Chapter 4

Dari jauh dia sudah menduganya, kemacetan datang dalam satu jam pertama perjalanan dan membuat Nash menggeram seperti kucing pemarah. Bahkan dengan seluruh kaca mobil yang dinaikkan tak cukup membuat senyap suara klakson di sekeliling, terutama di belakangnya. Ingin dia benar-benar memaki pengendara tak sabar itu kecuali ada anak ketakutan yang duduk bersamanya.

Remaja itu masih diam; lebih banyak tak berbicara. Tak melakukan apapun kecuali membuat senyuman yang agak dipaksa saat dirinya dan Nash tanpa sengaja saling bertatapan. Suasananya benar-benar canggung, Nash merasa seperti serigala baik hati dan anak tersebut adalah kelinci yang berpikir dirinya akan diterkam beberapa jam lagi. Kelinci yang entah bagaimana terbangun di sebuah bus kota.

Tangannya berpindah ke pemutar radio, berpikir mungkin sebuah musik akan menenangkan mereka berdua. Remaja itu melepaskan sepatu, dan menaikkan kaki ke atas kursi agar dapat memeluknya sekaligus membenamkan wajahnya di sana.

Nash berdehem, lalu bertanya. "Jadi ... bagaimana perasaanmu sekarang?"

Dia tidak langsung menjawab, tetapi terdiam cukup lama hingga mobil bisa bergerak sedikit. "Kurasa sudah lebih baik."

Terdengar helaan napas yang sangat panjang sebelum remaja itu melanjutkan, "aku masih tidak menyangka bisa lupa ingatan dan terbangun entah di mana."

"Kau akan mengingat sesuatu tidak lama lagi. Aku mungkin bukan ahlinya, tetapi Crane mengatakan perasaan panik dapat membuatmu melupakan sesuatu."

"Termasuk melupakan namamu sendiri?"

"Mungkin. Terkadang kita tidak bisa mengerti tubuh kita sendiri. Tapi aku yakin, ingatanmu akan kembali cepat atau lambat."

"Tapi bagaimana kalau aku tidak pernah bisa mengingatnya?" Remaja itu mulai terdengar putus asa.

Nash menoleh, sudut bibirnya naik dengan hangat. Dia memanggil remaja itu, memastikan agar dapat melihatnya tersenyum. "Kalau begitu, buatlah ingatan yang baru."

Remaja itu tak membalasnya, melainkan buru-buru membenamkan kembali wajahnya, tetapi kemudian dia bergumam, "aku pasti akan mengingatmu, Nash."

Nash tidak benar-benar bisa mendengarnya, kecuali mengetahui namanya disebutkan.

Mereka akhirnya melewati lalu lintas dua jam kemudian. Meski begitu Malibu milik Orbit akan kehabisan bahan bakar. Bahkan masih jauh sebelum mereka bisa mencapai Washington. Nash menuju ke pom bensin tanpa mengatakan apapun, tetapi saat mengisi tangki dia bertanya pada remaja itu. "Nak, kau lapar?"

Ada sekitar beberapa detik sebelum dia menjawabnya. "Tidak ...."

"Sungguh? Karena aku kelaparan sekarang." Rasa kesal benar-benar membuat perutnya menjadi kosong.

Remaja itu hanya menggeleng. Nash sebenarnya bisa mengerti kalau cowok itu berada di antara banyak perasaan takut, khawatir, dan malu. Energimu akan habis jika merasakan ketiga hal tersebut.

Bagaimanapun Nash akan membeli sesuatu untuknya. Saat masuk ke dalam mobil, suara perut yang bergetar terdengar begitu jelas. Nash lantas terkekeh. Ketika menoleh, wajah remaja itu jadi merah padam, dan saat sadar Nash tengah menatapnya, buru-buru dia memalingkan muka ke samping kiri.

"Jadi kau mau makan apa?" tanya Nash sembari menahan tawa.

Lagi-lagi dia tidak langsung menjawab, melainkan terdiam dulu sebentar. "Apapun ... aku akan makan yang kau belikan untukku."

Nash menggunakan kesempatan itu untuk menggodanya lagi. "Aku mau makan salad dan kopi. Kau juga mau itu?"

"Burger." Suaranya meninggi seketika. "Aku ... mau makan burger."

Nash tertawa dengan puas, sebelum meminta maaf karena sudah mengerjainya. Dia hanya ingin mengembalikan senyuman dari anak itu, tetapi sepertinya kurang berhasil.

Mereka mencapai restoran cepat saji dalam lima menit, dan Nash memesan dua paket burger. Remaja itu bertanya, apa Nash benar-benar akan makan salad dan minum kopi di siang hari ini, Nash mengangguk, masih mengerjainya. Ketika akhirnya pelayan datang membawa dua nampan berisi kentang goreng, roti burger, dan juga gelas soda, remaja itu masih terdiam.

"Maaf, lelucon yang buruk. Kau tahu ... sebagai polisi, sudah tugasku untuk membantumu dalam segala situasi. Itu termasuk emosi dan perasaanmu."

Remaja itu hanya menunduk sembari mengunyah pelan burger daging sapinya.

"Apa burgermu tidak enak, Nak?"

"Jangan panggil aku 'Nak', aku sudah 18 tahun." Nash tersentak saat remaja itu memprotes, lalu mengunyah kembali makanannya. Sebelum dia sadar sudah bersikap buruk dan berbalik meminta maaf. Namun, bukan gertakan tadi yang mengagetkan Nash.

"Aku minta maaf sudah berteriak padamu ...."

"Itu bagus. Sebuah kemajuan."

Remaja itu mengangkat dahinya. "Apanya yang bagus?"

"Kau mengingat umurmu."

Matanya melebar, dia juga baru menyadari ucapannya sendiri. "Kau benar ... aku ingat umurku." Akhirnya senyuman itu kembali, lebih lebar daripada sebelumnya. "Aku 18 tahun."

Nash tertawa lagi, tetapi kali ini karena dia senang dan merasa lega. "Apa kau mengingat sesuatu yang lain?"

Dia meletakkan burger-nya dan mulai menutup mata, mencoba menggali kembali ingatannya yang telah hilang. Saat kedua tangannya mulai mengeras dan pembuluh darah di kepalanya hampir terlihat, remaja itu berhenti.

"Tidak ... tidak ada," ucapnya.

"Tidak masalah. Kita pasti akan mengembalikan seluruh ingatanmu perlahan-lahan."

"Ya. Aku baik-baik saja. Aku sudah cukup senang bisa mengingat umurku."

Mereka kembali mengunyah makanan masing-masing. Nash menghabiskan miliknya terlebih dahulu, dan karena masih lapar dia akhirnya memesan salad dan kopi. Remaja itu menolak saat ditawari untuk menambah porsi. Ketika Nash masih menikmati sodanya yang tersisa, anak itu tiba-tiba berkata, "Ethan ...."

Mendengarnya membuat mata Nash terbuka lebih lebar. "Apa?"

"Ethan. Aku mau dipanggil Ethan ...."

"Kenapa?"

"Kupikir agar kita bisa berkomunikasi dengan lebih baik. Kau bisa berhenti memanggilku 'Nak'," jawabnya tanpa menatap Nash. 

"Maksudku, kenapa Ethan?"

Remaja itu mengedikkan bahu. "Aku hanya mau."

"Apa itu namamu?"

"Bukan. Sepertinya bukan."

Pesanan Nash yang kedua akhirnya datang, tetapi dia tidak segera memakannya. Dia masih menatap diam remaja yang duduk di hadapannya itu. Dia mau dipanggil Ethan, itu membuat Nash terkejut, tetapi dalam artian yang berbeda. Tidak sama saat dia bisa mengingat umurnya.

Mereka kembali pada urusan masing-masing, mencoba menghabiskan sisa makanan yang ada dan segera kembali ke mobil. Nash berharap tidak ada lagi kemacetan setelah itu, meski dia meragukannya.

Saat bisa kembali ke aspal, giliran remaja itu yang memulai pembicaraan. "Kau kelihatan terkejut."

"Terkejut?"

"Saat kubilang aku ingin dipanggil Ethan. Sepertinya ada sesuatu dengan nama itu."

Kali ini Nash terkesan. Padahal tadi dia sudah sebisa mungkin menyembunyikan keterkejutannya.

"Aku memang terkejut karena kau ingin dipanggil Ethan."

"Kenapa? Apa kau pikir itu namaku yang asli?"

"Itu nama ayahku," jawab Nash. Mulut remaja itu melebar, tetapi dia hampir kehabisan kata-kata. "Ethan Hawke. Itu nama ayahku."

"A–Aku. Aku tidak tahu."

Nash tertawa pendek. "Tentu saja kau tidak tahu."

"Maksudku, aku akan menggantinya kalau itu mengganggumu."

"Tidak. Kau jangan khawatir. Itu hanya nama." Nash menoleh dan kembali tersenyum, berusaha meyakinkannya kalau persoalan nama tak akan menjadi masalah. "Kalau kau ingin dipanggil Ethan, maka aku akan memanggilmu Ethan."

Sudut bibirnya naik dengan kecil, tetapi dia segera menoleh agar Nash tak lagi menatapnya. "Aku akan merasa terhormat menggunakan nama ayahmu."

Nash tak lagi membalasnya, dia sudah fokus pada jalanan. Jauh di depan dia bisa melihat lalu lintas kecil yang memadat. Benar-benar akan macet lagi. Sementara remaja itu tak lagi berbicara, dan akhirnya tertidur saat menaikkan lagi kakinya ke kursi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top