Bab 8 : Bersuara Namun Diam
"Runtuhnya Gedung Luminous Umbra pada dini hari tadi masih menjadi misteri. Seorang saksi mata mengatakan bahwa bagian tengah gedung mendadak ambles hingga ke bawah dan akhirnya runtuh. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini, namun beberapa orang mengalami luka berat karena tertimpa puing-puing bangunan. Belum ada dugaan dari pihak berwenang terkait kasus ini karena perlu diselidiki lebih lanjut. Sekian kilas berita sore ini, salam damai Kota Wings dan sampai jumpa!"
"Ibu juga sempat kaget tadi, tiba-tiba ada suara gemuruh yang keras, mengerikan sekali." Ucap ibu yang sedang berada di dapur.
Tidak, Bu. Sebenarnya itu perbuatan kakek.
Aku ingin berkata begitu, namun sepertinya tidak mungkin. Otakku seakan tidak bisa beristirahat sejenak, selalu terbayang tentang kejadian hari ini. Kalau saja Straw tidak menyelamatkanku tadi, mungkin sofa yang kududuki sekarang ini bakal berbeda, atau mungkin juga aku terbaring di sofa lain. Ya ampun, kepalaku terasa berat sekali. Mungkin tidur adalah pilihan yang tepat.
Usai makan malam, aku langsung masuk ke kamar dan menjatuhkan diriku ke bantalan lebar nan empuk. Dalam sekejap, aku sudah terlelap ke dunia mimpi.
Hari ini adalah hari libur. Rick mengajakku pergi menonton film The War of Fantasy : Last Hero yang sudah kami tunggu sejak tahun kemarin. Sebenarnya aku agak lelah hari ini, tapi sekuel kedua film ini sangat menggiurkan, dan hanya hari inilah waktu luang yang ada.
Aku mengenakan celana jin dan kaos hijau tua, serta membawa tas berisikan beberapa makanan dan minuman. Penampilan yang simpel, karena aku tidak mau dikira kencan oleh ibu.
"Mau kemana, Sayang?" tanya ibu yang sedang menyiram rumput di halaman.
"Menonton dengan Rick."
"Dengan Rick atau dengan siapa tuh?" ibu tertawa kecil.
"Kalau aku pergi dengan cewek, nggak mungkin pakaianku sederhana begini, kan?"
"Hmmm Benar juga, jangan pulang terlalu sore yaa ...."
Aku mengangguk dan langsung mengayuh sepedaku. Kami sepakat untuk bertemu di Taman Flores depan gedung bioskop pukul 09.00, namun pagi ini belum ada kabar lebih lanjut dari Rick. Sepertinya aku melakukan kesalahan besar karena berangkat terlalu awal. Ini masih jam 08.15, aku berani taruhan kalau Rick tidak akan datang tepat waktu. Pasti akan sangat membosankan karena harus menunggunya, apa yang harus kulakukan ya?
Aku memelankan laju sepedaku dan mengayuh dengan santai. Tiupan angin terasa lebih gemulai di wajahku, perpaduan antara suara gesekan dedaunan dengan arus sungai kecil membuat pikiranku lebih rileks. Memang suasana seperti inilah yang bisa mengusir kegundahan jiwa ini.
Setelah melewati beberapa persimpangan dan jalan raya, akhirnya aku sampai di Taman Flores. Taman yang sangat lebar dengan beberapa jenis bunga yang tumbuh dengan baik dan tertata rapih di sepanjang jalan setapak. Bangku-bangku taman diletakkan di tempat tertentu seolah memerhatikan sudut pandang orang yang akan duduk di situ.
Aku memarkirkan sepedaku ke tempat parkir yang sudah disediakan. Aku melihat sekeliling, mencari bangku mana yang kosong. Sialnya, semua bangku telah diduduki oleh sepasang orang yang terlihat sedang bermesraan. Sebenarnya, aku agak geli melihat remaja-remaja ini entah mengapa, padahal ini hal yang biasa menurut mereka.
Perhatianku seketika tertuju pada seorang perempuan yang sedang duduk sendirian di bangku dekat pohon. Aku tidak yakin dengan hal ini, tapi daripada berdiri sampai lumutan karena menunggu berandalan itu, lebih baik aku duduk di dekatnya.
Perempuan itu sedang membaca sebuah buku, sepertinya novel. Matanya lebar dan berkilau, kulitnya putih nan bersih, rambutnya hitam dikuncir kuda dengan poni yang membelah di keningnya, dan menurutku parasnya ... cantik sekali.
Sial, tiba-tiba aku merasa gugup. Aku pernah merasakan ini waktu SMP dulu, inilah yang orang dewasa namakan dengan 'pubertas masa remaja'. Aku tidak menyangka akan terjadi lagi di hari ini, apakah aku tertular para remaja ini?
Remaja sialan, sekarang aku harus bagaimana? Aku merasakan panas yang mendadak mengalir di sekujur tubuhku, membuat kulitku memerah dan jantungku berdegup kencang. Tidak ada pilihan lain, lagipula dia hanya orang asing, aku harus duduk di situ. Setelah membulatkan tekad, aku berjalan perlahan mendekati perempuan itu.
Dengan bersikap sok santai, akhirnya aku berhasil duduk di sampingnya. Dia tidak menoleh sedikit pun ke arahku. Tidak apa-apa, justru bagus, aku tidak perlu salah tingkah jadinya.
Aku hanya terpaku bisu di bangku ini, sesekali aku mengetukkan jari-jariku ke pegangan bangku. Sekarang apa yang harus kulakukan? Dasar berandalan, lama sekali dia.
Beberapa menit sudah berlalu dan sekarang aku mulai lapar. Perempuan itu masih sibuk dengan novelnya. Aku teringat dengan keripik kentang yang kubawa di tas. Awalnya, ini untuk cemilan saat menonton nanti, tapi aku terlanjur lapar sekarang. Aku membuka tasku lalu mengambil keripik kentang itu, Kubuka ujung bungkusnya dan aroma kentang yang manis langsung menguasai indra penciumanku.
Entah hanya perasaanku saja atau memang benar, perempuan itu terlihat sedang menatapku. Ada apa dengan perempuan ini? Aku memberanikan diri untuk menoleh ke arahnya. Ternyata memang benar, dia sedang memperhatikanku- tidak, lebih tepatnya melirik ke keripik kentang ini. Matanya yang lebar menatap dengan lugu bungkusan ini. Aku berniat menyodorkan keripik ini seraya menawarinya.
"Ka-kau mau?" kataku tergagap.
Dia tetap memandangi keripik kentang ini tanpa berkata apa-apa.
"Kalau mau ambil saja, tidak perlu malu-malu." Aku merasa seperti berbicara dengan patung. Perempuan itu sama sekali tidak menjawab perkataanku. Tapi, aku sudah terlanjur berbicara dengannya, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.
Aku mengambil satu keripik dan kuberikan kepadanya. Telapak tangannya mengangkat perlahan, raut wajahnya tampak malu-malu. Dia mengambil keripik itu, kemudian memakannya. Wajahnya memerah, lalu terukir sebuah senyuman yang sangat manis di bibirnya. Aku seakan terhipnotis oleh senyumnya, membuat duniaku seolah berhenti hanya untuk memandangi bentangan manis itu. Tanpa kusadari, aku pun ikut tersenyum dibuatnya.
Perempuan itu mengambil sebuah papan tulis kecil di balik punggungnya. Dia menuliskan sesuatu pada papan itu dengan spidol hitam.
Terima kasih!
Begitu yang ia tulis. Aku terheran seketika, melihat dia melakukan itu. Aku bertanya,
"Kenapa kau menulis itu?"
Dia menghapus papan itu dan menulis lagi.
Untuk berterima kasih kepadamu.
"Tidak, maksudku kenapa kau menulisnya bukan mengucapkannya?"
Perempuan itu kembali tersenyum kepadaku.
Aku tidak dapat berbicara sejak kecil.
"Oh, maafkan aku."
Dia melambaikan kedua tangannya, memberikan isyarat agar tidak perlu meminta maaf. Aku bisa merasakan kebaikan hati yang terpancar dalam jiwanya, benar-benar wanita yang anggun. Kami saling diam sejenak setelah itu. Perasaan canggung kini menyekat suasana. Apa yang harus kulakukan selanjutnya? Oh, aku tahu ...
"Ka-kalau boleh tau, si-siapa namamu?" tanyaku dengan gugup.
Namaku Seria.
"Seria, namaku Raid Luminisce. Salam kenal!"
Seria ... nama yang indah. Aku jadi semakin penasaran tentang dirinya. Baru saja aku mau melontarkan pertanyaan lagi, seseorang tiba-tiba datang dan berdiri dihadapanku. Dengan jaket Hoody biru langit yang digulung, celana jin hitam, serta rambut yang acak-acakan. Dari sepatunya yang dekil saja, aku sudah bisa mengenalinya.
"Yo Raid, maaf tadi di jalan macet." sapa Rick.
"Enggak usah banyak alasan, kau itu jalan kaki. Kita juga belum pesan tiket, sebaiknya kita pergi sekarang."
Aku menoleh ke Seria yang sedang menatapku sembari tersenyum. Sampai akhir ini pun aku masih dibuat gugup olehnya.
"Seria, maaf aku harus pergi sekarang, kuharap kita bertemu lagi. Byeee!"
Seria melebarkan senyumannya seraya melambaikan tangan. Rick bersiul mengejekku sepanjang perjalanan.
"Wuuhoo, ternyata aku mengganggu kencan mendadak seorang Raid, ya ampun aku sangat menyesal."
"Diam kau!"
Aku melirik kedua tangan Rick yang penuh dengan perban.
"Kenapa tanganmu?"
"Oh, ini? Ini adalah bukti latihanku kemarin. Pak Louis menyerangku tanpa ampun, dan aku disuruh menghindari setiap serangannya. Kalau tidak bisa menghindari suatu serangan, maka tangkislah serangan tersebut dengan apa pun, begitu katanya."
"Dan kau terus menangkisnya?"
"Kau pasti gila kalau melihat dia bertarung, gerakannya cepat sekali walaupun tidak menggunakan ... eh ... mata kuning yang sering kalian sebut itu."
Rick melemparkan pandangannya ke Gedung Luminous Umbra yang hanya tersisa satu di tengah kota.
"Sepertinya latihanmu lebih seru," ujar Rick.
"Yah begitulah, pengalaman pertama sudah menghancurkan satu gedung. Ini membuatku sakit kepala semalaman. Mungkin latihan yang kesekian kalinya, aku akan menghancurkan dunia."
Kami menuju loket tiket dan memesan dua tiket. Lampu di dalam bioskop sudah dimatikan, itu artinya film sudah diputar dari tadi. Kami tertinggal beberapa scene gara-gara berandal ini.
Dua jam telah berlalu, lampu bioskop dihidupkan kembali. Aku perlu membiasakan mataku terhadap peralihan intensitas cahaya ini. Saat aku ingin berdiri, seseorang menarik lenganku.
"Diam dulu, bocah. Kita sudah terkepung." Sebuah suara tegas yang sangat kukenali.
"Straw? Apa yang kau lakukan di sini?!"
Rick menengok ke arah kami.
"Oh! Pak Straw! Anda menonton juga yaa?"
Straw menaruh telunjuknya di bibir, mengisyaratkan kami untuk diam.
"Jangan ada yang bergerak, Kita telah dikepung musuh."
"Dikepung? Oleh siapa?" sahutku.
"Brown Dusk."
Straw mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Brown Dusk?! Bagaimana bisa? Bukankah mereka terkena reruntuhan kemarin?" tanyaku terkejut.
"Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu, kau sudah mendengar beritanya, kan? Itu artinya mereka semua masih hidup. Sekarang, aku minta kalian untuk bersiap-siap."
"Bersiap-siap untuk apa?" sahut Rick.
"Bersiap untuk bertarung!"
Straw menarik pistol dan menodongkannya ke kerumunan penonton di dalam bioskop. Para penonton dengan sigap berdiri dan mengacungkan pistol mereka ke arah kami. Kanan, kiri, depan, belakang, puluhan pistol siap ditembakkan kepada kami.
Keringat Straw mulai mengucur di dahinya, namun seringai lebar seolah menjadi ciri khasnya dalam suasana apa pun. Di tengah kerumunan, muncul seseorang berjas hitam dan berkacamata. Dia mendekat perlahan dengan senyum yang terlihat licik.
"Sudah kuduga, Nyonya Cornola pasti akan bertindak sesuatu. Tapi, tak kusangka dia menyewa kelompok pembunuh juga," ucap pria itu.
"Asisten Tuan Erlen Cornola, Jake Vansile. Senang bertemu denganmu, Tuan. Aku sedari kemarin mencari Anda lho," tukas Straw.
"Kalian sangat tidak beruntung karena Alan mengetahui kalian yang sedang menyusup ke auditorium kemarin. Benar, kan, Alan?"
Alan muncul di balik punggung pria itu. Penampilnnya persis seperti kemarin, tidak ada luka atau goresan sedikitpun di tubuhnya.
"Itu benar, aku mengetahuinya sejak kalian masuk ke auditorium. Kalian pikir aku sebodoh itu untuk dimata-matai? Aku punya indra penciuman yang baik lho." Alan terkekeh.
Sial, bagaimana sekarang? Apakah kami sanggup melawan mereka semua? Ditambah lagi, aku lupa membawa pistol yang diberikan Straw kemarin. Kalau seperti ini, kami tidak akan selamat.
"Tuan Jake, aku ingin bertanya sesuatu kepada Anda. Kenapa Anda membunuh Tuan Erlen?"
"Hmmm, kenapa yaa? Sebentar, aku ingat-ingat dulu ... oh, iya! Sederhana saja, aku hanya ingin perusahaannya itu menjadi milikku sepenuhnya. Sudah 10 tahun aku bekerja dengannya, aku sudah bosan dimarahi, dibentak bahkan direndahkan oleh kakek tua itu!"
Jake tertawa dengan keras hingga mendengung ke seisi ruangan.
"Karena hanya aku asisten satu-satunya, dia pasti akan menyerahkan perusahaan itu kalau dia mati. Karena itulah aku membunuhnya. Oh, dan satu lagi, kalau kalian berhasil keluar dari sini, kalian tidak perlu repot-repot mengadu ke Nyonya Edwin karena Beliau ... sudah tidak ada lagi di dunia ini!" Tawa Jake semakin menjadi, membuat Straw geram.
"Bedebah sekali kau, Tuan Jake. Aku jadi ingin buru-buru membunuhmu."
Alan mengeluarkan sebuah Shotgun dan mengokangnya.
"Kau pikir bisa keluar dari sini dalam keadaan hidup? Itu tidak akan terjadi. Sang Iblis, Straw Quadrigg, mari bertarung denganku!" [ ]
To be continue ...
Semoga ceritanya jadi semakin seru >.<)9
Ditunggu Keripik dan saran serta Vommentnya 0.0)/
Satu lagi, ceritanya temen gw bikin grup line buat kumpul-kumpul para wattpader, namanya Author Party, kalo mau gabung silahkan cek akunnya, terima kasih /abaikan/
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top