Bab 3 : Orang Terpilih
Sudah kubilang, ini tindakan gila. Ditambah lagi, ini adalah ide Rick dari otaknya yang nggak karuan. Tapi, aku tidak mau dia bertindak ceroboh sendiri.
Jam menunjuk ke angka satu siang, aku dan Rick sudah berada di depan gerbang sekolah yang sudah ditutup. Aku terpaksa meninggalkan rumahku yang sedang kosong. Agak was-was juga sih, bagaimana kalau ibuku pulang lebih awal? Biasanya ibu bakal pulang waktu sore kalau sudah pergi ke tempat Nyonya Daisy, tapi tidak menutup kemungkinankan dia akan pulang cepat.
Kami merapat ke tembok di samping gerbang. Rick mengintip ke atas tembok.
"Enggak ada siapa-siapa. Sekolah benar-benar kosong," kata Rick sambil berjinjit.
"Jadi, kita mau masuk lewat mana?"
"Lewat belakanglah. Mana ada pengintai yang masuk lewat depan."
"Kau sebut kita pengintai? Kita itu tidak lebih dari sekedar penguntit iseng."
"Raid, baik pengintai maupun penguntit itu sama saja, tugas mereka adalah mencari informasi." Beradu argumen dengan orang pintar memang susah, tapi beradu argumen dengan orang bodoh ini hampir mendekati mustahil.
Kami mengendap-endap di balik tembok menuju pintu belakang. Kemudian, kami melompat masuk ke halaman belakang sekolah dan menuju ke sebuah pintu besi.
"Ini pintu ruang satpam, Rick."
"Memang."
"Pintu ini pasti terkunci dan-"
Rick mengeluarkan sebuah kunci perak dari kantong celananya sambil tersenyum lebar. Aku hanya terperanga melihatnya.
"Dari mana kau dapat kunci itu?!"
"Dari salah satu satpam. Aku mengambilnya saat aku sedang mendaftar di sekolah ini, dua tahun yang lalu."
Berandal yang satu ini memang benar-benar tingkah lakunya. Aku berani taruhan, Jika kau ingin hidupmu berantakan, Ricklah mentor yang tepat untuk membawamu menuju kesesatan.
Kembali ke tingkah gila kami, Rick membuka pintu secara perlahan. Kami mengintip ke dalam, dan tidak mendapati satu pun orang. Hanya ada tumpukan jaket satpam yang digantung dan lemari loker yang terbuka. Lampu ruang yang redup membuat kesan di sini seperti ruangan horor di film-film. Mungkin satpam sekolah juga dipulangkan lebih awal.
Kami menuju pintu di seberang yang membawa kami ke lorong dekat lobi gedung. Kami berjalan pelan menuju tangga. Kerahkan seluruh indera tubuh untuk mengawasi keadaan setempat. Kalau sampai ketahuan, mungkin kami tinggal nama. Mudah saja bagi mereka menyembunyikan kematian kami, mereka kan pembunuh profesional.
Kami menaiki tangga dengan hati-hati, sebisa mungkin jangan sampai menimbulkan suara.Lantai dua kosong. Kami terus ke lantai tiga. Lantai keramik putih yang membentang di seluruh ruangan, ditambah dengan dinding hijau yang dingin membuat suasana di sini terasa mencekam.
Aku agak alergi dengan yang namanya hantu, walaupun dalam lubuk hati yang sangat dalam aku berusaha untuk tidak memercayai adanya makhluk gaib tersebut. Jadi, kalau nuansanya seperti ini, aku menjadi sangat merinding.
Kami sampai di lantai tiga, dan jantungku hampir saja lepas dari tempatnya saat kami melewati ruang kelas kami. Seorang anak kecil sedang berdiri tepat di depan pintu kelas. Dia diam tidak bergerak, matanya yang lebar dan agak sayup menatap kami dengan tajam. Di kedua tangannya merangkul sebuah boneka panda yang besarnya sama dengan tubuh anak ini. Aku hampir saja berteriak, tapi tanganku langsung bergerak mendekap mulutku. Kami berdua terpaku diam. Anak itu tidak berkata sepatah kata pun. Dia bagaikan boneka manusia dengan gaun hitamnya yang bercorak bunga putih. Rick berbalik badan dan pergi menuruni tangga. Tidak ada pilihan lain, aku pun ikut turun dengan perasaan merinding yang menjalar di sekujur tubuhku. Kami berhenti tepat di bawah tangga.
"Kita ketahuaaaan! Gimana ini?!" ujar Rick dengan panik.
"Tenanglah! Anak itu juga bagian dari mereka. Kupikir kau punya rencana?!"
"Entahlah, aku hampir saja melompat ketakutan tadi, kukira anak itu hantu. Aku takut dengan hantu."
"Kau juga ternyata?!"
Rick mendongak ke atas.
"Anak itu masih di sana."
"Terus mau gimana lagi? Masa mau diam di sini?"
"Ya sudah, kita lewat saja. jangan hiraukan anak itu, bersikap biasa!"
Kami kembali menaiki tangga. Dengan segenap keberanian yang kami kumpulkan secara dadakan, kami melewati anak itu dengan bersikap sok santai. Tapi, anak itu malah mengikuti kami dari belakang. Gawat, kalau terus begini kami bisa ketahuan. Rick, dengan muka yang tegang dan tangannya yang terkepal, akhirnya berbalik menghadap anak itu.
"Hey... Adik Kecil, kau sedang mencari apa?" tanya Rick dengan senyuman lebar yang kaku. Perpaduan antara wajah tegang dan senyum lebarnya membuatku merasa agak jijik.
Anak itu masih membisu. Dia hanya menatap Rick dengan mata sayupnya. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang pelan dan terkesan tajam. Anak kecil itu langsung berlari ke belakang Rick dengan wajah ketakutan. Melihat reaksi anak ini, aku dan Rick saling bertatapan. Kami memutuskan untuk mendekati sumber suara.
Di lorong lantai tiga, tepatnya di sudut ruangan, muncul seorang laki-laki dengan setelan serba putih dan mantel panjang berwarna putih. Topi fedora putih di kepalanya mengingatkanku akan kelompok hitam, Black Hands, tetapi versi putihnya. Dia sedang berjalan pelan ke arah kami dengan menenteng sebuah senapan laras panjang berwarna abu-abu. Aku merasakan firasat buruk tentangnya. Sepertinya kita tau satu hal, Dia bukan dari anggota Black Hands.
Perlahan, wajahnya terlihat jelas. Rambutnya putih mengkilat dengan panjang seleher, sorot matanya tajam dan tidak bersahabat, bibirnya menampakkan senyuman licik, membuat kesan pertama yang ditimbulkan setelah melihat orang ini sangat buruk. Dia berhenti beberapa meter dari kami. Anak kecil tadi masih berdekap di kaki Rick dengan wajah ketakutan. Orang berpakaian putih mengokang senapannya dan mengarahkannya ke kami. Orang ini pastilah tidak sedang main-main.
Rick menggendong si anak kecil dan kami langsung berlari menuruni tangga. Baru saja kami melangkahi beberapa anak tangga, orang berpakaian putih itu sudah berada di sampingku. Senyumannya yang tampak mengerikan terlihat jelas oleh mataku. Dia menarik kakinya dan menendang bagian perutku. Aku terhempas hingga ke atas tangga.
"Raaaid!!" Rick berteriak, tapi suara bising yang seketika menyerang telingaku membuat suaranya menjadi samar. Rasa sakit yang menyengat perutku mendorongku ingin memuntahkan sesuatu. Aku masih terkapar di atas tangga. Orang putih tadi kini berada di hadapan Rick. Dia menodongkan senjatanya tepat di kepala Rick. Aku berusaha keras untuk berdiri.
"He ... hentikan!" Aku berjalan tertatih ke arah mereka. Sesosok bayangan melesat cepat di atasku. Terdengar suara tembakan yang membuat orang putih mundur ke belakang. Sosok tadi mendarat tepat di depan Rick. Tingginya hampir sama dengan Rick, Matanya yang berbinar tampak memancarkan kebencian, rambutnya coklat terang, pakaiannya yang bersetelan serba hitam menunjukkan ciri khas suatu kelompok, Black Hands. Dia menodongkan sebuah pistol ke arah si orang putih.
"Kau yang di belakang, Larilah! Aku akan mengurus orang ini. Aku tidak akan memaafkan orang yang berani melukai adikku yang imut."
Dia menembakkan pistolnya secara beruntun, tapi berhasil dihindari oleh orang putih. Gerakannya cepat sekali, hampir di setiap langkah kakinya tidak terlihat. Rick kembali ke atas tangga. Aku akhirnya cukup kuat untuk bisa berlari. Kami pergi ke lantai empat. Orang putih tadi bergerak bagaikan angin dan sudah menghadang kami di tangga. Matanya terlihat jelas, kuning terang, persis seperti si Ketua. Aku tidak percaya ada orang yang mampu bergerak secepat ini.
Siapakah gerangan monster ini? Kami terpaku diam, tidak bisa berbuat apa-apa. Monster ini tak terkalahkan. Tiba-tiba, muncul sekumpulan orang dari arah lantai empat. Salah seorang melompat dan berusaha menyerang dengan menendang si Orang Putih.
Tapi, lagi-lagi berhasil dihindarinya. Ternyata itu si Ketua. Disusul dengan rekannya yang lain, si Gemuk dan si Wanita yang langsung menyergap dari arah kanan dan kiri. Sekarang orang putih sudah terkepung. Dia tidak bisa kemana-mana lagi, sepertinya. Namun, senyuman licik itu tak pudar sekalipun di wajahnya. Si ketua kemudian memberikan peringatan kepada rekannya.
"Hati-hati! Dia adalah Chosen."
Semua anggota Black Hands mengacungkan pistol ke arahnya. Si Pria Berambut Coklat bergabung dan siap dengan pistolnya. Senyuman si Orang Putih perlahan menyusut, tetapi langsung tersenyum lebar kembali.
"Wah wah, menakutkan sekali disergap seperti ini," kata si Orang putih sambil cekikikan. Dia pun tertawa. Suara tawa yang ringan nan menyeramkan, membuat bulu kudukku merinding. Seketika kaca di sudut lorong pecah berhamburan. Seseorang melompat masuk. Badannya besar dan tinggi, setelan serba putih yang dipakainya menunjukkan kalau orang ini pastilah rekannya. Dia berlari mendekat. Hentakan Kakinya membuat lantai bergetar. Melihat dia berlari, seperti tidak terhalang dengan bobot badannya, cepat sekali.
Dia melompat dan menghantam lantai dengan kepalan tangannya. Lantai bergetar, keramik-keramik putih retak dan runtuh seketika diikuti dengan suara gemuruh. Si ketua dan rekannya lompat menjauh, sedangkan si Orang Putih melompat ke samping rekannya. Untung saja aku dan Rick hanya perlu mundur beberapa langkah untuk menghindari retakan itu. kini, kedua kelompok terpisah oleh lubang yang besar.
Mereka saling bertatapan tajam, sorot mata mereka masing-masing memancarkan aura membunuh. Si Rambut Cokelat berteriak dari tempatnya,
"Kalian berdua! Bawalah adikku ke tempat yang aman."
Kini, seluruh perhatian menuju ke kami. Si Ketua dengan mata kuningnya menatap kami curiga.
"jika terjadi apa-apa pada adikku, kalian tidak akan keluar dari gedung ini dengan anggota tubuh yang lengkap," ancam si Rambut Cokelat.
Hee?! Kenapa kami yang diancam?
Aku dan Rick bergegas menaiki tangga menuju lantai empat. Anak kecil tadi masih berada di pundak Rick. Dia memanggil kakaknya dengan suara yang pelan,
"Kakak..."
"Kakakmu pasti baik-baik saja, aku akan membawamu ke tempat yang aman," Rick menyemangati.
Kantor guru terbuka lebar. Rick masuk dan mendudukkan anak itu ke sebuah kursi. Aku berjaga di depan pintu, barangkali si Orang Putih akan muncul lagi di hadapan kami. Kakiku mulai gemetar. Badanku serasa lemas, walaupun rasa sakit di perutku sudah tidak seberapa. Aku merasa syok melihat kekuatan yang besar seperti itu. Saat ini, kita hanya bisa mengandalkan mereka.
Rick masih sibuk menenangkan anak kecil itu, saat lantai di ruangan mulai bergetar diikuti suara gemuruh yang ricuh. Sekelebat sosok putih datang dari arah tangga dan berhenti di depanku. Ternyata memang benar, tidak ada yang bisa menghentikan orang ini. Dia berdiri menatapku sambil menenteng senapannya.
"Halooo, Anak Muda ! namaku Sliver, maaf telah membuat keributan di sekolah ini, tapi aku punya urusan dengan ruangan yang ada di belakangmu itu, bisa kau minggir sebentar?"
Senyumannya yang lebar, ditambah dengan mata kuningnya yang terang membuat jantungku berdegub kencang. Aku sudah tidak bisa menahan gemetar yang melanda kedua kakiku. Aku mengumpulkan segenap keberanian yang tersisa.
"Tidak ... tidak akan kubiarkan!" Aku merentangkan kedua tanganku.
"Oooh ...," Sliver melangkahkan kakinya hingga tepat berada di dekatku,
"begitu rupanya, baiklah kalau itu maumu." Mulutnya tepat berbicara di gendang telingaku. Napasnya yang dingin membuat tubuhku seketika membeku. Dia memukul wajahku hingga aku terlempar jauh ke sudut ruangan. Aku terkapar di lantai. Aku hampir tidak bisa merasakan wajah kiriku. Pandanganku yang mulai kabur menangkap Rick sedang menghadang Sliver.
Rick mulai menyerang, berkali-kali memukul dan menendang, tetapi selalu dihindari. Aku berusaha duduk, mencoba menguasai diriku. Rick jatuh ke lantai dan dihantam keras oleh gagang senapan yang dibawa Sliver. Terlihat darah yang merah pekat mengucur di kepala Rick. Dia terbaring tak bergerak.
"Rick ...," ucapku sambil tidak percaya dengan apa yang kulihat.
Aku mulai marah. Emosiku meluap seketika. Rasa panas mulai menjalar di setiap nadiku. Aku berdiri tegak, menatap orang yang telah melukai sahabatku dengan penuh amarah. Senyuman lebar Sliver kini mengatup rapat sesaat setelah dia melihatku bangkit berdiri. Tatapan matanya kini penuh kewaspadaan. Dia mengarahkan senapannya ke arahku sembari mengeker melalui skop senapan. Suara dentuman terdengar menggelegar.
Sebuah peluru besar berwarna emas sedang meluncur ke arahku. Tapi, peluru itu bergerak lambat, bahkan sangat lambat sehingga aku bisa melihat putaran peluru tersebut. Aku melihat tanganku dan mencoba menggerakkannya. Tanganku bergerak seperti biasa, tapi peluru yang kulihat ini bergerak melambat.
Ada apa ini? Ada apa dengan tubuhku?
Peluru itu kian mendekat. Aku berjalan pelan dan dengan santainya menghindari peluru itu. Mata Sliver terlihat membelalak. Dia menembakkan senapannya secara beruntun. Lagi-lagi, semua peluru yang datang kepadaku bergerak sangat lambat. Aku menunduk, menoleh ke samping, memiringkan badan, berhasil menghindari semua peluru yang datang. Aku masih diliputi kemarahan.
Sliver terkekeh, "Tidak kusangka, aku bisa bertemu dengan dua orang terpilih sekaligus di tempat ini, aku menemukan ... seorang Chosen yang baru saja bangkit! Marvelouuuus!!"
Dia berlari ke arahku. Aku bisa melihat setiap langkah kakinya sekarang. Tapi, dia masih tetap cepat. Dia menendang, namun berhasil kutepis meskipun aku sampai mundur agak jauh. Tawanya kini semakin keras dan mengerikan. Dia melompat ke arahku dan mengayunkan gagang senapannya.
Aku terlambat menghindar. Di saat gagang senapan yang sudah menyentuh sehelai rambutku, jendela kaca yang berada di samping Sliver pecah. Sesosok bayangan hitam mendaratkan pukulannya ke wajah Sliver hingga terpental menabrak tembok. Sosok ini-tidak, orang ini, mempunyai postur tubuh yang tegak, badannya kekar, rambutnya hitam dikuncir ke belakang, tatapan matanya tegas namun bersahabat.
"Bocah Serigala, segera pulang dan bilang kepada bosmu, sang kakak sangat merindukannya," ucapnya. Suara orang ini berat dan penuh wibawa. Sliver merintih kesakitan. Dia perlahan menopang tubuhnya untuk berdiri.
"Akhirnya sang iblis datang juga ... Straw Quadrigg, ketua dari Black Hands!!" [ ]
To be continue......
Lagi-lagi rada freak,dibawa seru aja.
Silahkan bagi yang mau memberikan keripik dan saran! >.<)9
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top