Chapter 1
Hanya dua orang yang turun ketika pintu bus akhirnya terbuka, sementara tujuh penumpang baru masuk. Kursi di busnya sudah semakin penuh saja.
"Permisi, apakah masih ada dua kursi kosong yang sejajar?"
Sebenarnya wanita itu tidak mau menanggapi apapun sekarang. Shift-nya sudah dilaksanakan sejak pukul sembilan malam, dan baru akan berakhir sejam lagi. Sebenarnya dia memang supir bus untuk rute malam hari, tetapi kali ini dia terpaksa mengambil hingga pagi karena salah satu rekannya sedang sakit.
"Nyonya, kau bisa berdiri hingga perhentian berikutnya atau mengambil bus lain yang lebih kosong. Aku tidak punya banyak waktu." Sebenarnya itu bukan permintaan yang egois, sudah enam tahun dia menjadi supir bus dan tidak sedikit penumpang dengan karakter-karakter mereka yang konyol.
Penumpangnya kali ini adalah wanita yang mungkin seumuran dengannya. Dia bersama seorang gadis kecil; entah putrinya atau keponakannya. Gadis yang kelihatan pemalu karena terus-menerus bersembunyi di balik tubuh wanita itu.
"Atau silahkan periksa sendiri nyonya, kau juga bisa bertanya ke seseorang kalau dia mau bergeser untukmu."
Dia hanya mengangguk, supir itu bernapas lega karena wanita tadi ternyata bukan tipe pemaksa. Sebenarnya dari spion tengah mudah untuk dipastikan kalau tak ada lagi dua kursi kosong seperti yang diinginkan wanita tadi. Ada satu tempat tersisa di kursi panjang paling belakang, satu lagi ada di tengah, tepi jendela.
Wanita itu berhenti pada kursi di tengah. Sebelahnya diduduki anak remaja laki-laki dengan jaket hoodie abu-abu yang sedang tertidur pulas. Dia agak heran menemukan ada orang yang tertidur di bus sepagi ini.
Karena tidak ingin membuang waktunya, wanita itu memberanikan diri untuk membangunkan remaja remaja tersebut, dengan sesopan mungkin memukul kecil pundaknya. "Hei, permisi, anak muda."
Tidak butuh waktu lama dan dia segera terbangun. Meregangkan tangannya dan menguap cukup lebar hingga menunjukkan air liurnya yang hampir menetes. "Maafkan aku karena sudah membangunkanmu. Begini, putriku tidak bisa berpisah denganku dan tidak ada lagi tempat kosong di bus ini. Lalu aku juga terburu-buru untuk menunggu bus yang lain jadi—"
"Siapa kau?" potong remaja tersebut dengan nada keheranan.
"Uh, maaf. Aku—"
"Di mana ini? Kenapa aku ada di sini?!" Wajahnya berubah panik, lalu berdiri dari tempatnya hingga cukup menimbulkan perhatian bagi seluruh penumpang, terutama karena suaranya yang keras. "Kenapa aku bisa ada di dalam bus?!"
"Woah, hei! Ada keributan apa di belakang sana?" Supir bus tadi menegur. Bus sudah akan berjalan kembali sebelum suara teriakan itu menghentikannya.
Sementara gadis kecil tadi mulai ketakutan dan memeluk ibunya. Wanita itu berusaha menenangkan keadaan "Hei ... tenanglah. Aku hanya ingin bertanya apakah kau bisa bergeser ke belakang."
"Di mana ini?! Kenapa aku bisa berada di sini?!"
"Oke, cukup sudah. Aku sangat kelelahan dan ini adalah penghujung shift-ku." Akhirnya supir itu ikut berdiri dari kursinya dan segera pergi ke sana. "Dengar, nyonya. Anda tidak harus membuat keributan hanya karena seseorang tidak mau bergeser dari tempat duduknya."
"Aku bahkan tidak memaksanya. Dia tiba-tiba saja berteriak," sanggah wanita tersebut.
"Di mana ini?!" Sekali lagi remaja itu berteriak dengan putus asa.
"6th Ave & Washington St. Kau melewatkan perhentianmu?" ucap supir bus dengan lemas.
"Washington? Aku di Washington?"
"Tidak, kau di Portland."
Dia tampak tidak menerima jawaban itu, dan sontak membuatnya melihat ke luar jendela. Matanya membelalak begitu melihat papan penanda dari toko buket di hadapannya, ada tulisan Portland.
"Apa kau baik-baik saja, anak muda?" Supir tersebut mulai ikut merasa ada yang salah.
"Kenapa aku ada di Portland? Kenapa aku bisa ada di sini?! Aku—" Dia terdiam sejenak, baik supir dan wanita itu di dekatnya berpikir mungkin dia akhirnya teringat sesuatu, tetapi yang dia katakan selanjutnya malah membuat hampir semua orang di dalam sana menjadi ketakutan.
"Siapa aku?! Siapa namaku?!"
***
Nash berdiri dari tempat duduknya sembari menahan napas, matanya ikut menutup. Dia tidak benar-benar siap untuk apapun yang akan dikatakan oleh kepala unit investigasi. Ini adalah saat dia akan menerima pernyataan untuk hukumannya. Tolong jangan terlalu lama.
"Nash, dengan berat hati aku katakan, kau ditarik dari kasus ini, dan aku harus memberimu skorsing selama dua minggu. Seluruh tindakanmu selanjutnya tidak akan berdasarkan hukum yang berlaku, dan pelanggaran yang mungkin saja terjadi selanjutnya akan dilaporkan ke hukum yuridis yang lebih tinggi."
Sebenarnya tidak sesuai dugaannya di mana dia berpikir akan mendapatkan skorsing selama sebulan penuh, tetapi itu masih saja lama. "T–Tapi, Crane, aku hanya tidak sengaja menabrak mobil seseorang, dan sudah kukatakan aku bersedia membayar biaya ganti ruginya," ucap Nash membela dirinya.
"Menabrak mobil seorang wanita tua yang kini mengalami shock dan mendapatkan perawatan rumah sakit, mungkin untuk beberapa hari ke depan, dan kita kehilangan informasi soal orang-orang pasar gelap itu. Sekarang mereka akan benar-benar tahu kalau polisi sudah bergerak semakin dekat."
"Tapi—"
"Dengarkan aku, Nash. Kau bisa saja mendapatkan skorsing selama sebulan penuh, atau lebih buruk, mungkin Chief akan menarik lencanamu. Aku sedang berusaha mempertahankanmu di sini, jadi sebaiknya terima saja itu," tegas lagi Crane, dan menutup percakapan mereka.
Pada dasarnya Nash masih bisa menerima. Memang seperti yang Crane katakan, bisa saja lencananya ditarik karena ulahnya di penyelidikan kemarin. Meski semua itu sebenarnya tidak sengaja, dan tim mereka masih dapat menemukan informasi yang lebih dari cukup. Crane adalah teman baiknya; sekaligus kepala Unit Investigasi Portland Police Bureau (PPB). Sudah bagus dia bisa memberinya hukuman yang lebih ringan.
Nash tidak benar-benar bernapas dengan lega, tetapi menghelanya panjang saat meninggalkan ruangan tersebut. Di depan pintu dia berpapasan dengan wanita berkulit gelap yang mengenakan seragam biru tua, bersama remaja dengan mata yang merah—sepertinya habis menangis. Mereka lalu masuk ke dalam kantor Crane dengan terburu-buru.
Saat Crane baru saja akan menuliskan sesuatu di atas kertas, seseorang masuk begitu saja ke dalam kantornya tanpa mengetuk pintu sedikitpun. Pikirnya itu Nash lagi yang masih ingin protes atas hukuman skorsing-nya, tetapi ternyata orang lain.
Seorang wanita—mungkin berumur tiga puluhan—yang mudah dikenali Crane sebagai supir bus dari seragamnya, dan remaja laki-laki—tujuh belas atau delapan belas tahun—yang menangis sesenggukan. Namun, yang menjadi perhatian Crane sesungguhnya adalah wajah dari supir bus tersebut yang tidak dapat menutupi kepanikannya.
"Ada yang bisa aku bantu ... nyonya?"
"Ya ... ini benar-benar gila, kau harus membantuku—maksudku anak ini." Jelasnya dan mendorong remaja itu untuk maju selangkah. "Dia tiba-tiba saja berteriak di dalam bus, dia bilang dia tidak tahu kenapa bisa ada di Portland. Dia bahkan tidak dapat mengingat namanya sendiri!"
Crane beralih ke remaja itu. "Apa itu benar?"
Dia mengangguk, lalu berbicara dengan suara yang bergetar seperti tubuhnya, "aku ... aku tidak ingat apapun."
Hal pertama yang membuat Crane kebingungan adalah seorang supir bus masuk ke dalam kantor unit investigasi. Karena masalah apapun yang terjadi di fasilitas umum seperti itu adalah milik divisi lalu lintas atau patroli. Namun, siapapun yang berada di unitnya akan tahu kalau remaja itu memang dalam masalah.
Crane mengambil gagang telepon di dekatnya, menekan satu nomor lalu segera berbicara. "Panggilkan aku Katerine." Lalu beralih kembali pada kedua orang itu. "Silahkan duduk, dan tenangkan dirimu, Nak. Semuanya akan baik-baik saja."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top