Bab 17: Bunuh
Mata Seria yang bulat menatapku sejenak, masih dengan genangan air mata yang mengumpul di tepi kelopak. Suara tangisnya mulai mereda. Kedua tangannya menyeka air mata sembari masih terisak, kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Aku menurunkan tanganku yang mengusap kepala Seria.
"Setelah ini, kita bisa mengobrol lagi di taman. Aku akan menceritakan semua tentangku, dan kau akan melakukannya juga," ucapku menenangkan. Seria kembali menyeka air mata di kelopak matanya. Kali ini ia menatapku dengan tenang. Wajahnya terlihat lebih cerah dari yang tadi. Senyuman kala itu kembali terlukis di wajahnya. Senyuman yang hangat. Kukira itu adalah caranya untuk mengucapkan terima kasih.
Aku berdiri dan membantu Seria bangun. Dalam hitungan detik, sebilah logam dingin langsung menyekat leherku. Aku merasakan hawa ancaman seseorang di belakang. Desus suaranya menusuk telinga. Embusan napasnya mengelus bengis rambutku.
"Cukup sudah drama kalian. Waktunya untuk menutup acara," ucap orang yang berdiri di belakangku. Aku ingin menoleh, namun pisau tajam ini hanya berjarak beberapa mili dari leherku. Aku melihat Seria. Di belakangnya juga ada orang yang sedang berdiri. Kalau ini aku mengenalnya. Rambut putih mengilat sepanjang leher dan senyuman liciknya yang khas. Anggota Light Wolf yang pertama kali kami temui, Sliver.
"Lama kita tidak bertemu, Raid." Senyuman liciknya mengejek, membuatku ingin sekali mendaratkan pukulan di wajahnya. "Sayangnya, Lunar tidak akan ke mana-mana. Dia punya banyak urusan dengan kami sekarang. Atau mungkin, kami akan sedikit menghukumnya."
"Hentikan!!!" pekikku geram.
"Ya ampun, seharusnya kalian berdua tidak boleh saling akrab. Kalian ini kan musuh?"
"Menjauh darinya, Sliver!"
"Tidak sopan sekali. Hmm, bagaimana kalau kita pemanasannya di sini? Ini akan menjadi pemandangan yang menarik."
Sliver mengeluarkan sebuah pistol putih dari balik mantelnya. Ia mengokang pistol tersebut, mundur beberapa langkah, lalu mengarahkan larasnya ke bawah, tepat ke kaki kiri Seria. Sliver cekikikan pelan.
"Hoi ... Hoi!!! Apa yang akan kau lakukan?!" Pitamku mulai naik.
"Hanya gertakan kecil."
Air mata Seria kembali mengalir. Matanya terpejam takut. Ia mengepalkan tangan erat-erat, bersiap menerima rasa sakit yang mungkin akan dirasakannya.
DOR!
Suara Seria tertahan saking menahan rasa sakit akibat timah panas. Beberapa percikan darah menciprat ke lantai, lalu mengucurkan genangan. Seria tersungkur lemas, merintih kesakitan. Aku diam mematung, tubuhku seperti tersengat hebat. Aku ingin sekali berteriak, namun sesuatu mengekang tenggorokanku. Jantungku berdegup kencang. Otakku seakan mendidih karena pitam yang telah menembus ujung kepalaku. Rasa amarah telah lebih dulu menguras tenagaku. Aku terduduk lemas.
"Ayo pergi, Zero. Lepaskan saja anak itu, kita tidak punya kepentingan dengannya."
Zero menurunkan sebilah logam yang menyekat leherku, lantas berjalan membungkuk mendekati Seria. Ia mengangkat tubuh Seria yang kini tak sadarkan diri, kemudian memikulnya di pundak. Darah merah masih menetes dari kaki Seria. Mereka berbalik badan, lalu berjalan meninggalkanku. Aku masih duduk mematung. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tubuh ini tidak bisa bergerak ... sial! Sial! Sial! Sial! Sial! Sial! Sial!
"Sial!!!" aku berteriak. Aureum Eyes aktif, memercik sinar emas di iris mataku. Aku berdiri, langsung menerjang maju bak binatang buas. Rasa amarah sudah tak terbendung lagi, hasrat membunuh sudah tidak terelakan lagi. Nyawa merekalah yang saat ini kuinginkan. Aku akan menjadi iblis.
Aku mencoba menghempaskan pukulan ke kepala Zero. Namun dalam hitungan detik, ia berbalik badan dan lebih dulu mendaratkan kakinya ke dadaku. Aku terpental, terguling-guling di lantai.
"Sia-sia. Kau tidak akan pernah bisa mengalahkan kami," ujar Sliver.
Aku berteriak, memukul lantai untuk menopang tubuhku berdiri. Napasku mulai tersengal, namun amarahku tidak akan padam.
"Tidak bisa dimaafkan. Aku akan membunuh kalian!!!" pekikku.
"Seram. Hati-hati dengan ucapanmu, Nak. Kau sudah seperti pembunuh," sahut Sliver dengan nada bersenandung.
Aku kembali menerjang maju. Kali ini dengan sedikit bantuan. Aku mengeluarkan pistol pemberian Straw yang kuselipkan di pinggang celanaku. Aku menodongkan laras sambil berlari.
"Amatiran," Sliver berkomentar. Ia mengaktifkan Aureum Eyes miliknya. Sebelum ia mengambil langkah, aku sudah terlebih dahulu menarik pelatuk. Peluru berkecapatan kilat mematahkan hukum Aureum Eyes. Mata tersebut tetap tidak bisa melihat putaran peluru ini. Sliver tersentak kaget melihat peluru yang tetap meluncur cepat walaupun dilihat dengan Aureum Eyes. Timah panas tersebut maju menerobos angin, lalu menusuk tepat di dada kiri Zero. Kejadian ganjil terjadi. Kali ini, terdengar bunyi logam beradu ketika peluru tersebut menghantam dada kiri Zero, dan tidak ada darah yang mengalir sedikitpun di lubang dadanya, hanya menyisakan asap tipis yang menyebar ke atas.
Langkah lariku terhenti melihat kejadian aneh itu. Mataku membelalak kaget. Zero hanya menatapku sekilas, kemudian memandang dada kirinya yang masih berasap, lalu kembali menatapku sambil menjulurkan lidahnya yang hampir menyentuh dagu, seolah berkata bahwa peluru saktiku tidak mempan sama sekali. Apa-apaan orang ini? Dia bukan manusia.
"Dia bukan manusia. Kau pasti berpikiran seperti itu, bukan? Yah, memang sih. Zero adalah mesin yang spesial. Dia sama seperti manusia lain, tapi berbeda siklus hidupnya. Dulu dia adalah manusia yang dilahirkan. Tapi kemudian, dia diciptakan. Kau bisa menyebutnya 'mayat hidup'," kata Sliver.
Apa maksudnya mayat hidup? Aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Tidak terlalu heran, orang-orang Light Wolf selalu berisikan manusia aneh. Semenjak aku terlibat dalam masalah kelompok pembunuh ini, selalu saja ada kejadian aneh yang kualami. Tapi, yang satu ini sepertinya lebih berbahaya. Ada suara logam beradu saat peluru menghantam dadanya. Apa sebenarnya yang ada di dalam tubuhnya?
"Sudah selesai? Tidak mau menyerang lagi?" ucap Sliver memanasi. Tentu saja aku belum selesai, dasar keparat. Aku mengganti target. Kali ini laras pistol lurus ke Sliver. Walaupun dia seorang Chosen, setidaknya tubuhnya manusia biasa. Sliver menurunkan kepala sedikit. Ia mundur selangkah. Matanya lebih waspada.
Aku hendak menarik pelatuk, namun Zero melangkah maju ke hadapan Sliver. Ia menurunkan Seria yang tersungkur di pundaknya. Leher belakang Seria dicekik, kemudian tubuhnya di hadapkan kepadaku. Ia menjadikan Seria sebagai tameng.
"Coba tembak kalau berani," ucap Zero.
Langkahku terhenti.
"Hentikan! Apa yang kau lakukan, sialan?!!!" Kejam sekali. Seria memang sedang tidak sadarkan diri, tapi tetap saja dia merasakan sakit dicekik seperti itu. Kalau dibiarkan dia bisa mati. Tidak bisa dimaafkan. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Sliver seketika berlari dari balik tubuh Zero. Mata kuningnya bersinar terang di tengah persimpangan antar gedung yang redup ini. Ia melesat cepat ke arahku. Aku dengan sigap mengunci target dan melepaskan tembakan. Timah panas menukik tajam, namun Sliver lebih tangkas. Ia memutar badan ke samping dan menghindari tukikan peluru tersebut. Ia kembali berlari dan kini tepat berada di depanku. Dia mengarahkan pistol ke kepalaku. Pelatuknya ditarik. Sebuah peluru berputar hendak menembus keningku dalam beberapa senti. Namun beruntung, peluru tersebut terlihat lambat. Aku memiringkan kepala dan berputar ke balik tubuh Sliver.
Keadaan berbalik. Aku mengarahkan laras pistol ke kepalanya. Dengan sigap, Sliver menyikut lenganku dan menyebabkan peluru menyerong ke atas. Ia kembali menyikut dadaku, membuatku mundur beberapa langkah. Sial, terasa sesak sekali.
"Boleh juga. Kau memaksaku bergerak dengan lincah, atau aku akan mati. Tapi tetap saja, kau terlalu dini untuk mengalahkanku."
Aku menghiraukan kata-kata Sliver. Perhatianku kini lebih kepada dadaku yang sesak dan tentu saja keadaan Seria di belakang. Aku menoleh ke belakang. Kulihat Seria kembali ditopang di pundak Zero.
"Jangan mengalihkan pandangan saat sedang bertarung, dasar bodoh."
Aku mengembalikan posisi kepala. Satu kaki Sliver mengayun deras. Hempasan angin terasa bahkan sebelum kaki tersebut menghantam. Aku dengan lincah memasang tanganku sebagai tameng. Aku terbanting hebat ke samping, dan menabrak beberapa tong sampah. Memar parah melanda tanganku, tapi beruntung kepalaku baik-baik saja.
"Kau masih bisa bertahan. Hebat juga," ucap Sliver.
"Diam kau," sahutku ketus.
Sliver menyisir rambutnya dengan jari.
"Ah, aku ingin bertanya, dari tadi kepikiran. Bagaimana kau bisa bertemu dengan Lunar? Dia biasanya bukan orang yang mau bertemu dengan orang lain, bahkan berbicara dengan orang tersebut. Oh, aku lupa, bukan berbicara, tapi menunjukkan papan tulis kecilnya. Seharusnya dia tertutup dengan lingkungan sekitar, atau keamanan kami akan terancam."
"Kalian mengekangnya, menyiksanya, tidakkah kalian punya hati?!"
Sliver terkekeh.
"Ini semata-semata untuk mewujudkan ambisi kami. Menghancurkan kota ini beserta penduduknya adalah pilihan yang tepat. Lihat sekitarmu, Raid. Ada sisi gelap di kota ini, bahkan kau tidak bisa menyebut mereka sebagai manusia. Individualisme yang tinggi, rasa empati yang nol, arogansi, gila harta, tidakkah kau menyadarinya? Taukah kau bahwa sisi gelap tersebut bisa membunuh siapa saja?"
Seketika aku teringat dengan cerita Straw tentang keluarganya. Ibu Straw meninggal karena penyakit yang dideritanya dan tidak ada yang mau membantu mereka. Itu jua yang menyebabkan adik Straw melakukan ini semua. Sumber masalah ini kini tertuju pada Kota Wings.
"Contoh sederhana adalah Lunar. Kau tau kenapa dia bisu? Dia sebenarnya tidak sepenuhnya bisu." Sliver menoleh ke arah Seria.
"Sejak umur lima tahun, dia dijual oleh orang tuanya dan dijadikan budak. Tinggal di rumah megah majikannya yang kaya, namun kejam. Ya, mereka tinggal di kota ini, tepatnya di Bukit Ave, perbatasan antara Kota Wings dengan Kota Jouten, ada rumah megah yang berdiri sendiri di puncak bukit. Setiap hari, dia diperlakukan dengan kejam di sana. Bayangkan saja, dicambuk adalah sarapan pagi seorang anak perempuan berusia lima tahun. Dia tidak pernah berbicara di sana. Satu-satunya komunikasi yang ia lakukan adalah menangis. Ia menderita trauma hebat yang berpengaruh pada kemampuan berbicaranya."
Aku bergeming mendengar cerita Sliver. Entah itu benar atau tidak, tapi sepertinya dia tidak berbohong. Aku benar-benar tidak bisa membayangkannya. Penderitaan Seria selama ini sangat mengerikan. Itu bukan lagi masalah, melainkan bencana hidup.
"Lalu, pada usia sepuluh tahun, entah bagaimana caranya Lunar berhasil kabur dari tempat itu. Tapi, belum sampai pada akhir bahagia, kelegaan hanya datang sebentar, lalu kembali sirna. Lunar harus hidup di jalanan, sendirian, bahkan untuk makan pun ia terpaksa mencuri. Ia sering tertangkap basah dan dipukuli oleh orang-orang. Kau dapat membayangkan itu? Betapa mengerikannya orang-orang di sini, hanya saja kau tidak pernah menyadarinya. Sampai lima tahun kemudian, bos melihat potensi hebat dalam dirinya dan ia memutuskan untuk mengadopsi Lunar. Lunar sangat beruntung."
Aku menggeram mendengar kalimat terakhirnya.
"Apanya yang beruntung? Dia sama saja kembali ke kandang singa," ujarku.
"Ah, dia tidak akan kuperlakukan seperti ini kalau saja dia melaksanakan misi dengan benar dan tidak berteman dengan musuh. Wah, kaulah yang menyebabkan dia menderita kali ini."
"Sialan!!!"
Sekali lagi aku melompat maju. Tanpa memberinya kesempatan untuk bergerak, aku sudah meletakkan lubang laras tepat di kening Sliver. Aku akan membunuhnya. Saat kutarik pelatuk pistol, Sliver malah merespon dengan senyum liciknya. Peluru tidak meluncur keluar. Kalah telak, aku kehabisan peluru.
"Checkmate." Sliver mengayunkan pukulan sekuat tenaga yang mengakhiri segalanya. Perutku terhantam keras. Rasanya panas, perih, ingin langsung kumuntahkan isi perutku saat itu juga. Napasku terasa sesak. Aku tumbang, tergeletak di lantai semen sambil mengerang memegangi perut.
"Dewi Fortuna berpihak kepadamu kali ini, Raid. Aku tidak akan membunuhmu. Aku cukup menikmati pertarungan hari ini."
"A ... aku belum ... selesai." Rasanya sulit sekali mengucapkan kata-kata. Sial, aku tidak boleh kalah. Aku mencoba bangun, namun menggerakkan kaki saja terasa sulit. Sliver berbalik badan. Pergi, diikuti dengan Zero yang memikul Seria. Mereka berjalan jauh, lagi-lagi meninggalkanku dalam keadaan menyedihkan.
"Tu ... tunggu ... argh." Aku masih mengeluh kesakitan. Hanya bisa meratapi kekalahan dan memandang mereka pergi menjauh.
"Ah, sebagai hadiah karena telah menghiburku, aku akan memberitahumu satu hal," Sliver berhenti sejenak, lalu membalikkan badan ke arahku, "Seria tidak membunuh siapapun hari ini. Kau tau 'kan maksudku?"
Sliver kemudian membalikkan tubuhnya dan kembali pergi menjauh. Mereka menghilang saat keluar dari persimpangan. Hanya ada kehampaan sekarang. Di atas lantai kasar ini, menemaniku sebagai seorang pecundang. Aku tak kuasa menahan amarah. Aku memukul-mukul lantai semen, berkali-kali. Aku hanya bisa berteriak. Hanya itu satu-satunya yang mampu kulakukan. Aku benar-benar tidak berguna. Aku sudah bertengkar dengan guruku sendiri, dan sekarang aku tidak bisa menyelamatkan temanku. Dasar lemah. Raid Luminisce adalah orang yang lemah.
Suara langkah kaki pelan terdengar mendekatiku. Sepatu hitam mengilatnya memijak lantai dengan hawa dingin, lalu berhenti tepat di depan wajahku. Aku memandang ke atas, menangkap wajah Louis yang sedikit mengerutkan hidungnya. Dia pasti sedang marah. Sekarang aku malah kepikiran dengan Rick. Sepertinya ia berhasil membuat jengkel Louis. Aku hanya menatapnya tanpa berucap sepatah kata pun.
Louis mengayunkan kakinya, menendangku di bagian dada. Itu tendangan yang kasar untuk situasiku yang sedang seperti ini. Tapi, tendangannya tidak terasa sakit. Apa yang dia lakukan? Mengganggu sekali. Louis mulai mengangkat tubuhku dan ditaruhnya aku di pundak.
"Murid-murid payah," gumamnya. Bahkan setelah aku melawan perintahnya, dia masih memanggilku murid. [ ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top