Bab 18: Sejarah yang Mengukir Segalanya
Sudah beberapa kali aku dibawa ke tempat ini. Selalu berakhir dengan memandang bola lampu yang digantung dan mendengar bunyi irama jarum jam. Aroma obat yang khas dan kain tirai yang melambai tertiup angin sudah bak keluarga yang dengan setia menungguku siuman. Aku lebih memilih diam terbaring di kasur keras ini daripada terbangun dengan panik dan berteriak menanyakan apa saja yang baru kualami. Toh, aku masih ingat jelas kejadian yang tadi.
Aku mengembus napas dengan hidung. Sekarang aku jadi malas bergerak. Seharusnya aku wajib pulang sekarang untuk makan siang. Tapi, kali ini aku butuh ketenangan terlebih dahulu. Sendirian, hanya sebentar saja, kumohon. Tapi, keinginanku itu tidak akan terwujud selagi aku masih di sini.
"Aku berani taruhan bahwa kau sudah bangun dari tadi." Wajah Straw muncul di antara celah dua tirai. Tubuhnya hanya terlihat sebatas kepala sampai leher, terlihat mengerikan. Ia memandangku sejenak dengan raut datar karena aku merespon sambutannya dengan tatapan sayup, menandakan aku sedang tidak peduli saat ini. Straw menyibak dua tirai tersebut dengan keras, membuat tirai mengayun ke atas. Ia berjalan mendekat dan duduk di sebuah kursi kecil di sampingku. Ia memperbaiki posisi duduknya dan duduk dengan rapi layaknya anak SD yang hendak menerima rapor.
"Pergilah, Straw. Aku ingin sendiri saat ini," pintaku.
"Kau harus menceritakan kisahmu, Bocah, tentu dengan versimu yang lebih baik. Louis sedari tadi asyik menggerutu. Aku tidak bisa menangkap informasi apapun darinya."
Aku berdecak pelan. "Kau pun ke mana saja? Biasanya kau datang dengan heroik dan menyelesaikan masalah dengan ajaib."
Straw menghela napas panjang, lalu menggaruk kepalanya yang menurutku tidak sedang gatal.
"Yah, aku ada sedikit urusan dengan... kau tau, Anggota Brown Dusk."
Kali ini topik yang ia bicarakan cukup menarik, namun sayangnya aku lebih memilih tidak berkomentar. Kami saling diam selama beberapa menit. Aku hanya memandang lampu gantung yang mulai bergoyang diterpa angin, sedangkan Straw terus menatapku dengan penuh harapan.
"Ayolah, Bocah. Kau harus melaporkan kepadaku apa yang baru saja terjadi. Aku mendengar Louis menyebut nama Light Wolf tadi, apa kau bertemu dengan adikku?"
"Tidak, hanya dua pasukannya yang pecundang."
"Dan gadis itu?"
Sebenarnya aku tidak ingin mengingat kejadian itu saat ini, namun Straw membuatku mengingatnya. Terlintas senyuman hangat Seria di pikiranku, tapi juga dibayangi gambaran saat Seria merintih kesakitan. Aku tidak tahan mengingatnya. Straw kembali membetulkan posisi duduknya dan sedikit memajukan kursi.
"Bukankah gadis itu anggota mereka?"
"Dia tidak ingin berada di sana!" Aku spontan terbangun dan membentak. Napasku mulai memberat dan jantungku berdegup cepat. Amarahku kembali menyulut mengingat Seria yang sedang menderita. "Mereka menangkapnya, menyiksanya, menyuruhnya melakukan hal-hal kotor demi ambisi bodoh mereka. Seria hanya gadis biasa, Straw. Dia bahkan mengalami kesulitan berbicara." Straw lengang sejenak, menatapku dengan serius.
"Selama lima tahun ini, Light Wolf mendapatkan persentase tertinggi dalam melakukan rencana pembunuhan. Tak terhitung lagi berapa jumlah korban mereka. Semua itu berkat dua penembak jitu yang dimiliki Light Wolf: Lunar Seria dan Sliver. Bisa dibilang merekalah yang mendapatkan peran terbanyak dalam setiap rencana pembunuhan. Dan, rencana pembunuhan mereka kali ini adalah yang terbesar. Kau tau, 'kan? Untung saja komputer tersebut tidak berada di ruangan yang berjendela."
Ketika Straw menyebut nama komputer, aku jadi teringat dengan salah satu kejadian aneh yang kualami tadi siang. Tubuh Zero, yang kala itu tidak mengeluarkan darah ketika tertembak dan justru menghasilkan bunyi berdenting ketik timah panas menembus dadanya. Kurasa ada satu pesan dalam komputer tersebut yang sedikit menyinggung keanehan ini. Aku menceritakan singkat tentang Zero dan tubuhnya, dan apa yang dikatakan Sliver waktu itu.
"Mayat hidup?" gumam Straw sambil mengusap dagu.
"Kalau kuingat ada satu pesan di komputer tersebut yang bermakna sama." Aku mencoba mengingat pesan tersebut. Ah, sulit sekali mengingat dalam keadaan seperti ini, perutku sampai bereaksi mual.
Straw kembali bergumam, "Jangan diam saja, bom akan meledak, manusia yang mati akan bangkit kembali. 'manusia yang mati akan bangkit kembali' ... mungkinkah ...."
"Ah, itu." Aku merasa sedikit lega sudah diingatkan.
Straw masih mengusap dagunya, kali ini lebih antusias. Keningnya membentuk beberapa lipatan hingga matanya menyipit. Tampaknya Straw sedang berpikir keras, mungkin berusaha mengingat sesuatu atau mencari teori lain yang berkaitan. Setelah beberapa menit berpikir, Straw kembali mengendurkan wajahnya. Tubuhnya mulai beranjak dari kursi kecil.
"Tunggu sini, Bocah." Straw bergegas meninggalkan ruang UKS, hendak menuju ke suatu tempat. Aku hanya menatapnya dengan heran. Tunggu sini katanya, memangnya aku mau ke mana? Aku duduk, menyenderkan tubuhku dengan bantal. Ruangan ini kembali senyap. Aku menatap tirai di depanku yang merapat menjadi dua. Terlihat di seberang, beberapa ranjang UKS yang tampak sama. Aku mengembuskan napas panjang. Cih, ke mana orang tua itu?
Setelah sepuluh menit berlalu, terdengar suara pintu terbuka. Langkah kaki mendekat dengan ritme cepat. Tubuh Straw sekali lagi duduk di kursi kecil sampingku, kali ini dengan membawa sebuah buku besar. Buku tersebut penuh debu, dengan sampul cokelat dan kertas yang terlihat menguning. Sepertinya buku tersebut telah ditumpuk ratusan buku selama bertahun-tahun.
Straw memangku buku tersebut. Tangannya mengusap debu dengan hati-hati. Aku agak sedikit mendekatkan kepala. Buku tersebut berjudul Daratan yang Hilang oleh Aftur Gog. Straw membuka beberapa halaman sekaligus, lalu membalik sekitar empat halaman. Tangannya meneliti setiap kalimat di halaman bagian kiri.
"Apa yang kau lakukan Straw?" tanyaku. Tangan Straw berhenti menelusur, tepat di tengah halaman.
Straw membaca dengan suara nyaring, "Suatu hal yang menentang ketentuan alam. Mereka yang mati dikumpulkan, lalu diciptakan. Yang mati tersebut bergerak kembali menghampiri keluarga mereka. Namun, bukan untuk melepas rindu, melainkan membunuh keluarga sendiri. Itu bukan keinginan, melainkan kendali dari pencipta mereka. Yang mati tersebut bak mayat hidup. mereka disebut sebagai 'manusia buatan', sebuah senjata penghancur massal." Sebagian yang dibacakan Straw tertangkap oleh akalku, beberapa bagian tidak. Aku lanjut mendengarkan dengan antusias.
"Mereka diciptakan dengan darah para Orang Terpilih. Tubuh mereka dibedah, diganti otot-ototnya dengan logam terkeras milik tanah ini. Sebuah logam yang tidak dapat ditembus oleh apapun." Straw berhenti membaca. Kepalanya sedikit terangkat dengan mata membelalak.
"Sepertinya masalah kita lebih serius lagi," ucap Straw dengan suara tertahan.
"Straw, buku apa yang kau baca itu?"
"Daratan yang Hilang, sejarah asli sebuah daratan besar di tengah samudera bernama Merenhit."
Aku sontak terkejut. Merenhit adalah sebuah cerita legenda terkenal yang biasaya dikisahkan ke anak-anak. Aku sering mendengar cerita itu saat masih kecil.
"Itu bukan hanya sekedar legenda. Itu kisah asli, diceritakan dalam buku ini. Kau selama ini hanya mendengar kisah sebuah daratan yang hancur karena perang antara dua kerajaan dan hanya ada satu prajurit baik hati yang selamat dari peperangan itu, iya bukan? Yah, jalan cerita tersebut tidak sepenuhnya salah."
"Apa maksudmu?"
Straw memejamkan mata sejenak dan mulai menjelaskan. "Versi asli dari cerita tersebut adalah sejarah tentang dua kelompok pembunuh terbesar yang pernah ada. Dua kelompok pembunuh yang menjadi kelompok pembunuh pertama di dunia ini: North End dan West Begin. Sedangkan daratan yang dimaksud adalah sebuah benua bernama Merenhit. Dua kelompok pembunuh tersebut telah berperang hampir seribuh tahun lamanya. Bahkan, masalah awal dari peperangan dua kelompok tersebut sudah hilang tertelan waktu, tidak ada lagi yang tau. Keturunan demi keturunan terus berperang, rakyat sipil dijadikan tentara, dan yang lebih dahsyatnya lagi, semua orang yang berperang adalah seorang Chosen.
"North End yang berada di timur dan West Begin yang berada di barat, kedua wilayah mereka hanya dibatasi oleh sebuah sungai yang melintang di sepanjang benua. Bagian wilayah mereka sering berubah seiring dengan perebutan wilayah yang terjadi. Hingga suatu ketika, North End berhasil menciptakan sebuah penemuan mengerikan. Sebuah senjata penghancur massal berupa tentara abadi yang mereka sebut dengan 'manusia buatan'. Perang semakin berkecamuk. West Begin semakin terdesak, namun masih menyerang. Dentuman dan desingan saling bersahutan hingga bertahun-tahun. Pertempuran yang dikhawatirkan tidak akan berakhir. Namun, suatu ketika Merenhit diguncang gempa maha dahsyat dan menyebabkan gelombang tsunami superbesar. Merenhit, yang sejatinya hanya benua kecil, akhirnya hilang ditelan amukan gelombang pasang.
"Isu mengatakan bahwa tidak ada lagi yang tersisa dari Merenhit, namun itu tidak benar. Beberapa bulan sebelum terjadinya bencana gempa, ada beberapa orang dari North End dan West Begin bersatu dan berhasil melarikan diri dari Merenhit bersama dengan pasukan tentara sipil. Mereka adalah kubu yang sudah muak dengan peperangan. Tidak ada yang tau ke mana mereka pergi. Kabar burung pun tak melintas. Merenhit hilang bersama waktu."
Hebat. Aku tidak pernah menduga kelompok pembunuh punya sejarah besar. Aku cukup terkesima dengan cerita Straw. Entah berapa lama ia membaca buku tersebut hingga bisa merangkai cerita singkatnya.
Straw menutup buku tersebut, menimbulkan asap debu yang membaur di udara. Ia menatap buku itu sejenak, lalu matanya beralih kepadaku.
"Pasukan tentara sipil adalah pasukan netral yang bercita-cita menghentikan perang tersebut. Namun, mereka tidak memiliki kekuatan. Dan, pada akhirnya mereka dipercaya memimpin pelarian itu."
"Apakah semua orang yang melarikan diri itu adalah seorang Chosen?" tanyaku.
"Ya, mereka semua adalah seorang Chosen, dan bisa dibilang leluhur kita. Ada teori dalam buku ini yang masuk akal tentang ke mana mereka pergi dan apa kaitannya dengan kelompok pembunuh saat ini. Teori tersebut mengatakan bahwa orang-orang yang tersisa dari Merenhit berpencar ke seluruh penjuru dunia. Mereka mencoba berbaur dan hidup normal. Namun, orang-orang Merenhit tidak memiliki keterampilan apapun selain membunuh. Oleh karena itu, masing-masing dari mereka membentuk kelompok pembunuh untuk bertahan hidup. Mereka menerima bayaran atas jasa membunuh," Straw menjeda sejenak, mengatur napas, "dan, sifat mereka menurun kepada kita, keturunannya. Hasrat membunuh, memimpin, ambisius, mereka turunkan semua itu kepada kita. Makanya, seorang Chosen ditakdirkan untuk menjadi pemimpin. Tapi, kelompok pembunuh sekarang tidak seperti yang dulu. Kelompok pembunuh yang kakek dari kakek kita yang ke sekian kali mempunyai prinsip: Kami hanya membunuh orang yang pantas untuk dibunuh. Jika mereka menganggap orang itu tidak pantas untuk dibunuh, mereka tidak akan melakukannya, sebesar apapun bayarannya. Zaman sekarang hidup semakin sulit, Bocah. Pola pikir manusia sudah berubah. Banyak orang yang hanya memikirkan harta ketimbang prinsip hidup. Mirisnya, pola pikir tersebut juga memengaruhi kelompok pembunuh sekarang."
Sepertinya Straw sudah menyelesaikan kisahnya. Straw menelan ludah berat. Sepertinya ia mulai kehausan setelah berbicara hampir lima paragraf.
"Apa semua Chosen saat itu membentuk kelompok pembunuh? Kita tidak tau pasti jumlah mereka, jadi ada berapa kelompok pembunuh yang mereka bentuk?" Terdengar suara menyeletuk dari balik tirai di sampingku. Suara yang sangat familiar, menyebalkan, namun sekarang cukup kurindukan. Tirai tersebut digeser dan memunculkan sosok Rick dengan balutan perban di sekujur wajahnya.
"Astaga, Kawan. Apa yang terjadi dengan wajahmu?" tanyaku sambil menahan tawa.
"Kau masih mengenaliku? Si brengsek Louis benar-benar tidak memberiku ampun."
"Kau menguping, Bocah," tukas Straw.
Rick mengangkat bahu. "Kau tidak sedang bercerita tentang rahasia besar, bukan?"
Straw menghela napas. "Tidak semua orang-orang Merenhit membentuk kelompok pembunuh. Ada beberapa dari mereka yang berhasil hidup normal dan memendam dalam-dalam sejarah kelam mereka. Mereka memilih menikah dengan manusia normal dan berharap agar keturunan mereka juga normal. Ditambah lagi, sebagian besar mereka yang membentuk kelompok pembunuh sudah tidak beroperasi lagi saat ini. Sisanya yang masih beroperasi kini tumbuh menjadi kelompok pembunuh besar, sejauh yang aku tau."
"Sebuah cerita yang menarik menurutku," komentar Rick. Aku setuju dengan pendapatnya. Tapi, seharusnya kita terhubung dengan masalah awal yang tadi. Tentang Zero.
"Kalau begitu, Zero...," ucapku tertahan.
"Tidak mungkin ada tentara yang tersisa dalam bencana itu. Penciptanya pun sudah mati... jangan-jangan...." Straw baru tersadar akan suatu hal.
"Ada pencipta lain. Ada orang lain yang bisa membuat manusia buatan," sahut Rick.
Straw terdiam menatap ke bawah. "Dan orang tersebut adalah orang yang memasang komputer menyebalkan di sana itu. Ia sengaja menaruh Zero di Light Wolf dan menyulut peperangan dengan kita. Kemungkinan besar, ia akan memengaruhi kelompok pembunuh lainnya. Siapa dia? Dari mana dia datang? Dan bagaimana dia bisa menciptakan manusia buatan? Kita tidak punya petunjuk."
Ruang UKS menjadi lengang. Perlahan misteri ini mulai terkuak, tapi belum ada petunjuk yang mengarah ke pelaku utama. Ada seseorang yang menaruh pemicu bom massal di sekolah ini, membuat Light Wolf yang berambisi ingin menghancurkan kota mengincar benda tersebut dan otomatis menyulut perang dengan Black Hands yang tujuan utamanya adalah menghentika Light Wolf. Rencananya rapi sekali, bak sudah disiapkan bertahun-tahun lamanya. Kita seolah terjaring. Kita diadu domba oleh orang ini.
"Kita bisa mengesampingkan ini dulu sekarang, karena tak ada dugaan lagi yang bisa kita cetuskan," ujar Straw. "Bocah, apa lagi sesuatu yang kau dapat di pertarungan tadi?"
Aku mencoba mengingat sejenak. Kata demi kata yang Sliver ucapkan kini bercampur dengan bayangan pahit tentang Seria. Hingga aku teringat saat mereka hendak pergi. Sliver mengatakan sesuatu.
"Sebelum mereka pergi Sliver berkata bahwa Seria tidak membunuh siapapun hari ini," kataku. Suara knop pintu dibuka terdengar, diikuti dengan langkah kaki seseorang. Orang tersebut menyahut sebelum sampai di hadapan kami, "Itu pasti berkaitan dengan dua orang berjas yang dibunuh tadi siang. Kita tau pasti siapa pembunuhnya sekarang." Louis berhenti di hadapanku dengan tatapan tajam. [ ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top