The Thousand Door Building
***
Itu adalah hari yang cerah.
Langit bersih dengan hanya sedikit awan tipis yang menghiasi, putih tampak begitu kontras di antara biru yang mendominasi. Itu indah, namun karena hal itu juga membuat matahari bersinar terlalu terang tanpa ada penghalang dari awan sehingga hawa panasnya sangat terasa.
"Shibisu, aku bersumpah akan mencincang mu jika ternyata ini semua tidak lebih dari rencana bodoh mu lagi!" seru Khun, seorang pemuda dengan surai biru keperakan yang tampak berkilau di bawah cahaya matahari. Di kedua tangannya terdapat masing-masing kipas portabel yang bekerja mengirim angin yang cukup untuk meredakan panas yang menyerang si Biru.
"Oh anak-ku sayang, jangan terlalu kejam." Shibisu melirik Khun yang duduk di kursi belakang lewat kaca spion. "Aku yakin kau juga akan bersenang-senang nantinya."
Khun melototi teman berkepala cepak itu dengan mata kobaltnya. Dengan ketus dia menerima tissue pemberian Wangnan yang duduk di sampingnya. Mengelap peluh yang membasahi dahi dan wajahnya.
Wangnan melihat jalanan dari kaca jendela, melihat jalanan macet yang mengundang emosi juga panas tiap detiknya. "Ah! Dek! Adek! Kakak beli minumannnya!" seru pemuda itu ketika seorang anak kecil yang tampak berkeliling menjaja minuman ringan di sepanjang barisan kendaraan macet berada tak jauh dari mobil mereka.
Hatz mengipasi diri sendiri dengan kipas lipat darurat –kertas yang dilipat. Mata ravennya mengerling pada Khun dengan ketidak sukaan yang jelas. "Hei Anting, bisakah kau lepaskan satu kipas portabelnya? Kenapa kau malah memonopolinya sendiri?"
"Huh? Ini milikku, apa yang salah hah?"
"Kau..."
"Tch, kalian berisik!" gerutu Lauroe dari kursi barisan terakhir.
Pemuda dengan mata emerald itu menempati kursi belakang untuk dirinya sendiri. Berbaring dengan selimut tebal menutupi tubuhnya. Membuat Khun terheran-heran bagaimana bisa temannya yang satu itu bertahan dengan hawa panas begini.
"Hatz! Kau tidak bisa menghidupkan AC mobil! Bahan bakar kita nanti cepat habis!" tegur Shibisu saat melihat teman yang duduk di kursi penumpang di sebelahnya menghidupkan AC. "Diamlah! Ini terlalu panas!"
"Umph, kenapa AC mobilmu mengeluarkan aroma yang membuatku mual?" Khun menutup mulutnya saat rasa mual menghantamnya.
"Well sorry! Mobil ku ini hanya mobil rental!" seru Shibisu sambil mematikan AC mobil terlepas dari keluhan Hatz. "Tentu kau merasa tidak nyaman, lagipula kau terbiasa menggunakan mobil mewah keluarga mu."
"Karena itulah seharusnya kita pergi menggunakan salah satu mobil Khun saja!" ujar Wangnan setelah menghabiskan botol minum kesekian.
Shibisu memutar mata dramatis, "Semua mobil Khun hanya memilik empat kursi termasuk untuk kursi pengemudi. Mana mungkin kita semua bisa masuk."
"Bukannya kita tidak bisa mengikat Lauroe di atap mobil." Guman Khun pelan namun masih cukup keras untuk didengar semua orang. Hatz yang menderita karena tidak bisa menghidupkan AC dan harus terus mengipasi diri dengan kipas daruratnya, "Ya itu ide yang bagus."
"Tunggu kalian, bukankah kalian begitu kejam!"
"Well aku tidak keberatan juga."
"Lauroe! Aku mencoba membantu mu disini!!"
.
.
.
.
.
Khun menatap gedung besar didepannya dengan mata jengkel dan kekesalan yang begitu jelas.
"Jadi, kau membuatku menderita di cuaca panas ini hanya untuk kemari?!" tanya Khun melempar salah satu kipas portabelnya, tepat mengenai kepala Shibisu dengan keras. "Kau menyeretku dari apartemen ku yang sejuk dan mewah hanya untuk datang uji nyali kemari?!"
Pemuda yang hobi memakai ornament ungu tersebut mengelus kepalanya yang benjol saat dia menjelaskan. "Ayolah, Khun my love, aku tentu tidak mengajak kita kemari untuk uji nyali. Kita disini untuk mempelajari sejarah!"
"Dan kau pikir aku percaya?! Jelas kau kemari hanya untuk permainan Uji Nyali!"
Gedung itu adalah gedung besar dan memiliki desain arsitektur bergaya eropa kuno. Merupakan salah satu peninggalan masa lalu dimana tanah tempat mereka berpijak dijajah oleh bangsa di seberang lautan. Membuat bangunan itu sendiri memiliki banyak kisah sejarah yang menyelimutinya. Dan karenanya banyak dari kisah itu bukanlah kisah yang indah.
Bangunan yang awalnya didirikan oleh salah satu perusahaan eropa di masa lalu yang mana menjadi awal sejarah perkembangan kereta api di tanah ini. Bangunan itu ditinggalkan dan berpindah tangan beberapa kali hingga kemudian menjadi saksi bisu semua kekejaman manusia di masa penjajahan.
Dengan banyaknya ruangan dan pintu disana. Bangunan Seribu Pintu menjadi nama yang digunakan oleh masyarakat dari generasi kegenerasi.
"Halo, apa kalian kelompok yang menyewa pemandu?" seorang gadis dengan eyepacth yang menutupi sebelah matanya mendekati kelompok itu. Surai merahnya tampak begitu mencolok di tengah hari yang panas ini.
Shibisu mengangguk dengan antusias. "Ya! Itu kami!"
Gadis itu memperkenalkan dirinya sebagai Hwaryun. Salah satu guide yang bertugas membimbing para wisatawan untuk berkeliling.
Khun dengan sikap bersungut-sungut mengikuti. Perlahan dia tenggelam juga dalam penjelasan yang diberikan oleh Hwaryun perihal sejarah bangunan yang tengah mereka kunjungi. Walau sebenarnya Khun sudah mengetahui semua sejarah itu lewat buku-buku sejarah di perpustakaan. Ada beberapa hal yang tidak pernah Khun ketahui.
Seperti misalnya beberapa pantangan yang sungguh Khun tidak ingin percayai. Tapi mengikuti nasehat kakaknya, dimana tanah dipijak disana langit di junjung, Khun hanya diam dan memilih untuk menuruti semua larangan yang di peringatkan oleh sang pemandu.
Walau sebenarnya semakin dia dilarang semakin besar rasa penasaran di dalam diri Khun tumbuh.
"Hei, apa kita tidak bisa mengunjungi ruang bawah tanah?" kata Wangnan sambil menunjuk tangan yang mengarah kebawah. Didepan sana terdapat pagar jeruji disertai tanda larangan.
Hwaryun hanya melirik sekilas sebelum dengan acuh menjelaskan, "Tidak bisa, setelah beberapa tahun ini ruang bawah tanah sudah dilarang dibuka untuk umum."
Shibisu mendesah kecewa, "Sayang sekali, aku sangat ingin melihat penjara di sana." Mengangkat kamera ditangannya, Shibisu menjelaskan. "Tugas sejarahku untuk membuat sebuah artikel akan menjadi sangat sempurna dengan foto tempat-tempat itu."
Hatz mengeryitkan dahinya bingung, "Tunggu! Tugas sejarah yang mana?"
"Hah? Tentu saja tugas yang di berikan oleh Dosen Gustang! Untuk mata kuliah Sejarah kita! Jangan bilang kau lupa?"
Pemuda bersurai hitam itu terdiam lama. Tampak berpikir mencoba mengingat apa benar ada tugas yang dimaksud. Lauroe yang sedari awal diam mengikuti menguap malas, "Memang ada tugas itu, aku sudah menyelesaikannya sih."
"Apa?! Kau serius?!" Hatz menatap Lauroe tak percaya, "Hei Anting! Bagaimana dengan mu?"
Khun menatap Hatz seakan Hatz adalah orang paling idiot di dunia. "Aku tidak. Aku juga tidak mengambil kelas sejarah dengan Prof. Gustang. Selain itu aku jurusan BISNIS!" katanya menekankan kata terakhir.
"Hehehe, aku jurusan teknik. Jadi aku tidak tahu menahu juga." Wangnan nyengir.
Hwaryun mengabaikan kerusuhan yang ada di kelompok tersebut saat dia terus mengajak mereka berkeliling. Menjelaskan lagi beberapa hal dan mengingatkan akan pantangan yang ada.
Shibisu dengan tekun mendengarkan saat dia mengambil beberapa foto sudut bangunan itu dengan kamera ditangannya. Mengarahkan lensanya ke salah satu menara kecil di bangunan itu. Shibisu mengintip dari lubang lensanya saat dia terkejut hingga hampir menjatuhkan kameranya.
Bingung menyiram wajahnya yang memucat saat dia sekali lagi mengintip. Matanya berkedip beberapa kali saat sekali lagi melihat bayangan putih yang tampak bergerak bolak balik di menara tersebut.
Mungkin hanya petugas kebersihan, batinnya saat dia mengarahkan kameranya kearah lain. mencoba menepis dugaan gilanya.
Wangnan sedari tadi sibuk mengacau. Beberapa kali dia menyentuh dengan penasaran benda-benda yang berada disekitarannya. Hwaryun sudah lelah untuk menegur pemuda pirang itu terus menerus.
Melihat bahwa Hwaryun sang pemandu lebih fokus menjelaskan hal-hal pada Shibisu. Wangnan menyeringai senang saat dia menarik Khun untuk berpisah dari kelompok. Mereka berhenti tepat di depan pintu jeruji yang terkunci. Didepan sana tangga yang turun hingga kebawah tampak begitu suram dan gelap.
Melepaskan genggaman Wangnan terhadap pergelangan tangannya, Khun menatap teman pirangnya itu dengan mata jengkel. "Apa yang kau lakukan? Jangan coba-coba berlaku konyol!"
"Ayolah Khun, tidak kah kau penasaran?" bujuk Wangnan, "Penjelasan guide tadi tentang penjara dan penyiksaan di bawah sana, bukankah itu membuat mu penasaran dengan bagaimana tempat itu terlihat."
"Well, aku sudah melihat bagaimana rupa tempat itu." Khun menunjukkan layar ponselnya. Yang menunjukkan sebuah tempat gelap dengan lubang persegi yang mungkin ukurannya tidak lebih dari 1mx1m. Jari ramping pemuda itu menylide ke gambar selanjutnya dimana menampakkan deretan bilik-bilik kecil disana. "Sudah bukan, ayo kita kembali."
"Ya ampun Khun! itu hanya sebuah foto! Bagaimana bisa dibandingkan dengan melihatnya secara langsung!" renggek Wangnan.
Mendengus pelan, Khun hanya berbalik pergi. "Terserah padamu saja, tapi jangan ajak aku."
Cemberut. Wangnan melihat punggung sempit teman nya itu menjauh. Berbalik, dia melihat pemandangan tangga di depannya. Tangannya gatal ingin menghancurkan gembok yang mengunci pintu jeruji yang memisahkan dia dengan destinasi yang ingin dia jelajahi.
Helaan nafas panjang dia keluarkan saat telinganya mendengar suara seperti sesuatu yang diseret.
Alisnya bertaut heran saat suara itu bersumber dari arah tangga di depannya. Rasa penasaran pemuda itu membuat dia bergerak lebih dekat, bersandar ke pintu jeruji saat dia ingin melihat lebih jelas sumber suara yang dia dengar.
Sebuah siluet tampak merangkak di tangga. Wangnan melebarkan matanya berharap melihat lebih jelas saat kemudian dia bersitatap dengan mata berwarna hijau yang bersinar dalam gelapnya tangga. Hijau mata itu sangat berbeda dengan hijau mata Lauroe dan itu juga mengirim rasa dingin menyebar di punggung Wangnan. Siluet itu terdiam sejenak saat menatap Wangnan sebelum kemudian suara geseakan itu terdengar semakin cepat dan mendekat.
Wangnan tidak tahu apa itu. Tapi dia yakin apapun itu yang mencoba mendekat dengan kecepatan yang tidak manusiawi adalah sesuatu yang seharusnya tidak dia dekati.
Mundur dan tersandung hinga jatuh, Wangnan dengan cepat kembali bangkit dan langsung berbalik lari.
Tidak mau menolehkan kepalanya kebelakang.
.
.
.
.
.
"Eh? Dimana Wangnan dan Khun?"
Shibisu bertanya saat dia tidak mendapati kehadiran kedua temannya itu di belakangnya. Hatz melirik acuh, "Entahlah, Wangnan pasti berbuat ulah lagi."
"Dan Khun mencoba menahannya." Sambung Lauroe malas.
"Aku terkejut kenapa mereka masih belum pacaran." Gerutu Shibisu kesal. "Yah dengan Khun bersamanya, pasti semuanya akan baik-baik saja. Kita bisa lanjutkan, Nona Hwaryun." Ujarnya sambil kembali melanjutkan langkahnya tadi, di ikuti oleh Lauroe dan Hatz.
Hwaryun tidak langsung mengikuti. Mata merahnya melihat koridor temaram di depannya dengan tatapan rumit.
"Nona Hwaryun?"
"Aku kesana."
.
.
.
.
.
"Dimana sih mereka?" keluh Khun saat dia tidak juga menemukan Shibisu dan yang lainnya. Mengeluarkan ponselnya, berniat memanggil siapapun yang bisa dia hubungi. Berdecak sebal saat Shibisu ataupun Hatz terlebih Lauroe tidak ada satupun yang mengangkat panggilannya. "Apa mereka sebegitu senangnya mendengar omongan gadis pemandu itu sampai tidak mengangkat telfon ku?!"
Dia sudah berkeliling di sekitaran lantai dua bangunan itu untuk beberapa lama dan masih belum juga menemukan Shibisu. Sesekali dia bertemu dengan kelompok wisatawan lain, bertanya pada mereka, mereka sendiri tidak tahu karena baru saja masuk.
"Tuan, apakah anda bisa menghubungi teman anda?" tanya Khun pada pemandu wisatawan yang dia temui.
Pemandu itu, seorang pria dengan perawakan kecil dan rambut perak. Mengangguk mengiyakan saat dia mengeluarkan walkie-talkie nya. "Omong-omong, pemandu yang mana yang menjadi pemandu kalian?"
"Seorang gadis dengan surai merah cerah, bernama Hwaryun."
Lelaki pendek itu mengangguk sebelum kemudian menekan nomor saluran di walkie-talkie nya. "Hwaryun, kau disana?"
Ssst ssst "Ya, ada apa kau menghubungiku?"
"Salah satu klien mu mencarimu, seharusnya kau tidak membiarkan dia terpisah." Tegur Pemandu itu, Evan namanya.
"Bukan niatku juga untuk terpisah," ujar Hwaryun dari seberang sana, "Ya sekarang kami ada di lantai 1, katakan padanya untuk kesana, kami akan menunggu."
Evan berguman sebagai jawaban sebelum menoleh kepada Khun yang sedari tadi memperhatikan. "Begitu katanya."
Pemuda biru itu mengangguk sambil mengucapkan terima kasih kemudian pergi. Evan memperhatikan kepergian pemuda biru itu sebelum kemudian tersentak saat sekelompok wisatawan yang tengah dia bimbing berteriak.
"Ada apa?"
Salah satu gadis diantara kelompok itu menunjuk jendela dengan tangan gemetar, "Ta-tadi, ada tangan besar disana."
Teman gadis itu mengangguk cepat dengan sikap gugup, "Benar! Itu tangan yang sangat besar!"
Evan menghembuskan nafas lelah, "Tidak apa, itu hanya salah satu penghuni disini. Selama kita tidak menyinggung mereka, kita akan baik-baik saja."
.
.
.
.
.
Wangnan berlari hingga nafasnya tidak beraturan. Dia tidak berhenti bahkan saat dia bertemu dengan tatapan bertanya para wisatawan yang tidak sengaja di tabrak. Dia entah bagaimana tahu kalau dirinya masih dikejar. Dan sekarang apa yang ingin Wangnan inginkan adalah tempat untuk bersembunyi.
Dia bahkan tidak menyadari kalau dia baru saja menabrak Khun.
"Wangnan? Kenapa kau lari begitu?" Khun menatap heran temannya yang terus berlari tanpa menoleh bahkan kepadanya.
"Hei! Wangnan! Tunggu!" seru Khun mengejar teman masa kecilnya itu sambil mengumpat bagaimana mungkin lari Wangnan lebih cepat dari yang sebelumnya.
Saat mencapai belokan koridor, Khun bersumpah dia mendengar suara pintu terbuka dan tertutup. Sehingga pemuda biru itu bingung sendiri saat mencapai koridor tempat dia kehilangan Wangnan.
Disepanjang koridor terdapat banyak pintu. Dan semua pintu itu terkunci dan terdapat tanda larangan untuk masuk. Menyusuri koridor temaram tersebut, dia mencari-cari pintu yang kemungkinan terbuka. Mata kobaltnya melihat satu pintu yang terdapat tanda larangan yang lebih besar dari yang lain. Namun anehnya pintu itu tidak terkunci ataupun tergembok.
Mungkin dia kesini?
"Wangnan, kau didalam?" Khun mendorong pelan pintu itu. Alisnya bertaut saat ruangan itu hanyalah ruangan penuh debu dan sudah tua, Wangnan tidak ada di sana.
Sepertinya ruangan itu adalah sebuah kamar seorang Tuan Muda di masa lalu. Terlihat dari adanya sebuah ranjang berukuran king size di sudut ruangan. Itu adalah ranjang yang mewah dan membawa kesan royal kerajaan eropa, bahkan walau ranjang itu sudah tua dan rusak dan penuh debu, Khun masih bisa melihat kalau ranjang itu masih indah.
Sebuah meja kecil di samping ranjang dengan sebuah tempat lilin yang sudah meleleh disana. gorden yang sudah usang dan jatuh kelantai. Sebuah rak di salah satu sisi dinding berisi beberapa buk, banyak buku lainnya jatuh berserakan di lantai. Sebuah noda coklat mencurigakan di lantai yang hampir tidak terlihat karena tertutup debu, namun mata kobalt Khun dengan tajam menangkapnya.
Ini... ada yang mati disini, setidaknya di masa lalu...
Khun merasa tidak enak. Melihat Wangnan tidak ada disini, Khun memilih untuk segera pergi saat hembusan lembut angin terasa. Membuat pemuda biru itu merinding heran hingga membuat langkahnya terhenti.
Angin itu berhembus pelan pada awalnya sebelum kemudian perlahan menjadi lebih kuat hingga mengganas. Menerbangkan debu-debu di ruangan tersebut beserta benda-benda kecil yang mudah terangkat. Samar-samar diantara kekacauan angin tersebut, Khun bisa mendengar suara hempasan pintu. Membuat kepanikan perlahan tumbuh di hatinya.
Sambil melindungi matanya dari angin yang membawa debu, Khun dengan segera mencapai pintu. Menghela nafas lega saat dirinya tidak terkunci.
Pemuda itu segera keluar dan tanpa berbalik dia langsung pergi begitu saja.
Meninggalkan sosok yang memakai pakaian seorang perwira tentara di dalam ruangan itu, menatapnya dengan mata emas yang bersinar cerah.
.
.
.
.
.
"Aku benar-benar berterima kasih pada anda, aku tidak tahu harus kemana tadi." Ujar Wangnan sembari mengukir senyum lebar di wajahnya. Matanya berkilauan menatap sosok cantik di depannya.
Sosok itu, seorang gadis dengan wajah cantik dan sangat menarik. Surainya coklat pendek dengan hiasan pita merah. Memakai pakaian yang menurut Wangnan mirip dengan pakaian ghotic yang tengah populer belakangan ini. Berwarna orange lembut yang tampak begitu anggun di padukan dengan sepatu emasnya yang berkilau.
Ah, dia pasti Nona Muda dari keluarga lainnya. Heran, kenapa aku tidak pernah bertemu dengannya di pesta?
"Tidak masalah, aku juga senang bisa membantu." Ujar gadis itu dengan senyum arogan namun tetap terkesan bebas. "Tapi aku ingatkan padamu, kau tidak seharusnya memasuki ruangan di tempat ini secara acak. Kau beruntung aku menarikmu keluar sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi."
Wangnan nyengir, "Hehe, aku terlalu panik tadi. Lagipula siapa yang tahu, mungkin saja aku malah menemukan harta karun! Kebanyakan ruangan di gedung ini sudah terkunci sejak kemerdekaan, bukan tidak mungkin jika ada peninggalan bersejarah dan harta benda yang bernilai yang masih tertinggal."
Gadis itu hanya diam mengukir senyum penuh arti. Tidak menjawab ataupun membantah.
"Ah omong-omong, ruangan yang sebelumnya, apa kau tahu sesuatu? Selain debu yang sangat tebal di sana, sebenarnya ruangan itu bisa dikatakan cukup rapi." Tanya Wangnan penasaran.
Gadis itu berguman pelan saat dia menoleh menatap Wangnan, "Itu adalah ruangan milik salah satu Tuan Muda di masa lalu. Apa kau tahu ceritanya?"
"Ah, aku tidak terlalu, bisa kau ceritakan?" ujar Wangnan antusias.
"Tentu!" sanggup gadis itu sambil mengukir senyum, "Seperti yang kau ketahui, gedung ini sejak awal ada untuk keperluan bisnis. Setelah banyak berpindah tangan, suatu hari kepemilikan gedung ini jatuh ketangan salah satu keluarga Bangsawan Eropa. Salah satu putra dari keluarga bangsawan itu datang kemari untuk mengurus bisnis secara langsung."
"Ruangan yang tadi, adalah kamar yang ditempati oleh Tuan Muda itu. Dia tinggal disini dan mengawasi bisnis keluarga hingga kemudian pertempuran pecah dan tempat ini dijadikan oleh para tentara sebagai tempat berlindung yang kemudian mengundang sekelompok tentara penjajah datang dan pertempuran terjadi di sini. Terjadi pembantaian besar-besaran dan Tuan Muda itu tidak sempat melarikan diri saat dia terkurung di kamarnya sendiri saat para tentara musuh datang hendak menangkapnya."
"Tuan Muda itu berasal dair keluarga Bangsawan, jadi wajar dia memiliki harga diri dan juga sikap tidak mau diperintah yang keras. Dia menolak direndahkan untuk menjadi tawanan. Jadi dia mengambil langkah ekstrim,..."
Wangnan menghirup nafas dingin, otaknya sudah memiliki dugaan.
"Tuan muda itu bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri dengan sebuah pistol. Dan itu bukan sembarang pistol yang dia gunakan."
"Sebenarnya pada saat datang kesini, Tuan Muda itu menjalin hubungan baik dengan salah satu letnan tentara yang bertugas. Mereka dekat dan bahkan menjadi sahabat baik. Mereka bahkan sering bertukar surat. Tentara itu tahu kalau ada kemungkinan mereka akan diserang jika perang pecah, jadi dia menghadiahi pistol kesayangannya pada Tuan Muda sebagai alat perlindungan diri. Tapi bukannya untuk melindungi diri, pistol itu malah menjadi alat yang mengantarkan Tuan Muda itu kekematiannya. Malang sekali."
Pemuda pirang itu terdiam sejenak, "Lalu, apa kau tahu nasib perwira tentara itu?"
Mata amber gadis itu melirik Wangnan, "Tentara itu datang tidak lama setelahnya, berhasil mengusir para tentara musuh di depan kamar Tuan Muda, namun saat dia berhasil membuka pintu kamar itu untuk melihat temannya, yang dia temukan adalah mayat temannya dengan pistol yang dia berikan."
"Itu,... sangat tragis." Ujar Wangnan lemah.
"Benar, memang sangat tragis." Ujar gadis itu pelan.
Wangnan tidak tahu bagaimana harus memberi komentar lain. Saat dirinya melihat Shibisu dan yang lain di bawah tangga. Dirinya dengan cepat mendekati mereka sambil berseru gembira.
"Ah benar! Sekali lagi terima ka--"
Gadis itu mengukir senyum arogan, menikmati wajah pucat pemuda pirang yang berada beberapa tangga di bawahnya. "Tentu, manusia bodoh!"
Keseimbangan Wangnan menghilang saat rasa takut menghujamnya. Karena sedari tadi dia fokus hanya melihat wajah cantik gadis itu. Baru sekarang dia memiliki kesempatan untuk melihat kebawah, menyadari sebenarnya kalau kaki dengan sepatu boot itu bahkan tidak menapak ke tanah.
Heck! Gadis itu melayang!
Dan apa-apaan dengan pakaian bergaya ghotic! Bukankah pakaian gadis itu adalah pakaian Noni Belanda!
"Wangnan!!"
Suara teriakan Shibisu menjadi apa yang Wangnan ingat terakhir kali sebelum pandangan menggelap.
.
.
.
.
.
Khun menahan kepalanya yang mendadak diserang rasa pusing. Setelah keluar dari ruangan aneh tadi, rasa pusing dikepalanya sudah terasa. Dan itu semakin menyakitkan tiap langkah yang dia ambil.
"Aguero, apa kau baik-baik saja?"
Mengangkat kepalanya berat, dahi pemuda itu mengernyit melihat saudari sepupunya. "Maria? Apa yang kau lakukan disini? Dan apa-apaan dengan pakaian mu itu?"
Maria mengukir senyum kecil saat dia mendekati Khun, membimbing pemuda itu kesuatu arah. "Aku datang kemari bersama teman-temanku, tidak menyangka akan menabrak mu begini. Dan ini pakaian baru ku, bukankah itu indah?"
Khun hanya berguman sebagai tanggapan. Rasa pusing di kepalanya terlalu menyakitkan hingga dia hanya mengikuti kemanapun Maria mengantarnya.
"Dan disini, kau beristirahatlah disini. Kau terlihat tidak sehat." Ujar Maria sambil membukakan pintu, mendorong Khun masuk saat dirinya sendiri tidak ikut masuk, hanya tetap berdiri di ambang pintu dengan senyum lembut di wajahnya. "Semoga waktumu menyenangkan."
Blam
'Maria' menutup pintu itu tersebut. Sedetik kemudian perawakan nya berubah dari surai gradiasi birunya yang berubah menjadi coklat begitupun manic matanya. Itu adalah gadis yang sebelumnya bersama dengan Wangnan.
"Kau berhutang terima kasih pada-ku, Tuan Tentara!"
.
.
.
.
.
Keringat yang membasahi keningnya di hapus dengan lembut. Surai lembutnya di elus dengan geakan pelan dan penuh kasih sayang.
Perlahan kelopak mata itu terbuka, menampilkan manic kobalt nya yang masih belum terfokus. Menoleh, pemilik manic kobalt itu menatap sosok yang sedari tadi merawatnya dengan lembut. Itu adalah seorang laki-laki dengan pakaian khas perwira tentara yang membalut tubuh tegap dan kekarnya. Matanya emas cair yang indah dan tampak begitu hangat, surainya sedikit panjang dikuncir kuda kebelakang. Senyum lembut terukir di paras tampannya saat tangannya terus mengelus wajah lembut Khun.
"Sudah bangun? Bagaimana perasaanmu?" tanya sosok itu.
Khun sedikit bingung, mata kobaltnya memperhatikan sekitarannya. Ah, ini kamarnya.
"Apa yang kau lakukan di kamar ku? Letnan Viole?"
Sosok itu mengukir senyum saat kemudian menunduk perlahan. Memberikan kecupan lembut di kening halus Khun. "Apa maksudmu? Ini juga kamar ku."
.
.
.
.
.
Wangnan mengusap pelan dahinya yang diperban. Dia benar-benar tidak menyangka kalau dia akan menjadi begitu idiot hingga dia malah mempermalukan dirinya sendiri di depan seorang gadis secantik Hwaryun dengan jatuh dari tangga. Sungguh, ke-kerenan-nya menghilang sudah!
Sudah cukup malam dan waktu kunjungan umum untuk gedung itu sudah habis. Shibisu sambil terus mengomeli Wangnan tentang banyak kecerobohan pemuda pirang itu memimpin mereka ke mobil rentalnya. Mata kecil pemuda itu melihat dua buah kipas portabel di salah satu kursi penumpang di belakang. "Punya siapa itu?"
Hatz mengangkat bahu acuh saat dia sibuk pada ponselnya, "Bukan aku, kau pikir aku ini seorang pesolek manja yang akan membawa benda-benda itu apa?"
Lauroe menguap acuh saat dia membaringkan dirinya di kursi paling belakang. Melihatnya begitu Shibisu yakin berarti itu juga bukan milik si pecandu tidur. Wangnan mengambil satu kipas portabel, melihat ada sebuah stiker kupon untuk makan ayam. Toko favoritku!
"Sepertinya milikku, lihat!" ujarnya memperlihatkan stiker kupon makanan disana, "Itu toko favoritku! Aku pasti membelinya tadi saat kepanasan dan lupa."
Semua orang mengangguk menyetujui dengan mudah. Shibisu kemudian menghidupkan mobil tersebut, bergerak menjauhi bangunan yang terkenal angker itu.
Gedung yang memilki banyak pintu dan jendela itu tampak begitu indah dengan penerangan dan lampu yang hiasi. Setelah banyak renovasi yang membuat gedung itu tampak begitu cantik untuk spot berfoto bahkan di malam hari.
"Hei, apakah ruang yang sebelah sana memang selalu gelap?" tanya salah satu staf pemandu sambil menunjuk salah satu jendela.
"Sudahlah, kita akan gila jika terus memikirkan misteri gedung ini." keluh Evan sambil mengepak barang-barangnya. Hwaryun tampak merengut sedari tadi. Gadis itu merasa dia sudah melupakan sesuatu tapi tidak tahu apa. Saat dia mendengar ucapan rekannya, dia melihat arah yang ditunjuk.
Alisnya bertaut. Ruangan yang ditunjuk sama sekali tidak gelap seperti yang dikatakan oleh rekannya. Malah itu sangat terang dan sekilas Hwaryun berpikir dia melihat sebuah gerakan bayangan di gorden menutupi jendela itu.
"Uhm~ Viole ngh sudah cukup ah!" keluh Khun diantara erangannya.
Pemuda di atasnya hanya mengukir senyum lembut saat memberi kecupan lembut di hamparan kulit punggung Khun yang penuh dengan tanda kepemilikan. "Ayolah, tetap bersabar dengan ku, oke."
"Aah!"
.
.
.
~End~
12 August 2020
Beberapa funfact untuk ff ini :
- Terinspirasi setelah aku menonton channel youtube tertentu
- Lawang Sewu! Iya ini Lawang Sewu Au!
- Lauroe, Khun dan Wangnan teman sejak kecil. Pengaruh latar belakang keluaga mereka yang dekat.
- Khun ama Wangnan disini TTM. Tapi Khun memang ngk ada perasaan apapun ke Wangnan, dia cuma memberi Wangnan toleransi yang cukup banyak gegara mereka teman sejak kecil. Sebenarnya ke Lauroe juga, tapi Lauroe sering tidur jadi Khun ngk terlalu merhatiin.
- Wangnan berencana menembak Khun setelah mengajak Khun uji nyali bareng. Dia berencana memperlihatkan sosoknya yang pemberani ke Khun dan kemudian nyatain perasaan suka dia.
- Endorsi yang jadi Noni Belanda di sini. Dia juga nyamar jadi Maria dan mengantarkan Khun ke kamar Baam/Letnan Viole.
- Letnan Viole dan Tuan Muda benar-benar hanya sahabat walau ada perasaan lebih dari pihak Letnan Viole. Jadi saat melihat cintanya mati karena senjata yang dia hadiahi secara pribadi, Letnan Viole menggila sehingga ngk bisa tenang setelah kematian. Jadi hantu deh.
- Khun adalah reinkarnasi Tuan Muda! dan Letnan Viole tahu ini saat dia melihat Khun.
- Baam atau Letnan Viole mengubah ingatan Khun. Mengurung Khun di dimensi dimana kamar mereka tetap bagus dan mewah.
- Apa yang mereka lakukan bersama? Hohohohoho imajinasi ayo bekerja!
- Semua orang yang hidup kehilangan ingatan tentang Khun karena Baam jadi setan yang kuat. Hahaha!
- Udah cukup deh kayaknya yak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top