Bab 11 : Hangatnya Serangan Senja

Pada akhirnya, kami dibuat Louis babak belur. Luka lebam menjadi hasil latihan keras hari ini. Kupikir setidaknya mereka mengajari dulu bagaimana cara bertarung yang benar, bukan langsung tanding seperti ini, aku sangat pemula dalam hal bela diri. Straw yang sedang duduk di pinggiran atap bertepuk tangan dengan pelan seolah memberikan apresiasi.

"Marvelous, Bocah! Kalian benar-benar dibuat babak belur. Tapi, aku kagum dengan kegigihan kalian," ucap Straw terkekeh, "Louis, bagaimana menurutmu?"

"Posisi tubuh mereka belum kuat, setiap ayunan serangan masih belum terarah dengan baik, dan tingkat kewaspadaan terhadap gerakan lawan sangat minim. Tapi setidaknya, mereka selalu mencoba taktik baru," Louis berkata sembari merapikan mantel hitamnya.

"Aku harus pergi sekarang, ada klub olimpiade yang harus kuajar," tambahnya.

Straw bersiul menggoda.

"Sepertinya kau mulai menjadi guru sungguhan."

"Cih, ini bagian dari pekerjaan sebagai seorang pembunuh."

"Aku tahu, aku tahu, lakukan tugasmu."

Louis pergi begitu saja, meninggalkan aku dan Rick yang sedang terkapar tak berdaya. Aku beruntung kesadaranku tidak sepenuhnya hilang, namun berbeda dengan Rick, dia tampak tidak sadarkan diri.

Straw mendekatiku, diiringi senyuman lebarnya.

"Bocah, kau masih hidup, 'kan? Seranganmu lebih sedikit daripada temanmu, wajar saja dia sampai pingsan begitu. Dasar bocah-bocah bodoh."

Straw menggendong Rick di balik punggungnya dan merangkul tubuhku yang setengah tidak sadar. Badanku terasa lemas sekali, pandangan kabur di mataku sudah tak terelakan lagi.

"Aku harap Pedro tidak sedang keluyuran," gumam Straw.

Aku sangat ingin melontarkan kata-kata, namun bibirku pun tak berdaya. Yang bisa kurasakan saat ini hanyalah cahaya bola api yang terasa hangat di kulitku. Aku bisa menebaknya, ini sekitar pukul tiga atau empat siang. Aku ingin pulang dan beristirahat, jangan sampai ibu memarahiku lagi seperti kemarin.

Aku bisa merasakan kakiku yang dipaksa untuk melangkah, sesekali diseret, namun pandanganku kini sudah gelap total. Aku bisa saja langsung tumbang saat ini, tapi kakiku seakan melangkah secara tidak sadar. Aku tidak tahu kapan langkah ini akan berhenti.

Kurasa sudah agak lama aku terlelap dalam kegelapan. Rasanya berat sekali saat kucoba membuka mata ini. Sedikit demi sedikit, secercah cahaya mulai membentang di bola mataku. Semakin jelas, kulihat sebuah lampu pijar menggantung di langit-langit dan ditambah aroma obat-obatan khas yang menyengat. Hanya satu tempat yang memiliki gabungan nuansa seperti ini, tempat itu adalah UKS.

"Kau sudah siuman?" sebuah suara yang berat menyapaku dengan lembut, "Apa kau merasa sedikit de javu sekarang?"

Kepala seseorang menongol dari balik tirai. Sebuah wajah yang berbeda antara sisi kanan dengan kirinya. Ia adalah Pedro. Dia tertawa kecil saat aku menatapnya dengan pandangan heran.

"Raid muridku, bagaimana bisa kau sampai babak belur seperti ini? Bahkan temanmu sampai pingsan begitu," tanyanya.

Seketika aku merasa seperti orang linglung yang baru mengalami gagar otak. Aku menggerakkan kedua tanganku, meraba setiap perban yang melekat. Tidak ada rasa sakit sekali pun, pengobatan Pedro memang ajaib. Aku menatapnya lagi dan menggelengkan kepala, menanggapi apa yang ia katakan barusan. Pedro terkekeh.

"Aku tahu, keadaan yang berubah drastis ini memaksa kalian berjuang keras untuk bertahan hidup, bahaya yang mengancam tidak akan bisa diprediksi kapan tanduknya akan muncul, " sahutnya.

"Yah tapi, masalah itu jangan terlalu dijadikan beban. Kau mau teh hangat? Ini akan membuat tubuhmu menjadi lebih baik."

Pedro berjalan menuju sebuah meja panjang yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan kering. Dia mengambil beberapa daun dan menumbuknya perlahan.

"Tidak ada yang lebih baik dari daun teh di dataran tinggi Merenhit," ucapnya sembari menuangkan air hangat ke dedaunan tersebut.

Merenhit? Itu adalah tempat yang sangat terkenal akan tragedinya, bahkan dijuluki 'daratan yang hilang'. Bagaimana dia bisa mengambil daun teh di sana?

Pedro memberikanku segelas teh hangat berwarna agak kehijauan. Aromanya sangat menyengat tapi menenangkan. Aku minum perlahan. Rasanya manis saat dilidah dan terasa dingin saat melewati tenggorokan, bahkan rasa manisnya masih mengecap di lidahku selama beberapa menit. Tubuhku terasa sejuk dan tenang, kepalaku yang sedari tadi berdenyut seakan menghilang nyerinya. Ini adalah teh terbaik yang pernah kurasakan.

"Kau sudah terbang dibuatnya? Teh ini memang yang terlezat dan juga yang paling langka semenjak Merenhit lenyap karena perang besar," ujar Pedro, "Beberapa tahun yang lalu, aku mengunjungi Merenhit dan mengambil tanahnya, kemudian aku menanamkan bibit teh ini. Sudah tak terhitung lagi berapa kali aku gagal, namun aku terus mencoba, dan akhirnya aku bisa menanamnya dengan bantuan beberapa bahan organik yang kuteliti. Yah, walaupun hanya satu pot, tapi aku bersyukur tanaman ini bisa tetap terlestarikan."

Rasa peduli Pedro sangat tinggi, tak heran dia menjadi seorang dokter yang hebat menurutku. Aku meminum teh ini dengan perlahan. Tiba-tiba suatu pemikiran melintas di kepalaku, jam berapa ini?

Aku melihat jam yang terpampang di dinding. Sekarang pukul setengah lima sore, aku harus segera pulang.

"Dimana Rick?" tanyaku.

"Oh, dia sudah pulang sedari tadi, dia bilang ingin membantu ibunya di rumah."

Rick sialan, dia meninggalkanku sendiri.

"Kau boleh melepas perban itu kalau kau mau. Lukamu pasti sudah pulih total, " Pedro memberitahu.

Dengan perlahan, aku membuka perban yang melilit tanganku. Sama seperti waktu itu, luka lebamku hilang tak berbekas. Aku belum pernah melihat pengobatan seajaib ini. Kalau saja Pedro bukan pembunuh, dia pasti sudah menjadi dokter yang terkenal.

Aku mengucapkan terima kasih dan berpamitan kepada Pedro yang kemudian dibalasnya dengan lambaian tangan. Besok aku akan berlatih seperti tadi. Kalau sampai kalah dan terkapar lagi, aku hanya akan merepotkan Pedro dan yang lainnya. Aku harus berusaha keras, ini adalah jalan yang kupilih.

Saat melewati ruang musik, suara lantunan beberapa alat musik terdengar selaras dan indah. Aku melirik dari balik jendela, terlihat Tom sedang memetik gitar, dan Ice bersama Miss Shine berduet memainkan biola. Menurutku, bakat Ice terlalu besar untuk ukuran tubuhnya. Baru-baru ini dia berhasil membuat iri para cowok karena mendadak populer dikalangan cewek di sekolah. Aku dengar banyak cewek yang memberinya bekal saat istirahat makan siang, dan bahkan ada yang memberinya surat cinta.

Aku menuruni tangga menuju lobi dan berpas-pasan dengan Dalor yang sedang menggandeng Tina.

"Raid! Bagaimana lukamu? Kau baik-baik saja, 'kan?" tanya Dalor dengan suara yang agak tinggi.

"Pedro sudah mengobati lukaku. Aku tidak apa-apa."

"Syukurlah. Louis memang tidak ada ampun yaa. Aku pun terkadang takut dengannya, benar, 'kan Tina?"

Tina hanya mengangguk dengan tatapan sayupnya. Dalor memang mempunyai badan yang bisa dibilang raksasa, tapi hatinya lembut bagaikan sutra. Aneh, tapi aku kagum dengannya.

Sore ini terlalu indah untuk pulang dalam keadaan lemas, apalagi aku harus menuntun sepedaku. Cahaya senja yang hangat sudah sangat akrab denganku. Suasana jalanan sangat sepi, membuatku seperti orang terakhir yang berjalan di sore ini.

Aku terus berjalan ke pertigaan menuju Butter Street. Tapi, aku merasa ada yang sedang mengikutiku sedari tadi. Sesekali aku menengok ke belakang untuk memastikan, namun tidak ada apa-apa. Perlahan kukumpulkan konsentrasi di pendengaranku. Aku mendengar derap langkah kaki orang lain. Sudah kuduga, aku tidak sendirian.

Aku mempercepat langkah. Mencoba konsentrasi pada mata. Aku sendirian, kalau aku diserang di sini, aku bisa mati. Langkah kaki itu terdengar makin jelas, sangat dekat. Dia tepat di belakangku. Aku menoleh ke belakang, sebuah ayunan benda mengkilat melesat di mataku. Dengan reflek mendadak, aku melompat mundur. Tajam benda itu sedikit menggores pipiku. Siapa dia?

"Ketemu ...," sebuah suara yang serak berucap. Tubuhnya kurus dan lebih tinggi dariku, matanya membelalak lebar, mulutnya menganga dan menjulurkan lidah yang panjang, kulitnya putih pucat, dan rambutnya panjang berwarna perak gelap. Dia mengenakan mantel putih dan topi fedora putih. Pakaian itu persis seperti milik Sliver. Rekannya, 'kah?

"Siapa ka - "

Dia mengayunkan belati di kedua tangannya. Aku berhasil menunduk dan langsung melarikan diri. Aku berlari semampuku, mengingat tubuhku baru saja pulih. Lelah tubuh ini langsung mengekang tenagaku, aku tidak yakin bisa lolos darinya. Aku berbelok ke persimpangan, mengambil rute yang paling rumit untuk diikuti.

Semakin lama, Kakiku tidak mampu lagi mengangkat. Aku berhenti sejenak dengan napas yang tesengal. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling, tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Dengan perlahan, kuberjalan dengan tertatih.

Hampir sampai, jalan lurus ke depan akan mengarah ke halaman belakang rumahku. Beberapa saat kemudian, seseorang muncul dari jalan setapak kecil di samping sebuah rumah. Sial! Orang ini benar-benar gila. Dia berlari cepat ke arahku dan langsung mengacungkan belatinya.

Disaat yang bersamaan, sekelebat bayangan hitam melesat dan menghempaskan orang gila tersebut. Dia adalah Pedro.

"Ya ampun, aku baru saja mau ke warung, malah ketemu masalah di jalan, " ucapnya.

"Pedro!"

"Raid, kita ketemu lagi."

"Hati-hati, orang ini berbahaya!"

"Aku sudah biasa menghadapi bahaya, tenang saja."

Orang gila tersebut menghentak maju. Dia mengayunkan dua belatinya kepada Pedro. Beberapa serangan berhasil dihindarinya, namun ada sedikit yang merobek bajunya. Pedro mengeluarkan pistol di balik mantelnya. Dia menembak berkali-kali, namun berhasil ditangkis oleh belati orang tersebut.

"Tangguh juga," kata Pedro, "Tapi aku lebih tangguh loh."

Pedro merogoh sesuatu dari balik mantelnya. Beberapa bola kecil yang dililit kain hitam berada dalam genggamannya.

"Coba tangkis yang ini!"

Pedro melemparkan bola-bola tersebut. Si Orang Gila menangkisnya dan seketika bola tersebut meledak dengan daya ledak yang sedang namun cukup dahsyat. Suara ledakannya pun dapat menggetarkan tanah.

"Wow, sepertinya aku berlebihan," Pedro berkata.

Asap tebal menyelimuti orang gila tersebut hingga tak terlihat lagi raganya. Seseorang keluar dari rumah dan meneriaki kami,

"Heey! Ada apa ribut-ribut?! Aku sedang beristirahat, bermainlah di tempat lain!"

"Maaf, Pak. Kami sedang bermain petasan ," sahut Pedro.

"Sana main di tempat lain!"

Orang tersebut masuk ke rumah lagi. Aku sempat khawatir, kukira dia akan panik dan menelepon polisi. Ledakan bom tadi memang agak besar, wajar saja dapat membangunkan jalanan yang sepi ini.

Orang gila tersebut masih belum menunjukkan pergerakan. Namun tak lama kemudian, dia keluar dari asap dengan luka parah di tangan kirinya. Tak ada rasa kesakitan sekali pun di wajahnya. Mulutnya tetap menganga lebar dengan lidah yang menjulur. Orang ini berbahaya.

"Berikan ... kepalamu. Akan kusiksa kau ... akan kupotong-potong tubuhmu ...," ucap orang gila tersebut sambil cekikikan.

"Wah, tampaknya aku tidak bisa mengalahkan orang ini sendirian, kau mau bantu?" tanya Pedro seraya mengokang pistolnya.

Aku merogoh tasku dan mengambil sebuah belati yang diberikan Straw kemarin. Aku mencoba berkonsentrasi pada semua indraku. Kupejamkan mata, berusaha merasakan segala hal yang ada di sekitar. Konsentrasi ... ayo muncullah, Mata Sakti! Aku membuka mata, semua yang kulihat bergerak lambat. Bagus, aku sudah mengaktifkan Aureum Eyes. Tanpa pikir panjang, aku maju dan mencoba menerjangnya dengan belati. Sekilas, kulihat Pedro menjulurkan tangannya.

"Raid, jangan!"

Tiba-tiba, dari arah atas muncul seseorang berbadan besar yang langsung menginjak tubuhku. Pijakan kakinya kuat sekali hingga aku terbanting ke aspal. Aku bisa mendengar suara lenganku yang retak, rasanya sakit luar biasa hingga aku menjerit keras. Pedro melompat dan berusaha menendang orang tersebut, namun berhasil dihindarinya dengan melompat mundur. Pedro mencoba menopang tubuhku.

"Raid, kau tidak apa-apa?!"

Pegangan Pedro pun terasa sakit sekali. Aku seperti tidak bisa merasakan kedua lenganku.

"Tulangmu patah, kita harus pergi dari sini," kata Pedro.

Aku belum pernah melihat pria berbadan besar tersebut. Otot-otot tubuhnya kekar, wajahnya kaku dan terkesan keras, rambutnya panjang hingga ke punggung dan berwarna putih mengkilat. Sepertinya dia adalah rekan orang gila tesebut, dilihat dari mantel putih serta topi fedora putih yang ia pakai, ditambah lagi mata kuning yang bersinar di matanya. Dia adalah seorang Chosen.

Pedro terdiam sejenak saat memperhatikan orang tersebut. Raut wajahnya menunjukkan keterkejutan.

"Jangan-jangan, kau -"

Orang berbadan besar tersebut melangkah secepat kilat dengan tangan yang terkepal. Kecepatan gerakannya benar-benar diluar batas. Saat tangannya hendak menghantam wajah Pedro, tiba-tiba datang sekelebat bayangan yang langsung menangkap tangan tersebut. Dengan senyum lebar yang seakan menyombongkan diri, dia berdiri tegak di samping kami dan berhasil melindungi kami.

"Kali ini aku sedikit terlambat. Tapi, aku masih tetap keren, 'kan?" ucap Straw dengan percaya diri.

Straw mendorong orang tersebut hingga ia melompat mundur.

"Beelbo, kau tidak boleh berbuat seperti ini," kata Straw.

Orang berbadan besar tersebut berjalan mundur sampai sejajar dengan rekannya. Dengan suara yang berat dan kaku, dia berkata kepada Straw,

"Kau selalu datang menggangguku ... Kakak."

Senyuman Straw makin melebar.

"Yah, mau bagaimana lagi. Tugas seorang kakak adalah menghentikan kenakalan adiknya," ucap Straw dengan nada yang ringan. [ ]

To be continue ...

Thanks buat semuanya yang sudah bersedia membaca cerita ini, you are da real MvP.

Sorry juga karena update-nya lagi-lagi ngaret sehari, soalnya ada sedikit urusan di dunia nyata wkwkw

Keripik, saran, serta vomment-nya tetap ditunggu.

Salam pembunuh,

Black Hands

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top