Chapter 2

"Jadi ... saat seorang penumpang membangunkannya, dia tiba-tiba berteriak?"

Supir wanita itu bernama Susan, setelah menceritakan seluruh kronologi dari kejadian tersebut secara detail, Crane bertanya lagi untuk memperjelas. Susan mengangguk dengan yakin. "Ya, aku sangat kebingungan. Awalnya aku hanya kesal karena kukira ada 'Karen' yang masuk ke dalam bus, tetapi ternyata ini lebih mengerikan."

"Tapi bagaimana bisa kau tidak sadar kapan anak ini masuk ke dalam bus?"

Susan menghela napas kasar. "Sudah kubilang aku punya shift yang panjang. Aku tidak benar-benar memperhatikan siapa yang masuk ke dalam bus apalagi di pukul empat pagi. Aku ... sumpah aku tidak tahu kenapa dia bisa ada di dalam bus."

Crane terdiam, lalu menatap Katerine, satu dari sekian anggota dari unit investigasi yang tidak bertugas di lapangan melainkan bagian forensik. Katerine sejak tadi tak mengatakan apapun selain mendengarkan dan memperhatikan raut wajah kedua orang di hadapannya, karena memang seperti itu tugasnya.

Lalu Katerine mengangguk, dan Crane kembali pada Susan. "Terima kasih, Susan. Kami akan mengurusnya dari sini. Sebelum kembali pada tugasmu mohon mampir sebentar di meja depan."

"Kuharap kalian polisi benar-benar membantunya, karena aku harus segera tidur." Susan beranjak meninggalkan tempat itu, menyisakan remaja tadi yang sudah tidak menangis lagi, tetapi hanya terdiam menunduk tanpa menunjukkan ekspresi yang jelas.

"Kiddo, aku dan rekanku harus bicara sebentar. Apa kau bisa menunggu di sini?" Dia sama sekali tak membalas. Crane menggaruk tengkuknya, mencoba memutuskan apakah dia pergi sejenak untuk berbicara pada Katerine tanpa membuat remaja itu panik atau berteriak histeris seperti yang Susan ceritakan.

Saat remaja itu memasukkan tangannya ke dalam saku hoodie, dia merasakan sesuatu dan tanpa pikir panjang segera mengambilnya. Hanya sebuah kertas kecil dengan tulisan bertinta hitam. Namun, mampu membuat remaja itu tersentak saat membacanya. Melihat itu, Crane segera mengambil dan membacanya.

123 Main Street
Minneapolis, MN 55401

"Apa ini?" tanya Crane.

Terlihat lawan bicaranya masih belum mampu menahan keterkejutan, tetapi berusaha untuk menjawabnya. "Kurasa ... kurasa itu rumahku. Alamatku. Aku tidak tahu."

Crane pada akhirnya mengajak Katerine untuk menjauh lalu mengatakan sesuatu dalam nada berbisik.

"Jadi bagaimana?"

"Mereka serius. Anak itu menunjukkan ekspresi kekosongan. Tanda kebingungan dan ketakutan yang bercampur," jelas Katerine.

"Kau tahu apa yang kupikirkan? Anak itu melarikan diri dan berakhir di Portland entah bagaimana. Dia hanya panik dan akhirnya melupakan semuanya," kata Crane, tetapi hal itu segera direspon Katerine dengan menaikkan sebelah alis. Seolah berkata, kau bercanda?

"Menurutku sebaiknya kita membawa dia ke alamat itu," kata Katerine.

Crane menoleh lagi untuk melihat remaja itu, dan malah menemukan dirinya saling bertatapan. Pria itu menaikkan senyum yang kecil, lalu kembali pada Katerine. "Dengar, saat ini kita punya urusan yang lebih buruk daripada anak muda yang tiba-tiba terbangun di dalam bus."

"Jadi kita akan membiarkannya? Kau benar-benar jahat, Crane."

"Ya. Tidak ... ughhh, aku tidak tahu. Aku sangat kebingungan, kasusku bermasalah, Chief meminta laporan sementara, dan aku baru saja memberikan skorsing pada Nash. Apa tidak bisa lebih buruk lagi?" Crane tak lagi bisa memelankan suaranya, dia mengeluh cukup keras sampai mengagetkan kembali remaja itu.

"Katerine, dengar ... jika dia berasal dari Minneapolis, maka itu bukan urusan kita."

Wanita itu mulai memutar matanya. "Dia terbangun di Portland, Crane. Teorimu mungkin konyol, tetapi bisa saja masuk akal. Jadi saranku, kita bawa dia ke alamat itu, dan jika terjadi sesuatu, itu akan jadi urusan Minneapolis, lalu kau bisa melanjutkan penyelidikanmu kembali."

"Aku tidak mungkin pergi sejauh itu sementara kasusku—" Seolah lampu kuning baru saja menyala di atas kepalanya, Crane tiba-tiba tersenyum mereka. Kemudian menggenggam kedua pundak Katerine lalu mengguncang wanita itu. "Kau jenius, Katerine."

Wanita itu masih kebingungan saat Crane tiba-tiba saja melesat ke mejanya. Mengambil ponselnya lalu dengan bersemangat menghubungi seseorang.

Setelah nada tunggu yang singkat, panggilan itu akhirnya dijawab. "Nash, di mana kau?"


Nash berusaha untuk duduk dengan tenang. Setelah urusannya dengan Crane selesai, dia berpindah ke kedai kopi yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki dari markas kepolisian. Mencoba untuk tetap berpikir positif atas hukumannya.

Setidaknya aku bisa bermain game dengan puas. Setidaknya aku dapat belajar lagi untuk kasus berikutnya yang mungkin akan datang. Setidaknya aku dapat menjenguk ayahku lagi. Nash mencoba segalanya, dan hal itu berhasil membuatnya tersenyum.

Walau setelah itu rahangnya segera turun. Kenyataannya dia mungkin akan kesulitan menemukan penyelidikan baru karena catatannya sudah sangat kotor. Bahkan mungkin saja dia akan dipindahkan ke divisi lalu lintas. Oh, Nash sangat membenci itu. Dia detektif, bukan polisi jalanan biasa.

Dalam diamnya bersama meja bundar, pesanan kopi dan roti lapis akhirnya tiba. Dia sudah menyesap sedikit minuman itu dan bersiap mengunyah makanan sebelum ponselnya berdering. Dia ingin merasa kesal sebelum kemudian menyadari, Crane menghubunginya.

"Nash, di mana kau?" Dia terkejut, dan berpikir kalau sudah salah dengar. Namun, Nash sangat yakin Crane terdengar agak gembira.

"Sarapan pagi, kurasa. Apa ada sesuatu?"

"Kembali ke markas sekarang, aku menunggu di kantorku."

Nash baru saja akan bertanya lagi, tetapi panggilan itu sudah ditutup. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tetapi baginya ini mungkin berita bagus. Apa skorsing-ku dicabut? Nash menyeringai saat memikirkannya.

Langsung saja dia beralih ke kasir dan meminta seluruh makannya dibungkus. Lalu buru-buru kembali ke markas. Dia memikirkan segala kemungkinan baik soal apa yang akan Crane katakan nanti, pencabutan skorsing adalah keinginan. Dikembalikan ke penyelidikan pasti lebih bagus, atau paling tidak dia diberikan kasus baru. Pilihan ketiga sepertinya lebih masuk akal.

Sampai tiba di markas, Crane ternyata menunggu di luar kantornya. Lalu seluruh senyuman manis Nash berubah jadi wajah yang tegang. "Kau bercanda, kan?"

Crane menggeleng. Di sana juga ada Katerine, salah satu psikolog kepolisian yang bekerja bersama unit mereka. Wanita itu hanya mengedikkan bahu saat mereka saling bertatapan. "Aku tidak mungkin ke Minneapolis."

"Ya, mungkin. Tidak, harus. Kau harus ke sana."

"Minneapolis berjarak dua puluh empat jam dari Portland!" protes Nash.

"Maka dari itu, kau sebaiknya mulai dari sekarang."

"Kenapa tidak meminta saja kepolisian Minneapolis untuk datang kemari?"

"Ini bukan wilayahnya, tapi memang itu rencananya." Kali ini Katerine yang menjelaskan. "Kau hanya harus mengantar anak itu ke alamat yang ada di kertas ini."

Nash menerima kertas itu dengan kasar. Katerine berdehem sejenak sebelum melanjutkan. "Dan karena anak itu mungkin saja lupa ingatan, bisa saja itu bukan rumahnya atau apapun. Pokoknya, kalau kau sudah mencapai tempat ini dan tak ada apapun di sana, serahkan sisanya untuk Minneapolis, mengerti?"

Pria itu mendesah. "Lalu aku dapat apa?"

"Skorsing-mu akan kucabut, dan jangan khawatir, akan kupastikan namamu bersih."

Nash senang mendengarnya, tetapi dia hanya bisa mengangguk dengan pasrah. "Setidaknya aku tidak perlu mengeluarkan uang untuk kasus ini, kan?"

Mendengarnya membuat Crane tertawa hambar. Sontak saja Nash mengangkat dahinya. "Apanya yang lucu?"

"Nash, maaf, tapi bisa gunakan uang pribadimu saja dulu?"

"Oh, sudah cukup! Apa kau benar-benar serius sekarang?" Kali ini Nash benar-benar marah.

"Kau dalam status penangguhan. Kasus ini sebenarnya tidak resmi, tetapi ... setelah menyelesaikannya, kau bisa membuat laporan dan kupastikan kepolisian mengembalikan setengah uangmu."

"Setengah?! Uangku harus kembali semua."

"Tiga per empat? Bagaimana, eh?" tawar Crane lalu mengacungkan tangannya.

Alis Nash bergetar karena kesal. Tangannya segera panas, dan ingin memukul Crane untuk meredakannya kecuali pria itu bukanlah bosnya. Nash menjabat tangan itu, tetapi kemudian berbicara dengan penuh penekanan. "Sebaiknya ini sepadan."

Crane tersenyum, bagi Nash itu senyuman yang palsu. Mereka kembali masuk ke kantor, dan Nash akhirnya bisa melihat sendiri remaja yang dimaksud. Itu yang tadi dia lihat saat selesai mendapatkan skorsingnya.

Dari wajahnya dia memang kelihatan seperti anak laki-laki yang tersesat.

"Hei, Nak," panggil Crane. "Ini Nash, dia yang akan mengantarmu pulang."

Saat remaja itu menatapnya, Nash memberikan senyuman yang kecil, tetapi sepertinya tidak terlalu bekerja. Dia kembali menunduk.

"Semoga berhasil dengan misimu," ucap Crane sambil menepuk pundaknya. Itu hal yang biasa dia lakukan pada seluruh anggotanya saat akan menjalankan tugas di lapangan.

Namun, bagi Nash ini sebenarnya mudah. Mungkin hanya akan membosankan saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top