Bab 15 : Orang Yang Kukenal
"Baiklah, Anak-anak! Ayo berbaris! Paman Straw akan menggunakan ingatan super untuk mengingat setiap nama kalian."
Straw mulai memamerkan kebolehannya dalam mengingat suatu hal. Anak-anak berbaris rapat sesuai yang diperintahkan. Baru beberapa jam yang lalu Straw bertemu dengan mereka, namun sepertinya ia telah mendapatkan tempat di hati anak-anak itu.
"Sepuluh orang, boleh juga. Dari ujung kiri ada Mike, Allison, Mera," Straw menyebut dengan jari telunjuknya, "Vini, Gogo, Pinocio, Zarea, dan dua anak kembar ... hmm, Nae dan Nea."
"Salah!!!" sahut dua anak kembar dengan giranv, "aku Nea, dia Nae."
"Tunggu, tunggu, kalian tidak curang, 'kan?"
Dua anak kembar saling cekikikan licik, kemudian diikuti oleh gelak tawa para murid di Taman Kanak-kanak Moonhill. Setidaknya suasana gembira masih terasa di sini, walaupun telah terjadi penembakan misterius sehari yang lalu. Tidak ada serangan susulan pada saat itu, namun kami sepakat untuk berjaga hingga menjelang fajar. Kak Una sangat berterima kasih karena kami telah sukarela menjaga tempat ini.
Siang tadi, aku bersama dengan Rick, Pak Dal, dan Louis, langsung menuju Taman Kanak-kanak Moonhill dengan seperangkat alat pembongkar bom. Ice memutuskan untuk tetap mengawasi dari ketinggian. Awalnya kami hanya berempat, lalu di tengah jalan seekor batu besar dengan sembrono berusaha mengikuti kami. Louis yang sangat terusik dengan kehadiran orang tersebut langsung geram dan menendangnya saat hendak mengekor. Di sinilah aku sekarang, bersama dengan Rick, Pak Dal, Louis, dan juga ... Straw dengan jidat birunya.
Aku berjalan ke halaman belakang. Embusan angin dataran tinggi mengalir dingin di wajah dan saling beradu dengan panasnya matahari. Di gudang kecil yang berada di pojok halaman, aku melihat Pak Dal dan Louis sedang berusaha memotong kabel-kabel berwarna pada sebuah benda kotak kelap-kelip. Kak Una sedang berdiri di belakang mereka dengan gelisah. Wajar saja, siapa yang tidak terperanjat dengan temuan bom yang berada di belakang sekolahnya secara tiba-tiba.
Mereka harus bekerja cepat sebelum polisi menyadari kehadiran bom tersebut dan juga sebelum Light Wolf menyerang kembali. Kami tau Light Wolf tidak akan membiarkan siapapun menyentuh bom-bom itu sampai mereka meledakkan sendiri pemicunya dan membunuh semua orang sekaligus. Ya ampun, Kota Wings benar-benar mengerikan sekarang.
Aku mendekati Kak Una dan menepuk pundaknya. Ia terkejut dengan kedatanganku hingga melangkah mundur.
"Ah, maaf. Aku nggak bermaksud mengagetkanmu," kataku.
"Oh, tidak apa-apa. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu tentang ini. Satu bom memang sudah diamankan, tapi kita tau bahwa ada bom yang lain dan bom itu belum ditemukan sampai sekarang."
"Tenang saja, Kak. Kami pasti akan menemukannya."
Wajah Kak Una kembali menghangat dengan senyuman kecil yang tersirat di bibirnya. Aku merasa cukup bangga menjadi penenang sementara.
"Oh iya, Kak Una, sudah berapa lama kakak mengurus sekolah ini?" tanyaku.
"Sebenarnya taman kanak-kanak ini adalah milik kakekku. Kemudian diberikan turun-temurun kepada ayahku. Semenjak ayahku meninggal setahun yang lalu, sekolah ini dialihkan kepadaku. Keluarga kami sangat menjunjung pendidikan, oleh karena itu kakek membuat sekolah ini untuk mendidik anak-anak di daerah terpencil secara sukarela."
"Kakek yang hebat. Aku juga punya kakek yang seperti itu."
"Benarkah?"
"Yah, meskipun hebat-nya agak berbeda."
Pak Dal mengelap keringat di keningnya dan mengangguk puas.
"Akhirnya selesai juga. Louis, kau memang hebat."
Louis tersenyum kecil. "Cukup bagus untuk orang yang baru pertama kali memegang bom. Kau lumayan berbakat."
Sebuah bunyi berdering memotong pembicaraan mereka. Kak Una dengan gopoh merogoh kantong celananya dan mengangkat sebuah telepon seluler. Ia menyapa seseorang di dalam benda tersebut,
"Selamat siang. Iya, iya, saya akan segera ke sana."
Kak Una kembali mengantongi teleponnya.
"Maaf yaa, ada tamu di luar yang sedang menungguku. Aku akan kembali lagi ke sini."
Langkah Kak Una sedikit terburu-buru. Mungkin yang akan dia temui adalah tokoh penting, seperti tokoh utama dalam cerita ini. Seharusnya orang-orang bangga bertemu denganku. Rick muncul dari balik pintu dengan langkah yang berat, maksudku benar-benar sedang keberatan. Kedua kakinya didekap dua anak kembar yang saling cekikikan.
"Kak Una terlihat sangat terburu-buru," gumamnya.
"Katanya ada tamu. Mana Straw?" tanyaku
"Setelah dia kalah dalam permainan anak-anak, dia kabur."
Louis berdecak jengkel.
"Dasar si Tua sialan."
"Sudah. Sudah, lebih baik kita cari lagi bom yang satunya," tukas Pak Dal yang mencoba mencairkan suasana.
Rick menatapku dengan wajah kusut seperti orang yang baru bangun dari kematian. Aku membalas tatapannya dengan kerutan di kening.
"Apa?"
"Tolong, lakukan sesuatu terhadap dua benda ini." Ia menunjuk kedua kakinya yang terkekang oleh dua bocah kembar.
"Itu urusanmu sendiri."
"Sialan! Anak-anak nakal, lepaskan kakiku!"
Selama beberapa menit, kami terjun ke semak-semak lebat yang penuh serangga beserta tempat tinggal mereka. Ranting demi ranting kami rogoh untuk mencari satu benda kelap-kelip. Ini cukup menjengkelkan. Tempat ini tidak begitu luas, tapi benda mencolok yang kami cari tak kunjung tertangkap mata.
"Kau yakin anak-anak itu benar-benar melihatnya?" tanya Louis.
"Anak-anak tidak pernah berbohong. Setidaknya mereka tidak akan berbohong untuk urusan berbahaya seperti ini," sahut Pak Dal.
Aku mendekati sebuah semak berduri yang agak besar. Mataku berputar mencari sesuatu untuk membantuku menggapai semak tersebut, dan aku mendapati sebuah kayu. Kumasukkan kayu itu ke bagian dalam semak, mengintip sisi dalam dengan seksama, dan akhirnya menemukan sebuah benda kelap-kelip yang kami cari.
"Ah! Kete-"
Belum sempat aku meneriakkan temuanku, sebuah suara melengking tiba-tiba menyambar memecah keheningan. Teriakan tersebut terdengar datang dari arah luar. Kami langsung berlari menerobos pepohonan untuk mencari sumber suara.
Di sisi bukit bagian barat, terlihat samar tiga orang yang saling berhadapan. Kami mengenali satu orang, ia adalah Kak Una. Setelah kami semakin mendekat, dua orang lainnya tampak jelas, namun dengan pemandangan yang mengerikan.
Dua orang tersebut adalah pria berjas yang kemarin, dengan pisau menusuk kening mereka hingga menancap di sebuah pohon. Darah merah yang kental melumuri batang pohon tersebut. Tubuh kami bergeming seketika, berusaha menangkap kejadian mengerikan apa yang baru saja terjadi ini.
"Ap-apa-apaan ini?" gumam Louis dengan wajah kaku.
Pak Dal membantu Kak Una menopang tubuhnya. Wajahnya putih pucat dengan air mata yang masih membendung di kelopak matanya, kakinya berguncang hebat menampakkan sebuah ketakutan yang amat dalam. Tangannya yang kecil berusaha keras menunjuk sesuatu di hadapannya.
"O-orang berpakaian ... putih ...," ucapnya terbata.
"Aku akan mengejarnya. Kalian bawa nona itu ke dalam."
Dengan gapah, Louis berlari di antara pepohonan. Langkahnya yang secepat kilat menghilang menuruni bukit. Orang berpakaian putih yang dimaksud pastilah Light Wolf. Kelakuan mereka kali ini benar-benar di luar batas. Mereka benar-benar menunjukkan tanduknya. Rick keluar dengan tergesa-gesa, namun Pak Dal menghentikan langkahnya tepat di depan pintu.
"Rick, jangan sampai anak-anak keluar dari sana! Tetap di dalam!"
Rick diam sejenak, lalu merespon dengan anggukan. Pak Dal menyuruhku menopang tubuh Kak Una dan membantunya masuk ke dalam taman kanak-kanak, sedangkan ia sendiri akan mengurusi dua mayat ini.
"Aku akan menghubungi Pedro. Kali ini kita benar-benar dalam keadaan siaga."
Aku mengangguk dan langsung membawa Kak Una ke dalam. Anak-anak tak henti-hentinya mengerumuni Kak Una dengan wajah muram.
"Kak Una kenapa?" tanya salah satu anak dengan nada polos.
"Kakak baik-baik saja, Cuma tidak enak badan. Kalian bermain saja sana ya," Kak Una berusaha berucap tenang dengan nada yang memaksa lembut.
"Kalau begitu kita main dokter-dokteran!"
"Tidak boleh. Kalian dengar tidak sih Kak Una sedang sakit? Sekarang kalian main sendiri sana, hush hush," perintah Rick sembari menyapu-nyapu telapak tangan. Ia mendekatiku dan berbisik,
"Ada masalah apa sih? Aku tadi dengar teriakan."
"Masalahnya rumit, nanti aku ceritakan."
Kami bergeming di dalam selama hampir satu jam, menunggu sebuah berita lanjutan tentang insiden ini. Pak Dal menarik gagang pintu dan masuk ke dalam ruangan. Ia mendapat sambutan girang dari anak-anak yang langsung menaiki badan besarnya.
"Aduh duh, kalian lumayan berat tau," ucapnya.
"Pak Dal, bagaimana?" tanyaku penasaran.
"Sudah dibereskan oleh Pedro. Namun, Louis masih mengejar orang itu."
"Begitu yaa. Jadi, apa yang kita lakukan selanjutnya?"
Pandangan Pak Dal beralih ke arah Kak Una.
"Nona Una, ada baiknya jika nona pulang saja. Silakan istirahat di rumah."
Kak Una tampak menunduk sejenak dan akhirnya mengangguk.
"Aku akan menemaninya pulang," cetusku.
"Aku juga," Rick menambahkan.
"Bagus, kuserahkan kepada kalian. Segera pulangkan anak-anak ini juga."
Setelah kami membujuk anak-anak yang sedang bermain untuk segera pulang, aku, Rick, dan Kak Una berjalan menuruni jalan setapak, meninggalkan Pak Dal dan Pedro yang masih berkutat di tempat itu. Bola matahari masih menggantung di puncak tertinggi, namun sinarnya perlahan tertutup oleh gumpalan kapas putih. Kami bertiga berjalan di tengah kesunyian Moondrop Street; belok kiri saat akan masuk ke Caliban Street.
Aku dan Rick hanya mengikuti Kak Una berjalan. Tidak ada yang tau ke mana ia akan menuju dan belum ada yang bertanya juga.
Aku memutuskan untuk memulai percakapan sederhana.
"Ngomong-ngomong, di mana rumah Kak Una?"
"Ah, rumahku ada di Rosella District. Di ujung jalan kita akan belok kanan dan masuk ke Forsela Street yang penuh dengan rumah berhalaman rumput yang membentang di sepanjang jalan."
"Hmm, kurasa pamanku pernah tinggal di situ dulu," sahut Rick.
Aku tidak tau banyak tentang tempat itu, jadi aku terdiam. Suasana kembali hening. Aku berusaha memikirkan pertanyaan apa lagi yang bisa mempertahankan percakapan ini. Aku tahu Kak Una butuh waktu untuk menenangkan diri, tapi akan terlihat aneh jika kami tidak mengobrol.
Aku memandangi genangan air yang kupijak, mencoba merajut kata-kata untuk percakapan selanjutnya. Air genangan tersebut bergetar menyebar. Namun di sela-sela getaran, aku melihat sosok asing melintas di atasku. Aku mendongak ke langit, namun tidak kudapati apa-apa. Rick dan Kak Una terlihat menghentikan langkah. Aku melihat ke arah depan dan mendapati seseorang sedang menghadang kami.
Light Wolf, begitulah yang terbesit di pikiranku ketika melihat orang di hadapan kami. Ia mengenakan mantel putih dan topi Fedora yang berwarna sama. Rambutnya hitam dengan panjang sepunggung, dan wajahnya ditutupi topeng putih bermotif wajah tersenyum. Kedua tangannya menopang sebuah senapan besar berlaras panjang. Aku dan Rick maju selangkah dengan posisi siap bertarung.
"Akhirnya kau datang juga," sambutku dengan tatapan siaga. Aku tidak bisa menatap matanya dengan jelas. Lubang di topengnya sangat sempit dan gelap. Tidak ada pergerakan perlawanan selama beberapa menit. Kami saling waspada. Wanita bertopeng kemudian mengangkat senjatanya dan mengarahkannya kepada Kak Una. Aku berdiri di hadapannya dan menghadang.
"Lawan dulu kami!" pekikku. Wanita bertopeng mundur selangkah. Bahu kanannya sedikit bergetar. Aku melihat sebuah goresan merah membentang di lengannya tersebut. Dia sedang terluka. Ini kesempatan, kami bisa melawan sedikit, mengingat senjata yang dipegangnya adalah masalah terbesar kami.
Wanita tersebut sedikit mengendurkan senjatanya, melepaskan pegangan pada tangan kiri, dan menunjuk ke arah bukit di belakang kami. Aku menoleh ke arah yang ia tunjuk, lalu kembali menoleh kepadanya.
"Kenapa?! Apa yang mau kau tunjukkan?!"
Wanita bertopeng sekali lagi menunjuk ke arah bukit dengan lebih tegas. Kami menjeda selama beberapa menit, berusaha menangkap apa yang musuh kami lakukan. Wanita tersebut menarik lengannya, menaruh jempolnya di leher, dan membuat gerakan seperti menyayat. Lalu, tangannya yang mungil itu menunjuk Kak Una.
Apa yang ingin dia tunjukkan? Kenapa tidak bicara saja? Entah kenapa, tiba-tiba bayangan seseorang terlintas di pikiranku. Keningku membentuk lipatan dengan sendirinya. Aku berusaha mengeluarkan suara, namun terasa agak tersekat di tenggorokan. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Perasaan apa ini? Aku mencoba menarik napas, dan menguasai tubuhku secara perlahan.
"Ap-apa yang mau tunjukkan? Bicara saja!"
Tubuh wanita itu tersentak. Kedua kakinya mundur selangkah dengan ragu. Bayangan seseorang yang berada di pikiranku kian menjadi. Tidak mungkin, tidak mungkin itu dia. Sesosok bak kabut hitam dengan cepat merayap di depanku dan menghantam wanita bertopeng. Wanita tersebut sekilas melompat mundur, namun genggaman sosok hitam tepat mengenai sisi wajahnya. Itu adalah Louis.
Dengan napas tersengal-sengal dan iris mata kuning yang bersinar terang, ia berdiri di hadapan kami dan menghabisi musuh dengan satu pukulan.
"Akhirnya ketemu juga, dasar penjahat!" ucapnya dengan geram.
Wanita bertopeng tersungkur di tanah. Perlahan kepalanya mencoba menegak. Serpihan kayu berjatuhan dari balik wajahnya. Di saat ia menoleh, tubuhku seperti tersengat hebat. Aku berusaha meyakinkan diriku kalau aku tidak mengenalnya, tapi mata itu tidak bisa berbohong. Tatapannya yang lembut menatapku dengan takut, bersamaan dengan air mata yang membasahi pipinya. Mata yang sama yang menatapku beberapa hari yang lalu di sebuah taman kota. Aku mengenalnya.
Louis menarik sebuah pistol dari balik mantelnya dan menodongkannya ke arah wanita bertopeng. Tubuhku merespon sebuah penolakan hebat. Tanpa sadar, aku telah berada tepat di depan laras pistol tersebut, dengan tangan merentang seolah akulah yang harus ditembak terlebih dahulu. Louis mengangkat alisnya yang tipis.
"Apa yang kau lakukan, Bocah?"
Aku hanya diam menatap mata Louis dengan gemetar. Kata-kata yang ingin kulontarkan semakin tersangkut di tenggorokanku.
"Raid, apa yang kau lakukan?! Dia itu musuh!" pekik Rick.
"Ti-tidak ...." jawabku dengan nada tertahan.
Louis mulai menaruh jarinya di pelatuk pistol.
"Kau ingin berkhianat?"
"Tidak! Aku tidak tau kenapa! tapi, aku harus melakukan ini, karena perempuan ini ... adalah orang yang kukenal." Aku menoleh ke arah perempuan tersebut. "Iya, 'kan, Seria?" [ ]
Bersambung ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top