Bab Spesial : Kisah Sang Iblis Bagian Keempat
Malam itu, mereka memesan tiket kereta dan langsung berangkat ke kota. Beelbo menggendong ibu, sedangkan Straw membawa tas yang berisikan beberapa baju dan makanan. Mereka membawa semua uang yang mereka punya , walaupun hanya berjumlah beberapa koin.
Keramaian di dalam kereta sangat menyesakkan. Mungkin karena sekarang adalah jam pulang para pekerja. Straw tidak bisa menemukan kursi yang kosong. Ia berharap setidaknya ada satu untuk ibu, namun semuanya sudah diduduki. Perasaan aneh membelenggu Straw kala menyadari orang-orang sekitar menatap mereka bertiga dengan tajam, namun tidak ada yang bersedia berbagi tempat duduk. Orang-orang tau kalau mereka bertiga sangat membutuhkan tempat duduk ....
Tapi, kenapa? Straw membatin.
Semua orang seakan tidak peduli. Straw mendekati seorang pria berkemeja yang sedang duduk di samping pintu gerbong.
"Permisi, Tuan. Boleh ibuku duduk di sini? Dia sedang sakit," pinta Straw kepada pria tersebut.
"Dasar tidak sopan! Aku baru pulang dari kerja dan sedang kelelahan! Cari tempat yang lain!" bentak pria tersebut. Straw amat geram. Dia hampir saja melayangkan pukulan ke pria tersebut, namun Beelbo berhasil menghentikan amarah sang kakak. Mereka berjalan menyusuri gerbong dan meminta tempat untuk duduk. Namun, semua enggan memberikannya. Orang-orang tahu bahwa mereka bertiga hanyalah orang miskin, tidak ada gunanya membantu mereka.
Straw dan Beelbo terpaksa berdiri, menggendong ibu bergantian di sepanjang perjalanan. Beberapa jam telah berlalu, kereta sampai di kota. Gedung-gedung pencakar langit terlihat berbaris di sepanjang jalan, lampu kota yang kelap-kelip kini dapat dilihat Straw dengan jelas. Sungguh indah pemandangan yang belum pernah tercicip oleh mata mereka, pemandangan yang sangat mereka impikan. Namun, mereka ke sini dalam keadaan yang tidak diinginkan.
Kereta berhenti di sebuah stasiun yang amat megah dan mengkilat. Lantai dan dindingnya terbuat dari keramik putih nan bersih. Mereka turun dari kereta dan langsung mencari pintu keluar tanpa menghiraukan suasana megah stasiun itu. Di luar terasa dingin dan berangin. Beelbo mendudukkan ibu sejenak di sebuah kursi taman. Straw mengeluarkan beberapa roti dari tas dan mengambil sebuah sweter putih berbahan sutra.
"Ini, Bu. Pakai sweter ini," ujar Straw sembari memberikan sweter tersebut.
"Ibu pasti lapar. Kami membawa roti kesukaan ibu." Straw merobek kecil roti tersebut dan memberikannya kepada ibu. Dengan tangan pucat dan gemetar, ibu mengambil roti itu dan memakannya dengan perlahan.
"Straw, Beelbo, duduklah di samping ibu sejenak," ucap ibu dengan suara serak.
Mereka berdua mengikuti kata ibu. Dua orang anak dan seorang ibu sedang duduk termenung di gelap malam. Hanya gemerlap sebuah lampu taman yang menemani bayangan mereka. Tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dan apakah ibunya dapat sembuh atau tidak. Semuanya barulah sebuah harapan semata. Mereka berdua masih terdiam saat ibu menelan kunyahan terakhirnya. Terdengar sebuah ucapan serak namun lembut dari mulut sang ibu. Sebuah perkataan yang tidak akan dilupakan oleh mereka berdua.
"Kota ini indah, 'kan? Ibu bersyukur bisa pergi bersama kalian ke kota ini, walaupun dalam keadaan yang seperti ini, tapi ibu senang."
Ibu mendekap mereka berdua dalam pelukan hangatnya.
"Terima kasih. Ibu sangat sayang dengan kalian."
Secercah kehangatan membelai mereka berdua. Malam gelap yang dingin seakan terkalahkan oleh kasih sayang seorang ibu. Mereka berdua tak sanggup lagi berkata. Apakah ini sebuah kebahagiaan ataukah sebuah awal dari malapetaka? Mereka tidak akan tahu.
Saat mereka hendak melanjutkan perjalanan, tiba-tiba ibu batuk keras dan memuntahkan darah. Rasa takut, khawatir, dan panik seketika menyerang Straw dan Beelbo melihat ibunya menderita seperti itu. Dengan wajah dibasahi air mata, Straw mengangkat ibu ke punggungnya dan mereka bergegas menuju kota.
"Bertahanlah, Ibu! Kita akan mencari dokter," Straw berucap gemetar.
Tubuh ibu yang pucat dan dingin membuat hati Straw tidak karuan. Satu-satunya yang dapat ia syukuri adalah napas ibu masih menghembus di wajahnya. Beelbo tak henti-hentinya menangis sambil berlari membawa tas.
"Jangan menangis, Beelbo! ibu pasti akan segera sembuh. Pasti."
Meskipun berkata seperti itu, Sebenarnya Straw juga meneteskan air mata sepanjang perjalanan. Mereka berlari ke persimpangan jalan yang dipenuhi kendaraan yang lalu lalang dan gedung-gedung yang merapat. Tak sedikit juga para pejalan kaki yang berlalu di sana. Mereka melihat Straw dengan tatapan heran. Straw, Beelbo, dan ibu yang memakai baju lusuh terlihat ganjil di mata mereka, terlebih lagi Straw yang sedang menggendong ibu yang tidak sadarkan diri. Sorotan para mata itu hanya melihat dengan kening berkerut, tidak ada sama sekali yang raganya bergerak membantu. Justru orang-orang ini membuat Straw bertanya-tanya,
Apa yang mereka lihat? Kenapa mereka melihat kami seperti ini? Kenapa mereka tidak membantu kami?
Straw memberanikan diri untuk menghampiri seorang pria yang ada di depannya. Pria itu terlihat sedang berjalan santai sembari mendengarkan musik lewat sebuah earphone yang menggantung di telinga kanannya. Tubuh Straw berhenti tepat di depan pria tersebut.
"Tuan, Bisakah Anda menunjukkan di mana dokter di sekitar sini? Ibuku sedang sakit," Straw memohon. Pria tersebut memalingkan wajah dan melewati Straw tanpa berkata apa pun. Straw berlari menghadangnya.
"Kumohon, Tuan! Ibuku sedang sakit parah."
"Pergi sana! Aku sedang sibuk," sahut pria itu dengan ketus, lalu pergi meninggalkan Straw yang bergeming seketika. Straw tidak percaya dengan apa yang dikatakan pria tersebut. Hatinya seakan ingin meledak karena emosi. Beelbo menarik lengan baju kakaknya.
"Kakak, ayo kita cari orang lain."
Straw mengangguk. Mereka terus berlari dengan tergesa-gesa mencari bantuan. Mereka mendatangi sebuah restoran kecil, namun langsung diusir dengan kasar.
"Dilarang mengemis di restoranku, dasar orang-orang kumuh!" bentak sang pemilik restoran. Mereka kembali berlari mencari bantuan. Sebuah taman bermain yang dikelilingi banyak orang mereka datangi, menghampiri satu per satu orang yang sedang bersenda gurau dengan keluarga mereka, namun tidak ada satu pun yang sudi membantu Straw dan ibunya. Mereka seakan buta, tetap tertawa walaupun melihat orang yang sedang menderita di depan matanya. Straw ingin menangis, bahkan ingin sekali menangis sekeras mungkin. Ia ingin sekali berteriak kepada orang-orang ini,
Kalian lebih buruk daripada orang-orang Junksteel!
Napas ibu hampir tidak bisa dirasakan lagi oleh Straw. Mereka berdua terus berjalan dengan hati hampa, tanpa tujuan. Puluhan orang lalu lalang dengan santainya di hadapan mereka, tersenyum tanpa melihat ke arah mereka, tertawa tanpa peduli kepada mereka. Tatapan Straw kosong, sedangkan Beelbo tak henti-hentinya mengusap air mata. Di tengah perjalanan penuh kehampaan, Beelbo tersekat langkahnya setelah melihat sebuah plang bertuliskan,
HOME CLINIC
dr. Salvaur Pollar
buka praktik jam 06.00-21.00
Dengan hati yang sedikit senang dan penuh harapan, mereka bergegas membawa ibu ke tempat tersebut. Di belakang plang tersebut, berdiri sebuah bangunan kecil bertembok putih, dengan pintu kaca yang gelap, dan lantai keramik putih yang licin, lebih mirip seperti rumah. Pintunya tertutup rapat karena memang ini sudah jam tutup. Beelbo menggedor-gedor pintu dengan keras.
"Pak Dokter, tolong selamatkan ibu kami! Ibu kami sedang sakit parah! Pak Dokter tolong ibu kami!" pekik Beelbo yang kemudian diikuti oleh Straw,
"Pak Dokter!!! Tolong—" pekikan Straw terhenti kala pintu kaca itu dibuka dengan gaduh.
"Ada apa ribut-ribut?! Tidakkah kalian melihat ini jam berapa?!" bentak seorang pria yang mengenakan jas putih dan rambut sedikit acak-acakan. Beelbo dan Straw duduk dengan posisi kedua lutut ditekuk dan membungkukkan badan memohon kepada sang dokter.
"Tolong ibu kami, Pak Dokter! Ibu kami sedang sekarat!" Suara Straw bercampur dengan isak tangisnya. Satu-satunya harapan mereka ada pada dokter ini. Sudah beberapa kali mereka menangis di hadapan orang-orang, namun mereka tidak dihiraukan. Apakah orang di hadapan mereka ini akan melakukan yang sebaliknya? Mungkin tidak.
"Pergi sana. Kami sudah tutup," sahut dokter tersebut dengan dingin.
Straw menggeram, tubuhnya tak mampu lagi menahan gejolak amarah yang tersekat di tenggorokannya.
"SIALAN!!! Kalian semua ... kenapa ... KENAPA MEMPERLAKUKAN KAMI BEGITU KEJAM?!!!"
"Ibumu sudah meninggal beberapa menit yang lalu. Menyerahlah."
Dokter tersebut segera menutup dan mengunci pintu dengan beberapa gerendel, meninggalkan Straw dan Beelbo yang terduduk lemas setelah mendengar perkataan tersebut. Hancur tak karuan, mungkin itu adalah kata yang pantas untuk mendeskripsikan keaadan mereka saat ini. Ibu yang merupakan satu-satunya orang tua yang mereka miliki, kini tergendong tak bernyawa. Wajah Straw tidak lagi merasakan hembusan napas dari liang kehidupannya.
Angin dingin memperparah keadaan mereka. Sama sekali tidak menghangatkan tubuh ataupun hati mereka. Suara klakson yang saling bersahutan seakan mengiri jasad ibu yang sedang tertidur selamanya di puggung Straw. Langkah kaki mereka semakin tidak ada tujuan. Mereka berhenti di sebuah bangku di pinggir jalan. Straw mendudukkan ibunya ke bangku tersebut dan memberinya air minum. Ibu tak bisa lagi bergerak sehingga Straw harus menadahkan air itu perlahan ke mulutnya. Dengan lembut, Straw mengusap bekas air di bibir ibu. Jemarinya merasakan dingin yang luar biasa dari tubuh wanita itu.
"Beelbo ... kita makamkan ibu ke tempat yang paling tenang. Tidak ada lagi yang akan menyiapkan makan malam untuk kita. Aku tidak akan sempat memasak, jadi kau harus mandiri."
Perlahan air mata Beelbo mengalir kembali membasahi pipinya. Tangisannya amat keras, lebih keras dari tangisan yang telah lalu. Mungkin ini adalah suara hatinya yang paling dalam dan juga merupakan tangisan yang terakhir.
Di bawah sinar matahari yang baru setengah berdiri, sebuah bukit hijau yang merupakan perbatasan antara pusat Kota Wings dan Junksteel menjadi tempat peristirahatan terakhir untuk ibu. Dengan baju yang sekarang telah menjadi cokelat pekat dan kuku jari yang menghitam dipenuhi butiran tanah, Straw dan Beelbo duduk termenung di samping makam wanita tersebut. Tidak ada percakapan di antara mereka, hanya sekedar mata yang menatap kosong matahari terbit.
To be cointinue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top