Bab 12 : Dua Warna Yang Tidak Bisa Bertemu

"Zero, jangan kau ganggu orang yang baru datang itu. Dia adalah mangsaku," kata orang bertubuh besar yang merupakan adik dari Straw bernama Beelbo. Aku sangat terkejut saat Straw memanggilnya adik. Kalau dilihat sekilas, wajah mereka memang tampak mirip, tapi sang adik lebih tinggi darinya.

Bibir Straw mengatupkan sisi. Sorot matanya lebih menggambarkan sebuah kekhawatiran. Dia menurunkan kedua lengannya, seakan enggan untuk bertarung.

"Beelbo, hentikan saja semua ini. Apa kau masih menyimpan dendam di waktu itu?" Straw terdengar memelankan suaranya.

"Kau tidak mengerti, kau selalu tidak tahu apa-apa. Dunia ini sudah kotor, tidak ada lagi yang pantas di dunia ini," sahut Beelbo.

"Tapi ... tetap saja ini adalah rumah kita. Kau, aku, dan ibu, dulu kita hidup bersama di sini."

Beelbo terdiam sejenak. Tatapan matanya tajam namun terasa kosong.

"Kumohon, Beelbo ... hentikan semua yang kau lakukan ini."

Straw mendekatinya perlahan sembari menjulurkan tangannya.

"Apakah kita masih bersama sekarang?" tukas Beelbo. Straw menghentikan langkahnya, bergeming dengan mulut setengah terbuka. Hembusan angin menerpa keras, mengibakkan mantel mereka yang berlawanan warna. Hitam dan putih, dua warna yang tidak ditakdirkan untuk bersatu, begitu juga dengan Straw dan adiknya.

"Tidak ada lagi yang tersisa diantara kita, Straw."

Mata Beelbo menusuk tajam. Warna irisnya berubah menjadi kuning dan mengkilap, menandakan bahwa ia adalah orang yang paling berbahaya di sini. Dia adalah seorang Chosen. Beelbo melesat cepat ke hadapan Straw dan menendang bagian perutnya. Straw terduduk membungkuk menahan sakit hingga mulutnya memuntahkan darah.

"Straw!" Pedro berteriak. Aku begitu terkejut, baru kali ini aku melihat Straw diserang dengan mudahnya. Beelbo menarik pistol dan mengarahkannya ke Straw.

"Ingat ini baik-baik. Aku, Beelbo Quadrigg, pemimpin dari Light Wolf dan para anak buahku ...."

Tiga orang muncul dan berdiri di belakang Beelbo, diikuti oleh si Orang Gila. Mereka adalah Sliver dan rekannya yang bertubuh raksasa, serta seorang wanita berambut hitam panjang yang memakai topeng putih bermotif wajah tersenyum.

"... kami akan membunuh semua orang di kota ini."

"Tidaaaak!!!" aku berteriak. Namun, teriakanku dibalas dengan letupan pistol. Straw tertembak, terlihat percikan darah menyembur dari tubuhnya. Ia jatuh terkapar.

"Aku tidak akan membunuh kalian sekarang, karena aku merasa kasihan."

Mereka berpaling begitu saja, berjalan menjauh, dan menghilang meninggalkan kami dengan belas kasihan. Ini tidak bisa kuterima.

"Aku tidak butuh belas kasih kalian! Lawan aku!" teriakku penuh emosi.

"Raid, sudah cukup, tanganmu terluka parah!" tukas Pedro.

Aku paling tidak suka dikasihani dan diremehkan seperti ini. Terlebih lagi, tega sekali Beelbo menembak kakaknya sendiri. Tidak bisa dimaafkan. Straw perlahan mencoba bangkit dengan segenap tenaganya. Dia memegangi pundaknya yang bercucuran darah.

"Pedro ... cepat obati bocah itu," Straw berkata dengan terpatah.

"Ta-tapi, bagaimana denganmu?"

"Ini hanyalah luka kecil, aku tidak akan mati karena sebuah goresan. Sekarang, cepat sembuhkan bocah itu!"

Pedro menggendongku dan segera beranjak, meninggalkan Straw yang tengah berdiri lemas. Rasa sakit di kedua lenganku kini semakin menjadi.

"Bertahanlah, Raid. Aku akan membawamu ke sekolah, kita akan melakukan operasi di sana."

Pedro terus berlari menggendongku. Aku bisa merasakan napasnya yang mulai tersengal. Sesampainya di sekolah, ia langsung membawaku ke ruang UKS. Dengan sigap layaknya seorang profesional, Pedro membaringkanku, mengunci pintu UKS, menarik tirai dan mulai mengambil peralatan medisnya.

"Rileks, kau akan kubius dan tertidur untuk beberapa saat. Tulang selangkamu rusak parah, tapi aku pasti bisa mengobatinya," ucap Pedro. Dengan jarum suntik yang berisikan cairan bening, ia menyuntikku dengan hati-hati. Perlahan-lahan, rasa kantuk yang hebat seketika melanda kedua mataku. Aku memejamkan mata dan bertemu dengan kegelapan.

Aku merasakan tanganku yang sulit digerakkan, seperti diikat oleh benda yang lembut. Aku membuka mataku perlahan. Kulihat langit-langit kayu berwarna cokelat diterangi sebuah lampu dengan sinar jingga yang redup. Selimut tebal yang hangat membalutku hingga ke leher. Ya, ini adalah kamarku sendiri. Tunggu, jam berapa ini?! Aku melirik jam weker yang berada di atas meja kecil di samping kasur. Jam tujuh sore, astaga, sudah berapa lama aku terlelap? Siapa yang mengantarku ke sini?

Suara ketukan pintu terdengar. Seseorang membuka pintu dengan perlahan dan melangkah masuk. Itu adalah ibu. Raut wajahnya menunjukkan kepanikan bercampur rasa khawatir.

"Raid! Ya ampun Sayang, bagaimana keadaanmu? Apa kau merasa sakit?"

"Umm ... sekarang sudah tidak, Bu. Aku baik-baik saja kok."

"Gurumu bilang kau terjatuh dari tangga, bagaimana bisa itu terjadi?"

"Ha? Oh, ya ... umm aku terpeleset tadi, lantainya licin hehe. Ibu bilang tadi guruku? siapa?"

"Dia bilang namanya Pedro. Dia punya kerutan yang aneh di wajahnya, dan dia berkali-kali meminta maaf kepada ibu karena kejadian ini."

"Oh, begitu ..."

"Ibu akan mengambilkan makanan dan teh hangat, kau istirahatlah."

Ibu beranjak pergi dari kamarku. Namun, kulihat sebuah bayangan kaki yang melangkah mendekat. Seorang pria berbadan tegap datang. Dia adalah ayah.

"Yo, Raid," sapa ayah.

"Ayah."

"Kudengar kau mengalami kecelakaan yang sepele namun cukup parah."

Aku hanya tertawa kecil menanggapi perkataan ayah. Baru kali ini aku melihatnya pulang cepat, biasanya dia pergi selama sebulan atau bahkan berbulan-bulan. Ayah duduk di sampingku dan terlihat menghela napas.

"Raid, boleh ayah tanya sesuatu?"

Wajah ayah terlihat serius, matanya sedikit menyorot tajam. Aku sedikit merasa tidak nyaman sekarang.

"Apa itu?" tanyaku.

"Apa sekolahmu baik-baik saja?"

"Y-ya baik-baik saja, tidak ada masalah."

"Apa ada sekumpulan orang mencurigakan yang datang ke sana?"

Tenggorokanku terasa terjerat. Sepertinya ayah tau sesuatu, aku harus tetap tenang.

"Tidak ada, semua biasa saja."

"Kau yakin?"

Sorot mata ayah makin menusuk tajam. Entah mengapa, raut wajahnya mengingatkanku kepada kakek. Aku hanya menjawab dengan anggukan. Dia mengerutkan alisnya dan menghela napas ringan.

"Yah baiklah. Kau istirahat yang cukup, mungkin besok kau harus izin dari sekolah," ucap ayah, kemudian pergi. Aku selalu tidak tahu apa yang dia pikirkan. Sedari dulu, ayah memang mempunyai sifat agak dingin dan tegas. Ibu bilang bahwa sifat ayah itulah yang membuatnya jatuh hati kepadanya. Sekarang aku sedikit menaruh curiga kepada ayah, mengingat kakekku sendiri adalah seorang pembunuh yang cukup melegenda, pastilah ia ada hubungannya dengan kakek.

Aku tahu ini tidak baik, jadi aku memutuskan untuk memendam dulu kecurigaan ini. Sudah tiga hari aku absen dari sekolah. Banyak menghabiskan waktu di kamar adalah impianku sejak menginjak SMA, tapi kalau begini keadaannya lama-lama juga bosan. Aku dilarang terlalu lama bermain HP, aku tidak boleh menyentuh laptop, dan aku tidak boleh pergi kemana-mana.

Setiap hari, Rick berkunjung ke rumahku. Hanya dia yang bisa sedikit menghapus rasa bosanku. Namun, Setiap dia datang, dia selalu membawa setumpuk PR dan tugas yang aku tinggalkan selama absen. Aku agak jengkel dengan tingkahnya itu. Pasalnya, selama di kelas kerjaannya pasti hanya tidur dan mencoret-coret halaman belakang buku, namun sekarang dia membawa setumpuk kerjaan disaat aku sedang sakit.

"Aku sengaja loh mendengarkan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Ini kulakukan agar kau tidak ketinggalan pelajaran," Rick berkata sembari merentangkan senyumnya, namun kali ini senyum licik.

"Diam kau, dasar berandal. Aku tau apa yang kau rencanakan."

Selain bergeming di rumah, aku melakukan cek rutin ke dokter spesialis. Mereka agak terkejut saat kuberitahu kapan aku mengalami patah tulangnya, karena hanya dalam waktu beberapa hari, tulangku dapat pulih dengan cepat. Aku tidak bilang kepada mereka kalau aku sudah dioperasi dadakan. Aku hanya bilang,

"Ini ... mungkin keajaiban."

Yah, mereka percaya dengan itu, lalu memberiku beberapa obat. Hari keempat, Aku sudah melepas perban yang merekat di kedua lenganku, dan bahkan aku sudah bisa menggerakkan tanganku dengan leluasa. Tapi, ibu mengotot agar aku istirahat sehari lagi. Aku sempat memohon kepadanya, tapi itu tidak berhasil.

Menjelang siang, ayah kembali pergi untuk bekerja. Dia mengenakan kemeja putih dan celana dasar abu-abu. Namun, jantungku sempat tersentak saat ia menarik mantel abu-abu yang tergeletak di kursi lalu memakainya, ditambah lagi topi fedora abu-abu yang ia beli dari Kota Western sekarang melingkar di kepalanya. Lengkap sudah seragam yang ia pakai dan terlihat sangat familiar di mataku. Aku mencoba untuk berpikiran bahwa mungkin saja ini cuma kebetulan, tidak ada yang perlu dicemaskan.

Sekitar pukul tiga siang, ibu ada acara rutin berkunjung ke rumah Nyonya Daisy.

"Ibu mau pergi ke rumah Nyonya Daisy dulu. Ibu janji, ibu akan pulang jam lima, pasti!"

Kalau ibu sudah bilang 'pasti', maka ia akan melakukan segala cara untuk mewujudkan kepastiannya itu. Ibu bertekad akan pulang jam lima sore, berarti dia tidak akan terlambat atau kelebihan sedetik pun. Tidak apa-apa, itu justru bagus untukku.

Beberapa menit setelah ibu pergi, aku mengambil jaket hoody-ku dan menyelinap keluar. Aku butuh asupan udara segar. Hmm, mungkin Taman Flores adalah tempat yang bagus untuk nongkrong menjelang sore.

Aku mengendarai sepedaku dengan ekstra hati-hati. Aku tidak mau dibuntuti dari belakang lagi. Untuk menghindari tempat sepi, aku melewati Spring-Birth Street. Di sana adalah tempat yang cukup ramai waktu siang hari karena banyak anak-anak yang sedang asyik main. Wajar saja, sejauh mata memandang terlihat lima taman kanak-kanak dan dua sekolah dasar. Ada juga beberapa warga yang tinggal di sini, namun sepertinya mereka adalah golongan lansia pecinta anak kecil.

Aku sampai di Taman Flores dan memarkirkan sepedaku di tempat biasa. Sedari rumah tadi, aku sudah menguatkan mentalku kalau-kalau bertemu segerombol remaja yang haus cinta, tapi kebetulan mereka sedang tidak ada. Aku menyusuri jalan setapak, mencari tempat duduk yang nyaman untuk menghirup angin segar. Secercah ide seketika melintas di kepalaku, aku memutuskan untuk duduk di tempat kemarin. Aku sedikit lupa di mana bangkunya, namun seorang cewek yang sedang duduk membaca novel seketika mengingatkanku. Kurasa aku tidak perlu menggambarkan paras cantiknya lagi.

"Seria!" aku melambai dari kejauhan lalu menghampirinya. Perempuan itu tersenyum menyambutku.

"Boleh aku duduk di sini?"

Seria mengangguk. Aku harus banyak bicara kalau mengobrol dengannya karena kalau tidak, suasana akan mudah canggung. Aku akan berusaha! Ya ampun, tidak sia-sia aku datang ke sini.

"Wah, tempat ini memang pas untuk mencari udara segar yaa," ucapku untuk memulai basa-basi.

Seria mengeluarkan papan tulis kecilnya dan mulai mencoret-coret dengan spidol.

Ada apa dengan tanganmu?

Ah! Bagaimana dia bisa tau?

"Yaa ... anu, aku baru sembuh dari patah tulang hehe, bagaimana kau bisa tau?"

Saat kau melambai tadi, tanganmu terlihat kaku.

Aku hanya tertawa keheranan menanggapinya. Sepertinya Seria adalah gadis yang cerdas.

"Seria, di mana sekolahmu?"

Aku tidak sekolah, aku bekerja.

"Oh, begitu. Kau tinggal dimana?"

Aku tinggal di Spring-Birth Street.

"Sepertinya orang tuamu penggemar anak-anak?" aku tertawa ringan.

Aku tinggal sendirian.

"He? Dimana orang tuamu?"

Mereka sudah meninggal sejak aku masih kecil.

"Oh ... aku minta maaf."

Seria menggelengkan kepala sembari melukiskan senyuman. Aku jadi merasa bersalah karena sudah bertanya itu. Sekarang aku kehabisan bahan obrolan. Aku mengetukkan jari telunjukku ke pegangan bangku. Suasana canggung yang coba kuhindari malah terwujud. Mungkin bergumam sedikit bisa membantu.

"Yah, Kota Wings memang kota yang pendiam yaa, hanya di tempat tertentu saja yang bisa ramai. Terkadang kalau aku berjalan pulang, suasana jalan sepi sekali layaknya kota mati yang indah. Tapi, mungkin saja ada penyebabnya kenapa kota ini selalu diam."

Karena itulah kau harus berhati-hati, Raid.

"Hm? Apa maksudmu?"

Hati-hati. Mereka akan terus mengincarmu.

Seria menghapus tulisannya dan langsung beranjak pergi.

"Hey ... apa-tunggu! Kau mau kemana?!"

Seria pergi begitu saja. Kulihat sekilas tadi, wajahnya tampak serius dengan mata yang menatap tajam. Apa perkataanku salah ya? Ya ampun, aku jadi tidak enak hati, tapi dia sudah terlanjur pergi. Besok aku harus menemuinya lagi.

Keesokan harinya, aku diperbolehkan untuk pergi ke sekolah. Saat sampai di ruang lobi, aku disambut oleh Tina dan boneka pandanya. Dia menatapku dengan tatapan sayup khasnya.

"Selamat pagi, Tina," sapaku. Seperti biasa, responnya hanya diam. Sudah menjadi kebiasaan Tina karena dia adalah anak yang pendiam dan pemalu. Namun, saat akan menaiki tangga, aku mendengar sesuatu.

"B-bagaimana lukamu?" kata suara yang bernada ringan dan halus. Aku mengedarkan pandanganku, tidak ada siapa-siapa di sini kecuali aku dan Tina. Mungkinkah ...

"Tina? Kau yang bicara itu?"

Dia mengangguk sembari menutupi sebagian mukanya dengan boneka. Woah! Ini bak sebuah keajaiban besar. Tina mau berbicara kepadaku.

"Sudah baikan kok. Aku baik-baik saja!" jawabku dengan penuh semangat. Baru saja aku membalikkan badan, aku sudah menabrak sebuah bongkahan batu besar. Aku melangkah mundur dan mencoba menjaga keseimbangan.

"Ouch! Maaf, aku tidak ... Straw?"

Straw berdiri tegap di hadapanku dengan senyuman lebar.

"Yoo, Bocah," sahutnya.

Kami berjalan sejajar.

"Kau baik-baik saja? Bagaimana dengan lukamu?" tanyaku.

"Sudah kubilang, ini hanya goresan. Tidak terasa sama sekali."

Jelas-jelas dia sampai tumbang kemarin.

"Straw, apa maksudmu menyuruh adikmu untuk menghentikan kelakuannya? Memangnya apa yang dia lakukan?"

Straw diam sesaat. Dia mengatur napasnya dan mulai angkat bicara.

"Penyebab kami menyetujui misi ini adalah karena mereka ... Tidak, Sebenarnya ini adalah keegoisanku semata. Aku melibatkan mereka semua hanya untuk menghentikan adikku," kata Straw dengan suara datar.

"Apa yang adikmu lakukan?"

"Seperti yang dia katakan kemarin, ia ingin membunuh semua orang di kota ini ... dengan bantuan komputer itu."

Aku terkejut dengan apa yang dikatakan Straw. Ternyata mereka mengincar komputer misterius itu.

"Komputer itu sendiri adalah alat pemicu dua puluh bom besar yang sudah tertanam di Kota Wings," ujar Straw, "Mudah saja jika ingin membunuh semua warga di sini dengan alat itu. Cukup hancurkan saja komputernya, maka Kota Wings akan rata dengan tanah."

"Tidak mungkin ... kenapa dia ingin sekali berbuat kejam seperti itu?"

Straw memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam.

"Dendam, Bocah. Dia sangat tidak terima dengan kematian ibu kami." [ ]

To be continue ...

Lagi-lagi kembali ngaret, yasudahlah gapapa, yang penting masih bisa update wkwkkw

Terima kasih bagi yang sudah membaca. Akan lebih baik jika kalian memberikan vote+comment dan keripik serta saran untuk memperbaiki kenyamanan dalam tulisan saya >.<)9

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top