Chapter 13
"Siapa itu?" Ethan juga mendengarnya. Saat menyusul ke balik jendela, remaja itu terkesiap saat bisa melihat sendiri orang-orang tersebut. "Mereka ada di sini?"
"Kurasa orang-orang itu memang tidak tahu kata menyerah," geram Nash mengepalkan tangannya.
"Apa yang harus kita lakukan?" Nash menoleh, dan mendapati Ethan menatapnya penuh harap. Kalau mereka berhasil menemukannya, maka habis sudah.
Dalam ketegangan pendek tersebut, Nash berhasil berpikir cepat. Pria itu segera menunjuk lemari pakaian yang tadi baru diperiksa Ethan. "Masuk ke sana dan bersembunyi."
Ethan mengangguk, memahami situasinya. Dia merangkak masuk ke dalam lemari dan berlindung di balik pakaian-pakaian yang tergantung. Berusaha untuk tidak membuat suara sedikitpun. "Lalu apa?"
"Jangan keluar sampai kuberi tanda. Tetap di sini, akan kuhadapi mereka," perintah Nash dengan berbisik.
"Sendirian?" lanjut Ethan bertanya, tetapi Nash sudah menutup pintu lemari dengan hati-hati dan mematikan lampu. Begitu keluar kamar, dia bergegas meluncur ke bawah dan membuat penahan pintu dengan mendorong sofa di dekatnya. Meski tahu kalau itu tidak cukup untuk menghentikan mereka, tetapi Nash kali ini sudah siap.
Nash berdiri tegak, siap menghadapi siapapun yang berani masuk. Bahkan jika orang-orang tersebut memegang senjata api, Nash siap menggunakan tangan kosong. Hanya saja, Setelah menunggu sekitar tiga puluh detik, yang terjadi justru di luar dugaan. Bukannya mendorong atau bahkan membuka paksa, pintu justru diketuk dengan pelan.
"Kami tahu kau di dalam sana, Hawke." Walau ancaman yang terdengar menandakan ada yang tidak punya waktu untuk bernegosiasi. Bagaimanapun Nash tidak akan membuka pintu meski mereka memohon.
Kelihatannya orang-orang itu tidak bersenjata. Mungkin sejak awal mereka memang tak membawa apapun. Nash segera memanfaatkan situasinya. "Tinggalkan tempat ini sekarang sebelum kalian menyesal. Rumah ini menyimpan senjata api dan aku punya ijin untuk menggunakan senjata api jenis apapun," ancamnya dengan tegas. Tentu saja tak ada senjata api sungguhan, itu tidak lebih dari sebuah gertakan, dan sepertinya mereka akan percaya dengan pekerjaan Nash sebagai detektif yang dapat menggunakan senjata api. Meski dalam status tidak aktif, tetapi mana mungkin orang-orang itu tahu.
"Atau kalian bisa berdiam diri di sana dan menunggu petugas polisi datang, silahkan memilih," tambahnya. Nash juga bahkan belum menghubungi bantuan di Minneapolis ataupun Portland. Dia baru sadar kalau seharusnya itu jadi hal pertama yang dilakukan saat tiba di rumah Ethan.
"Kami tidak ingin membuang waktu di sini, Nash!" Dia berteriak lebih kencang, dan seketika suara lain meminta agar orang itu terdiam.
Lalu, dengan perlahan dan tenang orang yang kedua mulai berbicara. "Dengar, Nash, maaf sudah membuat kekacauan. Kami tidak ingin melakukan hal buruk atau apapun. Semua ini hanya salah paham."
"Simpan saja omong kosong itu untuk dirimu sendiri."
"Kami serius. Kami berdua dari Institut Kesehatan Mental Solace. Kami berdua ditugaskan untuk membawa anak itu ke Portland sebelum ini semua terjadi."
"Oliver kabur saat kami baru saja tiba di Portland," sambung lagi pria yang tadi berteriak.
Nash terdiam untuk beberapa saat. Institut Kesehatan Mental? Mereka dari rumah sakit jiwa? Jadi memang benar Ethan adalah pasien yang melarikan diri. Lalu Oliver? Apa itu nama aslinya. Nash buru-buru meragukan itu semua, bisa saja orang-orang tersebut hanya membuat cerita palsu. "Jangan bercanda denganku."
"Kami tidak bercanda," tegas lagi orang yang tadi menjelaskan. "Kami punya kartu identitas sebagai buktinya, kau bisa membuka pintu dan memeriksanya sendiri, detektif."
Mereka mulai terdengar sangat meyakinkan, dan Nash tidak menyukai itu. Namun, dia mendengarkan dan memutar gagang pintu, tetapi tidak benar-benar sampai membuka. Hanya agar ada sedikit celah yang dapat dilewati tangan, dan salah satu kemudian menjulurkan kedua kartu yang dimaksud.
David Parker dan Walter Campbell, terdapat foto wajah mereka berdua, tulisan 'Solace Mental Health Institute', jabatan mereka yang sama-sama sebagai petugas admisi, dan terakhir sebuah motto yang tidak benar-benar penting berada di sebuah kartu identitas, 'Empowering Minds, Restoring Lives'.
Kartu itu asli; terlihat meyakinkan. Namun, bahkan kalau kedua orang tersebut berasal dari rumah sakit jiwa, Nash masih tak mempercayai mereka. Terlebih setelah semua kejadian-kejadian dan interaksi yang telah mereka lalui. "Lalu kenapa kau menabrak kami saat di Missoula?"
"Kami tidak sengaja. Saat itu kau mendorongku lalu melarikan diri, David juga sangat mengantuk karena perjalanan panjang," jelas lagi pria yang nada bicaranya selalu marah tersebut. Jadi namanya Walter, dan yang lebih sopan adalah David.
Itu bisa menjelaskan satu hal, tetapi masih ada yang lain. "Dan kalian berusaha menculik Ethan saat di kamar mandi?"
"Ethan? Maksudmu Oliver? Itu terpaksa, karena kau harus tahu kalau anak itu lebih berbahaya daripada yang kau bisa bayangkan."
"Apa maksudmu berbahaya?"
"Dengar, Hawke. Setiap detik sangat berharga dan kami sudah kehilangan tiga hari. Apa kau tahu bagaimana lelahnya melakukan perjalanan ke Portland, lalu kembali lagi ke Minneapolis hanya untuk semua omong kosong ini? Buka pintunya dan akan kami jelaskan sisanya padamu," tukas Walter sekali lagi.
Nash terdiam cukup lama. Dia mendongak, seakan-akan melihat Ethan yang masih bersembunyi di dalam lemari. Entah apakah anak itu dapat mendengarkan percakapan yang terjadi. Apakah ini semua benar? Anak itu benar-benar pasien pelarian? Nash butuh banyak jawaban, dan satu-satunya cara untuk mendapatkan itu adalah dari penjelasan mereka.
Pada akhirnya, Nash memindahkan lagi sofa tersebut dan membuka pintu. Kedua orang tersebut bergegas masuk, dan melepaskan maskernya. Wajah yang sesuai dengan kartu nama yang tadi, Nash segera mengembalikannya.
"Senang akhirnya kau mau bekerja sama, detektif."
Mereka sama sekali tak bersenjata. David dan Walter juga sadar kalau Nash tidak memegang handgun apapun. "Tidak ada satupun di antara kita yang adalah ancaman."
"Selain anak itu," lanjut Walter. "Di mana dia?"
"Tidak sampai kalian menjelaskan semuanya," tegas Nash.
"Sudah kubilang, kami tidak punya waktu!" Walter maju dengan emosi, tetapi David menahannya dengan segera. Memintanya untuk tenang dan menatapnya seolah berkata 'biar aku yang mengurus ini'.
Walter menghela napas, dan mundur perlahan. Lalu David membersihkan tenggorokannya, siap untuk bercerita panjang.
"Akan kuceritakan semuanya tentang Oliver, tetapi kau harus mempercayai kami. Setelah itu, kau perlu menyerahkan anak itu. Kita sepakat?"
Nash tidak benar-benar mengatakan apapun, tetapi diamnya dianggap sebagai jawaban ya. Itu sudah cukup bagi David.
"Remaja itu—yang kau panggil Ethan—memiliki nama asli Oliver Drake. Delapan belas tahun, anak laki-laki dengan kehidupan bahagia bersama ayah tunggalnya di Minneapolis. Sangat menyukai baseball dengan tim favoritnya adalah Minnesota Twins. Dia juga bermain untuk tim Riverdale High. Namun, semuanya berubah begitu saja.
"Suatu malam Oliver tiba-tiba menyakiti ayahnya sendiri. Menurut kesaksian, awalnya anak itu marah tanpa sebab yang jelas saat makan malam, ayahnya pikir kalau itu hanya sifat tempramental Oliver yang selalu muncul beberapa kali, tetapi kemudian anak itu justru mengamuk, mengambil pisau dan mengiris wajah ayahnya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top