[31] On The Sofa, Please

***

Mereka berhasil memasuki Lantai Kematian tanpa harus memberikan jiwa mereka sebagai jaminan. Grand De Sah dan Grand de Jah menyambut mereka dengan segala keramahan, mengatakan kalau salah satu dari mereka pastilah 'penyelamat' yang ada dalam ramalan.

Shibisu dan Wangan di biarkan meladeni kedua orang tua tersebut, karena mereka lah yang cukup pintar dalam bersosialisasi dan bercakap-cakap. HwaRyun sudah pergi sejak mereka menjajaki kaki di Lantai Kematian, mungkin pergi ketempat dimana para pemandu dari ras RedWitch berziarah. Ehwa tampak membantu Miseng sementara Horyang tampak begitu asyik berdiskusi dengan Goseng tentang resep makanan yang bisa mereka coba untuk masak berdua di lain kesempatan. Hatz diam dan Lauroe seperti biasa tidur. Heran sejak kapan makanan di depan sang putra Phonsekal itu habis.

Endorsi di sisi lain menyantap makanannya dengan tenang. Sesekali membalas perkataan menyindir Anaak saat dirinya menyisihkan daging dari porsinya. Dirinya mendengus puas karena berhasil membuat Anaak terdiam saat matanya beralih ke seberangnya.

Baam dan Khun duduk tepat di seberang meja Endorsi. Khun seperti biasa menyantap makanannya dalam diam, sikapnya elegan dan penuh etika sama seperti yang di ingat oleh Endorsi tiap kali Khun makan bersama mereka. Baam di sisi lain juga makan dalam diam walau dia lebih memperhatikan percakapan yang terjadi di meja itu dengan seksama. Baik Baam dan Khun bukanlah orang yang vocal, keduanya memang menjadi anggota yang pendiam di antara kelompok mereka. Baam walau pendiam, tapi masih memiliki titik lembut dan ramah sehingga semua orang merasa nyaman berada di dekatnya. Sementara Khun adalah tipe pendiam yang selalu membawa aura bangsawan dan sekali nya berkata hanya akan membuat hati seseorang sakit.

Itu bukanlah hal yang aneh jika saat keduanya bersama, hanya akan ada keheningan yang damai. Shibisu bahkan pernah diam-diam berkomentar jika bukan karena kehadiran Rak di kelompok trio tersebut, mereka berdua mungkin akan tetap diam tak bertukar kata.

Walau begitu keduanya memiliki pemahaman diam-diam. Mereka hanya perlu saling bertukar tatap atau memanggil nama satu sama lain sehingga mereka akan mengerti apa yang mesti di lakukan selanjutnya. Yah, pemahaman diam-diam ini sepertinya tidak berlaku jika sudah berhubungan dengan perasaan. Hal yang mendasari Rak sering uring-uringan sendiri agar kedua kura-kura nya mau saling berdiskusi dan bicara dari hati ke hati.

Yah, sepertinya hal tersebut tidak di perlukan lagi sekarang. Rak tampak puas melihat kedua kura-kura nya sekarang tidak lagi tampak bodoh saling merindukan satu sama lain tampak menyadarinya.

Lihat saja sekarang ini. jika sebelumnya mereka berdua akan saling bertanya atau hanya akan diam mengurus piring masing-masing. Sekarang baik Baam dan Khun tanpa perlu persetujuan sudah saling mengambil apa yang ada di piring masing-masing. Apa yang tidak di sukai oleh Khun akan di ambil oleh Baam begitupun sebaliknya.

Acara makan malam itu berjalan lancar. Urek segera pergi entah kemana yang tahu sementara yang lain di ajak untuk berkeliling di sekitar istana para saudara Grand.

"Menurut mu apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Endorsi berbisik kepada Baam, "Para tetua itu juga tampaknya tidak mengingat diriku dan si Biru, mereka bahkan terkesan tidak mengenal kita semua. Bahkan orang di depan itu juga." Tunjuk Endorsi pada pria yang sekarang memandu mereka.

Khun dan Rak tampak berdebat di depan akan sesuatu yang dijelaskan oleh pria itu. Baam memandang interaksi kedua sahabatnya dengan senyum saat dia menoleh pada Endorsi, "Aku juga tidak tahu banyak, tapi mungkin itu ada hubungannya dengan Tuan Gustang."

Endorsi, "Tuan Gustang? Maksudmu kepala keluarga Poe Bi Dau itu?"

Baam, "Ya, bagaimanapun adalah dia yang sekarang menjaga lantai ini bersama dengan Nona Garaam."

Endorsi mengangguk. Mata nya yang cantik tampak berkilau saat dia dengan sikap acuh melingkarkan kedua lengannya pada satu lengan Baam. Memeluknya erat dan mesra.

"Nona Endorsi?"

"Apa? Apa salah jika aku ingin memeluk 'pacar' ku?" menekankan kata terakhir, mengingatkan Baam kalau status nya sebagai pacar sang Putri masih melekat padanya. "Lagipula aku juga memiliki hal yang harus dikatakan pada sang Putri Laut Dalam itu, pertanyaan yang dia ajukan beberapa tahun itu sudah aku temukan jawabannya."

Alis tipis Baam bertaut saat mata emasnya sesekali mencuri lirik kedepan, kearah Khun yang tampak masih sibuk berdebat dengan Rak.. Dia mencoba melepaskan genggaman Endorsi tapi tidak berhasil karena siapa yang tahu berapa banyak kekuatan yang di gunakan oleh Sang Putri. Baam tidak mungkin bisa melepaskan Endorsi tanpa tindakan kasar yang mana itu adalah hal terakhir yang ingin Baam lakukan. "Nona Endorsi, ini bukanlah hal yang pantas."

Endorsi mendengus, tidak mempedulikan saat dirinya mempererat pelukannya terhadap lengan kuat Baam. Tubuhnya dibiarkan lemas hingga bersandar pada Baam sepenuhnya.

Panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Jika ini terjadi sebelumnya, Baam pasti hanya akan pasrah dan membiarkan Endorsi menarik dirinya kesana kesini untuk memainkan peran sebagai 'pacar' yang di sematkan sang Putri kepadanya. Namun sekarang, setelah kejelasan hubungan nya dengan Khun, setelah dia dan Khun akhirnya bersama, Baam benar-benar tidak ingin lagi mengikuti kemauan Endorsi. Dia hanya ingin bersama si Biru kesukaannya dan melakukan hal-hal sebagai pasangan hanya dengan Khun seorang.

Mereka di antarkan kemudian ke salah satu sayap istana, tempat di mana kamar yang akan mereka tempati selama tinggal di Lantai Kematian. Semua orang mendapatkan kamar masing-masing kecuali Miseng dan Anaak yang berbagi kamar karena mereka tidak bisa begitu saja membiarkan Miseng yang masih kecil sendirian tanpa penjagaan.

"Aku mengerti kalau anak kecil itu harus berbagi kamar, tapi kenapa kau juga?" tanya Endorsi tak puas. Menatap Khun menantang saat dia masih memeluk lengan Baam erat. "Kenapa kau harus berbagi kamar dengan Baam? Jika itu karena masalah penyaluran energi kepada telur, bukankah kalian bisa mengambil kamar yang saling bersebelahan saja? Tidak harus berbagi kamar."

"Endorsi, ada apa dengan mu?" Shibisu menegur Endorsi sedikit jengkel dengan bagaimana temannya ini ternyata masih belum menyerah terhadap Baam. "Kau tahu sendiri, masing-masing kamar yang ada di sini luas dan besar, jarak tempat tidur dengan pintunya saja cukup lebar. Jika Baam dan Khun mengambil kamar yang berbeda walau itu bersebelahan, tetap saja itu tidak melingkupi area jangkauan telur untuk menyerap energi dari keduanya. Karena itu mereka harus satu kamar."

Endorsi masih ingin membuka suara untuk berdebat saat Rak berteriak marah. "Apa-apaan kau ini, Kura-kura Bermata Aneh?! Semua orang harus segera beristirahat dan kami semua harus menunda nya karena tingkah manja mu!"

"Kau..."

"Endorsi, aku mengerti perasaan mu, tapi kau tidak seharusnya melakukan ini." tegur Ehwa tegas, dan untuk pertama kalinya Endorsi tidak tahu harus berkata apa saat mata Ehwa menatapnya intens.

Ketegangan terasa begitu meyesakkan di suasana hening yang mencakupi mereka. Semua orang tahu benar perasaan sang Putri kepada sang Irregular mengingat sang Putri sendiri tidak pernah mencoba menyembunyikan ketertarikannya. Dan dari semua orang itu, Ehwa paling mengerti perasaan Endorsi karena dia sendiri juga memendam perasaan yang sama.

Ehwa pada dasarnya sudah lama menyerah walau perasaan itu masih bersarang dan menjangkiti hatinya. Dia sadar betul bahwa dia tidak akan bisa membawa kebahagiaan bagi Baam. Terbukti dari beberapa tahun mereka bersama di tim Asam-Manis sebelum pertempuran Workshop. Tidak peduli apa yang mereka lakukan, Baam yang saat itu masih memakai nama Viole tidak pernah sekalipun tersenyum. Terus berwajah murung dan dingin.

Saat dirinya melihat Baam akhirnya tersenyum, itu adalah saat Rak dan Khun menyambut Baam kembali. Wajah suram itu berubah cerah dan senyum lebar di wajahnya saat menerima pelukan erat dari Rak dan juga tatapan yang selalu muram itu tampak bersinar saat menatap lembut pada Khun yang mengawasi keduanya sahabatnya..

Ehwa pada saat itu menyadari kalau dia jatuh cinta pada Baam.

Tapi dia mundur bahkan sebelum bertarung. Itu karena dia melihat bagaimana antusiasnya sang Putri Zahard, Endorsi, terhadap Baam. Tahu kalau dia pasti akan kalah karena apa yang bisa dia bandingkan dengan sang Putri? Ehwa walau dia memiliki potensi yang besar, dia sendiri penuh dengan kekurangan. Endorsi di sisi lain memiliki banyak point positif yang yang tidak akan pernah bisa Ehwa lampaui.

Selain itu, Ehwa juga melihat bahwa Baam tampak jauh lebih bebas saat bersama dengan Endorsi jika dibandingkan dengan dirinya. Faktor lain yang membuat Ehwa mundur bahkan sebelum ikut bertarung.

Perasaannya yang tak kunjung hilang membuat Ehwa tanpa sadar akan mengamati semua hubungan Baam dengan orang lain. perlahan dia menyadari kalau Baam memiliki dinding tak terlihat yang tergantung ketebalannya untuk semua orang. Dirinya juga sadar kalau Baam walau tampak bebas dan terbuka bersama Shibisu dan yang lainnya, sang Brunette tampak tak nyaman di beberapa titik, Sama seperti saat Endorsi mendekati Baam, senyum di wajah Baam walau itu tampak terbuka tapi juga tampak bermasalah dan tidak pada tempatnya.

Hanya saat bersama dengan Rak dan Khun lah Baam tampak lebih bebas dan leluasa. Senyumnya tampak bebas tanpa membawa beban lain. Sikapnya tampak jauh lebih alami dan Ehwa tidak melewatkan bagaimana Baam tampak lebih nyaman saat berada di sekitar Khun.

Saat mereka di paksa berpisah, Ehwa yang ikut bersama dengan Khun, terkadang akan mendapati Khun yang tengah menghubungi Baam ataupun Rak lewat Pocket. Dan walau dia saat itu tidak melihat Baam secara langsung, Ehwa tahu bahwa sang Irregular terdengar jauh lebih ceria saat berbincang dengan Khun. Tiap kali mereka bertukar kabar saat satu tahun pemisahan sebelum menaiki Kereta Neraka itu, mata emas Baam tampak jauh lebih hidup tiap kali Khun bicara.

Apa dia perlu lebih banyak bukti lagi? Apa dia masih harus berjuang saat dirinya sendiri sadar bahwa dia tidak akan pernah bisa membawa kebahagian dalam kehidupan Baam?

Tidak seperti Khun yang selalu berhasil tidak hanya membawa senyum dalam hidup Baam hanya dengan kehadirannya saja, tapi juga membantu Baam menaiki menara dengan rencana-rencana brilian nya. Ehwa selama ini hanya menjadi beban dan malah menambah kesulitan Baam dengan dia yang terkadang di tangkap dan dijadikan sebagai sandera.

"Kita harus segera beristirahat." Ujar HwaRyun memecah ketegangan, pemandu berambut merah tersebut berjalan acuh menuju salah satu kamar. "Besok, kita semua memiliki sesuatu yang harus di lakukan, adalah baik untuk menjaga tenaga kalian sedari sekarang."

"......"

"Kapan kau kembali?" gerutu Ehwa sebal melihat kepergian sang Pemandu.

Endorsi masih tampak ingin berdebat tak mau dipisahkan dengan Baam, tapi pada akhirnya dia kesal juga mendengar omelan Rak dan juga Anaak. Menghentakkan kakinya dengan keras saat berjalan menuju kamar yang hendak di tempati oleh Miseng. Dengan kasar menutup pintu di depan gadis kecil tersebut.

Goseng menarik Miseng menjauh saat mata dibalik kacamata bundarnya menatap pintu yang baru saja di tutup oleh Endorsi dengan sanksi. Dia ingin marah tapi tidak bisa dan lebih memilih untuk diam saja. Shibisu hanya bisa menghela nafas saat mengumankan perkataan maaf kepada Miseng dan yang lain. Hatz melempar Lauroe ke salah satu kamar saat dirinya mencari kamar lain. Rak setelah mengambil banyak persediaan pisang nya dari adalam lighthouse Baam sudah pergi ke mengambil kamar sendiri.

"Selamat beristirahat Baam, aku tahu kau pasti sangat lelah dengan semua ini." Shibisu menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal dengan canggung.

"Tentu, Tn.Shibisu. Kalian juga harus beristirahat." ujar Baam mengukir senyum kecil, senyum yang selama lima tahun belakangan hilang dan kembali lagi. "Aku tidak tahu apa yang dimaksud oleh Nona HwaRyun, tapi apapun itu mungkin sangat penting sehingga dia ingin kalian ikut."

Pemuda yang gemar memakai pakaian olahraga itu mengangguk mengerti. "Kalau begitu, selamat malam kalian berdua. Jangan berbuat yang aneh-aneh, bagaimanapun kita ada di tempat yang tidak kita kenal."

"Diam lah, Isu!" desis Khun kesal.

"Kalau begitu, selamat malam, Tn. Shibisu."

"Selamat malam, Baam, Khun."

Irregular brunette itu segera berbalik saat pintu besar kamar mereka tertutup rapat. Senyum canggung terukir di wajahnya saat menghampiri sang Bluenette yang acuh mengakomodasi tata letak telur raksasa di samping ranjang besar di sana. "Aguero, aku..."

"Baam, besok kau akan bertemu dengan Putri Garaam bukan?" potong Khun, "Yang lain mungkin harus menjalankan tugas dari sang pemandu itu, jadi hanya aku yang akan menemani mu bertemu dengan Putri Garaam. Tenang saja, aku akan menjaga jarak sehingga tidak harus mendengarkan percakapan kalian jika kau tidak ingin aku mendengarnya."

"Apa? Tidak tentu tidak begitu, aku tidak masalah jika kau ikut mendengarkan." Setelah semua masa lalu dan identitas asli ku pasti berhubungan erat dengan diri mu sendiri.

"Aku ingin kita bersama, Aguero, aku tidak ingin lagi harus berpisah." Ujar Baam mengenggam kedua tangan Khun, mata emasnya memancar dengan tekad pasti. "Aku ingin kita bersama melewati semua ini, berpetualang di menara baik itu susah dan senang, aku ingin kita selalu bersama mulai sekarang. Tidak, aku sudah lama menginginkan agar kita bersama. Yah walau sekarang aku rasa konteksnya lebih kompleks."

Khun tertawa kecil, maju memberikan ciuman kecil di bibir Baam. "Kau tahu, kata-kata mu seperti sumpah pernikahan saja."

Manik emas sang Irregular berkilat sekilas saat Khun menciumnya, suaranya rendah saat berkata. "Bukankah memang seharusnya kita menikah segera, setelah semua yang kita lakukan dan bagaimana kita akan menjadi 'orang tua' setelah ini?"

"Hmm, kau tahu aku tidak akan pernah menolakmu," Bluenette berucap sambil bersenandung lembut, bersandar kedepan saat Baam maju mengesekkan kedua hidung mereka dengan gerakan manja. "Tapi kau tahu sendiri, kau harus bisa membuat Paman Zahard dan Ayah ku untuk bisa menerima mu,"

Irregular itu mengeram, jelas tidak senang di ingatkan dengan tugas besarnya tersebut. Dirinya yang diramalkan akan membunuh sang Raja Menara pada akhirnya harus menundukkan kepala untuk meminang Pangeran Putra Mahkota –nya yang tercinta. Jika Arlene benar-benar masih ada dan berkeliaran di sekitar menara sekarang ini, dipastikan wanita yang penuh dendam itu akan semakin marah dan keluar dari persembunyiannya.

Bibir keduanya bertemu dalam ciuman manis. Saling mengecup dan menyesap rasa masing-masing dengan lembut. Baam baru saja hendak menarik Khun mendekat saat si Biru berguman di bibirnya.

"Baam, kau tidur di sofa malam ini, oke?"

.

.

.

Tbc~

08 Nov 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top