Part 11 Sapu Tangan Yang Terjatuh

"Apa yang kau lakukan di sini, Bastian?" Bia terkejut menemukan Bastianlah yang berdiri di depan pintu. Dari senyum terlalu lebar di wajah pria itu serta bau alkohol yang begitu pekat, Bia yakin pria itu sedang berada dalam pengaruh alkohol. Bahkan malam pun belum larut.

"Hai, sayang," bisik Bastian sambil mengayunkan wajahnya lebih dekat ke wajah Bia. Kemudian tertawa kecil. "Kau merindukanku?"

Bia mundur dua langkah menjauh, yang membuat pegangannya pada pintu terlepas. Dan kesempatan itu digunakan Bastian untuk masuk ke dalam kamar, kemudian menutup pintu di belakang.

"Apa yang kau lakukan, Bastian?" desis Bia tajam. "Keluar!?

Bastian malah semakin mendekat. "Aku merindukanmu, Bia. Bisakah kita sedikit melampiaskan kerinduan ini? Pamanku masih ada di bawah."

Wajah Bia mengeras, mendorong dada Bastian hingga membentur pintu. Dorongannya tak begitu kuat dan Bastian berada dalam pengaruh alkohol sehingga kesulitan menyeimbangkan tubuh.

Akan tetapi, Bia juga salah perhitungan dengan kekuatan pria yang dimiliki pria itu. Sebelum tangannya berhasil menyentuh gagang pintu, pergelangan tangannya ditangkap dan tubuhnya ditarik ke arah dinding. Punggungnya membentur dinding dan kemudian tubuhnya dihimpit oleh tubuh tinggi dan kekar Bastian.

"Aku mencintaimu, Bia," bisik Bastian tepat di depan wajah Bia. "Kau tahu aku masih mencintaimu."

"Cukup dengan omong kosongmu, Bastian," desis Bia lebih tajam. "Keluar."

Sebelum Bia sempat menghindar, Bastian mendorong wajahnya ke depan dan mendaratkan ciuman di bibir Bia. Bia membelalak terkejut, berusaha menolak ciuman memaksa Bastian. Bastian menahan kedua tangannya dengan kekuatan pria itu, begitu pun tubuhnya yang semakin ditekan ke dinding. Tak kehilangan akal, Bia menggigit bibir Bastian. Dan usahanya berhasil.

Bastian menjauhkan wajahnya sambil mengerang kesakitan. Menatap Bia tak percaya sambil menyentuhkan telapak tangannya di bibir. Tatapannya turun dan menemukan darah yang di ujung jemarinya. Tak sampai di situ, ia baru saja dikejutkan dengan darah tersebut, di saat detik berikutnya tamparan Bia mendarat di pipinya.

Plaakkk....

Kedua mata Bia menajam, menatap sang mantan dengan kemarahan yang begitu jelas. "Jika sekali lagi kau mengulangi perbuatan kurang ajarmu ini, aku tak akan segan-segan melaporkan ini pada suamiku, Bastian."

Bastian mengerjap, tercengang dengan tamparan dan kata-kata Bia. Tamparan wanita itu cukup keras, hingga mampu menyadarkanya dari pengaruh alkohol. Kurang ajar? Suami?

Rasanya Bastian ingin berteriak demi meluapkan kefrustrasiannya pada Bia. Bisa-bisanya wanita itu mengatainya kurang ajar? Sebelumnya mereka pernah berciuman. Dan tak sekali pun Bia menolaknya. Wanita itu selalu bersikap manis dan polos.

Dan suami? Sampai sekarang hati Bastian masih tak rela jika pamannyalah yang menjadi suami Bia.

"Kau ingin melaporkan semua ini pada pamanku?" dengus Bastian tak mau kalah. "Kau yakin kau ingin membongkar hubungan kita di depannya?"

Hanya sekilas, Bia tampak meragu. Menatap tegas kedua mata Bastian. "Kau pikir aku takut suamiku mengetahui pria berengsek yang pernah mengkhianati istrinya di masa lalu adalah keponakannya sendiri?"

Wajah Bastian memias. Ya, ialah yang telah mencampakkan Bia dan menyelingkuhi wanita itu. Dengan sepupunya sendiri. Pamannya paling tak suka dengan pengkhianatan.

"Sebaiknya kau keluar, Bastian. Sekarang juga. Sebelum suamiku naik dan mencurigai sesuatu yang tak diperlukan." Bia berjalan melewati Bastian dam masuk ke dalam kamar mandi.

Bastian masuk tercenung di tempatnya berdiri setelah Bia menghilang di balik pintu kamar mandi. Pandangannya kemudian menangkap foto pernikahan Bia dan Al Biru yang terpasang di dinding di atas kepala ranjang. Senyum yang terpasang di wajah Bia benar-benar membuatnya tak tahan berdiri di ruangan ini lebih lama lagi. Bastian pun berbalik dan keluar.

***

Pagi ini, Bia terbangun dengan suasana hati yang semakin baik. Berada dalam pelukan Al Biru, dan untuk pertama kalinya setelah menikah, masih mengenakan pakaian tidurnya. Ya, semalam Al Biru belum kembali ke tempat tidur ketika ia sudah terlelap.

Bia bergegas turun dan merasa bersemangat. Hari ini adalah hari pertama ia akan mulai belajar hal-hal tentang perusahaan. Ia baru selesai mandi dan gosok gigi ketika Al Biru melangkah masuk. Mengambil pinggangnya dan menjatuhkan wajah di cekungan lehernya.

"Apakah hari ini?"

Bia mengangguk. Kemudian memutar tubuhnya. "Mandilah, aku akan menyiapkan pakaianmu."

Al Biru mengangkat wajahnya, mendaratkan ciuman di bibir Bia sebelum mengurai pelukan dan berjalan ke bilik shower. Wajah Bia memerah melihat pria itu yang melucuti pakaian sebelum mencapai pintu kaca. Bertelanjang di depannya dengan penuh ketenangan. Dan seharusnya Bia sudah terbiasa, sepanjang minggu ini Al Biru sudah sering bertelanjang di depannya. Bia bergegas keluar dari kamar mandi sebelum Al Biru memergokinya.

Saat baru saja keluar dari ruang ganti dengan pakaian Al Biru di tangannya, pintu kamar diketuk.

"Apa ini?" Bia menatap dua gelas jus berwarna hijau yang ada di atas nampan.

"Jus kiwi."

"Tidak ada yang meminta."

"Setiap pagi pelayan selalu membawakan jus kiwi ke kamar Al Biru." Chellyn menjelaskannya dengan penuh kepuasan akan ketidak tahuan Bia. "Tapi ... tadi mama tiba-tiba memiliki sedikit masalah dan meminta bantuan pelayan. Jadi aku yang disuruh mengantarnya."

Kening Bia berkerut. Ya, dalam perjalanan liburan mereka, Al Biru memang selalu memesan jus kiwi sebelum pelayan hotel membawakan makan pagi mereka ke kamar. Ia pikir itu hanya kesukaan Al Biru, tak tahu kalau itu adalah sebuah kebiasaan.

"Dan kenapa ada dua? Kau tahu aku tak suka kiwi, kan?"

Senyum Chellyn semakin melengkung, sedikit mendekatkan wajahnya ke arah Bia ketika berbisik. "Jus kiwi bagus untuk program kehamilan."

Jawaban tersebut seketika membuat Bia mendengus tipis. Semalam Chellyn berang bukan main dengan program kehamilannya dan Al Biru, dan sekarang wanita itu membawakan jus ini. "Benarkah? Kalau begitu akan lebih bagus untuk wanita hamil, kan?"

Senyum Chellyn seketika membeku. "Apa maksudmu?"

"Kau pikir aku tak tahu rencana apa yang sedang coba kau perbuat, Chellyn?" decak Bia mengejek. "Kau masih saja melakukan trik tolol seperti ini."

Chellyn mengerjapkan matanya dengan cepat, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

"Kau pasti sudah memasukkan sesuatu di minuman ini, kan?"

"K-kau menuduhku?" Suara Chellyn bergetar hebat. Pegangannya pada nampan di tangannya nyaris meleset.

Bia menggeleng. "Aku hanya menebak. Dan suaranya menjawab kecurigaanku."

Wajah Chellyn yang pucat seketika berubah merah padam.

"Tak perlu repot-repot. Kau bisa membawanya kembali ke bawah. Aku yang akan membuatnya sendiri untuk suamiku. Dia pasti akan lebih menyukainya." Bia sengaja menekan kata suamiku untuk membuat Chellyn semakin kesal. Pandangan Bia turun ke kedua tangan Chellyn yang mencengkeram pinggiran nampan dengan senyum yang semakin keras. Sepupunya itu pasti gatal ingin menyiramkan kedua gelas jus tersebut ke wajahnya. Tapi ... "Kau tak akan melakukannya, Chellyn. Biasanya Al Biru tak terlalu lama menghabiskan waktu di kamar mandi. Paling lama hanya sepuluh menit, jika tidak bersamaku tentu saja. Kau tahu, dia selalu menginginkannya di mana pun dan kapan pun. Dan aku kesulitan menolaknya, jadi ... aku hanya memberikan saja apa yang diinginkannya."

Wajah Chellyn semakin merah padam. Kecemburuan serasa naik ke ubun-ubunnya. Ia menikahi Bastian, pria yang dicintainya. Tetapi Bastian tak pernah menginginkan dirinya sebanyak Al Biru menginginkan Bia. Tentu saja hal itu membuat Chellyn semakin dibakar kedengkian.

"Jika kau memang ingin menghalangi kehamilanku, setidaknya lakukan hal yang sedikit cerdas."

"Diam kau, Bia," desis Chellyn tak tahan lagi.

Bia malah tertawa kecil. Seolah belum puas membuat sang sepupu geram padanya, ia ingin menyiram bensin di api yang sudah membara. "Tunggu sebentar, aku punya sesuatu untukmu."

Bia melangkah masuk, mengambil sesuatu di laci nakas paling atas dan kembali ke depan Chellyn. Megulurkan sapu tangan berwarna hitam kepada Chellyn, yang memiliki inisial B. A.

Wajah Chellyn yang tertunduk semakin memucat mengenali inisial itu. Ada banyak sapu tangan berwarna hitam, tetapi inisial B. A hanya milik Bastian. Bukan Al Biru Atmadja.

"Sepertinya semalam Bastian menjatuhkannya di kamarku dan Al Biru. Aku memungutnya sebelum suamiku menemukannya. Tidak akan baik untuk hubungan mereka jika Bastian terpergok menyelinap ke dalam kamar kami, kan?"

"Apa yang dilakukannya di kamar kalian?" desis Chellyn dengan wajah yang mengeras. Kemudian tatapannya berubah menjadi tuduhan dan kecurigaan yang begitu besar. "Kau menggodanya?"

Bia tertawa kecil. "Aku bukan dirimu, Chellyn. Yang tak tahan untuk tidak menginginkan dan merebut milik orang lain."

Salah satu tangan Chellyn terangkat, hendak melayangkan tamparan di wajah Bia. Namun, Bia menangkap pergelangan tangan wanita dengan kuat, sebelum kemudian disentakkan dengan lebih keras sehinga wanita itu terhuyung ke belakang dan membuat nampan di pegangannya tumpah ke bagian depan bajunya meski gelas tersebut tidak sampai jatuh ke lantai. "Kau tahu kau tak bisa lagi melakukan hal semacam ini padaku, Chellyn."

Wajah Chellyn benar-benar dipucatkan oleh amarah yang teramat besar. Setengah membanting nampan di tangannya ke meja hias yang ada di samping pintu kamar Al Biru.

"Aku hanya datang di tengah kebahagiaan keluarga kalian dan kau begitu cemas seperti ini. Pikirkanlah bagaimana jika aku memulai permainannya."

"Kau datang kemari dengan semua rencana licikmu itu?"

"Ya, semua kebahagiaan yang kau miliki tak akan pernah menjadi milikmu karena kau merebutnya dari orang lain. Kau tak perlu secemas ini, Chellyn. Bastian bukan target utamaku."

"Aku akan membongkar semua kebusukanmu pada Al Biru, Bia. Aku akan pastikan itu dan membuatmu ditendang dari rumah ini seperti sampah."

"Kau benar-benar tak tahu diri, Chellyn," dengus Bia. "Tapi ... kau bisa mencobanya. Hanya saja, jika kau melewati batasanmu dan mulai membuatku kesal, aku tak yakin rahasiamu akan aman di tanganku."

Chellyn tampak tergelelap, tetap berusaha keras menampilkan ketenangannya meski kewalahan. "R-rahasia apa yang kau katakan, Bia? Jangan membual kau!"

Bia mendengus tipis, tatapannya turun ke bawah, ke perut Chellyn yang masih rata. "Kau yakin kau benar-benar hamil?"

Kali ini pertanyaan Bia membuat permukaan wajah Chellyn pucat sepenuhnya. Saking syoknya hingga benar-benar kehilangan kata untuk menjawab.

"Mungkin, kau harus menjalani program kehamilan sepertiku, Chellyn. Agar tak ada yang tahu kebohonganmu." Bia diam sejenak, menikmati kepucatan di wajah Chellyn dengan penuh kemenangan. "Termasuk Bastian."

Dada Chellyn bergemuruh dengan keras, menatap seringai Bia yang dipenuhi keangkuhan. Tangannya benar-benar gatal ingin menjambak rambut dan mencakar wajah sang sepupu. Tetapi Bia membanting pintu kamar tepat di depan wajahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top