Bab Spesial : Kisah Sang Iblis Bagian Ketiga

Lima tahun sudah berlalu bagaikan selembar angin yang lewat. Straw kini berusia lima belas tahun, Asce berumur enam belas tahun, serta Beelbo dan Ruca kini berusia delapan tahun. Mereka tumbuh bersama menjadi orang yang kuat dan melewati hari demi hari dengan saling membahu.

Pagi hari yang cerah. Tidak seperti pagi hari dalam dongeng kebanyakan, burung-burung enggan untuk berkicau pagi di tempat ini. Junksteel District merupakan tempat yang kumuh dan terbengkalai di pinggir kota. Walaupun sumber kesengsaraan telah lama hilang di tempat ini, tapi kemiskinan tetap saja menjadi ikon utama.

Asce memandangi kaca jendela yang mengarah ke perkotaan dengan wajah serius. Mulutnya sesekali menghela napas berat. Straw yang sedang berbaring santai di belakang Asce, memandanginya dengan alis yang terangkat.

"Ada apa lagi denganmu?" Straw bertanya dengan nada lelah.

"Hmm, sudah kuputuskan!"

"Apanya?"

"Aku dan Ruca akan pergi ke kota."

Straw terlonjak dari tempatnya. "Haa?!! Apa maksudmu?!"

Seringai lebar menghampar di wajah Asce. "Aku tidak bisa terus-terusan menumpang di rumahmu dan selalu merepotkan ibumu."

"Ap-bagaimana cara kau ke sana?"

Asce merogoh kantung celananya dan menarik secarik kertas putih yang di gulung. Ia merentangkan kertas tersebut dan menunjukkannya kepada Straw.

"Sebulan yang lalu, aku diam-diam pergi mengikuti tes kepolisian khusus remaja yang diselenggarakan di Pluere Ville, dan aku lulus."

Mulut Straw menganga lebar. Ia cukup terperanjat dengan berita yang tiba-tiba itu.

"Kau sudah bekerja dengan keras, Asce," ibu menyahut di belakang mereka, "kau sudah cukup dewasa dan kuharap kau bisa menjaga adikmu dengan baik."

"Iya ... aku akan berusaha keras dengan pekerjaan baruku di sana dan ... menjaga Ruca baik-baik ...." Mata bulat Asce berkaca-kaca. Genangan air di matanya menampung semua harapan serta beban yang ia pikul selama ini. Ibu memeluknya dengan erat. Bagaikan seribu terima kasih yang ingin disampaikan oleh Asce, namun mulutnya hanya sanggup mengatup. Hanya sebuah pelukan hangatlah yang dapat menyampaikan semua itu.

Straw belum sepenuhnya menangkap jalan kejadian ini, namun dia sangat mengerti perasaan Asce. Straw dan Asce memang memiliki mimpi yang sama, yaitu pergi dari tempat kumuh ini dan hidup bahagia di tempat yang layak. Sekarang Asce telah mewujudkan mimpinya lebih dulu. Sedikit terselip rasa iri di hati Straw, tetapi ia lega mendengar itu.

Senja di musim gugur terasa agak dingin hari ini. Para pohon menumbangkan daun-daunnya hanya untuk bertahan hidup. Helai daun merah dan oranye bagaikan karpet yang membentang di sepanjang jalan. Asce dan Ruca telah rapih berpakaian. Jaket kulit yang dikenakan Asce serta gaun merah pemberian ibu yang melapisi tubuh Ruca terlihat anggun pada mereka. Dua buah koper kecil bersender di belakang mereka. Angin yang menerbangkan dedaunan seakan ikut mengucapkan selamat tinggal.

Ruca mendekati Beelbo dan menepuk-nepuk pundaknya.

"Beel, aku akan pergi ke tempat yang jauh. Kau tidak boleh cengeng lagi."

Wajah Beelbo memerah. Ia memalingkan wajahnya ke samping dengan raut kesal.

"Aku tidak cengeng!"

Mereka tertawa serempak. Tergambar suasana perpisahan yang hangat di pagi nan dingin ini. Asce dan Ruca membungkukkan badan bersama.

"Terima kasih atas kebaikan kalian selama lima tahun ini, Ibu, Straw, dan Beelbo. Aku dan Ruca akan tinggal di kota. Jangan khawatir, mereka sudah menyiapkan tempat tinggal untuk kami. Sekali lagi, terima kasih atas segalanya. Kami tidak akan pernah melupakan kebaikan kalian."

"Enak sekali nasibmu. Tiba-tiba tertimpa harta karun dari langit," tukas Straw.

"Makanya kau jangan bermalas-malasan saja di rumah."

"Aku juga kerja!"

Asce tertawa ringan.

"Sudahlah, kau juga masih punya ibu dan adik yang harus kau jaga. Kalau kau pergi, siapa yang akan menjaga mereka berdua?"

"Aku tau itu."

" Baiklah, kami pergi dulu. Sampai jumpa kembali!"

Lambaian tangan mereka menjadi akhir dari pejumpaan. Sedih, senang, dan haru bercampur aduk menjadi satu. Setiap yang bertemu pasti akan berpisah. Namun, setiap yang berpisah belum tentu akan bertemu kembali.

Keesokan harinya, sebuah berita menggemparkan datang. Ibu terjatuh lemas kala melihat sebuah berita yang tercetak di koran. Air matanya menetes deras, hatinya amat terguncang dengan berita tersebut. Dengan perasaan panik, Straw berlari menghampiri ibunya.

"Ibu! Ada apa?!"

Straw membungkuk di samping ibu. Ia mengambil koran tersebut dan membacanya.

Sebuah kecelakaan kereta terjadi kemarin pagi, tepatnya pada pukul 08.00. Kereta yang hendak menuju Stasiun Loire, Kota Wings, bertabrakan dengan kereta dari arah Homria Ville. Kedua kereta hancur total. Hingga saat ini, belum ditemukan korban yang selamat dari insiden tersebut. (Koran harian Daily Wings, 20 Oktober 1980)

Bagaikan ratusan petir yang menyambar, Straw amat terperanjat dengan berita tersebut. Tangannya gemetar hebat hingga wajahnya memucat.

"As ... ce ...," ucap Straw dengan gemetar. Dia ingat bahwa Asce menaiki kereta tersebut, di jam tersebut. Tidak salah lagi, Asce dan Ruca terlibat dalam kecelakaan itu, dan mereka berdua ... telah meninggal. Straw menangis, mendekap pada pundak sang ibu yang sedang terduduk lemas. Baru saja mereka tertawa bersama kemarin. Namun tak disangka, tawa mereka kemarin adalah yang terakhir. Tangan yang melambai tidak bisa lagi berharap untuk bertemu.

Kesedihan dan kesengsaraan seakan tiada hentinya menimpa keluarga Straw. Pahit dan manisnya hidup sangat terasa di kisah mereka. Keluarga sederhana yang bahagia, namun tak selamanya akan bahagia. Rasa manis dan pahit silih berganti menghampiri mereka. Namun setelah kejadian ini, mungkin rasa manis tak akan terasa lagi di kehidupan. Straw dan Beelbo yang masih di usia anak-anak harus mencicipi rasa pahit yang tak kunjung usai.

Sejak saat itu, ibu mulai sakit-sakitan. Tubuhnya kini terbaring lemas dan pucat, demam tinggi tak kunjung reda menyerang raganya yang lemah. Straw dan Beelbo dilanda kesedihan sekaligus kebingungan. Mereka tidak tahu harus berbuat apa.

"Ibu baik-baik saja, hanya demam biasa," ucap ibu dengan suara serak bercampur batuk.

Beelbo memeras kain basah untuk yang ke sekian kalinya dan menempelkannya ke dahi ibu.

"Sudah dua minggu demam ibu tak kunjung reda."

"Ibu sudah bilang, ini hanya demam biasa." ibu kembali terbatuk. Ia mencoba menarik napas sembari mengelus-elus dada.

"Apa Straw sudah pulang?"

Suara ketukan pintu terdengar. Straw melangkah masuk dengan membawa beberapa apel di keranjang. Wajahnya berkeringat dan kusam, bajunya dekil dan penuh sobekan.

"Aku pulang."

"Kakak," Beelbo menyambut.

"Bagaimana keadaan ibu?"

Beelbo hanya diam dan menunduk ke bawah. Straw memandangi adiknya sejenak, lalu berjalan menghampiri ibu yang sedang terbaring di atas ranjang.

"Straw? Kaukah itu?"

"Iya. Bagaimana keadaan ibu?"

"Ibu sedikit lebih baik. Maaf ibu tidak menyadari kedatanganmu. Baru-baru ini pandangan dan pendengaran ibu sedikit kabur."

Straw memejamkan mata sembari menghembuskan napas. Hatinya bersedih, tak tega melihat ibunya tercinta dalam keadaan seperti ini. Tidak ada dokter di Junksteel District dan sekitarnya. Satu-satunya tempat yang memiliki tumpukan gedung rumah sakit yang menjulang tinggi adalah pusat Kota Wings. Straw tentu tidak bisa membiarkan ibunya dalam keadaan seperti ini. Ia bertekad untuk membawa ibu ke kota dan berobat di sana.

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top