Bab Spesial : Kisah Sang Iblis Bagian Kedua

Hari-hari berat kian berlalu, Straw harus menggantikan ibunya bekerja sebagai pengumpul kaleng. Pagi hingga sore ia bekerja di tengah lautan sampah. Panasnya terik matahari dan busuknya bau sampah, semua itu dipikul oleh tubuh kecil Straw. Sebelum beranjak pulang, Straw pergi ke sungai untuk mencari ikan-ikan kecil untuk makanan di rumah. Tak banyak ikan yang dia dapat, karena hanya di musim tertentu saja yang terdapat banyak ikan.

Sesampainya di rumah, Straw membantu ibunya di dapur.

"Ibu, bagaimana tanganmu?" tanya Straw.

"Sudah tidak bengkak lagi kok, tapi masih sulit digerakkan. Ibu yakin sebentar lagi pasti akan sembuh," jawab ibu menenangkan. Straw tau kalau tangan ibunya bukan sulit digerakkan, tapi malah tidak bisa lagi digerakkan. Lukanya cukup parah dan sempat membengkak beberapa hari, ditambah lagi luka tersebut tidak diberikan obat. Mereka tidak punya uang untuk pergi ke dokter, jadi luka itu hanya dikompres saja.

Straw sangat geram tiap kali mengingat kejadian kemarin. Hatinya seketika diselimuti uap amarah. Namun, setiap kali melihat senyum ibunya, Straw selalu merasa sedih. Bagaimana ibu masih bisa tersenyum saat dirinya menderita? Pikiran tersebut selalu terngiang di kepala Straw.

Keesokan harinya, Straw berhasil mendapatkan beberapa ikan besar. Seringai puas terlukis di wajahnya saat pulang dan melangkah dengan rasa gembira. Baru saja jalan beberapa langkah, Straw melihat seseorang sedang duduk melamun di tepi sungai. Itu adalah Asce. Straw bergegas menghampirinya.

"Yo, Asce! Maaf, beberapa hari ini aku tidak bisa main dengan kalian. Aku harus membantu pekerjaan ibuku," ujar Straw.

"Tidak apa-apa," sahut Asce dengan lesu. Mukanya merah, terutama bagian hidungnya. Sesekali ia terlihat terisak.

"Ada apa denganmu, Kawan?"

"Tidak apa-apa."

"Kau menangis?"

"Aku tidak menangis, sialan." Suara Asce terdengar gemetar. Perlahan, satu, dua air mata mengalir di pipinya.

"Asce, apa yang terjadi padamu?"

Suara isaknya berubah menjadi sebuah tangisan.

"Aku ... sekarang hidup sendirian."

Straw terkejut dengan perkataan temannya itu.

"Apa maksudmu sendiri? Ke mana orang tuamu? Dan adik perempuanmu?"

"Orang tuaku ... mereka meninggal kemarin. Mereka dipukuli oleh penagih pajak hingga tewas." Tangisan Asce semakin keras. Straw begitu terperanjat dengan apa yang dikatakan temannya.

"Bagaimana dengan adikmu?"

"Dia dibawa oleh mereka. Aku tidak tau harus berbuat apa ...."

Straw semakin geram. Hatinya tak kuasa lagi menahan amarah yang membendung. Dia mengatupkan giginya erat-erat. Matanya menatap tajam penuh kemurkaan.

"Asce, ayo kita selamatkan adikmu! Kita akan menghajar mereka!" seru Straw. Asce mengangkat kepalanya perlahan. Air mata yang mengalir di wajahnya berhenti seketika.

"Bagaimana caranya? Kita hanya anak kecil," cetusnya.

"Kau lupa? Aku kan punya kekuatan super hebat," Straw meyakinkannya. Asce tidak tahu apa yang akan mereka lakukan nanti, namun ia meneguhkan hati, dan membalas dengan anggukan setuju. Apa pun yang terjadi, tekad mereka untuk menyelamatkan adik Asce sudah membulat dengan amarah.

Esok pagi, tepat saat matahari baru menunjukkan batang hidungnya, Straw dan Asce sudah berada di halaman kantor para penagih pajak dengan menggenggam sebuah bambu runcing. Kantor tersebut terletak di sudut lautan sampah tempat Straw bekerja. Mereka berdiri mendongak, menatap tingginya pagar kawat yang mengelilingi tempat tersebut.

"Di sana, ada bagian atas pagar yang tidak memiliki jeruji. Kita akan masuk lewat situ," ujar Straw, menunjuk bagian jeruji pagar yang rusak. Mereka memanjat pagar tersebut dengan hati-hati. Straw mengedarkan pandangan ke sekitar, memastikan tidak ada yang melihat mereka. Kantor itu berdinding besi hitam dan berlantai dua, lebih mirip sebuah penjara daripada kantor pajak.

Straw dan Asce menggeliat masuk lewat pintu belakang. Mereka masuk dengan mudahnya karena pintu tidak terkunci. Di dalam terasa dingin dan gelap, lantainya kotor dan becek, tak sedikit tikus yang lalu lalang di kaki mereka. Dengan perlahan dan hati-hati, mereka berjalan menyusuri tempat tersebut yang tampaknya terlalu besar untuk disebut sebagai kantor. Di dalamnya terdapat pintu-pintu menuju ke ruangan yang gelap.

Straw berjalan perlahan, diikuti dengan Asce yang berjaga di belakang. Mereka mengintip satu per satu pintu tersebut, dan yang tertangkap di mata mereka hanyalah kegelapan.

"Sial! Di mana mereka mereka membawa adikku?" gumam Asce kesal.

"Kita ke lantai atas," ujar Straw.

Tangga yang terbuat dari besi terasa licin di sandal lusuh mereka. Sesosok bayangan berjalan perlahan dari lantai atas. Itu adalah salah satu penagih pajak. Straw dan Asce menunduk waspada.

"Dia yang membawa adikku," bisik Asce.

Penagih pajak tersebut berlalu. Mereka berjalan cepat dan langsung berbaur di lorong lantai dua. Beberapa pintu besi berjajar di sepanjang lorong. Mereka membuka satu per satu pintu tersebut dengan perlahan. Rasa cemas mulai menghantui pikiran mereka. Adik Asce pasti sangat ketakutan sekarang. Tepat di pintu paling ujung, di dalam ruangannya terlihat seorang gadis kecil tergeletak di lantai dengan tubuh yang penuh luka lebam.

"Ru ... Ruca!!!" teriak Asce. Dia menghampiri adiknya dan langsung memeluknya.

"Ruca, Ruca, bangunlah! Kumohon!"

Air mata kepedihan mengalir deras di pipi Asce. Hatinya merintih sakit melihat adiknya diperlakukan seperti ini.

"Asce, jangan bilang dia sudah ... "

"Tidak, dia masih hidup, tapi ... tubuhnya penuh luka ... pasti sakit ...."

Gigi Straw merapat dengan keras. Genggaman erat tangannya meretakkan bambu runcing yang sedang ia pegang. Matanya memancarkan kilauan cahaya kuning, menandakan amarah yang memuncak.

Sebuah tongkat besi mengayun ke arah Straw. Ia dengan sigap memiringkan badan dan berhasil menghindarinya. Hantaman tongkat tersebut membuahkan sebuah bengkokan lantai besi.

"Bocah-bocah sialan! Apa yang sedang kalian lakukan di sini?!" ucap dengan geram si penagih pajak.

"Apa kau yang melakukan ini kepada gadis kecil di sana?" tanya Straw dengan tatapan tajam bagaikan iblis yang tengah mengunci mangsanya.

"Memangnya mau apa kau, hah?!" penagih pajak kembali mengayunkan tongkatnya kepada Straw. Kali ini, Straw menepisnya dengan tangan kiri.

"Kau tidak pantas hidup di dunia ini," ucap Straw. Matanya membalas tajam tatapan penagih pajak, membuat tubuh penagih pajak merasakan gemetar yang amat dahsyat seakan sebuah mautlah yang sedang menatapnya. Straw mengangkat tangan kanannya yang menggenggam bambu runcing, lalu menusuk tubuh penagih pajak hingga tembus ke punggung. Sebuah pemandangan mengerikan terjadi di dalam kantor tersebut. Darah yang kental mengucur deras, membasahi lantai besi yang dingin. Tubuh penagih pajak terhuyung ke belakang, mulutnya menganga seperti hendak mengucapkan sesuatu, namun kematian sudah di pangkal tenggorokannya. Tubuhnya terjatuh dan tak bergerak. Derapan beberapa langkah kaki beradu dari kejauhan.

"Hey! Apa yang terjadi di sana?!" penagih pajak yang lain mulai berdatangan. Asce menggendong sang adik di punggungnya.

"Straw, kita harus pergi dari sini!"

Mereka berlari keluar menyusuri lorong.

"Berhenti kalian!" para penagih pajak mengejar mereka. Straw dan Asce berlari sekuat tenaga, hingga sebuah ujung lorong menghentikan langkah mereka.

"Sial! Jalan buntu!" gumam Asce.

"Tidak ada pilihan lain, aku akan melawan mereka. Larilah selagi mereka sibuk denganku," Straw berkata.

"Tidak, kita akan keluar bersama!"

"Jangan bodoh! Adikmu sedang terluka dan kekuatan saktiku tidak bisa digunakan lagi, kita tidak mungkin bisa melawan mereka."

"Kita saja tidak bisa, apalagi kau sendirian. Aku tidak mau kehilangan adikku dan aku juga tidak mau kehilangan sahabat bodoh sepertimu."

"Cih, dasar bodoh!"

Sebuah gempa tiba-tiba mengguncang. Lantai besi mulai bergetar dan terdengar suara besi yang beradu disertai gemuruh. Penopang tubuh para penagih pajak tak kuasa menahan guncangan tersebut, kemudian sempoyongan, dan terjatuh. Straw dan Asce mencoba berpegangan pada dinding.

Para penagih pajak berteriak panik, "Ada apa ini?! Apa yang terjadi?!"

Guncangan berhenti seketika, namun suara gemuruh kian menjadi.

"Straw, ini kesempatan kita!" ucap Asce. Melihat para penagih pajak yang masih terhuyung di lantai, mereka mengambil langkah seribu, menerobos sekumpulan penagih pajak dengan cepat. Tiang-tiang besi mulai berjatuhan, mereka terus berlari tanpa memedulikan hal tersebut.

"Kejar mereka!" para penagih pajak bangkit dan kembali mengejar mereka. Suara gemuruh yang lebih keras seketika muncul. Sebuah besi raksasa ambles dan menimpa para penagih pajak.

"Apa yang barusan itu?" tanya Asce.

"Tidak usah dipedulikan, teruslah berlari."

Mereka berhasil turun ke lantai satu dan langsung menuju pintu keluar. Selang beberapa detik setelah mereka keluar, kantor penagih pajak rubuh total. Straw dan Asce terbelangah melihat tempat tersebut berubah menjadi sebuah reruntuhan besi.

"A-apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Asce terheran.

"Aku tidak tahu. Sedetik saja kita tidak keluar, mati kita," ucap Straw yang sama herannya.

"Straw, lihat itu!" Asce menunjuk ke arah lautan sampah.

Mata Straw membelalak. Tumpukan sampah yang bagaikan lautan kini berubah menjadi sebuah lubang raksasa yang gelap. Tanah-tanah di sekitar pun dipenuhi retakan-retakan besar.

"Semua sampah menghilang?!!! Tidak mungkin! Dan lagi, lubang apa ini?!" ujar Straw.

"Mungkinkah ada meteor jatuh?!"

"Tidak mungkin, Bodoh!"

Mereka berjalan mendekati tepi lubang dan menoleh ke bawah. Hanya kegelapan yang ada sejauh mata memandang. Lautan sampah kini berubah menjadi lautan kegelapan yang tak berdasar. Mata mereka membelalak semakin tidak percaya.

"Tidak mungkin ...," gumam mereka berdua.

Dari arah yang tidak terlalu jauh, terlihat dua orang laki-laki yang sedang memandangi lubang besar tersebut. Satu orang sedang berjongkok sembari meneriaki sesuatu.

"Oiii! Kakeeek! Kau tidak apa-apa?"

Straw dan Asce belum pernah melihat orang-orang tersebut. Mereka mengenakan mantel abu-abu dan topi bertepi yang juga berwarna abu-abu. Orang yang sedang berjongkok terlihat lebih pendek dari yang di sampingnya.

"Kau tidak perlu khawatir. Kakek memang begitu sifatnya, selalu ceroboh," ujar rekannya.

"Dasar tidak ingat umur."

Tak lama kemudian, terlihat sebuah tangan menapak di tepi. Tampaknya orang tersebut datang dari dalam lubang. Tangannya yang lain ikut menapak dan berusaha naik ke permukaan. Seorang kakek tua muncul, dan berdiri sembari merapihkan mantel abu-abunya yang penuh debu.

"Kakek! Kau lama sekali," sambut orang bertubuh pendek dengan wajah kesal.

"Maaf, maaf, lubang yang kubentuk lebih dalam dari dugaanku ternyata. Ya ampun, punggungku sakit sekali. Tempat kotor selalu membuatku menderita." Sang kakek menyapu debu di sikunya. Tubuhnya tampak berotot namun terlihat kurus, kedua matanya tertutup dan terdapat luka sayatan di masing-masing kulit matanya, Ia tertawa dengan suara serak yang gemetar.

Orang bertubuh tinggi tersenyum dan menepuk-nepuk tangannya. "Baiklah semuanya, ayo kita segera pulang. Sekarang tempat ini sudah bersih,"

Straw dan Asce berlari mendekati mereka.

"Hoi! Kalian siapa? Apa yang kalian lakukan di sini?" ketus Straw.

"Penduduk lokalkah? Maaf telah membuat keributan, Nak. Kami hanya sedang membersihkan tempat ini," ujar orang bertubuh tinggi.

Kening Straw berkerut. "Membersihkan? Apa kalian yang menghancurkan tempat ini?!"

"Lebih tepatnya kakek sihir ini," ucap orang bertubuh pendek dengan nada ketus.

"Tidak mungkin ... sebenarnya siapa kalian?!"

Sang kakek tertawa kecil. Ia berjalan melewati Straw dan Asce, kemudian diikuti oleh dua orang tersebut.

"Hoi, Kakek Tua! Jawab pertanyaanku!"

"Kami hanya petugas kebersihan, Nak, yang bertugas membersihkan sampah-sampah di dunia ini," ucap sang kakek dengan suara yang ringan, namun terdengar penuh makna. Ketiga orang tersebut berlalu meninggalkan Straw dan Asce yang masih dilanda seribu tanda tanya.

"Ka ... kak." Terdengar suara rintihan perih dari sang adik.

"Bertahanlah, Ruca. Kita akan pulang sebentar lagi," ucap Asce menenangkan.

Straw memandangi mereka berdua dengan wajah iba. Akankah ini menjadi akhir dari penderitaan mereka? Mengetahui bahwa sudah tidak ada lagi penagih pajak dan sampah yang menjadi sumber kesengsaraan mereka selama ini. Melekat rasa senang di hatinya, namun juga terselip rasa cemas yang dalam.

"Kita akan membawa Ruca ke rumahku. Ibuku akan mengobatinya di sana."

"Straw ...."

"Hmm?"

"Terima kasih, Kawan."

"Baru kali ini kau mengucapkan terima kasih kepadaku, apa kepalamu terbentur besi-besi tadi?"

"Tentu saja tidak, Bodoh!"

"Sudah, sudah, itu tidak penting. Kita harus bergegas, kasihan adikmu."

Mereka berjalan mengitari tanah yang masih tersisa pada pinggiran lubang. Tampaknya takdir maut belum selesai menguji mereka. Satu pijakan saja yang salah, habislah mereka. Sesampainya di rumah, ibu tampak terkejut melihat penampilan mereka acak-acakan dan dekil, ditambah lagi dengan adik Asce yang sedang tidak sadarkan diri dan penuh luka, amat terperanjatlah ibu hingga ia membekap mulutnya.

Ibu bergegas mengambil air dingin dan lap. Sembari ia mengobati, Straw menceritakan semua kejadian yang telah mereka alami, mulai dari menolong adik Asce sampai bertemu tiga orang asing mencurigakan yang telah mengubur tempat sampah tersebut. Ibu berkata bahwa ia sempat merasakan guncangan yang dahsyat. Mendengar cerita Straw yang penuh bahaya, wajah ibu berubah cemas, matanya sesekali berkaca-kaca. Straw tahu ibunya mengkhawatirkannya, tapi ini semua demi menolong sahabatnya dan melawan kesengsaraan di tempat ini.

"Sekarang ibu tidak usah khawatir. Orang-orang jahat itu sudah tidak ada lagi." Kata-kata tersebut bagaikan mimpi bagi Straw yang sekarang berhasil ia ucapkan dengan sepenuh hati. Ibu enggan membuka mulut untuk berkomentar, namun sebuah senyuman kecil sekilas terlintas di wajahnya. Straw memandangi wajah lembut ibunya dan perlahan melebarkan senyuman. Semakin lebar bibirnya membentang, semakin bebas perasaan yang membelenggu hatinya.

Dua minggu telah berlalu, Luka pada tubuh Ruca berangsur pulih. Ia sudah bisa bergerak dan membantu pekerjaan ibu di dapur. Karena tidak ada lagi sampah yang menjadi sumber penghasilan, kini Straw dan Asce harus pergi ke sungai pada pagi buta. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang kumuh sembari menengteng beberapa ember kecil. Wajah Asce terlihat ragu-ragu saat berpaling menatap Straw.

"Straw, soal kejadian dua minggu yang lalu ... apa kau tidak apa-apa?" Asce bertanya dengan terbatah.

"Apa maksudmu?"

"Kau kan ... telah menghilangkan nyawa seseorang. Apa kau tidak merasakan sesuatu tentang itu?"

"Yah, itu, awalnya aku merasa takut karena selalu terbayang akan hal itu. Tapi sekarang tidak apa-apa kok."

Asce tertawa kecil. Ia memandangi kakinya yang melangkah bergantian.

"Kau orang yang kuat, Straw."

"Tidak, kau jauh lebih kuat, Asce."

"Tidak, tidak, kau yang terkuat di sini."

"Tidak, tidak, tidak, kau yang kuat!"

"Ngajak berantem, hah?!"

"Kau yang cari ribut!"

Mereka berdua berlari dengan kencang dan saling beradu kecepatan. Tawa dan keceriaan masa kanak-kanak terlihat jelas di wajah mereka. Tidak ada lagi kekerasan, tidak ada lagi kebencian, mereka hanyalah dua anak kecil yang sedang bermain.

Kala matahari berganti ke sinar oranye, Straw dan Asce pulang dengan ember yang penuh dengan ikan dalam berbagai jenis dan ukuran. Setidaknya ikan-ikan ini cukup untuk makan sehari-hari dan tidak perlu khawatir akan dirampas oleh para penagih pajak lagi. Beginilah kehidupan baru mereka sekarang ini. Bukan lagi keluarga yang sengsara, namun sekarang menjadi keluaga yang bahagia.

To be continue ...


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top