Bab 10 : Elang Berkaki Tiga
Ice memberikan kami masing-masing sebuah jaket hoody dan beberapa masker. Kami belum sepenuhnya terlepas dari masalah ini, karena para polisi mendadak mengepung kami dan Straw bilang ada pasukan elit di sana. Aku baru ingat, dulu ayah Rick adalah pasukan elit.
Mereka terkenal dengan kedisiplinan yang tinggi, kemampuan intelektual yang hebat, dan tentu saja mahir dalam bertarung. Kalau Straw sampai mengakui kehebatan mereka, kupikir pelarian ini bukanlah perkara mudah. Dikejar polisi adalah hal yang sangat tidak kuinginkan. Apa jadinya jika ibu tau kalau aku menjadi buronan polisi, dia pasti sangat sedih.
Aku dan Rick memakai jaket hoody berwarna biru dengan tulisan 'Blue' di bagian dada. Mata Rick agak sedikit jijik ketika memandangku.
"Kami terlihat seperti couple," gumam Rick.
"Tidak ada warna lain, sudah pakai saja yang ada," ketus Ice.
Jaket hoody milik Straw berwarna hitam dan sangat besar. Dia mengikatkan tali masker di belakang kepalanya dan menyarungkan kerudung. Penampilannya malah terlihat nyentrik menurutku, seperti seorang perampok yang siap dengan seragam aksinya.
"Dengar, kalian. Kita akan berpencar dari sini, mengingat pakaian kita berjenis sama. Akan terlihat mencolok kalau kita bergerombol," ujar Straw, "Bocah, kalian lari duluan. Wajah kalian masih belum diketahui siapa pun, jadi kalian pasti bisa kabur dengan mudah. Ingat, Raid, jangan melakukan kontak mata jika kalian berpas-pasan dengan mereka. Kita akan bertemu di sekolah jam 05.00. Sekarang, bergerak!"
Kami bergegas keluar dari toilet itu. Dengan langkah yang agak cepat, Aku dan Rick berjalan menuruni tangga. Thousan Store memang selalu ramai pengunjung. Salah satu pusat perbelanjaan besar di Kota Wings ini seperti tidak ada tidurnya. Menuruni tangga ini pun sulit sekali, karena banyak orang yang lalu lalang membawa barang belanjaan.
Kami berjalan menerobos kerumunan. Beberapa polisi terlihat sedang memeriksa setiap sudut tempat. Kami mempercepat laju langkah. Aku berencana mencari lift, tapi sepertinya bakal sulit, atau memang tidak ada lift di sini. Beberapa anak tangga kami turuni, semakin menuju lantai bawah, semakin banyak polisi yang berjaga. Tapi, para polisi ini sepertinya tidak menaruh curiga kepada kami. Aku agak khawatir, bagaimana mereka bertiga akan kabur dari tempat ini.
Kami sampai di lantai satu. Garis kuning terlihat membentang di seluruh sudut ruangan, bahkan di pintu keluar juga. Para polisi sedang bergerombol dimana-mana, beberapa pengunjung terlihat sedikit panik karena tidak dibolehkan keluar.
Seketika tatapan para polisi tertuju kepada kedatangan kami. Sorot mata mereka yang tajam dan dingin membuat tubuhku seperti disengat hebat. Apa kita ketahuan? Aku dan Rick membisu ditempat.
Sekumpulan orang berbaris mendekati kami. Dengan hentakan kaki yang selaras dan gagah, mereka tampak berwibawa dari polisi lainnya. Penampilan mereka berbeda dari yang lain. Mereka mengenakan rompi abu-abu dan celana bercorak tentara yang khas, badan mereka tegap dan tinggi, sebuah lencana berbentuk elang berkaki tiga tertancap di topi orang-orang ini.
Mereka adalah pasukan elit kepolisian Kota Wings, Jatayu. Ini diluar perkiraan, aku tidak menyangka akan benar-benar bertemu mereka. Inilah orang-orang yang dibicarakan Straw. Dari penampilan mereka saja sudah membuatku bergeming.
Rick tampak mengucapkan beberapa kata yang terbatah sehingga terdengar samar.
"Kak Judai ...."
Pria berambut pirang menoleh ke arah Rick. Wajahnya tegang dan terlihat keras, bibirnya penuh dengan luka yang dijahit.
"Rick, sudah lama kita tidak bertemu," sahut pria tersebut, "Bagaimana kabarmu dan ibumu?"
Rick menelan ludah dengan keras.
"Kami baik-baik saja. Kak Judai, bagaimana kau ...."
"Ya, aku tidak lagi menjadi asisten polisi. Sekarang aku telah dipromosikan menjadi pasukan elit." Orang yang bernama Judai ini tertawa kecil.
"Ngomong-ngomong Rick, sedang apa kau di sini?" tanyanya.
"Eh ... aku sedang menemani temanku membeli sesuatu."
"Oh begitu ...."
Pria tersebut menoleh ke arahku. Hanya sekilas aku menyambut tatapan matanya, setelah itu aku memalingkan pandangan ke bawah.
"Sa-salam kenal," sapaku.
"Salam kenal, aku Judai Toreno."
"Ah, namaku Raid Lu -"
"Maaf yaa, tapi kalian harus segera beranjak dari sini. Ada sekumpulan orang berbahaya yang sedang kami cari. Sampaikan salamku pada ibumu, Rick. Sekarang kalian boleh pergi melalui pintu itu, bilang ke penjaganya bahwa ini perintahku."
Dia memotong pembicaraanku. Aku merasakan aura yang berbeda dari orang ini, sulit dijelaskan, namun sepertinya orang ini sangat berbahaya. Apa dia seorang Chosen? Entahlah, aku tidak tahu, yang terpenting kami bisa keluar dari sini sekarang. Kami berjalan menuju pintu keluar dan berhasil keluar dari gedung itu tanpa hambatan.
Udara segar langsung menyambut kami, ditambah dengan langit yang berwarna senja, entah kenapa aku sangat merindukan suasana di luar sini. Sekarang pukul 04.45 sore, mereka tidak akan sampai tepat waktu di sekolah. Sangat beruntung jika mereka bisa keluar dari gedung itu.
Aku mengambil sepedaku yang terparkir di dekat gedung bioskop. Kami bergegas menuju sekolah. Dalam perjalanan, aku bertanya kepada Rick tentang orang bernama Judai itu,
"Rick, sebenarnya siapa orang yang tadi?"
"Kak Judai? Dia adalah asisten ayahku dulu. Dia sering datang kerumahku untuk membantu pekerjaan ayah. Aku juga banyak dibantu olehnya dan sering menghabiskan waktu bersama, karena itulah aku sudah menganggapnya sebagai kakakku sendiri. Memangnya kenapa?"
"Oh, begitu. Hmm entahlah, aku merasakan sesuatu yang berbeda darinya. Mungkin dia tahu sesuatu tentang kematian ayahmu."
"Iya, aku juga berpikiran begitu. Mungkin diwaktu lain aku akan menanyakannya."
15 menit kemudian, kami sampai di sekolah. Suasana di sini sepi, namun tidak terlalu sepi karena ada klub eskul basket yang sedang berlatih di lapangan. Kami mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari tanda-tanda kehadiran mereka bertiga. Aku melihat Dalor dan Tina yang sedang duduk di sana, menonton latihan basket tersebut. Dalor menoleh ke arah kami, dirinya tampak terkejut, dan langsung buru-buru mendekati kami.
"Kalian tidak apa-apa?! Dimana Straw, Louis, dan Ice?!" tanyanya panik.
"Aku tidak tahu, kami diperintahkan untuk berpencar," jawabku.
"Pasukan Jatayu sedang mengejar mereka, kita harus melakukan sesuatu," Rick menambahkan.
Dalor langsung berlari masuk ke lobi sekolah, kami mengikutinya. Ia menaiki tangga menuju kantor guru.
"Yata!!! Mereka bertiga sedang dikejar pasukan Jatayu, apa yang harus kita lakukan?!" teriak Dalor.
Yata terlihat sedang sibuk mengetuk jari-jarinya ke keyboard komputer.
"Tenanglah, Dalor. Mereka sudah keluar dari tadi," ujarnya.
"Benarkah?!" tanyaku.
"Iyap, acara reuni kedua bocah ini dengan salah satu anggota pasukan Jatayu telah menyelamatkan mereka. Disaat kalian sibuk mengobrol, mereka bertiga melompat dari lantai 2."
Nekat sekali cara kabur mereka. Tapi, syukurlah mereka selamat. Kami melirik komputer Yata, melihat mereka bertiga mengacungkan jempol ke kamera CCTV setelah berhasil keluar. Senyuman lebar mereka bagaikan tanpa beban. Betapa konyolnya mereka itu.
"Sekarang mereka sedang mendatangi rumah Nyonya Edwin dan akan memakamkan mayatnya. Kalian segeralah pulang, maaf telah membuat kalian dalam bahaya hingga dikejar polisi," ujar Yata kepada kami.
Aku memang lelah, sangat lelah bahkan siang ini aku belum makan. Hari-hari yang menguras tenaga sekaligus mengancam nyawa, ini baru awal dari kisahku. Aku tidak tahu akan ada kejutan apa lagi besok, mungkin lusa, minggu depan, bulan depan, atau beberapa tahun yang akan datang. Tapi aku yakin, aku pasti bisa melaluinya, demi temanku, demi keluargaku, dan demi kota ini.
Kami pun berjalan di senja dalam keadaan lelah.
Hari ini, pelajaran berlangsung seperti biasa, diawali dengan hidangan pembuka berupa makanan penguras otak yang disebut matematika. Louis Pestoure, tinggi 185, umur 25 tahun, dan mempunyai hobi mengasah otak, wajar saja dia mengajar matematika. Louis mengajar dengan santai seolah tak ada yang pernah terjadi dengannya. Justru aku sebaliknya, aku masih merasa lelah atas kejadian kemarin. Aku bisa saja tidur seperti Rick di samping. Terlelap nikmat hingga meneteskan air terjun di mejanya. Nyenyaknya dia tidur tanpa beban membuatku iri.
"Jika X kalian subtitusikan ke persamaan pertama, maka kalian akan menemukan titik terangnya. Mengerti maksudku?" Louis menerangkan.
"Mengerti, Pak," sahut seisi kelas.
Siapapun gurunya, tidak akan membuatku minat dengan pelajaran ini. Aku sudah terlanjur trauma. Tapi menurutku, Louis terlalu dingin untuk menjadi seorang guru. Aku belum pernah melihatnya tersenyum sedetik pun. Waktu istirahat, aku bertanya kepada Straw apakah dia pernah melihat Louis tersenyum.
"Pertanyaanmu sama saja dengan 'kapan para semut menginvasi bumi?', tidak ada yang tau kecuali semut tersebut."
Begitulah jawaban Straw. Aku bertanya-tanya, apa yang membuatnya seperti itu. Pelajaran selanjutnya adalah bahasa asing. Aku sangat menyukai pelajaran ini, ditambah lagi dengan gurunya yang terlihat cantik nan seksi. Dia adalah Shine Aldebaran, tinggi 180 cm, umur 27 tahun, dan mempunyai hobi membuat kata-kata mutiara.
"Jika kalian tidak mampu mengerjakan hal-hal besar, kerjakanlah hal-hal kecil dengan cara yang besar." Begitulah kata-kata pertama yang dia ucapkan kepada kami. Seisi kelas dibuat bingung olehnya.
Lekuk badannya yang ideal serta paras wajah yang cantik, ditambah rambut pirang yang mengkilat, membuat para murid cowok memperhatikannya dengan seksama sepanjang pelajaran. Lebih ajaib lagi, Rick pun ikut terhipnotis olehnya. Miss Shine adalah satu-satunya anggota wanita di Black Hands. Aku tidak mengerti kenapa dia betah sendirian bersama para lelaki ini.
Pelajaran terakhir tiba, kali ini hidangan penutup yang tidak terlalu segar menurutku, dia adalah biologi. Sesuai dengan dugaanku, yang mengajar pelajaran ini ialah Pedro da Pierro, tinggi 187 cm, umur 30 tahun, dan memiliki hobi meneliti mayat dan penyakit aneh. Hobinya terbilang mengerikan untuk disebut sebagai hobi. Dari sekian anggota Black Hands, tidak ada yang mempunyai kebiasaan yang waras kah?
Saat masuk ke kelas kami, Pedro membawa sebuah replika manusia yang seluk beluk tubuhnya hampir mirip sekali dengan manusia asli. Bagian badan replika tersebut terbuka, menunjukkan lambung, hati, usus, dan kawan-kawan. Teksturnya terlihat sangat asli dengan Jantung yang berdetak-detak.
"Ini bukan replika, ini manusia sungguhan," ujar Pedro.
Semua murid tertegun bercampur ngeri. Pedro tertawa ringan.
"Aku bercanda, Anak-anak. Wajah kalian langsung tegang begitu." Tawa Pedro semakin menjadi. Para murid menghela napas lega. Sungguh, kukira dia betulan tadi.
Jam pagi telah berakhir. Aku dan Rick pergi ke atap gedung untuk berlatih. Di sana, sudah berdiri Straw, Louis, Dalor, dan Tina. Mereka tampak siap memberikan kami latihan militer yang keras. Tina sedang asyik duduk di bahu Dalor yang lebar. Tempat itu layaknya bangku taman yang bisa diduduki dua orang.
"Bocah, kalian berdua berlatihlah dengan Louis terlebih dahulu. Kemampuan tarung jarak dekat kalian harus benar-benar diasah," kata Straw.
Aku mengganti seragamku dengan kaos hitam polos. Aku sengaja menyiapkannya untuk setiap latihan. Rick pun begitu, dia mengenakan kaos tak berlengan berwarna hijau tua.
"Kalian sudah siap? Sekarang, bertarunglah dengan tangan kosong terlebih dahulu. Siapa yang bisa melayangkan satu pukulan ke tubuhku, maka dia akan kutraktir minum di kantin. Jika tidak bisa, kalian harus push up 100 kali," ujar Louis sembari meregangkan otot-ototnya.
"Siap? Mulai!"
Rick maju dengan cepat dan mencoba mengayunkan genggamannya. Dengan sigap, Louis memiringkan badan dan menghantam punggung Rick hingga terbanting ke lantai.
"Sudah kubilang kemarin, serang lawan pada posisi yang sulit untuk dihindarinya."
Giliranku untuk maju, aku mencoba mencari tahu bagian mana yang seharusnya diserang. Aku memutuskan untuk menyerang bagian bawah. Aku menekuk lututku dan mengayunkan tendangan ke kakinya. Dalam sekejap mata, Louis berhasil menghindar dari seranganku dengan cara melompat. Saat tubuhnya masih melayang di udara, ia berbalik menendangku. Hantaman kakinya keras bukan main, membuat wajahku panas dan perih.
Aku mencoba menahan sakit. Udara yang bertiup di atas sini malah memperparah rasa perih ini. Tampaknya percuma saja kami menyerangnya.
"Jangan menyerah, bangun kalian berdua!" Louis berseru.
Rick bangun sembari menggeram. Tampak semangatnya terbakar akan kata-kata itu.
"Jangan bercanda!" teriaknya.
Rick melakukan serangan sekali lagi. Dia terus mengayunkan pukulan ke Louis, namun tidak ada yang mengenainya. Aku bangkit dan membantu serangan Rick. Serang dari dua sisi, kali ini pasti sulit dihindari. Tatapan Louis tidak berubah, seolah ketangguhannya tidak akan tergeser oleh semua serangan. Sorot matanya yang tajam dan dingin sekilas melirik ke arahku. Seketika nuansa di sekitar berubah drastis, dinginnya bola mata itu sangat terasa olehku. Mengerikan, secara tidak sadar aku memelankan langkahku. Keberanianku seakan tergoyah seketika.
Melihat kelengahan tersebut, Louis melipat lututnya, berputar sembari merentangkan kaki, dan menjegal penopang tubuh kami. Kepalaku membentur lantai atap, membuatku mendadak pusing. Pandanganku perlahan membuyar. Aku menggelengkan kepalaku, mencoba mendapatkan fokus kembali ditengah suara yang tiba-tiba mengiang di gendang telingaku.
Rick berusaha keras menopang tubuhnya, walaupun gemetar kakinya yang tampak tidak bisa ditahan lagi. Napasnya tersengal-sengal, dicampur dengan keringat yang membasahi tubuhnya. Dia mencoba mengeluarkan sepatah kata yang tersangkut di tenggorokannya.
"Masih belum ... ini masih belum seberapa!" [ ]
To Be Continue ...
Maaf nih update-nya telat sehari, agak mengalami stuck kemarin, jdi perlu penggalian inspirasi dulu >.<)9
Makasih yang udah baca cerita gw, vomment dan kritik saran selalu ditunggu guna memperbaiki kenyamanan tulisan ini. >.<)/
hehe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top