Part 2 Lamaran
Senyum mengembang di wajah AL Biru. "Pertama aku menyukai kejujuranmu. Sangat manis. Apa aku sudah mengatakannya padamu?"
"Sudah, tepat sebelum kau mengatakan ingin menikah denganku dan menciumku."
Al Biru tertawa geli.
Bia bernapas dalam diam. Ketegangan tubuhnya perlahan mengendor. Sedangkan Al Biru kemudian sibuk mengedarkan pandangannya, dan berhenti ketika menemukan vas bunga yang ada di meja panjang yang berada tak jauh dari mereka.
Al Biru bangkit, pandangan Bia mengikuti. Al Biru menatap setiap tangga bunga mawar yang berwarna-warni di dalam vas bunga itu. Merah muda, putih, orange, tangan Al Biru berhenti di setangkai mawar berwarna hijau dan mengambilnya. Kemudian ia berbalik dengan kembali melangkah ke depan Bia, mengulurkan bunga itu pada Bia.
"Apa ini?"
Kedua alis Al Biru saling bertaut, tampak memikirkan jawabannya sejenak. "Lamaran?"
Bia menatap wajah Al Biru, turun ke tangan, kemudian naik lagi menemukan kedua mata Al Biru yang tampak menunggu responnya.
"Kudengar ini cocok diberikan pada seorang teman. Untuk harapan yang baik."
Bia nyaris tertawa. Ia hanya menyukai bunga saat Bastian yang memberikan padanya. Dan ia tak sesentimentil itu untuk mendalam makna dari sebuah bunga. Ia bahkan tak tahu bunga bisa memiliki sebuah arti. Bukankah bunga sama saja? Sebagai penghias rumah, mempercantik dekorasi, dan mengelabui wanita. Yang terakhir adalah manfaat yang bekerja dengan sangat baik.
Tangan Bia terulur, hanya perlu mengambilnya. Toh ia sudah sering melakukan hal semacam ini. Apalagi ini hanya setangkai.
Al Biru tersenyum puas. "Ketiga, kita akan membahas rencana pernikahan dan segala keperluannya, dan keempat ..." Al Biru berhenti, kemudian tersenyum. "Kita akan membahasnya besok. Aku akan menjemputmu, apa kau bisa meninggalkan alamat rumahmu?"
Ekspresi di wajah Bia seketika berubah ketika membicarakan rumah. Rumah yang sudah dijual tantenya dan selama dua minggu terakhir ia menyewa sebuah tempat di gedung bertingkat tiga yang ada di pinggiran kota.
Al Biru mengernyit menemukan kepedihan yang melintas di wajah Bia. "Apa rumahmu juga ..."
Bia mengangguk dengan tenggorokan yang tercekat sebelum Al Biru menyelesaikan kalimatnya. "Tentukan saja tempatnya, aku tak akan terlambat."
Al Biru diam. Kemudian pria itu mengambil dompet di saku jas dan mengeluarkan kartu berwarna hitam metalik untuk Bia.
"Aku tidak memerlukannya."
"Well, aku memerlukannya. Dan kemarikan ponselmu."
Bia mengambil ponsel dari dalam tasnya. Yang berencana ia jual untuk uang sewa bulan depan yang harus ia berikan hari ini. Beruntung Gina kenal dengan pemilik gedung sehingga ia bisa membayar uang sewa yang seharusnya ia lunasi sebelum ia menempati kamar berukuran 4x5 itu. Dan ia diusir dari rumah yang sudah menjadi haknya dengan pakaian yang tak lebih dari satu tas.
Al Biru meletakkan kartu di tangan Bia dan mengambil ponsel wanita itu. menekan deretan nomor kemudian menyambungkannya ke ponselnya. "Itu nomor pribadiku. Aku akan menghubungimu."
Bia mengambil kembali ponselnya, langsung menamai kontak tersebut dengan nama Al Biru dan memasukkan ponselnya ke dalam tas bersama kartu hitam seperti yang dimiliki papanya. Yang terkadang dipinjamkannya sebagai hadiah untuk setiap pencapaian yang berhasil di dapatkannya. Sekali lagi kepedihan menggenapi hati Bia mengingat kedua orang tuanya.
"Aku menyarankan hotel di sekitar sini. Besok aku memiliki jadwal yang cukup padat, terutama untuk rencana pernikahan yang tak terencana ini."
Bia mengerjap dan mengangguk. "Sepertinya aku harus pergi. Kau pasti punya banyak pekerjaan yang tertunda karena pertemuan ini."
Al Biru mengedikkan bahunya. "Setidaknya sepadan untuk yang kudapatkan." Tatapan Al Biru turun ke bibir Bia yang masih merekah karena ciuman panasnya.
Wajah Bia memerah dan pandangannya turun ke bawah saat bangkit berdiri, hampir lupa mengambil bunga mawar hijau pemberian Al Biru yang ia letakkan di meja. Al Biru ikut beranjak, mengantar Bia keluar ruangan meski ia menolaknya. Mengantarnya ke depan lift dan memencet tombol untuknya. Saat pintu terbuka dan Bia melangkah ke dalam lift, Al Biru menahannya sejenak untuk mendaratkan kecupan singkat di bibir Bia. Yang membuat jantung Bia terkejut dan berhenti bernapas untuk sejenak.
Pintu lift tertutup, Bia kembali mempunyai cukup waktu untuk mengembalikan debar jantungnya kembali normal. Saat lift sampai di lantai satu, Bia keluar dan berhenti di samping tempat sampah yang ada di depan lift. Menatap bunga di tangannya sejenak sebelum membuangnya ke tempat sampah.
Bia menghela napas dan kembali melanjutkan langkahnya. Semua nyaris berada dalam genggamannya. Sedikit lagi.
***
Esok siang, Al Biru menjemput Bia di depan halaman Ivy Hotels. Menggunakan setelan kerja 3 pasangnya, Al Biru bersandar di depan mobil menunggu kemunculannya.
"Maaf membuatmu menunggu."
Al Biru menggeleng dan menegakkan punggungnya. Mendapatkan satu langkah mendekati Bia sebelum mendaratkan satu kecupan di bibir wanita itu. Bia terkejut, dan Al Biru tersenyum akan respon Bia yang membuatnya gemas. Sepertinya wanita ini perlu terbiasa, sepertinya dirinya yang membiasakan diri dengan rasa manis dan kejutan baru setiap ia menyentuh bibir Bia. Rasanya begitu menyenangkan dan kesenangan ini akan terus membuatnya terkejut. Al Biru menyukainya dan tak akan keberatan jika rasa manis ini akan menjadi candunya.
"Aku saja yang datang lebih awal," balas Al Biru. Menyentuh tulang punnggung Bia dan membawa wanita itu ke depan pintu mobil. Membukakan pintunya untuk Bia.
Bia menghela napas panjang, kedua matanya mengikuti Al Biru yang kini memutari bagian depan mobil, tak menunggu lama untuk bergabung bersamanya.
"Mau ke mana kita?" tanya Bia ketika Al Biru sudah duduk di balik kemudi dan memasang sabuk pengaman.
"Ke rumah sakit."
Bia membelalak, menatap penuh tanya pada Al Biru. "U-untuk?"
Al Biru memutar tubuh menghadap Bia sebelum menjawab, "Aku percaya kau akan menjadi seorang istri yang cantik dan menyenangkan, Bia. Tapi .. kita butuh melakukan beberapa tes bahwa kau lebih dari sempurna untuk menjadi calon ibu dari anak-anakku, kan?"
Bia menelan ludahnya akan kata -anak-anakku- yang diucapkan Al Biru.
"Ya, kau tak berpikir aku hanya menginginkan satu anak darimu, kan?"
Perut Bia terasa melilit. Termakan umpannya sendiri.
"Well, aku suka memiliki kehidupan yang berisik di rumah setelah masalah pekerjaan di kantor yang membuatku penat." Al Biru menelengkan wajahnya menemukan kebekuan di wajah Bia. "Kenapa? Apa kau keberatan?"
Bia memaksa kepalanya mengangguk. "Berapa banyak yang kau inginkan?"
"Tiga? Empat? Aku belum memutuskannya. Mungkin saja bisa lebih."
Kali ini Bia benar-benar dibuat kesulitan menelan ludahnya. Tapi jelas ia tak akan pernah punya pilihan untuk menolak. Hanya ini satu-satnya jalan yang tersisa dan ia sudah berjanji akan melakukan apa pun yang diinginkan oleh Al Biru sebagai bayarannya.
"Ya, kau bisa mendapatkan apa pun yang kau inginkan." Bia mengulang penawaran yang ia berikan pada pria itu.
Al Biru mengangguk dengan mantap. Dengan seringai yang menyebar di bibirnya saat ua menangkap rona di wajah Bia.
Saturday, 22 January 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top