Bab 9 : Senyuman Terakhir Yang Tak Tersampaikan
"Bocah, dengarkan baik-baik! Konsentrasi pada kelima indramu, rasakan semua bahaya yang ada disekitarmu, dengar baik-baik irama jantungmu, lalu arahkan semua itu ke matamu," Straw mengarahkan dengan suara yang berat.
Ia memejamkan mata, begitu juga dengan Alan. Semua yang ada di dalam ruangan bergeming. Selang beberapa detik, mereka berdua membuka mata. Cahaya kuning terpancar di kedua mata mereka, memperlihatkan tatapan yang haus akan membunuh.
Para anggota Brown Dusk mulai menarik pelatuk pistol di genggaman mereka. Straw bergerak dan menghempaskan semua peluru yang mengarah ke kami. Tidak ada lecet sedikit pun di tangannya, bagaikan terbuat dari baja. Seringai khas tetap tak luput dari wajahnya.
Straw mengayunkan pukulan pada seorang anggota Brown Dusk, membuat rekan-rekan yang ada di belakang orang tersebut ikut terhempas. Julukan 'Sang Iblis' memang bukan isapan jempol belaka. Alan melompat maju bagaikan sekelebat angin. Ia mengayunkan kakinya kepada Straw yang langsung menangkisnya dengan satu tangan.
"Kau sebut ini serangan? Buruk sekali."
Kata-kata Straw tersebut membuat Alan memanas. Ia melayangkan tendangan bertubi-tubi kepada Straw, namun dengan mudah dihindari dan ditangkis olehnya. Disaat ada celah pada Alan, Straw memukul wajahnya sebagai serangan balik, membuat Alan terpelanting jauh. Para anggota Brown Dusk kembali menembaki Straw. Ia menghindar dengan cepat, setiap gerakannya hampir tidak bisa kulihat, persis seperti saat Sliver menyerang kami.
"Bocah, apa matamu sudah berubah? Kau bisa terkena tembakan lho," ujar Straw sembari menghindari beberapa peluru yang mengarahnya.
"Aku tidak bisa. Aku tidak mengerti!"
"Riwayat nilai sekolahmu pasti buruk, ya? Begitu saja tidak mengerti. Kalau kau masih tidak bisa, terpaksa kau harus remedi."
Rick mulai mengepalkan kedua tangannya dan bersikap bak seorang petinju. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Bersiap, Raid! Beberapa dari mereka sepertinya mulai putus asa dan mengganti target ke kita. Aku akan maju!" Rick memperingati.
Ia melompat ke deretan kursi di samping dan langsung merangkak. Aksinya itu mengundang puluhan peluru yang menghujaninya, namun terhadang oleh punggung kursi.
"Rick!" aku berteriak. Namun, suaraku malah menjadi serangan balik. Laras pistol mereka kini tertuju padaku. Aku segera menunduk dan merangkak perlahan mengikuti Rick. Sialan, aku tidak bisa mengaktifkan mata itu, bagaimana aku melakukannya saat itu? Berpikirlah, ayo berpikir!
Setelah sahutan bunyi peluru mulai mereda, Rick melompat keluar dari balik kursi dan berlari menuju para Brown Dusk. Pukulan keras langsung mendarat ke wajah satu orang dari mareka. Para anggota Brown Dusk tumbang satu per satu karena serangan Rick.
Aku tahu Rick memang anak berandal, tapi aku tidak tahu dia bisa bertarung sehebat itu. Aku tidak mau berdiam diri saja. Aku berlari mendekati Rick yang sedang berhadapan dengan beberapa orang. Salah seorang berniat menyerang Rick dari belakang. Dengan sigap, aku melangkah dengan cepat dan memukul wajah orang tersebut hingga tersungkur.
Rick menatapku dengan senyum lebar khasnya.
"Lama sekali aku menunggu mata saktimu itu," ucapnya.
Rick benar, Semua yang kulihat bergerak dengan lambat. Peluru-peluru yang meluncur mengincar Straw, para Brown Dusk yang mencoba mendekati kami, dan Alan yang berusaha berdiri dengan luka lebam di pipinya, semuanya terlihat melambat. Straw melemparkan sebuah belati kepadaku yang kutangkap dengan panik karena mata pisaunya mengarah tepat kepadaku.
"Aku berani taruhan, kau pasti tidak membawa pistolmu," ujar Straw yang sedang menghindari beberapa peluru yang melintas di hadapannya.
"Kalau kau tidak mau menggunakan belati itu untuk melukai musuh, maka gunakanlah untuk melindungi temanmu."
Rick kembali bergaya ala petinju ditambah dengan senyumnya yang makin melebar.
"Aku akan menumbangkan mereka, kau lindungi aku dari serangan mereka. Ayo kita obrak-abrik tempat ini!" Rick berseru dengan lantang.
Aku mengangguk dengan penuh semangat. Rick maju dan menghantam mereka dengan pukulan yang membabi buta. Serangannya brutal nan gila, membuat para Brown Dusk mundur beberapa langkah.
"Maju kalian!!!" Rick berteriak menantang.
"Jangan jadi pengecut, dasar orang-orang tidak berguna! Bunuh mereka semua!" balas Tuan Jake memanas-manasi.
Para Brown Dusk mengacukan pistol ke arah kami dan menembak dengan brutal. Setiap peluru yang meluncur terlihat jelas di mataku. Bisa kuprediksi lintasan dan putarannya, bahkan arah menukik dan tempat mendarat peluru tersebut, semuanya dapat kuketahui.
Aku menepis setiap peluru yang datang dengan belati yang kugenggam. Terdengar suara logam beradu yang memekakkan telinga. Mereka tercengang melihat peluru yang mereka tembakkan tidak ada yang mengenai kami satu pun, bahkan mendekat saja belum.
"Bagus, Raidy! Aku bisa bertarung lebih leluasa kalau begini." Senyuman Rick kini lebih seperti sebuah seringai. Dua orang sedang bertarung sembari menyeringai ke hadapan musuh-musuhnya, membuatku ingin menunjukkan seringai milikku, aku juga punya.
"Majulah kaliaaan!!!" teriakku penuh semangat.
"Wah wah. Bocah, kau terlalu bersemangat dilatihan pertamamu, aku tak menyangka naluri keluargamu yang haus akan pertarungan telah menurun kepadamu. Jangan ceroboh, Bocah," Straw memperingati. Ia masih disibukkan dengan Alan yang kini menggunakan shotgun-nya untuk menyerang. Satu tembakan dari senjata itu bisa melontarkan beberapa peluru sekaligus. Kecepatan pelurunya pun sangat berbeda dari pistol dan tentu saja kekuatannya lebih besar karena sanggup menghancurkan satu kursi.
"Kenapa, Tuan Iblis? Kau tidak berani lagi menyerangku?" pekik Alan. "Tenang saja, peluruku masih banyak. Ayo kita bersenang-senang lebih lama lagi."
"Maaf, Tuan berponi panjang sebelah. Sebenarnya, aku agak terganggu dengan suara sahabatmu itu, jadi kita selesaikan saja sekarang."
Straw menyodorkan pukulannya, namun berhasil dihindari oleh Alan. Dengan sigap, Alan berbelok ke punggu Straw dan menendangnya hingga terpental ke deretan kursi. Sebagian kursi hancur karena hantaman keras dari tubuh Straw.
"Straw!" aku memanggilnya. Straw bergeming beberapa saat, kemudian perlahan dia mencoba untuk berdiri. Ia menyapu debu di lengan mantelnya dan memeriksa sebuah sobekan di sikunya.
"Hoi, Rambut Emo. Kau sudah merobek mantel kesayanganku. Aku bakal sangat marah lho," ucap Straw dengan wajah kesal. Seringainya seketika menghilang, digantikan dengan kerutan di keningnya. Alan hanya terkekeh menanggapi kata-kata Straw tersebut.
"Memangnya kenapa kalau kau marah? Kau akan bertambah kuat? Jangan membuatku tertawa. Menandingi shotgun-ku saja kau tidak bisa," tukas Alan.
"Sudah kubilang, jangan main-main denganku. Perlu kau tahu ... aku belum menggunakan pistol di tanganku ini."
Seringai Straw muncul kembali. Selama bertarung, Straw memang belum menarik pelatuk pistolnya sekali pun. Pistol milik Straw memang agak berbeda dari pistol yang selama ini kulihat. Warnanya hitam pekat, ukurannya agak besar, dan terdapat gambar seekor naga yang seolah sedang meliliti larasnya.
Straw melebarkan kakinya. Aureum Eyes di matanya tampak lebih berbinar. Dia meletakkan kaki kanan ke belakang, membungkuk, dan bergeming sesaat. Selang beberapa detik, Straw maju dengan melangkah lebar dan melompat. Gerakannya masih terlihat cepat walaupun kulihat dengan Aureum Eyes. Dengan kecepatan itu, Straw mengayunkan pistol di tangannya layaknya sebuah pedang, kemudian menembakkannya. Alan terperanjat, peluru Straw meluncur dengan sangat cepat dan menembus pundak kirinya.
Alan jatuh kesakitan memegangi pundaknya yang telah bolong karena peluru. Darah mengalir deras dari pundaknya, membuat beberapa rekannya menghampirinya. Semua anggota Brown Dusk berhenti bergerak.
"Jangan pedulikan aku! Musuh masih berdiri di sana!" teriak Alan kepada rekan yang mendekatinya.
Straw memejamkan mata dan mengubah matanya menjadi semula. Dia memasukkan pistolnya ke balik mantel, seolah menganggap bahwa pertarungan ini sudah selesai.
"Peluru itu bukan peluru biasa. Ada racun yang terselipkan dalam peluru tersebut. Memang tidak akan menyebabkan kematian, namun efeknya dapat melumpuhkan sebagian besar ototmu dalam jangka waktu 24 jam," ujar Straw memberitahu.
"Aku tidak akan membunuhmu, karena kau bukanlah target kami. Target kami sebenarnya adalah - "
Suara tembakan tiba-tiba meletuk dan sebuah peluru menyambar dada Alan. Ia menjerit kesakitan sambil memuntahkan darah di mulutnya. Mata Straw membelalak melihat kejadian tidak terduga itu. Seisi ruangan pun sama terkejutnya. Siapa yang menembak itu?
"Benar-benar tidak berguna. Aku sudah membayar mahal kalian, tetapi kalian malah gagal. Dasar lemah!" Tuan Jake menyahut dari sudut ruangan sambil mengokang pistolnya.
"Mudah sekali membunuhmu kalau kau sudah terkapar seperti ini, Alan. Itu menunjukkan betapa lemahnya dirimu, betapa lemahnya para anak buahmu! Biarkan aku sendiri yang akan menghabisi para penganggu itu -" disaat Tuan Jake sedang berceloteh, Straw dalam sekejap mata sudah berdiri di hadapannya. Dengan wajah yang penuh amarah dan tatapan membunuh yang tajam, Straw menghantam dada Tuan Jake dengan satu tangannya hingga tembus sampai ke punggung.
Darah tersembur keluar dari punggung Tuan Jake, membuat tangan Straw merah pekat penuh dengan darah. Dinding, kursi, bahkan wajah Straw sendiri juga penuh dengan cipratan darah.
"Aku sangat tidak suka orang yang mempermainkan orang lain dan merendahkan kerja kerasnya."
Straw menarik tangannya dan menjatuhkan tubuh Tuan Jake yang seketika sudah tak bernyawa. Sungguh pemandangan yang mengerikan bagiku dan kuyakin semua orang di sini juga merasakan hal yang sama, dilihat dari wajah mereka yang terperangah.
Ditengah suasana yang mencekam, terdengar suara dering handphone. Alan yang masih setengah sadar berusaha keras mengambil handphone tersebut dari kantong celananya. Dia meminta tolong kepada rekannya untuk menjawab panggilan tersebut. Alan berusaha menangkat suaranya yang sudah tersekat.
"Itu pasti ... dari Irina. Aku berjanji padanya untuk pulang cepat hari ini."
Salah satu rekannya menjawab panggilan tesebut dan meletakkan handphone itu ke telinga Alan.
"Kakak curang! Katanya hari ini kakak akan pulang cepat, aku sudah membeli semua bahan kuenya," sahut sebuah suara lenting dari seorang perempuan.
Alan memaksa suaranya yang tersekat agar bisa berbicara dengan lancar.
"Maaf Irina ... kakak tidak bisa pulang hari ini. Ada pekerjaan yang perlu kakak selesaikan ... maaf telah mengacaukan hari ulang tahunmu."
"Hmmm, tapi aku ingin makan kue ..."
"Maaf ..."
"Aku juga bosan sendirian di rumah. Kapan kakak pulang?"
"Entahlah ... kakak sibuk sekali, maaf yaa ...."
"Ya sudah deh, kita buat besok saja! Kita akan membuat yang lebih besar dan lebih enak dari kue mana pun. Janji ya?"
Alan sudah tak bisa mengucapkan kata-kata lagi. Dia telah menghembuskan napas terakhir dengan senyuman di wajahnya. Rekan yang memegang handphone tersebut memutuskan panggilan. Suasana kembali hening. Para Brown Dusk memasang wajah muram, merasa duka yang sangat mendalam karena ditinggal selamanya oleh pemimpin mereka. Salah satu anggota maju dan menutupi wajah Alan dengan topi fedora cokelat sebagai tanda perpisahan.
"Alan, kami akan menjaga adikmu. Beristirahatlah dengan tenang," ucapnya.
Straw bersahut dari tempatnya,
"Misi kita telah selesai, Bocah. Ayo kita pulang."
Kami pun beranjak dari tempat tersebut tanpa berucap sepatah kata pun. Straw membersihkan percikan darah di wajahnya dan melepas mantelnya. Wajahnya tampak datar dan tatapannya masih tajam. Kami bertiga berjalan di lorong gedung bioskop tanpa berbicara apa pun.
Ketika sampai di pintu keluar, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Kami disambut oleh kumpulan polisi yang sudah mengacungkan pistolnya ke arah kami. Sontak kami terkejut. Straw langsung mengaktifkan Aureum Eyes-nya.
"Bocah, segera masuk ke dalam!"
Kami masuk kembali ke gedung bioskop dan berlari sekuat tenaga. Suara tembakan terdengar rusuh di belakang kami.
"Kenapa polisi bisa ada di sini?! Aku tidak mau dipenjara," kata Rick.
"Aku tidak tahu, pokoknya terus berlari."
Kami berbelok dan menaiki tangga menuju lantai atas. Straw menyusul kami dengan cepat serta membawa para polisi yang sedang mengejarnya. Kerusuhan seketika terjadi di dalam gedung ini. Saat kami sedang menaiki tangga, dua orang polisi menghadang kami di atas. Tapi, seketika kedua polisi itu tumbang tanpa sebab. Ternyata, di belakang mereka berdiri seseorang dengan mantel hitam dan topi fedora hitam serta poni yang acak-acakan. Itu adalah Louis. Dia mengisyaratkan kami agar mengikutinya.
Straw segera menyalip kami dan berlari sejajar dengan Louis.
"Louis, bagaimana keadaannya?" tanya Straw.
"Ice sudah menyiapkan jalur pelarian di atap gedung."
"Polisi apa yang sedang mengejar kita?"
"Sebagian pasukan biasa dan sebagiannya lagi pasukan elit."
Straw mendengus.
"Sial, betapa tidak beruntungnya kita."
Setelah menaiki beberapa tangga, kami sampai di atap gedung bioskop. Angin berhembus dengan kencang di atas sini. Deruan anginnya terasa beradu di telingaku. Louis mendekat ke sebuah tiang yang diikatkan sebuah tali, dan tali tersebut telah terhubung ke gedung di sebelah.
"Semuanya, ke sini!"
Kami mengikuti perkataanya.
"Tali ini sudah terhubung dengan Gedung Thousand Store, tepatnya di toilet lantai 4. Ice sudah menunggu kita di sana."
Louis menunjuk ke sebuah jendela besar yang terbuka. Ice terlihat melambaikan tangan dari sana. Louis memasang sebuah pengait pada tali tersebut untuk digunakan sebagai seluncur. Straw memegang kerah bajuku sedangkan Louis memegang Rick.
"Maaf bocah, hanya ada dua pengait," ujar Louis.
"A-apa? Berarti aku akan ...." baru saja aku ingin protes, Straw sudah memegang pengait dan meluncur ke bawah beserta aku. Hembusan angin semakin kencang seolah aku sendiri melawan arus mereka. Pandanganku sedikit kabur karena saking cepatnya kami meluncur. Tapi, dalam hitungan detik, kami sudah mendarat dengan kasar karena Straw melemparku sekian sentimeter sebelum kami mendarat. Kemudian, disusul oleh Louis dan Rick yang mengalami nasib yang sama.
Ice langsung memotong tali tersebut dan menutup jendela.
"Aku harap kita aman sekarang. Segera ganti pakaian kalian dan kita akan segera pergi dari di sini."
Kami berempat masih terengap-engap, berusaha mengatur napas.
"Kuharap kita bisa kabur dengan lancar, tapi pasukan elit tidak akan membiarkan mangsanya pergi begitu saja," kata Straw. [ ]
To Be Continue ...
Keripik dan saran, serta vomment-nya ditunggu >.<)9
Sorry sempet gak update minggu kemarin, lagi ada kerjaan di dunia nyata jadi gak sempet menulis 0.0) wkwkwk
Semoga ceritanya makin seru! >.<)9
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top