Chapter 18
Richard Drake hanya bisa berdiri di balik jendela besar itu. Salah satu tangannya menempel pada kaca, satu lagi mengusap pipi kanannya yang memiliki bekas luka panjang. Di seberang sana ada anak remaja yang terduduk di hadapan seorang dokter. Mereka saling berbicara, Richard tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tetapi pembicaraan itu sudah berlangsung hampir sejam.
Ketika dokter tersebut keluar, Richard bergegas mendekati pintu. "Tuan Richard."
"Dokter Rim, bagaimana kabarnya?"
Terdengar helaan napas yang panjang dari Dokter Rim. Richard tahu itu berarti berita buruk. Sebenarnya dia sudah dapat menduga akan ada kabar yang buruk, tetapi pria itu masih mengharapkan ada sebuah keajaiban.
"Dia sudah berada di sini selama empat bulan, tetapi kami sudah tidak dapat melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Meski diagnosa kami terkait Intermittent Explosive Disorder itu bisa dipastikan benar. Belum lagi kesaksianmu di mana Oliver menunjukkan perilaku agresif, tempramental, dan termasuk melukai wajah Anda," jelas Dokter Rim singkat.
"Jadi bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?" tanya lagi Richard tidak ingin menyerah.
"Kami sarankan agar Oliver dipindahkan. Ada sebuah tempat di mana putramu mungkin bisa disembuhkan. Harmony Mental Health Care. Hanya saja, rumah sakit itu berada jauh di Portland."
"Portland? Maksudmu Oregon?" Dokter tersebut mengangguk.
"Aku tahu itu sangat jauh, tetapi demi kebaikan Oliver, hanya itu yang bisa dilakukan."
Richard kembali melihat ke balik kaca. Di sana putranya masih duduk menunduk. Entah sebenarnya sedang memikirkan apa.
Lalu Dokter Rim memanggil seseorang di belakang Richard, pria itu tak tahu kalau ada yang sejak tadi berdiri di sana. Dua orang tepatnya. "David Parker dan Walter Campbell. Mereka petugas admisi di Institut Kesehatan Mental Solace. Kedua pria ini yang akan mengantarkan putramu ke Portland dengan aman dan selamat."
Salah satu dari mereka menjabat datang Richard dan memperkenalkan diri kembali. "Jangan khawatir, Tuan Richard. Putramu akan sampai di Portland dengan selamat," ucap yang bernama Walter.
"Kami sudah berpengalaman sebagai petugas admisi." Kemudian David, dia punya suara yang lebih halus. "Kami juga sudah membaca seluruh berkas tentang Oliver. Dengan sangat aku turut menyesal atas semua yang terjadi padanya."
Namun, Richard terdiam setelahnya. Dia tengah berpikir. Jika Portland memang tempat terbaik untuk saat ini, maka tidak ada pilihan lain. Meski tempat itu sangat jauh. Meski itu berarti Richard tak akan bisa lagi bertemu dengan putranya sendiri entah sampai kapan.
Dia teringat berbulan-bulan sebelumnya, saat ini semua belum terjadi. Anak itu adalah laki-laki yang normal sebagaimana adanya. Putranya yang punya senyum manis, memiliki banyak teman, tertarik pada baseball, dan nilai yang sempurna. Namun, entah mengapa semua itu berubah.
Richard menyesal karena telah membuatnya jadi lebih buruk. Pria itu malah menyalahkan Oliver dan tak pernah ingin membantunya menjadi baik kembali. Lalu makan malam bulan Maret adalah akhir segalanya. Richard sangat menyesal telah mengatakan itu semua. Malah mungkin apa yang Oliver telah katakan kebenaran sebenarnya.
Hanya ibunya lah yang menyayangi Oliver, dan Richard tidak. Richard gagal.
Namun, Richard tidak ingin benar-benar mengakhiri ini dengan kegagalan. Jikalau Portland adalah jalan terakhir, maka Richard ingin ada di sana sebelum itu semua terjadi.
"Tidak," katanya. Dokter Rim lantas tak mengerti. "Aku yang akan mengantarnya ke rumah sakit itu."
"Anda yakin? Perjalanan ke Portland memakan waktu dua puluh empat jam."
"Ya," tegas Richard. "Akan kulakukan. Itu hal terbaik yang bisa aku lakukan sebagai seorang ayah."
Dokter Rim tak coba untuk menyanggah, justru dia merasa senang karena Richard mau dilibatkan. Kali ini, dia mengijinkan Richard untuk ikut masuk juga ke ruangan tadi.
Oliver yang sejak tadi masih menunduk, sontak terkejut menemukan tidak hanya seorang dokter, tetapi juga ayahnya. Anak itu ingin melonjak dan memeluknya, tetapi menemukan bekas luka di sana yang sudah mengering, Oliver jadi urung.
Di luar dugaan, justru ayahnya yang memeluk terlebih dahulu. Dekapan itu berlangsung lama, dan sangat erat. Oliver dan Richard mulai menangis. Lalu saling meminta maaf.
Oliver juga tak menyangka kalau dia akan keluar dari sana hari itu juga. Dia sangat senang karena berpikir akan pulang ke rumah sekarang, hati Richard agak hancur saat itu. Mungkin putranya tidak akan benar-benar kegirangan kecuali mengetahui kalau dia hanya akan dipindahkan.
Keesokan harinya, Oliver mendapatkan kejutan lain. "Menonton pertandingan?"
"Ya, Minnesota Twins akan menghadapi rival sejatinya, Chicago White Sox."
"Sungguh? Musim ini akan jadi sangat panas. Ayo kita pergi, ayah!" seru Oliver bersemangat. Di lapangan, Richard membiarkan anaknya menikmati hari itu meski tetap mengawasi kalau-kalau sisi tempramennya akan muncul ketika Twins kalah, tetapi untuk saja mereka bisa bermain baik dengan skor tipis 4:3.
Setelah pertandingan itu selesai, Richard bahkan mengambil foto. Dia meminta agar Oliver dapat tersenyum sangat lebar, dia ingin foto itu menjadi barang istimewa yang akan selalu dilihatnya.
Lalu, di makan malam keluarga, Richard akhirnya memberi tahu soal perjalanan ke Portland tersebut, tetapi tidak secara gamblang.
"Bagaimana kalau kita jalan-jalan?"
"Jalan-jalan? Kemana?"
"Portland."
Oliver sangat terkejut mendengarnya, sampai-sampai berhenti mengunyah. Seperti yang sudah Richard duga. "Mengapa kita mau jauh-jauh ke Portland?"
Richard tersenyum getir, tak tega harus berbohong di saat putranya sedang sakit di dalam sana. "Kita tidak pernah pergi jauh sebelumnya. Anggap saja ini seperti road trip. Bagaimana?"
"Wah, road trip? Ayah benar. Kita tidak pernah pergi sangat jauh, tapi Portland? Apa yang bisa kita lihat di sana?" Oliver mulai mengangkat kepala, coba berpikir.
"Itu akan jadi kejutan yang lain." Mereka lalu melanjutkan makan, tetapi Oliver ada di antara sudah kenyang atau masih berpikir. Karena tiba-tiba saja sudut bibir itu turun. "Ada apa?"
"Aku ...." Lidah Oliver kelu, sepertinya dia tidak ingin ayahnya tahu apa yang tadi remaja itu pikirkan, tetapi Richard ingin keterbukaan. Dia berjanji tidak akan marah. "Aku harap ibu bisa bergabung dengan jalan-jalan kita."
Richard tersenyum kembali, dia sama sekali tidak marah. Pria itu tak lagi bisa marah. "Ayah juga begitu ...."
Nash hampir tak bisa berkata-kata. Begitu mudahnya Ethan baru saja membunuh dua orang yang akan menjualnya di pasar gelap, dan sekarang anak itu hanya berdiri di atas salah satu mayat korbannya.
"Apa maksudnya mereka benar?" tanya Nash. "Apa yang kau ingat?"
"Saat kau menyuruhku untuk bersembunyi di lemari, sebenarnya aku pergi saat kau tidak sadar. Ketika kau mendorong sofa, aku bergegas pergi ke ruang bawah tanah." Ethan menunjuk pintu yang tadi sempat dia masuki saat Walter mengejar. "Di sana aku bisa mendengarkan percakapan kalian dengan orang-orang ini, dan sekaligus mendapatkan banyak hal."
"Apa yang kau temukan?"
"Semuanya," jawab Ethan. "Semua ingatanku. Alasan mengapa ini semua terjadi. Alasan mengapa aku bisa berada di Portland. Alasan mengapa rumah ini tidak terkunci, kosong, dan tak ada siapapun termasuk ayahku.
"Sebenarnya ... aku tidak pernah memberitahumu, tetapi di kamar mandi, sebelum mereka akan membawaku pergi, di sana satu ingatanku kembali. Aku mengingat berada di dalam mobil, duduk di samping ayahku. Kami melakukan perjalanan dari Minneapolis ke Portland, hanya berdua. Awalnya ayahku mengatakan kalau itu adalah jalan-jalan, tetapi setelah setengah perjalanan, dia akhirnya jujur.
"Namaku bukan Ethan, tetapi Oliver. Oliver Peter Drake. Aku seorang pasien kejiwaan di Institusi Kesehatan Mental Solace dengan kondisi Intermittent Explosive Disorder. Aku tidak bisa mengendalikan amarah sendiri, dan sering menyakiti seseorang untuk melampiaskannya. Itu termasuk teman-teman dan ayahku sendiri.
"Satu-satunya alasan kami ke Portland karena aku harus dipindahkan ke rumah sakit lain. Ayah bilang, dia ingin mengantarku ke sana karena merasa itu tanggung jawabnya sebagai orang tua. Hanya saja, saat mengetahui itu semua, aku sangat kecewa padanya. Kupikir pada akhirnya aku bisa sembuh dan dapat menikmati hidup. Namun, untuk apa aku marah? Ayahku tidak salah, dia hanya ingin membantu, tetapi selama sisa perjalanan kami sudah tidak lagi berbicara."
Sejenak Ethan menunduk, menatap kedua pria yang telah terbujur kaku tersebut. "Hingga kami baru memasuki kota Portland, dan mereka berdua muncul saat ayahku baru saja membeli beberapa minuman. Salah satu—entah Walter atau David—berdebat lalu memukul ayahku sampai dia terjatuh. Aku hanya menyaksikan semuanya di dalam mobil, sebelum yang lain masuk dan muncul di samping pintu.
"Hanya saja, aku mendengar kata-kata yang lembut dan nyaman. Padahal saat itu ayahku sedang dipukul, tetapi semuanya malah terasa tenang. Aku menutup mata, dan kemudian terlelap."
"Hipnotis", simpul Nash, dan Ethan menyepakatinya. "Setelah itu kau terbangun di sebuah bus, dan akhirnya tidak mengingat apapun. Hipnotis itu mengacaukan ingatanmu."
"Ya, mungkin. Entahlah, tetapi aku sebenarnya tidak terbangun. Lebih tepatnya ada yang membangunkanku—untungnya. Kalau saja aku tetap tertidur di sana, mungkin aku sudah berakhir di tangan mereka berdua."
"Bagaimana dengan alamat yang tertulis itu? Apa kau yang memasukkannya?"
Ethan menggeleng, dan tersenyum kaku. "Ayahku yang melakukannya. Sebelum meninggalkan rumah, dia memberikan kertas itu. Awalnya kupikir aneh mengapa ayah mau menulis alamat rumah ini. Dia mengatakan kalau itu adalah pengingat, kalau ada rumah untuk pulang."
Nash ikut menatap David yang sudah tak bernyawa. Matanya membeliak dengan mulut terbuka lebar. Dalam hati, pria itu berkata, 'harga yang pantas.' Namun, sejak awal apa yang dikatakan orang-orang ini adalah kebenaran. Mereka berdua memang petugas di rumah sakit jiwa tempat Ethan dirawat, tetapi kemudian memanfaatkan sebuah kesempatan untuk menjual remaja itu di pasar gelap.
"Aku bukan Ethan, tetapi Oliver. Oliver yang hidupnya menjadi kacau setelah memukul temannya, yang menjadi hampa setelah ibunya bunuh diri, yang menjadi rusak setelah mengiris wajah ayahnya sendiri."
Pandangan anak itu berpindah ke foto pertama yang dilihatnya saat kembali ke rumah. Foto dirinya dan ayahnya yang tersenyum dengan lebar. Dia mengingatnya, itu foto yang diambil setelah tiba-tiba saja dikeluarkan dari rumah sakit dan berpikir kalau dirinya sudah sembuh. Itu pertandingan yang sengit dari tim favoritnya, dan Ethan sangat senang setelah pertandingan itu berakhir dengan memuaskan.
"Setelah aku menyakitinya, ayah membawaku ke pusat kesehatan mental. Selama berminggu-minggu, mereka menanyakanku beberapa hal yang konyol dan tidak masuk akal. Mereka bilang aku gila, menurutku para dokter itu hanya sok tahu. Karena aku tidak gila. Karena aku tahu ayah kecewa, dan ibu sudah muak padaku. Semua itu salahku. Aku mengingat itu semua.
"Namun, aku marah. Aku selalu berpikir akan memukul dokter-dokter yang selalu mengatakan hal-hal bodoh dan tidak membantu, dan itu membuatku selalu diborgol setelahnya. Sekali aku benar-benar berhasil memukul salah satu petugas, dan akhirnya mereka mengikatku pada sebuah ranjang. Hingga empat bulan lamanya dan aku akhirnya keluar. Kupikir aku sembuh, tetapi ayah malah membawaku ke Portland."
Ethan berbalik, menatap Nash dengan mata yang sudah basah dan merah. Anak itu mencoba menahan tangis, tetapi tak mampu melakukannya. "Akhirnya aku mengingat satu hal. Di saat perjalanan bersama ayah, aku berdoa. Aku berharap ... dapat melupakan semuanya dan memulai hidup yang baru."
Tangisnya benar-benar tumpah. Berkali-kali Ethan harus menyeka wajah, tetapi masih tak dapat menghentikannya. Nash ingin mengatakan sesuatu, tetapi seakan ada yang menahannya juga.
"Aku ingin melupakan ini semua! Aku tidak ingin mengingat apapun! Aku tidak mau mengingat ibuku tewas bunuh diri! Aku tidak mau mengingat ayahku tewas terbunuh di jalanan!" Isak Ethan semakin kencang. Bukan lagi Ethan yang kehilangan ingatannya, tetapi Ethan yang tidak ingin menerima kenyataan pahit.
"Aku tidak mau di sini! Aku tidak ingin berada di sini lagi!"
"Oliver...."
"Seharusnya aku tidak pernah kemari! Seharusnya aku tetap melupakan semuanya! Aku tidak mau mengingat ibu dan ayahku sudah tewas karenaku! Aku tidak ingin mengingat itu semua."
"Oliver ...." Nash mencoba untuk bangun. Meski sulit karena sakit di lengannya itu, tetapi dia memaksakan diri. Dengan langkah tertatih, dia berusaha mencapai Ethan. Saat berhasil, segera Nash memeluknya.
"Bawa aku pergi dari sini, Nash!"
"Jangan menangis lagi. Semuanya akan baik-baik saja."
Hanya saja, Ethan masih menangis. Tak dapat berhenti meski Nash tetap berusaha menenangkannya. Malam itu menjadi sangat panjang. Bagi Ethan, malam itu adalah kekosongan. Malam itu adalah kegelapan.
Gelap bagai hutan yang kosong.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top