Disclaimer: I don't own Inuyasha, I'm just renting them from Rumiko Takahashi, Viz, etc. I will make no money from this fic, I write for my own enjoyment and the enjoyment of my readers.
****
**
*
Dengan sangat perlahan, Kagome menjejak dahan pohon agar tidak ada suara derit yang keluar. Tubuhnya merapat ke batang pohon, teramat berhati-hati, ia melongokkan kepalanya. Youkai dengan lambang bulan di dahi yang sudah dua kali ditemuinya itu berjarak dua ratus meter di depannya, sedang berjalan dengan santai. Kagome sangsi pria itu tidak mengetahui akan kehadirannya. Tetapi, bila sosok yang diikutinya itu mengetahui keberadaannya, mengapa dia diam saja?
Tiga hari telah berlalu sejak terakhir pertemuan mereka, terakhir kali mereka bertemu, laki-laki berwajah dingin itu memaksanya mencium tanah. Tidak ada kejadian yang dapat diduga oleh Kagome bila bertemu dengan sang siluman pongah. Kali pertama bertemu, pria itu menyelamatkannya, menghidupkannya kembali lebih tepatnya. Pertemuan kedua, youkai itu menghinanya dan menyerangnya dengan setengah hati. Sesungguhnya, cercaan yang diterima Kagome bukanlah hal yang baru untuknya. Sama kebalnya dia dengan terpaan hujan, seperti itulah segala perkataan buruk tentang seorang hanyou bagi gadis itu. Ia tak terpengaruh.
Lalu, apa yang membuat Kagome menahan diri dan tak lantas menghampiri buruannya? Jawabannya adalah rasa penasaran.
Sampai saat ini, dia tidak mengerti sama sekali mengapa youkai itu menolongnya? Dan jika pria itu memang Penguasa Wilayah Barat, apa yang dilakukannya di daerah Selatan? Melihat gerak-geriknya, sepertinya pria itu sedang mencari sesuatu. Apa yang sedang dicarinya? Dan, yang paling membuat Kagome penasaran, siapa nama pria itu? Sebab, dari yang ia dengar, Penguasa Wilayah Barat telah wafat dan meninggalkan tahta pada anak semata wayangnya.
Untuk sesaat, demi menjaga jarak, Kagome membiarkan youkai itu hilang dari pandangannya. Kemudian, tanpa menimbulkan suara, hanyou itu melompat lagi ke pohon lain di depannya agar bisa melihat targetnya dengan jelas. Dia melongokkan kepalanya lagi, di saat yang sama, youkai itu menghentikan langkah kaki. Kagome menarik diri sehingga dia terhalang oleh batang pohon. Keheningan yang terbentang membuatnya terpaku di tempat. Adrenalinnya meningkat, detak jantungnya berdetak lebih kencang.
Kagome tersenyum, ia menyukai momen itu. Perasaan kala itu membuatnya merasa hidup, semua ketegangan yang dirasakannya akan ketidakpastian yang terjadi. Aral rintang nan berat yang menghadang dinanti-nantikannya. Ia tak sabar kembali merasakan kenikmatan yang meluap setelah berhasil menaklukan tantangan. Setidaknya, dengan itu dia bisa merasakan sesuatu selain kesedihan di hidupnya yang hampa.
.
.
.
Dengan jelas, Sesshoumaru bisa mencium bau penguntitnya yang khas. Di antara aroma dedaunan yang hampir membusuk di tanah, kayu yang lembab karena hujan semalam, harum alami gadis itu mengalahkan semua keunikan hutan di sekelilingnya. Wangi gadis itulah yang pertama kali menarik perhatiannya saat dia bertarung dengan Kuroichi. Harum yang tengah menjadi titik fokusnya itu kini tertiup semilir angin. Sesshoumaru dapat memperkirakan, jarak si pemilik aroma tersebut hanya berjarak seratus kaki di belakangnya. Ada keantusiasan yang besar tercium dari gadis itu. Tidak salah lagi.
Mata putra Inu no Taisho itu memicing. 'Apa yang ia tunggu? Apa yang hanyou itu harapkan?'
Sesshoumaru berhenti, tanpa menolehkan kepala, "Keluar!" perintahnya. Volumenya medium, tapi dia tahu suaranya cukup keras untuk terdengar oleh pendengaran seorang hanyou.
Kagome melompat turun dari sebuah pohon besar ratusan meter di belakang Sesshoumaru. Senyum nakal terpasang di wajahnya. "Akhirnya kau menyuruhku keluar, aku pegal mengikutimu sambil bersembunyi di pohon." Gadis itu menghela napas, menepuk-nepuk kimono biru lusuhnya yang terhiasi oleh ranting kecil dan daun layu yang menempel.
Sesshoumaru menatap sosok yang muncul tanpa setitik emosi.
"Aku tahu kalau kau sudah tahu aku buntuti lebih dari satu jam yang lalu," Kagome bersungut-sungut.
"Kau begitu ingin mati?" tanya Sesshoumaru dengan suara yang dingin menusuk.
Kagome berdekah setengah hati, "Sepertinya begitu, ya?" tawanya terhenti, "mungkin," imbuhnya serius.
Sesshoumaru lanjut berjalan, berusaha tak menghiraukan tapi hanyou itu tetap saja mengikuti.
"Hei, apa sih yang kamu cari?" Kagome penasaran, sekalipun yang ditanya tidak mengindahkan, lagi-lagi ia membuka mulut, "Hei, aku bertanya padamu!" nadanya jengkel.
"Aku tidak punya waktu untukmu, Hanyou!" suara baritone yang dalam milik Sesshoumaru terdengar.
Kata terakhir yang diucapkan oleh pria itu membuat Kagome menggertakan giginya. Sejenak kemudian, amarah itu berhasil ditekan olehnya. "Siapa namamu?" tanya Kagome polos. Namun, yang ditanya tiada mengacuhkannya.
Sesshoumaru terus berjalan, pandangannya tertuju ke sebuah makam tanpa nama yang ditandai oleh sebuah batu besar. Kepala pria itu mendongak, dia tenggelam di dalam pikirannya. Sesshoumaru berhenti, batu yang menjadi penanda makam diamatinya baik-baik. Untuk yang kesekian kali, ia membaca dua kata kanji yang terukir di atas batu tersebut.
Dua kata itu sama seperti petunjuk yang ia dapat dari siluman sepuh yang menempa pedang sang leluhur; Minami dan Antatchaburu, yang berarti sebuah tempat aman yang bahkan tak tersentuh cahaya matahari dan tak terjangkau oleh hembusan angin di suatu tempat di wilayah Selatan.
Tidak diragukan lagi, batu itu adalah petunjuk keberadaan senjata yang diidamkannya.
Kendati demikian, dengan jelas Sesshoumaru mengingat bahwa, bertahun-tahun yang lalu__karena suatu urusan yang tak berkaitan dengan pencarian pedang__makam itu pernah dilewatinya. Namun, pada waktu itu, hasilnya nihil. Tidak ada sedikitpun reaksi yang muncul dari Tenseiga yang menandakan bahwa pedang yang selama ini dicarinya sudah sangat dekat.
Tidak seperti sekarang!
Tenseiga mulai bergetar, semakin Sesshoumaru berjalan masuk ke hutan, getarannya semakin hebat. Getaran dan detak Tenseiga sama kuatnya ketika pedang itu meminta digunakan untuk menghidupkan kembali hanyou yang pertama kali ditemui oleh Sesshoumaru.
Sesshoumaru menggenggam pegangan Tenseiga, "Diamlah!" titah Sesshomaru tegas.
Alis Kagome berkerut, "Hei, aku tidak sedang berbicara!" nadanya meninggi.
Sesshoumaru melirik gadis itu melalui bahunya dan berkata, "Bukan kepadamu, aku berbicara dengan Tenseiga."
Seakan ditarik oleh suatu kekuatan tak kasat mata, pedang itu hampir terlepas dari obi Sesshoumaru. Tanpa membuang tempo, Sesshoumaru mengikuti arah yang ditunjuk oleh senjata itu.
Kagome semakin tidak mengerti. Tenseiga? Siapa atau apa itu Tenseiga? Dari kejauhan, Kagome bisa mencium bau air dan mendengar gemericiknya. Perhatian hanyou berwajah manis itu sempat teralih sesaat sebelum kembali ke tempat lawan bicaranya berdiri. Mata perempuan muda itu melebar kala ia menyadari pria itu sudah lenyap dalam satu kerjapan mata.
"Hei, setidaknya jawab pertanyaanku dulu!" gadis itu menggerutu selagi memacu kaki hingga sampai batas maksimal kecepatannya.
Jauh di atas hutan, Sesshoumaru melesat menjadi bola cahaya putih kebiruan, tak terkejar walau untuk Kagome yang seorang hanyou. Walau gadis itu sudah lari secepat yang kakinya bisa, tetap saja dia tertinggal, dia kehilangan jejak pria itu. Bahkan baunya pun seperti hilang ditelan angin.
Setelah beberapa menit lamanya, Kagome berhenti di depan sebuah air terjun kecil, asal suara gemericik air yang tadi dia dengar.
Napas putri Kikyou itu terengah-engah. "Sial!" dia mengelap kening dengan punggung tangannya. "Dia menghilang lagi," gumamnya. Di hadapannya, batu-batu raksasa yang lebih besar dari tubuh Kagome bertebaran di tepi sungai. Padang rumput yang dihiasi beberapa jenis bunga yang tengah bermekaran menjadi pembatas antara hulu sungai dan hutan.
Air terjun dihadapan gadis itu tingginya tak kurang dari seratus meter, suara deburan deras air jatuh membentur batu-batu besar begitu nyaring tetapi berirama di telinganya. Buih-buih berkumpul di tempat jatuhnya air tersebut, membuat air terjun itu bagaikan mengambang di atas awan putih besar.
Untuk melepas penat, Kagome duduk di atas sebuah batu besar, agak jauh dari air terjun. Matanya tertumbuk pada aliran air sungai nan jernih. Dia mencelupkan kakinya yang lelah ke air yang segar, dingin memberi rasa nyaman di kulitnya. Segarnya air sungai itu membuatnya ingin berendam tapi, hal itu urung ia lakukan. Dengan satu target yang auranya tidak terdeteksi dan kemungkinan besar masih ada di sekitar, ia tidak dapat menurunkan kewaspadaan begitu saja. Tentu saja, ia tidak akan terjerumus di kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.
Baru saja Kagome menyadari aura dan bau dari keberadaan youkai lain saat suara geram seseorang terdengar.
"Nikmatilah pemandangan terakhirmu, Wanita Jalang!" bersamaan dengan itu, muncullah laki-laki yang tidak dikenalnya.
Kagome menoleh dan mendapati sekelebatan bergerak dengan cepat ke arahnya, pedang sudah diayunkan, jika saja ia tidak menghindar di detik terakhir, tubuhnya pasti sudah tertebas. Pedang itu membelah batu besar yang tadi di dudukinya menjadi dua bagian. Laki-laki itu melancarkan serangan lain dan Kagome pun menjauh.
Kagome berlari mundur secara zig-zag agar terhindar dari hunusan pedang. "Siapa kamu?" tanyanya sengit, "setidaknya perkenalkan namamu terlebih dahulu sebelum menyerang orang lain!"
"Kau tidak pantas untuk diberi penghormatan seperti itu, Pelacur!" laki-laki itu berlari, berusaha memberi serangan dari jauh. Sayangnya, kali itu pun usahanya tidak menemukan hasil.
Setelah beberapa waktu, akhirnya Kagome dapat melihat si penyerang dengan lebih saksama. Pemuda itu memakai suikan berwarna hijau dan hakama berwarna abu-abu terbuat dari sutra seperti yang para Penguasa Wilayah kenakan, lengkap dengan pelindung dada dan bahu terbuat dari besi. Hanya dengan sekali pandang, penyerangnya itu dapat dipastikan youkai dari golongan atas. Terlepas dari apa yang dikenakan, wajah laki-laki muda berambut silver sebatas kuping itu terasa sangat familiar. Kagome mengingat-ingat, sepertinya dia pernah melihat bentuk hidung, rahang dan mulut yang sama baru-baru ini.
Youkai muda itu menatap lurus Kagome dengan tatapan menghina. "Beraninya kau membunuh ayahku!" nadanya muak, tangannya terkepal. Napasnya memburu, tatapan mata pemuda itu dipenuhi dengan nafsu membunuh.
"Ayahmu?" Kagome menimbang-nimbang, garis wajah itu mirip dengan lawan terakhirnya. "Kuroichi?" tanyanya.
"Jangan pernah kau sebut namanya dengan mulut hinamu itu, Sundal!" bentaknya. Kemudian, pemuda itupun kembali menyerang dengan membabi buta.
Youkai yang menyerang Kagome masih tergolong remaja, cara bertarungnya masih kikuk, cenderung mengikuti teori. Di setiap serangan, gerakannya mudah ditebak karena emosi menguasai. Dahaga untuk membalaskan dendam harus segera teredam walaupun itu tidak bisa membawa kembali dia yang telah pergi. Pikiran itu menohok Kagome. Melalui lawan yang tengah berusaha membunuhnya, hanyou itu seakan-akan melihat dirinya sendiri. Persis seperti dirinya, anak Kuroichi yang ada di hadapannya ini pun hanyalah sebuah pengulangan.
Mereka hanyalah bagian dari sebuah pola terkutuk. Terjebak dalam lingkaran setan, mata untuk mata, dendam untuk dendam, sebuah nyawa dibayar nyawa!
Rantai memilukan yang tidak akan ada habisnya. Akan selalu ada yang tersakiti, darah tertumpah, dan tetes air mata yang menjelma menjadi sungai kesengsaraan yang tiada berujung. Hanya iba yang dirasakan Kagome untuk lawannya, karena youkai muda ini telah terseret paksa ke dalam lingkaran yang tiada akhir, oleh dirinya!
Iba yang memenuhi dada Kagome dengan segera menghilang sesaat setelah pedang sang lawan berhasil menggores pipi, membuat darah mengalir dari luka sayat horizontal di wajah cantiknya. Kenyataan pahit menarik Kagome kembali dunia sempurna yang didirikan oleh rasa iba juga kasih sayang. Tidak ada tempat bagi makhluk lemah di kulit terluar bumi ini, tidak ada waktu untuk mengasihani lawan bila nyawa adalah taruhan!
"Berhenti!" perintah Kagome, dia melompat mundur. "Jangan paksa aku untuk melawanmu!" kata-katanya setengah memohon setengah memerintah, tapi youkai itu terus menyerang tanpa memedulikan perkataannya.
Kagome hanya bisa menghindar, dia agak kewalahan tanpa adanya pedang untuk melawan. Tapi jika lawannya adalah anak Kuroichi, dia pasti mudah dikalahkan pikir gadis itu. Tidak ada jurus yang dialirkan youki yang keluar dari pedang penyerangnya, itu berarti, anak Kuroichi masih belum bisa mengalirkan youki ke pedangnya untuk menyerang musuh.
'Dia lemah', pikir Kagome.
Youkai itu terus menyerang sang hanyou. Pada satu kesempatan, Kagome berhasil menangkap tangan kanan anak Kuroichi yang memegang pedang, menarik tangan kanannya, lalu memuntirnya hingga pedang itu terjatuh. Kagome menendang pedang itu, pedang itu melesat jauh lalu jatuh di semak-semak yang rimbun di pembukaan hutan. Putra Kuroichi menggeram dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuhnya.
"Aku sudah memperingatkanmu, jangan paksa aku untuk membunuhmu. Kau bukan tipe laki-laki yang ingin aku bunuh!" ujar Kagome dingin, sambil melotot kepada youkai remaja yang tak diketahui namanya itu.
Geraman marah keluar dari laki-laki muda itu, "Beraninya makhluk menjijikkan sepertimu membuat beliau mati dengan tidak terhormat, mati di tangan seorang wanita!" Putra mendiang sang Penguasa Wilayah Timur itu melompat dan mengarahkan pukulan dan tendangannya ke arah incarannya, tapi meleset karena Kagome berhasil menghindar dengan mudahnya. "Terlebih lagi dia mati ditangan pelacur memuakkan sepertimu!" Napasnya memburu, dia berlari untuk kembali menyerang.
"Benarkah mati di tangan wanita tidak terhormat? Apakah kau juga merasa sangat terhina telah dilahirkan oleh seorang wanita, hah?" Kagome berbicara sambil sibuk menghindar dari serangan lain yang dilayangkan oleh lawannya.
Setelah belasan menit lamanya, tak ada serangan yang melumpuhkan, mereka berdua berdiri, saling pandang, dengan tersengal-sengal, menjejalkan udara ke dalam paru-paru masing-masing.
"Kau begitu menghormatinya, ya?" tanya Kagome datar, nadanya hampir terdengar sedih.
"Tutup mulut sialmu itu dan lawan aku!" teriaknya sambil memukul-mukulkan kepalan tangan kanan ke dadanya kuat-kuat.
"Aku tidak akan melawanmu, aku sedang tidak ingin. Lebih baik kau pulang!" Kagome membalikkan badan, "membunuhmu hanya akan membuatku bermimpi buruk," dia berjalan pergi meninggalkan youkai muda itu.
"Kau akan menyesal telah memunggungiku, Jalang Kotor!" Pemuda itu masih berdiri di tempatnya, semakin marah karena merasa diremehkan oleh seorang wanita.
Sedikit menoleh, Kagome menyahut dari balik bahu, "Aku akan bersedia melawanmu sepuluh tahun kemudian, persiapkan dirimu. Bila saat itu tiba, aku akan melawanmu."
"Aku, Tomoaki, tidak akan mundur menghadapi wanita murahan sepertimu!" suaranya berat dan dalam, dia menggeram dan mengerang dengan sangat menakutkan.
Mata Tomoaki memerah, otot-otot menonjol seakan-akan hendak meledak di dalam tubuhnya sendiri. Bentuk wajahnya mulai berubah, pakaiannya terkoyak-koyak. Tidak ada lagi remaja yang mengaku bernama Tomoaki, yang kini ada di depan Kagome adalah seekor serigala besar berwarna cokelat ke abu-abuan dengan saliva kehijauan yang menetes dari mulutnya.
Tubuh asli Tomoaki sangatlah besar, tingginya lebih dari empat meter. Taring dan cakarnya berpendar hijau terang, menandakan bahaya bagi apa saja yang disentuh olehnya. Tetesan saliva itu seperti magma yang melelehkan apa saja di sekelilingnya, bahkan batu-batu besar di tepi sungai menjadi korban keganasan racun yang terkandung di dalamnya.
Kagome menghela napas berat. "Apakah kau menyebut setiap wanita yang kau temui dengan sebutan pelacur?" hidung Kagome berkerut di tengah, menunjukkan rasa jijiknya. "Kau persis seperti ayahmu. Kalian butuh bantuan seseorang untuk mencuci mulut kalian!" ejeknya, sebagai tanggapan, monster itu hanya meraung kencang-kencang.
Saat batu yang ada di tepi sungai terkena tetesan saliva monster itu timbul bunyi desisan yang dikenal Kagome. Tak lebih dari hitungan menit, batu-batu itu telah berubah menjadi bubur hijau kehitaman mengalir ke dalam aliran sungai. Kagome menyayangkan keindahan dan kebersihan air sungai itu kini telah terkotori oleh liur monster yang berusaha membunuhnya, dia marah kepada youkai bodoh itu. Sore hari yang indah, setitik kebahagiaan yang Kagome rasakan hanya dengan menikmati pemandangan disekitar air terjun ini kini telah hancur sudah. Sudah pasti, Tomoaki akan merasakan akibatnya karena telah mengganggu Kagome.
Serigala raksasa berbulu abu-abu gelap itu menggeram sebelum melayangkan cakarnya yang berpendar kehijauan ke arah Kagome, yang lagi-lagi bisa menghindar cepat dalam satu lesatan. Tiada disangka, monster itu berhasil melompat dengan lincah sepersekian detik lebih dulu ke tempat Kagome mendarat dari lompatannya. Dugaan Kagome tentang wujud asli yang lebih lamban bila dibandingkan dengan bentuk manusianya ternyata salah besar, ia tidak bisa menghindar kali ini.
Kagome kalah telak. Lawannya lebih besar, lebih cepat, dan jauh lebih berbahaya dalam wujud aslinya.
Salah satu kaki depan Tomoaki berhasil mengenainya.Meski hanya goresan dari ujung cakar, tapi dari bentuk yang juga sangat besar, serigala raksasa itu berhasil meninggalkan luka besar yang menganga dari paha hingga betis Kagome. Baru saja Kagome akan tersenyum karena tidak ada tulang yang patah dan berpikir luka yang dia dapat tidaklah terlalu parah. Tetapi, desisan yang berasal dari kakinya mengingatkannya akan racun yang dimiliki musuhnya. Disaat itu jualah Kagome baru merasakan, sakit yang teramat sangat berasal dari kedua tungkainya. Kakinya kini mengeluarkan asap dan bunyi desisan, lapisan kulitnya terkelupas, dan, lapis demi lapis daging, serta jaringan ototnya terkelupas dan luruh. Kakinya mulai tak berbentuk, tulang belulangnya pun mulai tampak.
Serigala besar dihadapan Kagome menyeringai menang, suara geraman dari dalam dada Tomoaki yang bergema, seakan-akan menertawakannya. Kagome terjatuh di kedua lututnya yang koyak-moyak, dia mengatupkan rahangnya kuat-kuat agar tidak menjerit kesakitan karena tidak mau menambah kepuasan musuhnya. 'Racun sial! Hanya karena beberapa goresan kecil saja aku sudah tidak berdaya,' pikirnya. Lecutan-lecutan pedih yang tak terperi semakin menyengat Kagome. Busa berwarna kuning kecokelatan semakin melebar menutupi kakinya yang terlahap oleh racun.
Kagome teramat sangat menyesal telah memandang remeh musuhnya. Dan kini, sang pembalas dendam itu tengah berlutut tak berdaya menunggu belas kasihan musuhnya agar dengan segera mengakhiri hidupnya. Youkai raksasa itu memandangnya lekat-lekat dengan mata merahnya yang menyala oleh api kepuasan. Dengan punggung kaki serigalanya, Tomoaki mendorong badan musuhnya yang telah kalah. Dan Kagome jatuh terlentang di atas rerumputan.
Meski tak dapat meredakan cambuk perih yang menyelimutinya, bau rumput lembab terasa segar di hidung Kagome kala kepalanya menyentuh tanah. Sakit yang dirasakan sang hanyou semakin lama semakin terasa hebat kala seluruh daging yang menempel di kakinya bagaikan di sayat tipis-tipis dengan amat sangat perlahan dengan pisau yang dibakar oleh bara api.
Rentetan kata-kata terakhir sang ibu kembali berkelebatan di otak Kagome. Ingatan itu menghantuinya, pesan terakhir ibunya yang tidak bisa ia penuhi. Tetap hidup? Dia memang tetap hidup hingga saat ini, namun dia belum benar-benar merasakan hidup! Memang dia merasa hidup setiap kali dia hampir terbunuh, tapi pasti bukan itu maksud ibunya. Jangankan mencicipi kebahagiaan sejati, arti kebahagiaan itu sendiri saja sudah mulai samar baginya.
Di tempat itu, di antah berantah yang tak dikenalnya, Kagome terbaring menunggu kematian. Meskipun begitu, tidak ada penyesalan. Satu-satunya yang ada hanyalah kehampaan. Dia membuka mata melihat wajah monster buas itu berada tepat di hadapannya, hanya sejengkal jarak Kagome dan taring-taring tajam yang siap mengoyaknya. Hanyou itu tetap bergeming.
Tubuh Kagome diinjak oleh kaki kanan makhluk itu, dia terperangkap diantara cakar-cakarnya. Mata Tomoaki membelalak merah, taring mencuat terpampang oleh seringaian ganasnya. Saliva beracunnya menetes-netes di kanan kiri kepala Kagome, tanah yang meleleh menimbulkan desis dan asap dengan bau asam yang memuakkan.
Udara panas dengan bau yang keluar dari hidung Tomoaki menerpa wajah Kagome. Serigala itu mendengus kesenangan karena sebentar lagi dendam ayahnya akan terbalaskan, kehormatan akan diraih kembali dengan membunuh sang musuh. Dia akan membawa kepala itu pulang untuk diperlihatkan kepada para youkai yang lain, sebagai pengukuh bahwa ia dan keluarganya masih menyandang gelar Penguasa Wilayah Timur.
Sakit di kakinya sudah tidak bisa Kagome rasakan lagi, tidak ada bedanya baginya bila dia masih mempunyai kaki ataupun kaki itu sudah meleleh. Kagome tidak peduli, toh, sebentar lagi makhluk itu sudah tentu akan memisahkan kepala dari tubuhnya.
Beberapa detik kemudian, Kagome sudah tidak sanggup lagi membuka mata. Tenaga yang tersisa telah menipis. Pada saat itu, tubuh Kagome telah sepenuhnya lumpuh, dia tidak bisa menggerakkannya sama sekali. Dia tidak bisa merasakan apapun, entah kakinya masih menyatu dengan tungkainya atau tidak, dia tidak tahu. Yang dia tahu, pendengarannya masih berfungsi. Dia masih bisa mendengar detak jantungnya, tarikan napasnya sendiri di sela-sela keributan di sekelilingnya; ia mendengar suara erang di depannya dan geraman berbahaya yang lebih rendah di kejauhan.
Dalam kegelapan, Kagome hanya terdiam, menunggu apapun yang akan datang menjemputnya nanti. Namun, ia tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya-tanya, tidak bisakah kematian itu berarti benar-benar mati tanpa adanya reinkarnasi? Sebab, dia tidak mau mengulangi kehidupan seperti miliknya sekarang. Ia tidak mau terlahir kembali bila hidupnya penuh dengan penderitaan. Dia tidak mau tersiksa oleh hal yang sama, kehilangan satu-satunya orang yang dicintai. Sungguh, ia teramat lelah, yang ia inginkan hanyalah kedamaian di alam lain.
Tiba-tiba, suara benturan besar terdengar, lalu suara hantaman keras menyusul. Suara pohon-pohon tumbang, suara burung-burung dan binatang kecil mencicit kaget mengisi keheningan sementara sebelum suara geraman dalam dan benturan lain bergaung di tengah hutan.
Racun Tomoaki mulai mengkontaminasi aliran darah dan mengalir ke seluruh tubuh Kagome. Andaikan mau, hanyou itu tidak bisa membuka mata. Lolongan yang menyayat hati mengakhiri keributan itu, lolongan kesakitan itu jualah yang terakhir Kagome dengar sebelum dia kehilangan kesadaran.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top