Bab 6 : Pelajaran Pertama

Alunan gitar Tom seolah menghipnotis para cewek di kelas. Hampir semua perhatian tertuju pada pesona ala gitarnya. Ia dengan lihai memetik senar dengan jemarinya sehingga menghasilkan melodi yang ... menurutku biasa saja. Waktu kelas satu dulu, aku pernah belajar gitar dengannya -sebentar- tapi aku tidak mengerti sama sekali apa yang dia ajarkan.

Aku memang senang mendengar musik rock yang bisa membangkitkan semangat, tapi aku kurang suka bermain alat musik. Jadi aku bisa apa? Tidak ada, aku hanya seorang pengangguran di rumah. Aku memandangi jendela kaca di sampingku, membuatku teringat saat tragedi penembakan beberapa hari yang lalu. Sekarang kaca ini sudah diperbaiki.

Gedung Luminous Umbra menjulang tinggi di tengah kota. Awan mendung yang menyelimuti puncaknya membuat gedung tersebut bak kastil yang horror. Sudah sebulan di sini tidak diguyur hujan. Semua orang yang sudah puas terbakar matahari pasti sangat menantikan hal ini. Rintik-rintik hujan turun secara perlahan.

Butiran air mulai membasahi kaca dan meluncur ke bawah. Rasa dingin seketika mengikatku, membuat bulu kudukku bereaksi dengan cepat. Sial, aku tidak bawa jaket.

Alunan gitar Tom tiba-tiba terhenti saat Straw sudah duduk di meja guru tanpa ada yang menyadari kedatangannya. Seisi kelas terbelalak membisu, tidak ada yang tahu kapan dia datang dan sudah berapa lama ia di situ.

"Terkejut? Beginilah caraku datang. Lama-kelamaan kalian akan terbiasa," ujar Straw tersenyum lebar.

Wah, aku tidak menyangka dia yang akan mengajar fisika. Seperti yang kuketahui, dia adalah Straw Quadrigg, ketua Black Hands, tinggi 200 cm, hobinya muncul dan menghilang secara tiba-tiba. Bahkan dalam catatan kepolisian ayah Rick, Straw adalah orang yang paling tidak bisa dia intai.

Apa-apaan hobinya itu, kurang kerjaan banget. Straw membuka buku cetak fisika. Dia mengamati sekilas, membalik-balik halaman demi halaman dan menaruhnya kembali.

"Baiklah, langsung saja ke soal," kata Straw sambil melipat tangannya ke dada.

Semua murid bergumam pelan.

"Hanya satu soal, tapi yang tidak bisa menjawabnya ... akan kuhukum." Terlihat seringai Straw yang mengerikan terpampang di wajahnya. Gawat! orang ini lebih berbahaya dari Pak Key. Straw memejamkan mata dan mulai memberikan pertanyaan.

"Pertanyaannya adalah ... seorang penembak jitu berada di puncak gedung berketinggian 1000 m. Dia akan menembak sebuah target yang bergerak dengan jarak 950 m. Senjata yang digunakan adalah jenis Hecate 11 dengan kaliber 12,7 x 99m dan berat senjata 13,8 kg. Target bergerak maju sejauh 5 m selama 1 menit dan berhenti. Apakah penembak jitu tersebut berhasil membunuhnya?"

Heee?! Soal macam apa ini?! Jelas ini di luar materi, dan kenapa pula yang ditanya itu?!

Semua murid berbisik rusuh, namun tidak ada yang bisa menjawab.

"Kau, si Kumis Tebal yang di belakang." Straw menunjuk ke Richy. Anak itu terperanjat di kursinya.

"Apa jawabanmu?" tanya Straw tetap dengan seringainya.

"Eh ... mu-mungkin bisa," jawab Richy terbatah.

"Oooh, bagaimana kau yakin penembak itu bisa?"

Richy tertegun. Ia menelan ludah dengan berat, dicampur keringat yang membasahi lehernya. Straw mendadak tertawa keras, membuat Richy hampir melompat dari kursinya.

"Setidaknya kau berani menjawab, Bocah. Menjawab berarti kau menentukan sebuah pilihan. Dari pada hanya berdiam diri, lebih baik kau membuat pilihan tanpa mempedulikan pilihan tersebut benar atau salah. Hidup harus penuh dengan aksi, ingat itu!" Straw tampak memberatkan suaranya.

Richy hanya terdiam dengan mulut menganga, kami pun sama bingungnya. Apa itu semacam quotes andalan para pembunuh? Kurasa kata-kata itu berpengaruh besar dalam hidupnya.

Straw berdiri sembari melipat tangannya di dada. Ia berkata dengan nada serius, "Jawaban dari pertanyaan tadi ialah 'kepercayaan'. Jika dirimu adalah penembak jitu tadi, kau harus percaya pada dirimu sendiri, dengan begitu tidak akan ada hal yang mustahil."

Aku agak khawatir, Straw sepertinya sedang menceritakan pengalamannya. Secara tidak langsung dia bercerita tentang pembunuhan, bagaimana kalau ada yang curiga. Lagi pula, semua kata-katanya tadi membuat seisi kelas bingung. Dasar ketua yang ceroboh.

"Yah baiklah, soal yang tadi sebenarnya hanya pemanasan, sekarang kita akan membicarakan tentang usaha dan gaya," kata Straw.

Aku menghela napas lega. Kukira dia tidak tahu apa-apa tentang fisika SMA. Straw menjelaskan materi demi materi dengan baik, persis seperti guru sungguhan. Mereka benar-benar profesional dalam pekerjaan.

Mungkin, para pembunuh lain juga sama hebatnya seperti mereka atau bahkan lebih hebat. Entah kenapa, perasaan takut tiba-tiba menyelimuti tubuhku, membuat napasku sesak. Dering bel pulang membuatku tersentak sesaat.

Para murid bersorak pelan. Straw menutup pelajaran dan memberi salam. Sesaat pandangannya melirik tajam ke arahku, seolah memberi isyarat untuk datang menemuinya nanti. Aku bertukar pandang dengan Rick. Tampaknya Rick mendapatkan isyarat juga.

Disaat jam pagi selesai, para murid di jam siang mulai berdatangan. Mereka terlihat lebih happy dari biasanya. Ketahuilah, sekolah siang tidak selamanya menyenangkan. Disaat yang lain sedang tidur siang atau nongkrong bersama, kalian harus belajar sampai puncaknya matahari, kasihan sekali.

Aku agak bersyukur bisa masuk pagi walaupun aku harus bangun pagi, toh itu pun sudah biasa. Aku dan Rick menuju lantai empat, tepatnya ke ruang guru. Si Gadis Kecil, Tina, sedang berdiri di samping pintu dengan memeluk boneka pandanya. Rick bergumam, "Apa anak itu lagi nungguin kita?"

"Mungkin," kataku.

Kami berjalan menghampiri anak itu. Masih dengan mata sayupnya menatap kami. Aku berpikir, apa anak ini nggak pernah senyum? Seharusnya anak seumuran dia sedang nakal-nakalnya. Mungkin dia kurang mendapat perhatian dari orang di sekitarnya, agak kasihan rasanya. Aku berniat mengusap kepalanya, namun sebuah pistol sudah menodong tanganku yang berjarak beberapa senti dari kepala anak itu.

"Satu sentuhan saja, pergelangan tanganmu akan hancur," ucap seseorang yang berada di belakang gadis kecil itu. Dia adalah sang kakak, Yata Nervilia. Rambutnya yang coklat khas dengan wajah sinis yang menatapku penuh ancaman. Kutarik kembali pemikiranku yang tadi, ternyata kakaknya justru overprotective. Aku menarik tanganku kembali.

"Yata, kau tidak boleh mengeluarkan pistolmu sembarangan," kata Straw yang sudah berdiri di belakangku, Dia mulai dengan kebiasaan anehnya. Yata menundukkan pistolnya dan memasukkannya ke balik mantel hitam.

"Maaf aku kelewatan, habisnya aku merasakan bahaya yang mengancam adikku. Tentu saja bahaya itu dari mereka," sahut Yata, menatap kami dengan sinis. Bukannya terlihat gagah, aku malah menganggapnya seorang siscon1  akut. Kami masuk ke ruang guru. Aku melihat ruangan ini agak berbeda dari biasanya.

Di setiap meja terdapat tumpukan buku dan kertas yang tersusun rapih, taplaknya bahkan dihias bermacam aksesoris, mulai dari lukisan sejarah, replika berbentuk keranjang berisi sayuran yang terbuat dari plastik, deretan bingkai foto yang membentang di sudut meja dan masih banyak lagi.

Tempat ini seperti pameran benda-benda asing. Straw membawa kami ke ruangan kemarin -tempat jasad guru kami disimpan - yang kini telah diubahnya menjadi ruangan pribadi. Rak-rak buku berbaris di sepanjang dinding, beberapa sofa dan meja berada di tengah ruangan dengan karpet merah di bawahnya, dan komputer misterius masih berada di tempatnya. Jujur, aku terkesima melihat tempat ini, yang tadinya berhawa dingin dan mengerikan kini disulap menjadi tempat yang nyaman.

"Kami memutuskan untuk mengubah tempat ini menjadi markas kecil kami," ujar Straw

Aku berjalan ke barisan rak buku. Philosopy of Killer, Blood in Trigger, Body of Sins, semua buku ini tentang pembunuhan dan senjata. Setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata ruangan ini tak segalanya nyaman. Straw menyuruh kami duduk di sebuah sofa putih. Sofa ini lembut dan nyaman, seperti sofa di Hotel Camelot waktu kami sekeluarga menginap dulu. Straw mengusap dagunya yang penuh dengan jenggot tipis.

"Baiklah, sesuai dengan apa yang kita bicarakan kemarin," cetus Straw, "kalian akan mendapat pelatihan khusus agar bisa menjaga diri kalian sendiri dari segala ancaman."

Aku dan Rick mendengarkan dengan serius.

"Raid Luminisce, kau akan mendapat pelatihan langsung dariku, mengingat kita memiliki kemampuan yang sama."

"Baik!" sahutku.

"Rick Ruckenshield, kau akan berlatih dengan Louis, kau akan diajarkan cara bertarung jarak dekat."

Rick mengangguk dengan semangat. Louis masuk ke ruangan dengan tatapan yang dingin dan tajam. Dia berkata kepada Rick, "Apa kau siap, Bocah? Kita akan berlatih di atap."

"Aku diciptakan untuk siap!" sahut Rick. Mereka beranjak dari ruangan ini. Sekarang hanya aku dan Straw. Dia merogoh kantong mantelnya dan mengeluarkan sebuah amplop berisikan secarik kertas. Tampaknya itu sebuah surat yang ditulis tangan. Dia meletakkan kertas itu di meja.

"Ada seorang klien yang akan memberikan kita misi pembunuhan. Kita akan menemuinya satu jam dari sekarang, di rumahnya."

"Hee?! Bukannya kita akan latihan?"

"Tentu saja ini latihanmu, Bocah. Kita akan terjun langsung ke lapangan."

Aku mengirim pesan singkat ke ibu bahwa aku akan pulang agak sore hari ini. Tempo hari, aku sudah bilang ke ibu kalau di sekolah akan ada pelajaran tambahan setelah bel pulang. Ibu tidak keberatan dengan itu, asalkan aku makan siang tepat waktu.

Di perjalanan, angin berhembus dengan kencang, menerpa wajahku yang sedang memandangi gedung-gedung pencakar langit. Kami berada di Familia District, bagian perkotaan dari Kota Wings. Hanya tempat inilah yang terdapat banyak gedung pencakar langit pada Kota Wings. Kami menaiki Mobil Porsche berwarna hitam yang dikendarai oleh Ice. Mobil ini nyaman dan dingin, ada layar GPS juga.

Awalnya aku agak khawatir, apakah dia sanggup menginjak pedalnya, atau apakah dia bisa melihat dengan baik ke depan. Tapi, dia menyetir dengan santai, sepertinya mobil ini didesain khusus untuknya. Kami berhenti di sebuah apertemen besar, dindingnya berwarna merah dengan gaya arsitektur klasik. Kutebak pastilah orang yang akan kami temui ini adalah orang kaya. Kami masuk ke lobi dan menuju ke meja resepsionis.

"Miss Edwin Cornola," kata Straw kepada wanita penjaga meja resepsionis.

"Anda sudah ditunggu di ruangannya, Tuan. Lantai 5, kamar nomor 303," ujar wanita tersebut. Kami langsung menuju lift. Tak ada siapa pun di dalam lift, kecuali kami berdua. Aku merasa agak gugup dengan ini. Aku melirik Straw yang berdiri di sampingku dengan santai, ia beberapa kali terdengar bersiul pelan.

"Kau tidak gugup?" tanyaku.

"Gugup? Tentu saja tidak, bocah. Kami sudah sering mendapati klien seperti ini." Straw kembali bersiul. Aku mendongak ke kepalanya.

"Kau tidak pakai topi yang biasa dipakai teman-temanmu?" tanyaku lagi.

"Salah satu ciri khas kelompok pembunuh adalah sebuah mantel dan topi fedora. Kalau aku berpakaian lengkap seperti itu tentu akan mudah dikenali pembunuh lain. Mereka juga kerap menyamar."

Aku tidak berkomentar tentang itu. Kami sampai di lantai 5. Nuansa klasik kini lebih terasa di lorong ini. Lantainya berkarpet coklat dengan gambar sekumpulan kuda yang tampak berlari, dindingnya merah bercorak lingkaran dengan garis-garis lengkung, dan terpampang beberapa lukisan abad pertengahan. Kami berjalan menyusuri lorong, memperhatikan setiap nomor yang terukir di pintu. 300 ... 301 ... 302 ... ah! Ini dia, kamar 303.

Straw mengetuk pintu dengan pelan. Terdengar suara sahutan dari dalam. Seorang wanita tua membuka pintu sedikit, dia mengintip melalui celah pintu. Alisnya langsung naik ketika melihat kami. Dia membuka lebar pintu dan mempersilahkan kami masuk.

Tubuh wanita ini agak bungkuk, wajahnya putih keriput, sorotan matanya jelas dan tajam. Dia mengenakan sweter hitam polos dan bandana putih yang terikat di kepalanya.

Kami duduk di sebuah sofa empuk. Perapian yang menyala membuat hangat sekujur tubuhku. Familia District memang terkenal akan suhu dinginnya. Tempat ini sangat pas untuk bersantai. Wanita tua itu duduk di hadapan kami dan mulai berbicara.

"Aku Edwin Cornola, seorang guru piano di taman kanak-kanak sekaligus suami dari mendiang Erlen Cornola," Ucap wanita tua itu dengan suara yang gemetar.

"Erlen Cornola, mantan bos eksekutif perusahaan ponsel ternama di Wingsland. Betul, kan?" Tukas Straw.

"Iya, benar. Beliau baru saja meninggal seminggu yang lalu."

Straw memperbaiki posisi duduknya dan mulai mendengarkan dengan seksama.

"Hal yang ingin aku bicarakan adalah kematian suamiku ini." Miss Edwin menggenggam tangannya erat-erat.

"Seperti yang dilansir koran News of Wings, suami Anda meninggal karena bunuh diri," kata Straw.

"Tidak! Dia tidak bunuh diri, tapi dibunuh."

Aku memandangi Straw. Ia mengerutkan keningnya, tatapannya tajam dan penuh rasa penasaran.

"Bagaimana Anda tahu kalau beliau dibunuh?"

"Aku melihatnya dengan jelas. Waktu itu siang hari, aku hendak mengantarkan dokumen yang tertinggal ke kantornya. Saat aku berjalan di lorong menuju ruangannya, aku melihat asisten suamiku sedang berjalan dengan dua orang pria bertubuh tinggi besar, mengenakan mantel dan topi cokelat. Mereka masuk ke ruangan suamiku dan menutup pintunya."

Aku bertukar pandang dengan Straw. Orang bermantel cokelat dan topi cokelat tersebut pastilah kelompok pembunuh. Straw kemudian memejamkan mata dan mulai terlarut dalam cerita.

"Lanjut, nyonya!"

"Sebenarnya, pintu ruangan beliau agak rusak dan tidak bisa dikunci. Jadi, aku memutuskan untuk mengintip apa yang sedang terjadi di dalam. Aku membuka pintu dengan amat perlahan, kulihat mereka sempat berbincang sebentar. Tak lama setelah itu, salah seorang bermantel cokelat mengeluarkan sebuah pistol dan menarik pelatuknya ke arah suamiku ...."

Miss Edwin menitihkan air mata. Dia memaksa mulutnya untuk berkata namun sangat sulit.

"Aku ... aku amat terkejut dan langsung bersembunyi di ruangan lain. Aku bergegas menelepon polisi, aku ketakutan. Terdengar langkah kaki mereka yang perlahan menjauh. Aku berlari ke ruangan suamiku untuk melihat keadaannya ... dan dia sudah tidak bernyawa ... dengan darah yang bercucuran di kepalanya."

"Bagaimana bisa kejadian itu mereka katakan bunuh diri?"

"Setelah polisi datang dan menyelidiki kasus itu, mereka mengatakan bahwa suamiku bunuh diri. Telah ditemukan sebuah pistol yang tergenggam di tangan suamiku, beserta sidik jarinya di pelatuk dan gagang pistol. Aku mencoba menceritakan kejadian sebenarnya, tapi tidak mereka hiraukan ... aku merasa tersakiti ... tolonglah, Tuan Straw! Bunuh mereka, jangan biarkan orang seperti mereka hidup di dunia ini!"

"Aku mau Anda menahan emosi sejenak, Miss Edwan. Aku perlu menelusuri masalah ini lebih dalam. Aku akan mencari tahu kenapa asistennya membunuh Beliau dan yang pasti, kami akan bentrok dengan orang-orang bermantel cokelat itu."

"Terima kasih," Kata Miss Edwan sambil mengusap air mata kepedihannya.

Kami keluar dan menuju ke mobil. Banyak bagian yang tidak mengenakkan pada cerita Miss Edwan tadi, terutama saat polisi menyelidiki kasus tersebut.

Aku bertanya kepada Straw, "Kenapa polisi melakukan hal tersebut?"

"Ada kemungkinan mereka dibayar untuk menutupi kasus itu, atau mungkin juga ada kaitannya dengan Brown Dusk."

"Brown Dusk?"

"Orang-orang bermantel dan topi cokelat, mereka kelompok pembunuh, Brown Dusk. Kudengar ketua mereka adalah seorang Chosen."

"Gawat, kurasa latihanku paling berat. Sekarang kita kemana?"

"Memang berat, bocah. Sekarang Yata sedang melacak keberadaan mereka."

Layar GPS yang terletak di samping kemudi berkelap-kelip dan menandai suatu wilayah dengan lingkaran merah. Straw memperhatikan tanda tersebut.

"Kau hebat, Yata. Sekarang tujuan kita adalah ... Gedung kembar, Luminous Umbra." [ ]

Note:

1.Siscon : Seorang laki laki yang memiliki perasaan berlebihan kepada saudara perempuannya

To be Continue ...

Semoga makin seru nih cerita >.<)9

Keripik, saran, vote, comment, semuanya ditunggu dengan sabar hoho

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top