan namanya.

.

Kagome telah tiba di gedung yang luas tempatnya bekerja, sebelum ia masuk ke ruangannya, ia selalu menyempatkan diri memandang sebuah lukisan yang dibuat oleh seniman bernama Kobayashi Eitaku pada tahun 1880. Lukisan tua nan indah itu terpajang di lorong, bersandingan dengan beberapa lukisan berharga lainnya.

Goresan menawan itu menggambarkan dua Kami terakhir yang terlahir di Takagamahara (surga yang dihuni para Kami). Keduanya adalah dewa dan dewi yang memulai penciptaan dunia. Izanami no mikoto, dewi penciptaan dan kematian sedang berdiri di atas awan memandang lautan yang berada di bawahnya. Di samping sang dewi, berdirilah sang kakak yang kelak menjadi suaminya, Dewa Izanagi no mikoto.

Menurut Kagome pribadi, kisah kedua Kami yang saling mencinta itu merupakan kisah tragis. Namun, entah mengapa, lukisan itu begitu membuat hatinya tertambat. Di dalam lukisan itu, Izanagi sedang mengayunkan tombak yang dihiasi permata bernama Ame no nuboko, dari tetesan air di ujung tombak tersebut munculah Pulau Onogoro.

Kedua dewa dan dewi itu turun ke Pulau Onogoro, dan menikah setelah keduanya mengelilingi dunia dari arah yang berlawanan. Setelah pengulangan pernikahan karena tata cara yang salah, pada akhirnya, Izanagi melahirkan beberapa Kami dan delapan pulau yang menjadi bagian Jepang hingga saat ini.

Kisah sedih di mulai kala sang Dewi tewas terbakar saat melahirkan dewa api atau Hi no Kagutsuchi. Kemudian, Izanagi yang kesal karena istrinya tewas, dengan tega membunuh Kagu Tsuchi, anaknya sendiri. Sang dewa yang marah itu menyusul sang istri ke dunia bawah atau pulau kematian yang disebut Yomi. Di sana, sang suami mendapati istrinya telah berubah menjadi mengerikan, karena itulah, mereka tercerai-berai selamanya. Karena berpisah dengan sang istri yang amat dicintainya, Izanagi larut dalam duka yang mendalam.

Dari tangisan dan harapan sang Kami Izanagi itulah terlahir ketiga Kami baru. Ketiga Kami itu adalah Amaterasu sang dewa matahari, Susanoo sang dewa lautan dan badai yang terkadang juga disebut dewa angin, dan Tsukuyomi, sang dewa bulan. Ketiga kami yang paling banyak disembah saat ini.

Miris, itulah yang dirasakan oleh Kagome. Sebuah tragedi melahirkan dunia yang baru, dunia indah yang dikenalnya saat ini terbentuk oleh tangis dan harapan, kesedihan dan kebahagiaan. Perlambang dari yin dan yang. Keduanya akan terus beriringan, saling melengkapi dan akan selalu bersenandung selama bumi masih berputar.

Setelah berselang beberapa menit lamanya, lamunan Kagome terhenti, ia melanjutkan langkah menuju ruangannya.

.

Bagi satu-satunya keturunan perempuan dari keluarga Higurashi itu, hari Selasa sebagai hari pertama pameran dari koleksi yang baru datang berlangsung amat cepat. Kagome berjalan menyusuri lorong di gedung utama museum. Ia melirik jam di pergelangan tangannya, waktu telah menunjukkan pukul 16:45. Lima belas menit lagi waktunya museum untuk tutup.

Kagome berniat untuk langsung pulang, tapi kakinya seakan mempunyai keinginan sendiri. Langkah yang tak dikuasainya itu membawa Kagome memasuki gedung Hyokeikan, tempat benda bersejarah yang baru itu dipamerkan selama satu bulan ini.

Derap langkahnya bergema di ruangan yang minim suara, mata Kagome langsung tertuju ke tengah ruangan. Di dalam sana hanya tersisa beberapa orang yang sedang memandangi beberapa foto dokumentasi dari benda bersejarah yang sedang dipamerkan pada tiap sisi ruangan.

Koleksi terbaru milik museum itu berada di tengah ruangan, di dalam sebuah kotak besar yang diseluruh sisinya terbuat dari kaca yang cukup tinggi hingga hampir menyamai tinggi tubuhnya. Kaki Kagome semakin lambat melangkah, jantungnya berdentam tak karuan saat ia semakin mendekati kotak kaca itu. Kagome tahu dari arsip yang diurusnya bahwa benda bersejarah itu sebuah pedang, tapi dia sama sekali tidak menyangka akan apa yang dilihat olehnya saat itu.

Kagome terkesiap, terpana, dan terbelalak. Kakinya terus maju hingga tubuhnya hampir menempel di kaca. Kedua tangannya telah terangkat untuk menyentuh, tapi urung. Benda yang disinari cahaya lampu kekuningan itu seakan memanggilnya, menggiringnya kembali pada mimpinya tadi pagi. Hutan yang ia lihat bagai hadir di depan  mata, potongan-potongan bunga tidur yang telah lampau dan terlupakan kembali terangkai dan membentuk adegan yang membekas di relung hati.

Ia bagai membatu di tempatnya berdiri dan tidak kuasa memalingkan pandangannya dari benda itu. Ia membeku beberapa waktu, tanpa gadis itu sadari, air matanya telah menetes begitu saja.

Peringatan penutupan museum yang menelusup di setiap ruangan melalui speaker telah menariknya dari keterpakuan. Kagome mengerjapkan mata, lantas berlekas mengelap pipinya yang basah. Ia berjalan cepat, heran, dan tak percaya oleh apa yang telah terjadi. Dia seperti tidak mempunyai kendali atas tubuh, otak, dan hatinya.

Sepanjang perjalanan yang ditempuhnya dengan kendaraan umum menuju rumah, ia tepekur. Kepalanya pening saat berusaha mencari jawaban atas yang terjadi. Untuk meraih jawaban saat itu sama saja berusaha memenuhi botol hingga tak ada celah yang tersisa dengan puluhan dadu, sangat mustahil.

.

Lima hari telah berlalu sejak itu, dan Kagome tak pernah lagi mengunjungi pameran terbaru itu lagi. Hari itu adalah hari libur Kagome. Dan di Minggu siang itu acara pertemuan itu akan berlangsung. Sejak pagi hingga ia mempersiapkan diri, berkali-kali Kagome menghela napas. Kagome dibantu ibunya mengenakan furisode yang terbuat dari sutra. Kimono berwarna merah muda yang bagian tepi dan lengan yang memanjangnya itu di hiasi oleh taburan bunga berwarna ungu, kuning, dan merah. Pakaian itu adalah hadiah dari ibunya saat seijin no hi beberapa bulan lalu, perayaan menuju kedewasaan seorang anak.

Kagome mematut diri di cermin, obi berwarna cokelat tua sudah melilit pinggang rampingnya, bentuk tubuhnya telah tertutup. Ia duduk di depan meja rias, ia mengaplikasikan make-up selagi sang ibu menata rambutnya. Wajah cantiknya sudah dilapisi pelembab ringan yang cocok untuk musim semi seperti saat ini. Kelopak matanya sudah dihiasi eyeshadow berwarna champagne. Begitu pun bulu matanya yang sudah lentik dan panjang hanya dilapisi tipis maskara. Alis naturalnya hanya disikat dengan maskara bening. Kagome mengaplikasikan perona pipi berbentuk krim di pipinya agar memberikan efek dewy alami. Sentuhan terakhir, ia mengoleskan lipstick berwarna natural pink di bibirnya. Secara keseluruhan, penampilan Kagome terlihat lembut, segar, dan manis.

"Kagome," Hitomi meragu sejenak. Yang dipanggil meoleh, lalu memandang ibunya dengan pandangan bertanya. "Apakah kau ...," ibunya belum menyelesaikan kalimat saat Kagome menjawab.

"Aku baik-baik saja, Mama," seraya tersenyum.

"Apakah kau yakin tidak ingin melihat surat pengantar untuk melihat foto pria yang akan kau temui terlebih dahulu?" saran sang ibu.

Selama ini Kagome menolak melihat foto beserta surat pengantar yang berisi dokumen tentang profil pribadi penting yang dipersiapkan oleh kandidat laki-laki, informasi dasar seperti tanggal lahir, pekerjaan, hobi, hingga hal tambahan seperti ia anak ke berapa. Ia tidak memiliki masalah bila sang kandidat menilainya dari surat pengantar, tapi ia tidak ingin menilai seseorang dari profilnya sebelum bertemu dengan orangnya langsung.

Kagome hampir tertawa saat dia berpikir bahwa ia, gadis modern yang keras kepala akan mengikuti perjodohan seperti yang dilakukan oleh keluarga para samurai di abad ke-16. Pada zaman itu, para orang tua perempuan menawarkan anak perempuan mereka kepada kandidat laki-laki yang terpandang agar dapat mempertahankan status dan nama keluarga.

Sebersit pikiran melintas dibenak Kagome, menawarkan anak perempuan? "Mama, apakah kau atau jii-chan yang mengajukan perjodohan ini?" Ia akan sangat marah bila itu benar, Kagome tidak ingin ditawarkan kepada laki-laki mana pun!

Tangan wanita berambut ombak yang sedang menata rambut Kagome terhenti, ia menatap putrinya dari cermin, "Tidak," jawabnya mantap. "Bukan aku maupun jii-chan," suaranya menenangkan, dengan itu ia melanjutkan menata rambut sang anak.

Kagome tidak punya alasan untuk tidak mempercayai ibunya, tapi jawaban itu tidak sepenuhnya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang langsung bermunculan. Bila bukan ibu atau kakeknya yang mengatur, lalu siapa? Dari apa yang diucapkan ibunya tadi pagi hanya akan ada empat orang yang hadir dalam perkenalan itu, dia, ibunya, kandidat laki-laki, beserta satu orang tuanya. Tidak disebutkan adanya kehadiran nakoda (perantara) seperti seharusnya ada dalam sebuah perjodohan.

Baru saja pertanyaan baru tercetus di benak gadis itu saat sang ibu mendeklarasikan, "Kau sudah siap sekarang!" Mata Hitomi berbinar melihat hasil karyanya, "Bagaimana menurutmu?"

Kagome menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk melihat bagian belakangnya. Rambutnya digelung rapi, poni masih membingkai wajahnya, beberapa jumput rambut dibiarkan tersisa di sisi muka untuk memberikan kesan natural.

"Aku menyukainya," ungkapnya jujur. "Terima kasih, Mama!"

"Kau tumbuh menjadi gadis yang cantik, Kagome!" puji ibunya sambil memandang sang anak dengan rasa haru.

"Mama ... " kata itu tak berlanjut.

Di waktu yang bertepatan, suara Souta terdengar setelah bunyi ketukan di pintu, "Mama, Nee-chan, taksinya sudah menunggu di bawah"

"Kau sudah siap, Kagome?" yang ditanya hanya mengangguk.

.

Dentaman di dadanya menguat saat Kagome dan ibunya memasuki lobi sebuah hotel terkemuka tempat pertemuan itu diadakan. Mereka langsung menuju ke private dining room sebuah hotel di Shinjuku. Ruangan itu cukup besar, dihiasi lampu dengan sinar kekuningan. Di tengah-tengah ruangan terdapat satu meja makan besar bulat dengan perlengkapan makan lengkap dan empat kursi yang mengapit.

Satu bagian dinding ruangan itu dilapisi wallpaper hitam dengan bunga keemasan dan merah, dinding lain di hiasi cermin besar dan sebuah lukisan. Di sudut ruangan terdapat sofa memanjang tergeletak bersamaan dan di sudut dinding yang berseberangan sebuah kursi dan meja oval kecil untuk minum teh tersedia. Secara keseluruhan ruangan itu terkesan lembut nan tenang, sangat eksklusif.

Saat Kagome dan ibunya memasuki ruangan ia disambut dengan seorang wanita cantik memakai tomesode (kimono resmi yang dikenakan wanita yang telah menikah) berwarna hitam dengan tebaran bunga dengan warna merah keemasan di bagian bawahnya. Wanita itu berdiri, membalikkan tubuh untuk menyambut kedatangan Kagome dan ibunya dengan senyum ramah. Dua kata yang tepat menggambarkan wanita itu adalah cantik dan anggun. Rambut silvernya di gelung rapi, lipstik merahnya semakin mempercantik senyum di wajahnya yang seakan tanpa cela.

Kagome membungkuk dalam untuk memberi hormat kepada wanita anggun itu. Laki-laki bersetelan jas abu-abu tua yang duduk membelakangi mereka kini juga berdiri dan membungkuk kepada ia dan ibunya, belum sempat Kagome mengangkat wajah, ia kembali memberi hormat. Saat ia menegakkan tubuh, ibunya sudah menggiringnya untuk duduk. Kagome masih tertunduk, belum sempat melihat wajah sang kandidat.

Tak lama setelah mereka duduk dengan nyaman. Ibu mereka saling memperkenalkan diri dan anaknya. Kagome memberanikan diri untuk mengangkat wajah saat nama pria itu disebut, "Sesshoumaru Taisho."

Untuk pertama kalinya, sorot mata mereka bertemu, keduanya bertatapan lekat. Perasaan deja vu menyapu kedua insan yang dipertemukan. Air muka tampan namun datar, rambut panjang keperakan membuat dada Kagome bergemuruh. Napasnya tercekik tatkala iris keemasan yang hangat itu seakan memercikkan sesuatu ke dalam jiwanya

'Apa yang telah kau berikan di hidupku tidak akan pernah dapat kulupakan, sangat berarti hingga tidak mungkin kuabaikan,' suara parau penuh duka seorang wanita menghantarkan rasa sedih yang tak terperi. Kalimat itu membawa efek yang besar bagi Kagome, hatinya seakan terpilin, pedih. Kagome menunduk dalam hingga poni menutupi matanya. Detik berlalu, menit berselang, tanpa sadar waktu berjalan Kagome tetap seperti itu. Kesedihan menggenangi safir kelabunya. Lara menghantam kuat tanpa ia tahu sebabnya.

Tak lama, suara sang ibu yang meminta persetetujuan menyadarkannya. "-ya 'kan, Kagome?"

Entah apa yang diutarakan ibunya Kagome hanya mengiyakan. "Hai, Mama!" ia mengangguk sambil tersenyum canggung.

Sesshoumaru tidak sedetik pun mengalihkan pandangan dari wanita yang sudah sebulan ini dipikirkannya. Keindahan permata biru keabu-abuan dan paras itu bagai menghantui hari-harinya. Entah apa sebabnya,  dirinya seakan terdesak oleh perasaan untuk melakukan sesuatu agar dapat menemui gadis itu kembali.

Sebuah pernikahan yang beberapa bulan terakhir ini dianjurkan sang ibu menjadi cara untuk menemui gadis itu lagi. Karena itulah, Sesshoumaru mengusulkan untuk melakukan pertemuan pertama dalam omiai dengan gadis yang dipilihnya.

Gadis yang ada di depannya, bagai menariknya kembali ke dalam sebuah mimpi di malam-malam yang telah dilaluinya. Kedua pancaran manik itu seakan meluluhkan hatinya, wajah gadis itu dengan cara yang aneh dapat menghangatkan jiwanya yang selama ini terasa hampa. Seshoumaru merasa aneh. Sungguh, ia tidak mengerti. Perasaan yang dirasakannya kuat, namun ganjil. Gadis itu bagai telah lama dikenalnya, hanya senapas jauh dari dirinya, sangat dekat, laksana nyawa.

Para orang tua bercakap-cakap ringan, tanpa diketahui ketiga wanita di sekelilingnya Sesshoumaru meneliti gerak-gerik gadis di hadapannya. Sedangkan Kagome, hanya terdiam seperti yang seharusnya sebagaimana adat yang mengikat para perempuan dalam omiai, ia hanya menjawab ketika ditanya.

Setelah perbincangan singkat yang menyenangkan antara ibu Sesshoumaru dan Hitomi, mereka berempat makan siang dengan menu terbaik yang disajikan. Obrolan ringan terus mengalir setelahnya. Sepanjang waktu yang berlalu, keduanya bergelut dengan perasaan tak masuk akal yang mereka rasakan, baik itu Sesshoumaru maupun Kagome.

Mereka ditinggalkan berdua pada akhir pertemuan, ibu Kagome dan Sesshoumaru pulang lebih dulu. Setelah pertemuan dengan orang tua, biasanya calon pasangan akan pergi ke suatu tempat untuk dapat memulai obrolan ringan. Kini, tinggalah keduanya di ruangan itu dengan sedikit canggung, mereka duduk di sudut sofa yang berseberangan. Kagome meremas jari-jarinya karena gugup, ia memaku pandangannya pada lukisan bangau yang tidak terlalu menarik di dinding.

Sesshoumaru berdiri, "Ayo," ajaknya seraya mengulurkan tangan.

Hanya satu kata, baritone Sesshoumaru mencapai daun telinganya. Seketika, Kagome merinding.

Mereka bertatapan, birunya langit beradu dengan senja nan menawan. Kagome meraih uluran tangan itu, lalu bangkit. Saat tangan yang hangat itu digenggam, inti jiwanya menjerit. Kini, tidak hanya perasaannya yang tidak masuk akal tapi juga tingkahnya. Tanpa sadar, ia mengutarakan kalimat yang pernah ia impikan,  "Kau menemukanku ... "

Alis Sesshoumaru sedikit berkerut, "Hn?"

Kagome mengerjapkan mata, ia kebingungan, air mukanya memerah. "Ah, tidak, maksudku, terima kasih," ia memaksa diri tersenyum demi menutupi kecanggungannya.

Sesshoumaru mendengar jelas walau kata-kata itu lirih terucap, tapi ia memilih untuk tidak menanyakannya selain tujuan mereka. "Ke mana kau ingin pergi?" tanyanya dengan sopan.

"Ke taman akan sangat menyenangkan," sahut Kagome dengan sopan.

.

.

Musim semi telah berganti menjadi awal musim panas. Semuanya berlangsung sangat cepat. Seminggu setelah pertemuan pertama, Sesshoumaru dan Kagome yang tertarik satu sama lain kembali bertemu tanpa didampingi kedua orang tua seperti sebelumnya. Kedua orang tua Sesshoumaru tidak mau berlama-lama menunggu, tiga bulan kemudian mereka melangsungkan pernikahan.

Dan saat ini mereka berada di salah satu rumah peristirahatan milik keluarga Taisho di wilayah Tohoku yang berada di Utara Pulau Honshu. Sebuah wilayah yang terkenal dengan alam yang penuh warna, festival-festival yang semarak di musim panas yang singkat dan keramahan masyarakat yang tulus. Rumah peristirahatan tempat Sesshoumaru dan Kagome menghabiskan masa bulan madu mereka itu dikelilingi oleh alam, pohon yang berjejalan dalam hutan lebat di bagian belakang rumah, gemericik air di sungai yang berada tak jauh dari sana seakan melengkapi keindahan pemandangan yang didominasi warna hijau yang menentramkan.

Cahaya hangat sang surya menerobos masuk dari sela-sela gorden putih penutup pintu geser menuju balkon yang seluruhnya terbuat dari kaca. Kagome terbangun dari tidur lelapnya, ia yang tidur miring lalu membalikkan badan hingga terlentang. Kasur itu bergoyang saat ia beringsut mendekat pada pasangannya, ia memeluk lengan kiri Sesshoumaru. Mereka memang menikah melalui jalur perjodohan, tapi mereka tetaplah hidup di zaman modern, keduanya tidak canggung untuk menunjukkan rasa sayang.

Kagome terpesona memandang wajah suaminya yang masih terlelap. Seperti ibunya, rupa eloknya hampir tanpa cela. Ia tersenyum memandang salah satu keindahan yang Kami-sama ciptakan. Mata Kagome menelusuri mata yang terpejam, alis yang membingkai. Pandangannya turun ke bentuk hidung Sesshoumaru dan bibirnya yang proporsional. Kagome mengusir beberapa helai rambut yang bertengger di pipi kiri Sesshoumaru.

Pada saat itulah, ia menyadari ada dua garis meruncing sangat samar di pipi suaminya. Garis yang hanya terlihat dari jarak yang sangat dekat itu seakan berada di bawah lapisan kulitnya. Kedua garis itu memang berwarna sama seperti urat nadi, tapi garis itu terlalu lebar bila dibandingkan dengan urat nadi. Apa yang dilihat Kagome hanya membuatnya terpana. Ia memeluk lengan suaminya lagi kemudian mengecup bahu Sesshoumaru. Tak disangka, tindakannya itu langsung dibalas oleh sebuah kecupan di puncak kepala Kagome.

Ia mengangkat kepalanya agar dapat memandang suaminya, "Kau sudah bangun?" bukan pertanyaan.

"Hn," hanya itulah respons yang diberikan. Sesshoumaru menatap safir abu-abu itu dalam-dalam sebelum mendekatkan wajahnya kepada wajah istrinya.

Tangan besar Sesshoumaru berada di kepala Kagome, menuntutnya dengan lembut untuk mendekat. Bibir mereka saling bersentuhan, bertaut dengan sepenuh hati. Sebuah ciuman yang dalam, manis, dan penuh perasaan yang jauh lebih baik daripada ucapan selamat pagi dalam bahasa apapun jua.

Ciuman berakhir, mereka sedikit berjauhan hanya agar dapat memandang satu sama lain dengan baik. Sorot mata Sesshoumaru yang lembut hanya mengingatkan Kagome sorot ganas yang dipancarkan oleh suaminya saat peraduan cinta mereka tadi malam. Panas menyebar di pipi Kagome hingga ke leher dan telinganya, ia menunduk. Sudut-sudut bibir Sesshoumaru terangkat ke atas melihat rona di wajah istrinya, dengan mudah ia dapat menerka apa yang dipikirkan pasangannya.

"Kagome," panggilnya.

"Hm?" baru saja Kagome mendongak, Sesshoumaru sudah melayangkan kecupan di bibirnya.

Kagome semakin tersipu setelah Sesshoumaru menarik diri, ia membenamkan wajah di lekuk leher suaminya. Tangan kiri Kagome memeluk dada bidang suaminya, dan tangan kanan Sesshoumaru memeluk lengan kiri pasangannya. Beberapa lama waktu berlalu dalam kesunyian yang menyenangkan. Tangan kanan Sesshoumaru bergerak lembut naik turun membelai lengan Kagome.

Kagome tidak pernah menyangka takdir dengan cepat membawanya pada posisi saat ini, madu. Ia tidak pernah mengira akan menikah di umurnya yang baru kepala dua. Terlebih lagi ia tidak pernah menduga bahwa calon suaminya adalah Sesshoumaru, seorang pengusaha muda yang memiliki paras rupawan. Diluar itu semua, yang sangat disyukuri oleh Kagome dari Sesshoumaru adalah sifatnya yang tenang dan penyayang.

Sifatnya itu tidak diucapkan tapi tersirat dari perbuatan Sesshoumaru. Selain dari perbuatan, Kagome juga mengagumi warna netra suaminya. Emas itu selalu menghantarkannya pada perasaan aman dan nyaman. Karena itulah, terkadang Kagome tidak dapat berhenti berpikir apakah mereka pernah bertemu sebelumnya?

"Ano, Sesshoumaru," Kagome ragu saat melanjutkan pertanyaannya, "Aku tahu aku pernah menanyakan ini sebelumnya, tapi ... "

"Katakanlah!" perintah suaminya, tangan Sesshoumaru meremas pelan lengan kiri Kagome sebelum kembali mengusap lembut.

Kagome membalikkan badannya hingga telungkup, dengan kedua siku ia menumpu tubuhnya yang setengah telanjang. "Sejujurnya, terkadang," kedua alis Kagome bertemu di tengah kala mencari kata yang tepat untuk melisankan pikirannya selama ini, "Aku hanya merasa aneh, itu saja. Kau terasa sangat familiar bagiku."

Pandangan Sesshoumaru tidak lepas dari air muka istrinya, hal-hal kecil seperti bibirnya yang sedikit berkerut saat Kagome berpikir keras seperti saat ini sudah membuatnya terpukau, walau itu tidak ditunjukkannya baik ucapan.

"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" baik suara dan ekspresi menunjukkan keseriusan Kagome. "Jangan hanya menjawab 'mungkin' seperti di pertemuan pertama kita dulu," nada gadis itu sedikit mendesak.

Sejenak Sesshoumaru menimbang-nimbang, "Kau tidak menyadari keberadaanku saat pertemuan pertama kita?"

Kagome menggigit bibir bawahnya sejenak, "Rasanya tidak masuk akal bila aku tidak menyadari kehadiranmu," Sosok sepertimu akan dengan mudah membuat orang lain berpaling, rambut silver yang panjang, dan tampang yang tidak akan mudah dilupakan seseorang.

"Aku pernah datang berkunjung ke kuil keluargamu untuk berusaha membeli pedang Murakumo," Sesshoumaru meneliti raut wajah istrinya.

"Oh, jadi kau yang dibicarakan kakek waktu itu," ucap Kagome lebih kepada dirinya sendiri.

"Hn,"

Kagome yang mengerucutkan bibirnya sebelum menyahut, "tapi aku tidak melihatmu saat itu."

"Kau sedang sibuk memberikan jimat kepada para pengunjung yang datang."

Sebuah pemikiran terbersit di kepala Kagome. "Apakah setelah itu kau dan kakek ... " lagi-lagi ia ragu, "membicarakan omiai?" Saat persiapan pernikahan, ia tahu bahwa pihak Sesshoumarulah yang mengajukan perkenalan, fakta itu sendiri sesungguhnya sukar tuk dipercaya.

"Tidak ada pembicaraan omiai saat itu," jawab Sesshoumaru dengan lugas "Tidak setelah pertemuan kedua."

Bodoh! Kagome mengutuk dirinya sendiri. "Tentu saja tidak mungkin ya kan?" Ia tertawa kecil, sebelum jawaban Sesshoumaru membuat pikiran lain muncul di benaknya "Pertemuan kedua?" tanyanya heran.

Pria itu tahu, istrinya terkadang tak ubahnya seorang anak kecil yang tidak akan puas bila seluruh pertanyaan yang bergelimang di otaknya belum terjawab. Karena itu, Sesshoumaru memilih untuk memberi apa yang diinginkan pasangannya, ia menjawab dengan suara datarnya, "Kedua kali aku melihatmu saat menemani ayah menyerahkan pedang yang akan dipamerkan di museum."

Semenjak itu, Sesshoumaru seakan haus untuk mengenalnya, ia sekarat untuk menemuinya lagi. Kagome seakan menyita seluruh pikirannya sepanjang waktu. Tidak pernah ia menaruh atensi pada wanita melebihi ketertarikannya kepada Kagome. Ia paham, interes yang dirasakannya begitu ganjil dan tidak dapat dijabarkan oleh kata-kata. Namun, ia tak bisa meredam rasa itu begitu saja.

Renungan pria itu terpotong oleh balasan istrinya, "Pedang? Maksudmu pedang misterius yang hingga saat ini tak diketahui sejarahnya itu?"

Sesshoumaru menggangguk kecil, tangannya mengusir beberapa helai rambut yang menghiasi wajah Kagome. "Apakah kau tidak ingin tahu saat ketiga kalinya aku tak sengaja melihatmu?" Ia tidak akan pernah melupakan saat itu, mendung menggelayuti wajah manis gadis itu, manik kirana itu tergenang oleh air mata. Dorongan untuk merengkuh dan menenangkan Kagome begitu mendesak. Lagi-lagi, ia tak mengerti apa yang kala itu terjadi.

Selaras dengan suaminya, sekejap, Kagome pun tenggelam di dalam lamunan. Ia memikirkan pedang yang dilihatnya pada saat itu. Pedang itu tertancap di sebuah batu yang cukup besar, bilah yang terlihat masih sangat mengkilat, tidak ada karat atau semacamnya. Kali pertama ia melihatnya beberapa bulan yang lalu pedang misterius itu seakan merasukinya, mengambil alih kemampuan untuk mengontrol tubuhnya ketika ia melayangkan pandangan.

Akan tetapi, yang paling menganggu pikirannya adalah apa yang ada pada genggaman pedang tersebut. Sebuah pahatan batu yang menyerupai potongan tangan manusia. Lengan itu sedikit di atas siku, dua buah garis yang melancip di ujungnya terlihat jelas di pergelangan tangan, jari-jari tangan itu mempunyai kuku panjang yang meruncing bagai cakar.

Bila itu patung, maka patung batu berbentuk lengan itu ciptaan terbaik manusia dalam seni pembuatan patung batu. Sangat mustahil membuat patung batu semulus itu pada jaman sengoku jidai. Belum lagi bukti yang dapat terlihat di pedang itu, jelas itu adalah peningalan kuno sebelum masa sengoku jidai, tapi bila bukan? Tidak ada jawaban yang cocok selain dengan yang kerap kali diutarakan kakeknya. Bahwa, ratusan tahun lalu pernah ada makhluk hidup selain manusia. Namun, jawaban itu tidak termasuk pilihan jawaban yang ingin Kagome percayai. Ia menggelengkan kepala, menepis ide tersebut.

"Jika kau tertarik, chichihue menemukan pedang itu tidak jauh dari sini."

"Benarkah?" nada Kagome naik satu tingkat. "Bisakah kita ke sana nanti?" matanya bersinar dengan keriangan.

Mau tak mau Sesshoumaru tertular oleh semangat pasangannya, "Kau ingin membatalkan perjalanan kita ke Maruyama kuno?" Sesshoumaru bertanya balik.

"Itu bisa menunggu," nada Kagome sedikit manja.

Sesshoumaru menatap pasangannya, "Benda-benda bersejarah itu selalu membuatmu bergairah, ya 'kan?"

Panas mulai merambat ke pipi Kagome, "Berhenti menggodaku!" ia berpura-pura merengut.

"Kau terlalu menarik untuk tidak digoda," berbanding terbalik dengan intonasi dinginnya, mata Sesshoumaru menjelajah ke bawah leher Kagome.

Menyadari tatapan suaminya, Kagome berusaha mengalihkan perhatian, "Apa yang kau inginkan untuk sarapan?"

Tanpa berpikir panjang Sesshoumaru menjawab, "Kau!" tangan kanannya membelai sisi kepala Kagome dengan lembut.

Gadis itu mengacuhkan jawaban suaminya, "Aku akan membantu obaa-chan menyiapkan sarapan."

Kagome mengeluarkan suara memekik yang imut saat dia hendak bangun dari kasur, tapi kedua lengan Sesshoumaru sudah melingkari tubuhnya. Sekarang Kagome setengah telungkup di atas dada Sesshoumaru. "Tetaplah disini!" bisik Sesshoumaru.

Seluruh rambut kecil di sekujur tubuh Kagome berdiri untuk alasan yang lain selain takut pastinya. Kagome tahu maksud pasangannya, karena itu dengan sengaja ia mengacuhkan permintaan suaminya. Bukan karena ia tidak mau, hanya saja ada kebutuhan manusiawi lain yang cukup mendesak yang akan menghancurkan waktu bermesraan dengan suaminya bila ia tidak segera bangkit dari kasur dan pergi ke kamar mandi. Kagome balik bertanya, "Apakah tubuhku berat?" tanya Kagome jenaka.

"Tidak, sedikit menekan, tapi tidak terlalu berat," jawab pria berumur 25 tahun itu.

"Tekanan, hm ... " gumam Kagome sebelum mulai mengoceh panjang lebar berusaha mengalihkan pikiran pasangannya, "Tahukah kau bahwa tekananlah dasar dari keseimbangan galaksi, begitu pun dengan pasang surut laut, air yang mengalir, angin yang berembus, mekanika seluruh sendi tubuh manusia, mulut yang berbunyi, dan banyak lagi." Kagome mengikik kecil saat melihat kedua alis Sesshoumaru berkumpul di tengah.

Dari semua racauan istrinya hanya dua contoh terakhirlah yang tersangkut di kepala Sesshoumaru, alisnya berkerut saat mekanika seluruh sendi tubuh dalam bentuk gerakan sensual istrinya terbayang dan bunyi lenguhan seksi dari mulut Kagome saat bercinta membuatnya hasratnya kian bangkit.

Sorot mata Sesshoumaru kini menusuk dengan gairah. Satu tangannya meraih belakang kepala Kagome lalu menariknya untuk memulai sebuah ciuman panas di pagi hari. Bibir mereka bertautan, lebih dalam, dan panas dibandingkan dengan yang sebelumnya. Ciuman Sesshoumaru itu dihiasi dengan gigitan.

Kagome menarik diri, ia terengah-engah memasukkan udara ke paru-parunya. Kagome tersenyum kikuk dibawah tatapan suaminya yang tajam, "Tidakkah kau lapar?" tanyanya.

Tangan Sesshoumaru menyibak ke belakang rambut Kagome yang terurai di kedua sisi kepalanya kemudian ia menangkup wajah istrinya. "Lapar yang kurasakan tidak akan pernah dapat terpuaskan," ujarnya sungguh-sungguh.

Tak pelak lagi, kata-kata Sesshoumaru membuat wajah Kagome memerah hingga ke leher dan kupingnya. "Sesshoumaru~" panggil Kagome dengan nada manja.

Sesshoumaru menggeram. Nada seperti itu tak ubahnya sebuah tombol turn on untuk melambungkan nafsunya. Kedua tangan Sesshoumaru bergerak turun ke punggung, terus ke bawah, lalu terhenti di pinggang sang istri.

"Aku minta waktu sebentar," dengan itu Kagome bergegas lari ke kamar mandi.

Sesshoumaru yang jengkel hanya menghela napas lalu bangkit dari tidurnya untuk duduk di pinggir ranjang. Kagome keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan selembar handuk putih, ia meneliti suaminya yang duduk di pinggir ranjang. Tubuhnya bidang, tidak terlalu kekar tapi terlihat kokoh. Rambut silver panjangnya terurai indah membingkai rambut dan bahunya yang tegap. Dan yang paling membuat Kagome susah menelan ludah adalah hanya ujung selimut putih tipis yang menutupi bagian pribadi suaminya. Dengan ragu-ragu Kagome berjalan mendekat.

Tidak ada model laki-laki yang berpose hampir vulgar di majalah cosmopolitan milik Yuka yang dibacanya dapat mengalahkan apa yang sekarang Sesshoumaru tampilkan. Tidak pernah ia mengira ketakutan ibunya dari keanehan yang dimilikinya dapat membawa dirinya kepada situasi seperti ini, mimpi manis. Bila saja ia tertarik kepada cinta sedari dulu mungkin ibunya tidak akan menerima anjuran sang kakek agar ia mengikuti omiai dan ia tidak akan bertemu dengan Sesshoumaru.

Lamunan Kagome buyar ketika Sesshoumaru melewatinya saat ia sudah berdiri dekat ranjang, kali ini ia yang ditinggal pergi ke kamar mandi. Apakah ia marah? Tanya Kagome dalam hati. Ia menggaruk pipinya yang tidak gatal, ia menggelengkan kepalanya tuk mengusir prasangka. Bila suaminya marah, ia akan mencari cara nanti agar Sesshoumaru mau memaafkannya.

Kagome mengeluarkan beberapa potong pakaian dari lemari yang akan ia kenakan hari ini, lalu disampirkannya di sofa. Walau sudah masuk musim panas tetap saja cuaca di Tohoku terlalu dingin di pagi hari, Kagome memutuskan untuk mandi setelah sarapan. Baru saja ia mengenakan sepasang pakaian dalam berenda yang berwarna hitam ketika sebuah tangan besar melilit perutnya dari belakang.

Kagome terkesiap saat tubuh besar Sesshoumaru yang hangat sudah memenjarakannya. "Apa yang kau lakukan?" bisiknya di telinga Kagome.

Susah payah Kagome melawan rasa tergelitik untuk menjawab suaminya, "Bersiap-siap," jawabnya dengan mata terpejam. "Kita akan ke tempat yang kau janjikan setelah sarapan, kan?" imbuhnya.

Dengan tangan yang bebas Sesshoumaru mengusir rambut Kagome ke satu sisi bahunya agar ia bebas menyerang leher pasangannya itu dengan kecupan dan gigitan kecil. "Itu bisa menunggu!"

Tangan Sesshoumaru berpindah, dengan mudah ia melepaskan kaitan di punggung Kagome yang membelenggu kedua bukit indah pasangannya. Kagome bergidik, saat satu tangan Sesshoumaru menyusuri tepi celananya dan yang lain membelai punggungnya dengan lembut dari leher hingga ke pinggangnya dengan gerakan yang teramat sangat ... pelan.

.

.

.

"Apakah masih jauh?" tanya Kagome.

Sekarang, mereka telah jauh dari jalan awal yang mereka telusuri, jalan yang berlika-liku di sepanjang ngarai yang sungainya sebening kristal telah jauh di belakang mereka. Kagome, Sesshoumaru dan Tsukiyomi semakin dalam menyusuri hutan lebat di bagian kecil Aomori. Walau ia dengan senang hati melahap keindahan alam yang dilukiskan sang pencipta, tetap saja kakinya mulai menjerit walau ia mengenakan sepatu lari yang nyaman.

"Sebentar lagi kita akan sampai, Nak" jawab Tsukiyomi. Wanita tua ramah yang memimpin perjalanan mereka di hutan itulah yang sudah bertahun-tahun mengurus rumah peristirahatan milik keluarga Taisho di Tohoku.

Kagome mengeluarkan sebuah botol air mineral dari dalam tas ransel kecilnya, dengan segera cairan itu mendinginkan kerongkongannya yang panas karena telah berjalan jauh. Dengan punggung tangan ia mengelap peluh di keningnya. "Obaa-chan, apakah kau tidak lelah?" tanya Kagome, langkahnya terhenti.

"Jangan khawatirkan aku," jawabnya ramah. "Aku malah akan sakit bila tidak banyak bergerak," wanita renta itu tersenyum tulus kepada Kagome.

Sesshoumaru pun menghentikan langkahnya sebelum menoleh. "Apakah kau lelah?" tanyanya pada sang istri.

Ransel berisi onigirazu, handuk kecil, dan kamera ia tumpukan di atas kedua kakinya. Kagome membuka jaket, lalu mengikatkannya di pinggang. T-shirt putih yang ia kenakan mulai lembab oleh keringat setelah berjalan setengah jam lamanya. "Hanya sedikit," sahutnya ceria sambil menjulurkan botol yang digenggamnya pada suaminya.

Sesshoumaru meraih botol itu, "Sebentar lagi kita akan sampai," dengan tangan lainnya ia menggandeng tangan istrinya.

Panas menyebar di wajah Kagome saat tangan besar yang hangat itu menuntunnya. Tanpa ada kata lagi yang keluar ia mengikuti langkah Sesshoumaru. Jalan yang mereka lewati terlihat sama saja bagi Kagome, tapi Tsukiyomi yang tak jauh di depan mereka berjalan dengan mantap menyusuri hutan tanpa jalan setapak, terlihat sangat mudah bagai menyeret jari diatas garis telapak tangannya sendiri. Lagi-lagi, nenek itu membuat Kagome kagum.

"Ano, apakah ini masih termasuk tanah yang ayahmu miliki?" Kagome menoleh ke kanan dan ke kiri, hutan luas seakan tak berbatas.

"Hn."

Ia mendongak, pepohonan tinggi menjulang seperti hendak meraih kaki langit. "Apa yang akan ia lakukan dengan tanah yang sangat luas seperti ini?"

"Pada awalnya chichihue akan membangun sebuah hotel di sini. Ia sangat menyukai rumah peristirahatan yang kita tempati saat ini, dan ingin orang lain juga menikmati keindahan alam yang sangat ia kagumi" kalimatnya terhenti, ia menunggu pertanyaan lain dari Kagome. Karena tidak ada pertanyaan lain yang dilontarkan kepadanya, ia melanjutkan, "Rencananya, hotel itu akan menjadi hotel yang menjanjikan bagian hutan yang belum terjamah dan pemandangan indah dari sudut lain Danau Towada," sambungnya.

Kagome mengangguk kecil.

"Karena penemuan pedang itu, pembangunan dibatalkan," Sesshoumaru menjelaskan dengan sabar.

"Lalu, bagaimana kalian bisa menemukan pedang itu?" Kagome hampir saja terjatuh lantaran kakinya tersangkut oleh akar pohon yang menonjol dari tanah.

Sesshoumaru melayangkan tatapan yang seakan bertanya 'apakah kau tidak apa-apa?' menjawab itu Kagome berkata, "Aku akan lebih berhati-hati lagi," janjinya ditutup dengan senyuman.

Sesshoumaru memperkecil langkah agar sang istri dapat mengimbanginya. "Tanpa sengaja, saat ayah dan orang-orangnya menyusuri lahan yang akan dibangun," Sesshoumaru meremas tangan istrinya. "Di sana!" ia menunjuk deretan pohon bambu yang berjejer rapat dengan daun rindang dari bagian bawah hingga atas pohon.

Pohon-pohon beech besar digantikan oleh ratusan batang pohon bambu yang berderet di hadapannya. Pohon-pohon bambu yang berjejer itu akan sukar dilewati bila tidak ada tali tambang tebal di deretan tengah yang mengikat beberapa pohon bambu hingga membentuk celah yang dapat dilewati oleh mereka. Kagome pernah melihat tempat ini, dari arsip yang diurus olehnya. Tempat mereka menemukan pedang misterius itu. Tsukiyomi sudah lebih dulu melewati celah itu. Dengan semangat yang berkobar, kini ia yang menarik tangan Sesshoumaru.

"Ayo!" ajaknya antusias.

Matahari tepat di tengah kepala tapi hanya sedikit sinar matahari yang dapat menyinari tanah karena daun yang lebat di bagian atas menghalangi. Berbeda dengan jejeran pohon bambu yang menyerupai pagar yang pertama mereka temui tadi, hutan bambu tempat Kagome berada saat ini renggang, dedaunan hanya lebat dibagian atas, tapi kosong di bagian bawah. Dan itu memudahkan mereka berjalan di antara pohon-pohon ramping itu.

Hanya beberapa puluh meter dari tempat mereka masuk tadi, mereka telah sampai di tempat pedang itu ditemukan. Sebuah area tidak terlalu besar itu kosong dari pohon bambu, hanya ada cekungan cukup besar di tanah bekas batu yang tertancap pedang itu berasal. Selain lubang di tanah itu, tidak ada hal lain yang dapat ia lihat. Kagome duduk sembarang di tanah, ia bersyukur mengenakan celana cropped jeans berwarna abu-abu tua bukannya rok pendek seperti yang biasa ia kenakan.

Pandangannya terpaku pada tanah coak yang terlihat biasa saja. "Apakah waktu itu hanya pedang itu yang ditemukan? Maksudku, tidakkah kalian menemukan sarungnya? Bila ada pedang pasti ada sarung, ya 'kan?"

"Tidak," jawab suaminya cepat.

Kagome kembali larut dalam renungannya, "Mungkinkah ada di sekitar sini?"

"Chichihue pun berpikiran sama, tapi tidak ada yang lain yang ditemukan."

"Terima kasih, Nak" Tsukiyomi duduk di samping Kagome, ia meraih botol air mineral yang ditawarkan anggota baru keluarga Taisho itu.

"Sayang sekali, ya," gumam Kagome.

"Sejujurnya, sampai sekarang aku tidak habis pikir, mengapa pedang itu baru ditemukan sekarang?" Tsukiyomi bagai berbicara kepada dirinya sendiri.

"Benar, juga," Kagome tertegun.

Sesshoumaru diam tapi mendengarkan, ia pun berpendapat seperti Kagome. Bagaimana mungkin penduduk desa sekitar tidak lebih dulu menemukan pedang itu, bila dilihat dari Tsukiyomi yang sangat mengenal seluk-beluk hutan yang ditelusurinya, Sesshoumaru yakin ada satu-dua penduduk lain yang sepertinya.

Wanita tua itu berkomentar, "Menurutku, pedang itu seakan tidak ingin ditemukan sejak dulu" ia terhenti sejenak, memindahkan cairan yang berada di botol ke dalam kerongkongannya yang terasa kering. "Mungkin masih banyak peninggalan sejarah yang tersembunyi di daerah ini. Hanya saja, mungkin itu tidak ditakdirkan untuk ditemukan kita, manusia."

Sesshoumaru dan Kagome menyimak baik-baik ucapan wanita bijak itu.

Tsukiyomi mengelap sudut mulutnya dengan lengan haori-nya. "Tidak banyak yang tau bahwa tak jauh dari sini terdapat tempat yang akan menolak kedatangan manusia," imbuhnya.

Kalimat terakhir yang diucapkan oleh nenek itu membuat rasa penasaran Kagome kembali mencuat, "Apa maksudmu dengan tempat yang menolak kedatangan manusia, Baa-chan?"

"Di ujung jalan ini akan ada sebuah deretan pohon bambu besar, siapa pun yang melewatinya akan kembali ke sisi ngarai di pembukaan hutan yang kita lewati tadi," jeda sejenak, "Tidak ada yang pernah berhasil melewatinya dan menemukan apa yang ada di dalam sana."

Kagome menoleh kepada wanita tua yang duduk di sebelahnya, mata Tsukiyomi menerawang jauh ke depan.

Kagome tambah berapi-api, "Benarkah, Obaa-chan?" Setelah mendapat anggukan, gadis itu berkata lantang, "Aku ingin melihatnya," Kagome menoleh kepada Sesshoumaru, "Bolehkah?" pintanya. Sesshoumaru mengangguk, Kagome hampir saja memekik senang, tapi batal saat Tsukiyomi dengan susah payah mencoba berdiri dari tanah.

"Ayo, Nak, kuantar kau ke sana," ajak wanita ramah itu.

"Kau sebaiknya istirahat dulu, Baa-chan," kekhawatiran melingkupi raut wajah Kagome.

"Aku tidak apa-apa."

"Apakah kau yakin?" tanya Sesshoumaru.

"Ya, Tuan muda" jawab wanita yang seumuran dengan kakek Kagome itu tanpa ragu.

"Lagi pula, jika tempat itu menolakku seperti biasanya, itu akan menjadi jalan pintasku untuk pulang," nenek tua itu sumringah atas idenya sendiri.

"Baa-chan, benar!" Kagome menepukkan tangan kanannya yang terkepal ke telapak tangan kirinya yang terbuka. "Yosh, semangat!"

Sebuah anggukan dari anak pertama keluarga Taisho menjadi tanda untuk melanjutkan perjalanan mereka. Semakin dalam ketiganya menembus masuk ke hutan bambu, cahaya yang menyinari jalan mereka semakin sedikit. Suasana suram yang merundung dan semangat yang menggebu-gebu membuat detak jantung Kagome bertambah cepat. Setelah berjalan beberapa belas menit lamanya suara Tsukiyomi memecah keheningan.

"Kita telah tiba!"

Di hadapan mereka berderet pepohonan bambu yang besar-besar bagai pagar hidup tinggi, tua, namun kokoh dan terkesan pongah. Pohon-pohon bambu itu dihiasi dedaunan rimbun dari bawah hingga atas. Tidak ada celah yang terlihat sekilas pandang. Buih-buih rasa penasaran berubah menjadi riak, perasaan dahaga akan keingintahuan semakin membuncah di dalam diri Kagome dan Sesshoumaru. Wanita tua nan bijak itu berpaling untuk memandang pasangan muda di belakangnya.

Mengerti akan arti tatapan sang pemandu Kagome dan Sesshoumaru bertukar pandang. Kagome mempertontonkan lengkung manis bibirnya, "Ayo!" ajaknya.

Dengan itu, Tsukiyomi menyibak dedaunan lebat di celah yang memungkinkan dilewati di antara kedua pohon bambu dengan batang terbesar. Satu kakinya melangkah masuk sebelum disusul yang lain, dedaunan yang rimbun kembali ke tengah celah sehingga menutupi pandangan Kagome dan Sesshoumaru akan keberadaan sosok wanita tua yang memandu mereka. Tanpa ragu, Kagome menggenggam tangan Sesshoumaru sebelum mengikuti jejak Tsukiyomi.

Pengantin baru itu memejamkan mata kala menerobos dedaunan lebat itu. Kagome membuka mata setelah berhasil melewati celah yang katanya magis itu. Sedetik kemudian, sang suami menyusulnya. Keduanya membatu di tempat. Sesshoumaru dan Kagome sontak tercengang. Tidak ada Tsukiyomi sejauh mata memandang, padahal, mereka hanya terpaut beberapa detik di belakangnya.

Di hadapan mereka sebuah padang rumput yang dibentengi oleh deretan pohon bambu yang rapat. Tidak ada celah sama sekali. Dengan kata lain, tidak  ada jalan lain untuk keluar selain yang mereka lewati tadi.

Takut dan ganjil adalah perasaan yang mereka berdua mereka rasakan saat itu. Jantung yang berdetak seakan melewati batas maksimal. Di luar semua pikiran negatif, Kagome melangkah perlahan. Ia seakan tertarik mendekat ke tengah-tengah tanah lapang itu, tempat di mana sebuah onggokan batu besar berada. Sesshoumaru tidak pernah melepaskan genggamannya pada sang istri, ia senantiasa menjaga Kagome.

Di lain pihak, semakin Kagome mendekat, semakin napasnya tercekat. Yang dilihatnya bukanlah batu biasa, tapi patung batu. Lututnya terasa lemas oleh semua keanehan yang tiba-tiba terjadi. Susah payah gadis itu menelan ludah tatkala ia mencermati patung batu yang hanya beberapa langkah darinya.

Patung batu itu persis seperti yang menempel pada pedang misterius yang ditemukan oleh ayah Sesshoumaru, terlihat sangat halus, dan terukir dengan detail yang menakjubkan. Haori, hakama, dua pedang asli yang tersampir di obi terbentuk dengan sangat indah.

Pandangan Kagome bergerak naik, sangat mudah untuk melihat dua sosok yang terpahat. Sesosok laki-laki berlutut memeluk wanita yang memejamkan mata. Di samping wanita itu, tergeletak sebuah pedang yang panjangnya melebihi pedang rata-rata. Kagome berlutut di samping patung itu, ia dapat dengan jelas melihat garis muka keduanya.

Rasanya, ia pernah melihat wajah itu. Raut wajah yang dipenuhi dengan penderitaan yang mendalam, seketika, ia merasa sedih. Napasnya tak beraturan. Bahkan dengan mata terbuka, ia mampu melihat potongan mimpi kelam yang akhir-akhir ini menghiasi malamnya.

Lutut Kagome tak lagi mampu menopang berat tubuhnya. Ia terjatuh dan duduk di atas hamparan rumput. Mengikuti nalurinya, gadis itu mengangkat tangan untuk menyentuh wajah patung yang terpejam.

Saat tangannya bersentuhan itulah ingatan-ingatan akan kehidupannya di masa lalu merasuki sel-sel kelabunya. Ibunya yang seorang miko, pertemuannya dengan Sesshoumaru, Rin, Jaken, ibu Sesshoumaru. Dan, harapannya pada Shikon no Tama akan dunia yang baru tanpa perbedaan antara youkai, hanyou, dan manusia.

Sesshoumaru mendekati Kagome yang berlutut. Tak pelak, ia pun terpana oleh apa yang terhampar. Perasaan janggal kembali menyelimutinya. Rasa pedih yang menyengat hati tak dapat ditolaknya. Dadanya seakan berat oleh rasa yang tidak tertahankan. Keheranan Sesshoumaru buyar ketika pasangannya mengeluarkan bunyi tarikan napas yang kuat. Tiba-tiba, Kagome membungkuk, kedua tangan berada di atas tanah, tubuhnya berguncang hebat. Sang istri menangis sejadi-jadinya.

"Kagome!" kepanikan terselip dari suara Sesshoumaru.

Kagome terkesiap saat Sesshoumaru menyentuh lembut bahunya. Saat gadis itu menoleh, ia memanggil nama suaminya berkali-kali. Ia menangkup wajah suaminya, "Sesshoumaru ... " Air matanya masih berderai, tapi ia tersenyum lega di sela isak tangisnya.

Sesshoumaru khawatir melihat perubahan sikap drastis pasangannya, "Apakah kau tidak apa-apa?"

Kagome memeluknya dengan erat, saking kuatnya sampai terasa menyakitkan bagi pria itu. "Ini kau! Benar-benar kau!" tangan Kagome mencengkeram baju di punggung Sesshoumaru. "Kita bersama lagi!" suara Kagome serak oleh tangis yang lantang, dia sesengukan, "Kami-sama memberikan kesempatan kedua kepada kita!"

Sesshoumaru menggenggam kedua lengan Kagome, lalu menariknya menjauh agar ia dapat melihat wajah istrinya yang basah oleh air mata. "Ada yang tidak beres dengan tempat ini. Ayo, kita harus segera pulang!" serunya, Sesshoumaru sudah menarik tangan Kagome untuk pergi, tapi Kagome menolak.

"Tunggu!" raut wajah Kagome berubah sedih. "Sesshoumaru, apakah kau tidak mengingatnya?" kekecewaan yang tertera tak mampu disembunyikan gadis itu.

Sesshoumaru tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Kagome, yang ia tahu, istrinya seakan hilang akal setelah ia memasuki tempat aneh ini. "Kagome ... " kedua alis Sesshoumaru terpaut di tengah.

"Kumohon!" nadanya putus asa, bibirnya bergetar saat kesedihan menyeruak di dada Kagome.

Sesshoumaru meremas lembut tangan Kagome, sorot mata yang diberikannya prihatin. Kagome tahu apa artinya itu, hanya dia yang mengingatnya. Dia berpikir keras mengapa hanya ia yang mengingat semua itu. Jawaban muncul saat ia menunduk dan melihat dirinya dan Sesshoumaru yang membatu.

"Kumohon, sentuhlah!" mata Kagome beralih ke patung batu itu. "Setelah itu, aku bersedia pulang denganmu."

Rahang Sesshoumaru mengeras, entah mengapa ia tidak menyukai apa yang saat ini dirasakannya. Kebimbangan yang hebat. Pada akhirnya, ia mengikuti kemauan pasangannya. Ia menyentuh bahu patung pria itu. Apa yang dirasakan Kagome pun dirasakan olehnya. Dia tersapu oleh gelombang ingatan kehidupannya yang lampau.

Setiap napas di hidupnya yang hampa sebelum pertemuan mereka, gelora hidupnya yang berwarna setelah kehadiran Kagome, dan bagaimana ia merana karena kepergian kekasihnya. Semua ingatan indah itu bercampur menjadi satu dengan kehidupannya yang sekarang, keduanya sangat jelas. Sekuat mungkin Sesshoumaru menahan gejolak yang menyengat hingga matanya terasa perih.

Segenap rasa cinta, pun, seluruh kesedihan kala terpisah di masa lampau sungguh terang di benak mereka. Yang keduanya lupakan secara spesifik adalah tragedi yang menjadi penyebab kematian orang tua mereka dan fakta bahwa di kehidupan lampau mereka adalah kakak-beradik.

Kedua insan itu saling pandang, sarat makna, berat oleh perasaaan.

Gemuruh perasaan tak lagi terbendung. "Kagome ... " suara Sesshoumaru bergetar.

Kagome terdiam, menunggu dengan penuh harap.

"Seperti yang kukatakan," suara baritone-nya berat oleh luapan emosi, "Aku akan selalu menemukanmu ... "

Dengan itu, Kagome menghambur kedalam pelukan Sesshoumaru. Tidak ada sesal dengan hidup yang dimiliki Sesshoumaru saat ini, menjadi manusia hanyalah anugerah baginya bila itu dapat membawanya kembali pada wanita yang dicintai sepenuh hati.

Mereka saling merengkuh dengan erat bagai nyawa mereka bergantung pada pelukan itu. "Kau menemukanku. Mulai saat ini, selamanya, kita akan selalu bersama!" Kagome tertawa dalam tangisnya.

Semua ingatan terekam jelas. Namun, tidak ada setetes pun angkara dan nestapa dari kehidupan lama yang tersisa mampu mencemari hati. Hanya rasa dahaga akan cinta yang mereka miliki pada masa lalulah yang bertahan sampai sekarang.

Saat ini, tidak ada lagi perbedaan yang menyakitkan saat bintang mempertemukan. Mereka tidak lagi terjerat dalam hubungan yang terlarang. 

Mimpi-mimpi yang mereka miliki tidak lagi berbenturan dengan dunia yang kelam, cinta yang mereka miliki tak lagi bertabrakan dengan dendam. 

Kini, Sesshoumaru dan Kagome hanya akan terikat oleh benang merah takdir manis kehidupan. Mereka akan menjalani sisa hidup dalam kebahagiaan dan kedamaian.

~FIN~

.

Mohon maaf untuk segala kekurangan dan terima kasih banyak untuk semuanya!

06/06/2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top