Bab 16 : Suara dalam Tangismu
"Seria! Tunggu!"
Aku mengejarnya hingga ke persimpangan jalan. Larinya termasuk sangat cepat untuk seorang wanita yang sedang terluka dan membawa senapan berat. Aku terlambat menyadarinya. Aku tidak menyangka kalau Seria juga terlibat dalam masalah ini. Terlebih lagi, peranku dan perannya sangat bertentangan. Sesuatu dalam diriku mendorongku untuk tidak membiarkan ini semua berlanjut. Aku harus menghentikannya.
Seria melompati pagar taman kota dan menapak di atas hamparan rumput. Ia berlari menerobos kerumunan tanpa memedulikan orang-orang sekitar yang menatapnya dengan heran. Aku yakin tujuannya adalah Familia District. Akan sangat mudah jika ingin menghilang di antara gedung-gedung yang merapat di sana. Langkah Seria sedikit terhambat oleh kerumunan. Aku mengambil jalan memutar menuju pintu gerbang taman.
"Berhenti di situ, Bocah!" Louis memperingati di belakang. Ia mengejarku bagaikan sebuah bayangan yang mengendarai angin. Sangat cepat. Aku merasa dicurangi karena dia menggunakan Aureum Eyes. Aku menyeimbanginya dengan mengaktifkan milikku. Aku melihat Seria yang bergerak pelan menuju gerbang taman, dan Louis yang sedikit menjauh dariku di belakang.
"Jangan menggangguku, Louis! Biar aku yang menangani yang satu ini," pekikku.
"Jangan konyol! Masih telalu cepat bagimu untuk berhadapan dengan mereka!"
"Dia adalah temanku!"
"Kalau begitu, aku akan membunuhmu juga, karena kau telah berteman dengan musuh."
"Coba saja kalau bisa!"
Aku melepas tas yang merangkul di pundakku dan merogoh sesuatu di dalamnya. Ini adalah kali pertama aku menggunakannya, aku tidak akan ceroboh. Kakiku menggesek permukaan semen dan berbalik badan. Sebuah pistol hitam yang berada di genggamanku mengarah tepat kepada Louis. Senjata ini terasa dua kali lebih berat sekarang.
Aku langsung menarik pelatuk tanpa lagi mengunci target. Namun, seketika aku terkejut. Peluru itu terlihat tidak melambat. Timah panas tersebut meluncur ke arah Louis dengan kecepatan kilat meskipun aku melihatnya dengan Aureum Eyes. Tidak mungkin, aku yakin aku masih menggunakan mata itu.
Louis yang tersentak kaget menghantam peluru tersebut dengan tangannya secara spontan. Terdengar bunyi dentingan yang nyaring, kemudian ia jatuh terguling akibat kerasnya hantaman tersebut.
"Louis!" teriakku dengan sedikt panik. Louis menopang kepada lututnya dan setengah berdiri. Tangan kanannya menjulur, menunjukkan sebilah pisau yang ia selipkan di balik lengan mantelnya. Dengan wajah jengkel, ia menajamkan matanya hingga membentuk kerutan di sekitar hidung.
"Dasar iblis tua. Seenaknya saja memberikan senjata berbahaya kepada pemula," gumamnya dengan sebal. Aku yakin kata-kata tersebut mengarah kepada Straw, karena ia yang memberikan senjata ini kepadaku dan tidak memberitahu spesifikasinya. Astaga, kukira ini hanya pistol biasa. Louis berdiri dan menatapku dengan dingin, kali ini benar-benar dingin.
"Bocah, biar kutanya sekali lagi. Kenapa kau ingin sekali mengejar perempuan itu?"
"Aku sudah bilang, dia itu temanku."
"Apa yang akan kau lakukan setelah berhasil mengejarnya?"
"Ak-aku ... aku akan menghentikannya. Aku akan bertanya kepadanya kenapa ia melakukan ini semua, kenapa ia bisa berada di pihak mereka." Aku mengeratkan genggaman tanganku. "Sial ... kukira dia hanya gadis biasa."
Seria adalah satu-satunya perempuan sebaya yang bisa kuajak bicara. Aku tidak pernah dekat dengan satu pun perempuan semasa sekolah, bahkan sejak SD. Satu-satunya teman yang bisa kuajak bicara hanyalah Rick. Tapi, saat berhadapan dengan Seria, entah kenapa aku ingin sekali mengenalnya, aku berani mendekatinya.
"Bocah, biar kuberitahu identitas aslinya," ucap Louis, "namanya adalah Seria Lunar. Gadis tunawicara berumur 16 tahun. Ia juga seorang tunawisma, dipungut oleh Light Wolf karena potensi hebat yang dimilikinya sebagai seorang penembak jitu. Ia kerap kali terlihat menetap di berbagai rumah kosong dan selalu berpindah-pindah. Gadis itu hanyalah anjing gelandangan, Bocah."
Aku terdiam mematung setelah Louis memberitahu semua itu. Tidak mungkin, Seria bilang ia tinggal di Spring-Birth Street. Dia berbohong padaku. Namun, apa yang Louis katakan membuatku semakin ingin bertemu dengan Seria. Ada beberapa hal yang akan kutanyakan padanya, selain kebohongan kata-katanya, apakah senyumannya waktu itu juga palsu. Di tengah penderitaan seperti itu, rasanya tidak mungkin bagi seorang perempuan untuk tersenyum hangat.
"Terima kasih, Louis," ucapku. Louis merubah tatapan dinginnya menjadi pandangan heran.
"Apa maksudmu?"
"Berkat informasi yang kau berikan, aku jadi semakin ingin mengejarnya. Dan satu hal lagi ... jangan sebut gadis itu dengan ucapan kotormu."
Aku mengarahkan laras pistol ke Louis dan menguncinya sebagai target. Kutarik pelatuknya dengan hati-hati.
DOR!
Tembakan pertama meluncur tajam, namun berhasil dipantulkan oleh pisau tersembunyinya. Aku menembakkan peluru kedua, kembali berhasil ditangkis. Peluru ketiga yang kulontarkan menjadi akhir baginya. Pisau tersembunyi milik Louis hancur setelah menghantam peluru tersebut. Darah pekat mulai bercucuran membasahi tangannya. Raut wajahnya mulai menunjukkan kebencian kepadaku.
"Dasar bocah dungu!" pekiknya. Aku hanya berniat menghancurkan pisaunya, namun peluru yang terakhir sepertinya menggores tangan Louis.
"Maafkan aku, Louis. Aku terpaksa melakukan ini." Aku mundur dengan langkah pelan. Mata Louis semakin menajamkan kelopaknya. Langkah kakinya pun ikut maju dengan waspada. Aku melirik pandanganku ke Seria yang kini sudah berada di seberang jalan. Ia hendak berbelok menuju celah antara dua gedung. Aku harus melakukan sesuatu, aku tidak boleh kehilangan dia. Langkahku kembali menggesek mundur, diikuti oleh langkah maju Louis. Aku bisa saja mengambil langkah seribu sekarang, tapi aku tahu itu akan sulit. Walaupun kami sama-sama menggunakan Aureum Eyes, tetap saja aku seperti hewan lambat yang akan dimangsa oleh seekor macan. Menembaknya lagi adalah hal yang tidak ingin kulakukan. Masih ada beberapa peluru dalam pistol ini, namun Louis sudah terluka, satu peluru saja mungkin bisa membunuhnya.
Aku mendengar suara derap kaki menapak dengan gaduh. Langkah itu mendekat, namun masih beberapa meter jauhnya. Terlihat di balik tubuh Louis, seseorang sedang berlari mendekat. Walaupun melihat dengan Aureum Eyes, lari orang tersebut tergolong cepat. Semakin mendekat, tertangkap wajah yang sangat familiar bagiku. Orang yang sedang berlari tersebut adalah Rick.
Tujuannya pastilah Louis. Louis memejamkan mata sejenak sembari menghela napas dengan raut wajah jengkel. Dia pasti menyadari bahwa ada orang yang sedang mendekatinya, dan kemungkinan besar dia tau kalau orang tersebut adalah Rick. Aku kembali mengarahkan pistol, berusaha mengalihkan perhatian. Kulihat Rick memiringkan senyuman kecil. Aku menerima tanda itu, aku tau maksudnya.
Rick masih beberapa meter di belakang Louis. Namun, seketika tubuhnya melompat dan langsung mendekap Louis layaknya beruang grizzly.
"Sial!" geram Louis. Tubuhnya berusaha memberontak, tapi Rick lebih mengotot.
"Kejar dia, Raid! Aku tidak bisa menahannya lama-lama!" Rick bersikeras menarik tubuh Louis agar menjauh. Wajahnya mulai memerah panas dengan otot lengan yang mengurat. Rick pasti mati-matian menahan tubuh Louis yang jelas punya perbandingan kekuatan yang cukup jauh.
Aku mengangguk. Aku tidak akan menyia-nyiakan perjuangan Rick. Aku melemparkan pandangan ke Seria. Ia baru saja memasuki persimpangan kecil di antara dua gedung. Aku berlari dengan cepat, melompati pagar taman, menerobos kerumunan orang-orang yang sedang bergerak lambat. Ini rekor lari tercepat yang pernah kulakukan, sampai membuat mata orang membelalak dengan pelan saat aku lewat. Aku lanjut menyeberangi jalan, dan masuk ke persimpangan kecil. Seria masih berada di tengah jalan persimpangan, berlari tertatih dengan membawa senapan besar.
"Seria!" Langkahnya terhenti. Tangannya terlihat bergemetar hebat. Seria berbalik badan dan langsung menargetkan senapannya ke arahku. Aku diam, bukan karena takut, namun kasihan. Wajah Seria dekil bercampur bekas air mata yang mengalir di pipinya, matanya berkaca-kaca menahan bendungan air mata. Meskipun dengan tangan gemetar, ia tetap mengarahkan senapannya kepadaku. Aku tau dia tidak ingin melakukannya.
"Kenapa kau berbohong kepadaku?" Aku melakukan hal terbodoh, entah apa yang ada di pikiranku. Tentu saja Seria tidak akan menjawab, karena dia tidak bisa berbicara, dan dia sedang tidak memegang papan tulis kecilnya. Tapi, aku tidak bisa menahan setiap pertanyaan yang ada di kepalaku.
"Kenapa? Bukankah kita adalah teman?" aku menelan ludah, menatap matanya dengan penuh iba. "Bahkan aku ingin lebih mengenalmu. Aku ingin tau lebih banyak tentangmu."
Seria mengangkat sedikit senjatanya, bermaksud mempertegas ancaman. Aku melangkah maju. Seria mundur selangkah. Ia sekali lagi mengangkat senapannya, kali ini mengokang. Aku tetap maju. Seria mulai mengeker. Jari telunjuknya sudah siap menarik pelatuk.
DOR!
Satu peluru raksasa meluncur cepat. Aureum Eyes sudah sedari tadi kunonaktifkan. Aku tidak ada niat untuk melawannya dan aku tidak akan menghindar. Terasa tamparan angin menepuk wajahku. Peluru tersebut melesat tepat di samping kepalaku dengan suara dentuman memekakkan telinga. Sepersekian detik kemudian, terdengar dentingan besi yang beradu hebat. Aku tidak menoleh, tapi aku tau peluru tersebut menabrak sejenis tiang besi besar.
Air mata Seria kembali membasahi pipi. Aku tau dia tidak akan sanggup melukaiku, apalagi membunuhku. Apanya yang pembunuh, apanya yang penembak jitu. Yang kulihat sekarang hanyalah seorang perempuan lugu yang ternyata hidupnya tak seringan senyumannya. Aku tidak bisa membayangkan. Apa yang sudah kau lalui hingga saat ini, Seria?
Aku tepat berada di depan Seria. Mataku menatapnya tajam, namun masih dengan perasaan iba. Mata Seria tidak lagi dapat menahan air mata. Ia menangis, terduduk lemas. Senapannya terlepas dari genggamannya, menghasilkan bunyi benturan ketika menabrak lantai semen. Aku ikut duduk di hadapannya. Tangisan Seria bertambah keras ... ia bersuara. Suaranya melengking layaknya perempuan lain, namun lebih lembut. Aku tau satu hal di sini: Seria tidak sepenuhnya bisu.
"Aku tau tangisanmu bukan hanya karena kau merasa bersalah kepadaku, atau karena misimu kali ini gagal, atau karena kau sedang terluka. Tangisanmu lebih menyuarakan derita hidupmu selama ini. Tangisan yang dalam dan menyakitkan." Aku menepuk kepalanya, mengelusnya dengan lembut. "Tapi, aku akan mendengar tangisan itu, tidak peduli seberapa lamanya." [ ]
Bersambung ...
Setelah berbulan-bulan, akhirnya update juga! Kesibukan merajalela, tekanan ujian di mana-mana, gak sempet nyentuh tulisan. Mumpung sekarang lagi libur, semoga bisa nulis lagi. Mohon kritik dan sarannya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top