Chapter 17
Suasana ruang ganti Riverdale High nampak dipenuhi atmosfer yang panas. Tempat itu tidaklah sesak, meski agak ramai. Hanya saja, ada keriuhan yang memenuhi sebuah tempat duduk.
"Ini semua gara-gara Oliver! Mengapa pelatih malah memasukkannya? Dia bahkan tidak bisa melempar!"
"Ya! Kita benar-benar kalah dua poin karena anak itu! Oliver tak bisa bermain baseball."
Para pemain lainnya mulai mengeluarkan pendapat masing-masing. Kesal, marah, dan kecewa. Mereka hanya menyalahkan satu orang, Oliver Drake. Sementara cowok yang dimaksud berada tidak jauh dari mereka, sedang mengganti baju.
"Aku akan bicara dengan pelatih agar Oliver tidak bermain lagi di musim berikutnya! Riverdale tidak akan pernah menang kalau dia masih berada di dalam tim," pernyataan itu disambut dengan teriakan sepakat yang bersemangat. Namun, suara pintu loker yang menutup terdengar lebih keras, dan berhasil menghentikan mereka semua. Sepertinya murid-murid itu baru sadar kalau Oliver ternyata sejak tadi mendengarkan, dan bukannya di kamar mandi sedang membersihkan diri.
Kerumunan tersebut terlihat menyesal saat Oliver akhirnya bergabung dengan tangan bersedekap. Namun, laki-laki yang sejak tadi memprotes dengan segera berbicara. "Ada apa? Permainanmu memang buruk. Karena kau kami kalah. Hadapi kenyataan."
"Bukan aku satu-satunya yang membuat kesalahan!" Oliver mendengus tak terima. "Kau juga gagal memukul dan membuat kita tertinggal jauh di awal permainan!"
"Tapi aku berhasil membuatnya imbang!" Cowok itu menunjuk Oliver dengan intimidasi. "Lalu kau masuk dan mengacaukan semuanya!"
Darah Oliver mendidih, kedua tangannya meremas. Tak tahan lagi, dia melesat maju dan memukul temannya itu hingga terjatuh. Awalnya orang-orang selain mereka berdua malah menyemangati, menyorakkan sebuah kata. 'Fight! Fight! Fight!'
Namun, ketika anak itu mulai mengeluarkan darah di hidung dan mulutnya, sontak mereka semua berusaha melerai. Hanya saja, Oliver tak berhenti. Dia terus mengarahkan bogem mentahnya.
Mereka terus berusaha melerai, tetapi tak ada satupun yang bisa. Anak-anak itu juga takut menjadi korban Oliver. Sampai akhirnya pelatih baseball datang dan berhasil menghentikan perkelahian tersebut, tetapi naas, wajah temannya itu sudah dipenuhi air mata dan darah segar. Pelatih itu sendiri bahkan sampai terperanjat, dan menatap Oliver dengan sorot kengerian.
Setelah beberapa detik, barulah Oliver menyadari tindakannya. Dia tahu dirinya sudah sangat keterlaluan. Namun, jauh di dalam hatinya itu Oliver juga merasa sangat puas. Seperti ada iblis di samping kiri yang membisiki: 'dia pantas mendapatkan itu'.
Oliver juga mendapatkan apa yang pantas baginya. Bukan hanya dikeluarkan dari tim, dia juga harus mencari sekolah baru. Saat orang tuanya mendapati kabar kalau putra tunggal mereka telah membuat temannya mengalami cedera wajah yang parah, mereka bahkan tak tahu harus bersikap bagaimana. Mereka tentu saja marah, tetapi entah mengapa itu seperti belum cukup untuk Oliver.
"Dia pantas mendapatkannya!" protes Oliver saat harus berdebat dengan ayahnya sendiri.
"Dengan membuat anak itu dirawat di rumah sakit selama berhari-hari?!"
"Dia menjatuhkan harga diriku! Mempermalukanku di hadapan banyak orang! Dia menyalahkan semuanya padaku!"
"Oliver! Itu hanya baseball. Apa kau sadar dengan tindakanmu sendiri?"
Meski pada akhirnya Oliver berhasil mendapatkan sekolah yang baru, tetapi reputasi buruknya di Riverdale sudah tersebar. Oliver bahkan tak berhasil mendapatkan teman baru selama tiga bulan pertama, dan tim baseball menolaknya walau kapten tim tersebut yakin dengan kemampuan anak itu.
Oliver—meski enggan—juga mau meminta maaf pada teman yang telah dipukulnya sampai babak belur tersebut. Kendati hanya agar dia bisa berbaikan juga dengan orang tuanya. Karena sebelum itu, di rumah Oliver bagai seorang tahanan yang terkurung di dalam kamar tanpa bisa melakukan apapun selain makan dan tidur.
Minatnya pada baseball juga masih ada meski semangatnya untuk ke sekolah sudah habis. Ayahnya tidak pernah mengetahui kalau Oliver lebih sering membolos untuk menonton pertandingan tim favoritnya, Minnesota Twins. Hingga aksinya ketahuan, Oliver lagi-lagi harus berdebat dengan ayahnya sendiri dan pertengkaran mereka tak pernah dimenangkan oleh siapapun.
Oliver benar-benar berpikir kalau masa remajanya sudah mati. Tak ada kebahagian ataupun pengalaman yang baik. Tidak seperti cerita-cerita novel atau film-film fiksi remaja yang pernah dinikmatinya, semuanya begitu kosong dan penuh penderitaan. Suatu malam, dia akhirnya menyesal karena telah memukul temannya sendiri. Menyesal karena harus masuk menjadi pitcher yang meleset. Menyesal karena telah menyukai baseball.
Penderitaannya tidak berhenti hingga Oliver menginjak usia delapan belas. Di antara seluruh kerenggangan antara dirinya dan orang tuanya yang tak lagi bisa diatasi, Oliver pergi ke halaman belakang pada suatu malam, lalu menemukan ibunya sendiri tergantung di sana.
Tak ada alasan jelas, tak ada motif yang pasti. Selama berhari-hari pemeriksaan polisi, tetapi Oliver tidak menemukan jawaban apapun atas kasus bunuh diri tersebut. Namun, dia tahu ayahnya telah menyalahkannya dari setiap tatapan itu. Oliver satu-satunya masalah di rumah.
Makan malam pertengahan Maret mengungkapkan semuanya. Saat Oliver tidak menikmati masakan buatan ayahnya dengan hanya mengambil dua kali suapan.
"Kenapa tidak menghabiskan makananmu?"
Oliver hanya terdiam menunduk. Kakinya bergetar karena ingin meninggalkan meja dan tidur saja malam itu, tetapi seperti ada sesuatu yang malah menahannya.
"Habiskan makananmu!" Kemudian ayahnya malah berteriak sambil memukul meja, membuat gelas berisi air di dekatnya sampai tumpah.
"Masakan ayah tidak enak." Oliver akhirnya berkata jujur.
"Makan saja meski tidak enak! Ibumu sudah tidak ada di sini untuk memasak!"
Mata Oliver melebar dengan napas tertahan sejenak. Ditatap ayahnya yang memasang raut pelik. Namun, ayahnya sendiri juga terlihat tak menyesal sudah mengatakan itu, malah mendengus tak tahan dengan kelakukan putranya.
"Habiskan makananmu," ulang pria itu mendesis.
"Kenapa?" Matanya mulai berair. Oliver awalnya tidak sadar kalau dia sudah menangis sampai bisa merasakan air matanya sendiri mengalir. Sedetik kemudian, Oliver ikut menghantam meja. "Kenapa bukan kau saja yang bunuh diri?! Kenapa harus ibu yang tewas?! Ibu tidak pernah marah saat aku memukul Erick! Dia tidak mempermasalahkan saat aku bolos untuk menonton pertandingan! Hanya kau yang marah dan melarangku keluar kamar!"
"Satu-satunya alasan ibumu bunuh diri adalah karena kau!" Akhirnya kalimat itu keluar. Oliver sudah menduganya sejak lama, dan dia pikir sudah siap saat ayahnya bisa mengatakan itu, tetapi dadanya justru terasa sakit dan sesak.
"Ibu mencintaiku! Tidak seperti dirimu!"
"Dia muak memiliki anak sepertimu!" teriak ayahnya sekali lagi. "Dia selalu berharap kau dapat menjadi putranya yang berharga, tetapi kau selalu mengecewakannya. Aku selalu berharap kau dapat membanggakanku. Dan sekarang ...."
Ayahnya seperti menahan diri. Namun, Oliver malah memaksanya. "Sekarang apa? Katakan saja padaku!"
"Sekarang kuharap kau bukan putraku! Kuharap kau membusuk dan mati!"
Tangis Oliver makin tumpah. Punggungnya bergetar meski hanya terdengar isak yang pelan. Remaja itu hanya menahan wajahnya dengan kedua tangan, tetapi kemudian tiba-tiba saja berteriak dengan sangat keras, mengambil pisau di atas meja dan berlari ke hadapan ayahnya.
Panik melihat hal tersebut, ayahnya ikut mundur hingga mencapai rak dapur, tetapi Oliver terus maju. "Oliver!"
Lalu pisau itu mengayun, dan terdengar pekikan keras. Ayahnya sempat memalingkan wajah dan menaruh tangan di pipi sebelah kanan. Terasa perih di sana, dan setelah menurunkan tangannya, dia menemukan ada noda merah yang berkumpul di telapaknya.
Setelah menemukan wajah ayahnya berdarah, Oliver menjatuhkan pisau itu dan kembali menangis. Dia menjatuhkan tubuhnya hingga berlutut, dan kembali menaruh kedua tangan untuk menutup wajahnya.
Namun, setelah beberapa detik malah terdengar tawa. Gelak tawa yang keras dan nyaring. Oliver tertawa meski matanya memerah. Ayahnya masih berdiri di sana, menatap anak itu yang entah sedang bahagia atau sedih. Malam itu mengungkap segalanya, benar-benar segalanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top