4. Dunia Lain

" … Sembilan ratus enam puluh tiga, … sembilan ratus enam puluh empat, … 965, … 966, … 967, … ."

Yoo Joonghyuk menurunkan tubuhnya seiring dengan bertambahnya jumlah hitungan. Keringat menetes dari kulitnya yang berwarna perunggu, mengalir dari punggung ke perut yang berbentuk kotak-kotak, lalu jatuh ke karpet berbulu di bawahnya.

" … Sembilan ratus sembilan puluh sembilan, … seribu!"

Tepat setelah mencapai hitungan terakhir, Yoo Joonghyuk bangkit dari posisi push up untuk duduk berselonjor seraya mengistirahatkan tubuhnya yang telah banyak mengeluarkan keringat. Menggunakan handuk yang ia bawa dari bumi, Yoo Joonghyuk melihat waktu di ponsel, namun terhenti sejenak ketika menyadari sesuatu.

Bukankah waktu di dunia ini berbeda dengan waktu di bumi? Jadi, tidak ada gunanya melihat waktu di ponsel yang pada dasarnya masih mengikuti waktu Seoul di bumi. Memikirkan hal ini, ia memutuskan untuk mengira waktu berdasarkan sudut matahari.

Setelah mengelap semua keringat di tubuhnya, Yoo Joonghyuk berjalan ke pintu balkon tanpa membukanya. Ia masih tidak lupa ada keberadaan naga berwujud manusia yang bisa muncul kapan saja tanpa suara. Walau mungkin saja pintu tertutup tidak mencegah kadal besar itu masuk, Yoo Joonghyuk lebih memilih cara aman ini daripada menerjang keluar tanpa persiapan sama sekali.

Mata hitam Yoo Joonghyuk memandangi matahari yang tersembunyi di balik awan, kemudian ia menyadari sesuatu … apakah rotasi dunia ini sama seperti bumi? Apakah matahari terbit dari timur dan terbenam di barat?

… Tidak perlu memikirkan hal yang memusingkan ini, toh ia akan cari tahu nanti. Mari anggap dunia ini juga memiliki rotasi yang sama dengan bumi, jadi matahari akan terbenam ke arah barat. Melihat sudut matahari di dunia ini, seharusnya sekitar pukul sepuluh pagi? Atau mungkin jam dua siang?

" … " Yoo Joonghyuk memutuskan untuk keluar kamar setelah memakai bajunya dan menghentikan Dokkaebi yang lewat. "Hei, sudah jam berapa sekarang?"

"Oh, Tuan Pahlawan. Sekarang pukul dua belas tengah hari. Waktu makan siang akan dimulai sebentar lagi. Saya akan memanggil Anda ketika meja makan sudah siap."

" … ."

Jadi, kesimpulannya adalah Yoo Joonghyuk tidak bisa membaca waktu berdasarkan sudut matahari. Tidak, mungkin itu karena dunia ini berbeda dari bumi. Secara teknis, jika waktu menunjukkan tepat pukul dua belas siang, harusnya matahari berada di posisi puncak langit. Kenapa matahari di dunia ini berada di sudut enam puluh derajat dan bukannya sembilan puluh derajat?

Yoo Joonghyuk mengangguk dalam hati, berusaha membuat dalih untuk mempertahankan harga dirinya. Tak lupa pula ia menyetel ulang jam ponselnya agar tidak perlu repot-repot bertanya perihal waktu pada Dokkaebi.

Belum lama ia selesai mengatur jam ponselnya, Dokkaebi yang ia tanyai datang menghampiri dan berkata, "Tuan Pahlawan, sudah waktunya makan siang. Raja kami mengharapkan kehadiran Anda."

Karena Dokkaebi yang menghadapinya ini berbeda dari Dokkaebi yang mengantarnya sebelumnya sehingga masih mempertahankan nama panggilan 'pahlawan', membuat telinga Yoo Joonghyuk terasa gatal karenanya. Tapi, ia terlalu lelah untuk mengulang permintaannya, jadi untuk kali ini akan ia biarkan Dokkaebi memanggilnya seperti itu.

"Siapa namamu?" tanya Yoo Joonghyuk begitu mengingat fakta ia belum mengetahui nama-nama Dokkaebi. Bahkan Dokkaebi yang mengantarnya belum ia ketahui namanya. Satu-satunya yang ia tahu hanyalah Dokkaebi Baram, yang sempat disebutkan oleh Raja Dokkaebi. Untuk Raja Dokkaebi sendiri, Yoo Joonghyuk tidak yakin apakah 'Raja Dokkaebi' itu hanya julukannya sebagai pemimpin ras atau benar-benar namanya.

Dokkaebi di sampingnya memiliki bulu putih, dua tanduk kecil berwarna kuning di atas kepalanya, dan hanya terbalut kain hitam untuk menutupi tubuhnya. Sangat sederhana dan tampaknya tidak bisa dibedakan dari Dokkaebi yang lain.

"Ah? Saya ... Bihyung." Tidak menyangka Yoo Joonghyuk akan menanyakan namanya, Dokkaebi Bihyung terhenyak sesaat sebelum menjawab. Ini kali pertama ada seseorang yang menanyakan namanya. Bagaimanapun, Dokkaebi jarang berkeliaran bebas di luar wilayah kekuasaan. Sekalinya keluar, itu pun untuk untuk berjualan barang. Hanya Dokkaebi tingkat tinggi dan Raja Dokkaebi yang bisa pergi dengan bebas.

Jadi, bagi dirinya dan Dokkaebi tingkat rendah lain, keberadaan para pahlawan seperti sebuah pengalaman baru.

"Aku tidak terlalu memahami informasi tentang dunia ini. Jelaskan padaku." Dokkaebi ini tampaknya masih polos, Yoo Joonghyuk ingin menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan lebih banyak pengetahuan mengenai dunia <Star Stream>.

"Informasi? Umm … Baik, informasi apa yang belum Anda pahami?

"Tentang bahasa di dunia ini. Bahasa kami dan bahasa dunia ini sudah pasti berbeda, bagaimana kita bisa saling berkomunikasi tanpa kendala seperti sekarang?" Hal ini yang paling membuat Yoo Joonghyuk bertanya-tanya. Ia sering kali melihat serial bertema isekai serupa, di mana karakter yang pindah ke dunia lain bisa memahami bahasa dunia itu. Tidak ada penjelasan tentang apa yang menyebabkan semua penghuni dunia lain bisa berbicara bahasa bumi. "Apa ada sihir khusus tentang itu?"

"Bahasa? Yah, sebenarnya, sebelum melakukan ritual pemanggilan, kami akan menyiapkan lingkaran sihirnya lebih dulu."

Lingkaran sihir. Seharusnya yang dimaksud Bihyung adalah lingkaran yang muncul di bawah kakinya dan yang digambar di lantai ruang altar.

"Kami menambahkan mantra dalam lingkaran sihir untuk pengertian bahasa. Sehingga, ketika para pahlawan tiba di dunia ini, pahlawan tidak kesulitan untuk berkomunikasi."

Alis Yoo Joonghyuk berkerut. Tulisan rumit itu adalah mantra? "Apa saja mantra yang ditulis di lingkaran sihir?"

"Eh? Itu … " Bihyung menggaruk belakang kepalanya dengan gugup. "Ada mantra pemanggil, mantra bahasa, mantra penentu potensi, mantra … " Dokkaebi ini menyebutkan semua mantra satu persatu.

Yoo Joonghyuk mendengarkan setiap mantra yang disebutkan. Ia lebih khawatir jika Raja Dokkaebi menambahkan mantra yang tidak-tidak, seperti mantra budak atau sejenisnya. Setelah mendengar semua mantra yang disebutkan, tampaknya tidak ada mantra seperti itu di dalam lingkaran sihir pemanggil. Tapi, untuk main aman, Yoo Joonghyuk berencana untuk mempelajari bahasa mantra agar rasa khawatir ini bisa menghilang.

"Lalu, bagaimana cara kalian memilih pahlawan? Pada akhirnya, kami yang dipanggil cukup banyak, lebih dari tiga orang." Ini juga membuat Yoo Joonghyuk heran. Mengapa harus dirinya yang terpilih untuk dipanggil? Apa yang bagus darinya sehingga datang ke dunia ini? Ia hanya seorang pro-gamer yang mencari uang dengan bermain game dan melakukan live streaming. Satu-satunya yang mungkin berguna darinya adalah pengetahuan dan pengalaman bermain game; yang mungkin bisa diterapkan di dunia ini.

"Itu karena mantra penentu potensi." Tampaknya sudah terbiasa dengan keberadaan manusia di sampingnya, Bihyung tidak lagi merasa gugup. "Dengan mantra itu, manusia yang berpotensial menjadi pahlawan akan terpilih untuk datang ke dunia ini."

Yoo Joonghyuk menatap tangannya dengan perasaan aneh. Berpotensial menjadi pahlawan? Ia tidak yakin apakah ada hal seperti itu dalam dirinya. Bumi adalah tempat yang damai, tidak ada sihir di sana dan semua orang mengandalkan teknologi yang semakin canggih seiring berkembangnya zaman. Yang disebut 'pahlawan' hanya ada dalam cerita fiksi, muncul dengan berbagai kemampuan super untuk menyelamatkan orang-orang hingga dunia. Kalaupun 'pahlawan' sejati eksis di kenyataan, itu pun hanya berupa serpihan sejarah yang dulu berpatisipasi dalam perang dunia kedua.

Namun sekarang … fiksi adalah realitas. Yang tidak nyata menjadi nyata dan yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Keduanya tiba di depan pintu besar ruang makan. Bihyung melangkah maju untuk membukakan pintu, namun dihentikan oleh Yoo Joonghyuk yang mengajukan pertanyaan terakhir.

"Apa ada perpustakaan di sini?"

Bihyung memiringkan kepalanya, bertanya-tanya mengapa manusia ini menanyakan hal itu. Berpikir bahwa pahlawan ingin mendapatkan lebih banyak informasi, dengan senang hati Dokkaebi ini menjawab, "Perpustakaan? Tentu saja ada. Jika Anda berkenan, saya akan mengantarkan Anda ke sana setelah waktu makan siang."

Yoo Joonghyuk mengangguk menerima usulan itu. Ia memasuki ruang makan yang dibukakan oleh Bihyung dan memandangi ruangan yang sangat luas di depannya. Jika diukur, mungkin setara dengan luas lapangan sepak bola, langit-langitnya sangat tinggi dengan tiga lampu gantung di atasnya, perapian besar di sisi ruangan, almari kaca dengan pajangan alat makan di dalamnya, serta meja makan yang sangat panjang di tengah ruangan. Ada banyak sajian makanan di atas meja, tentu saja bukan makanan Korea, lebih ke arah makanan orang barat di bumi. Alat makannya pun garpu dan pisau yang terbuat dari perak, bahkan minumannya berupa wine yang sudah pasti dijamin kualitasnya.

Ketika Yoo Joonghyuk datang, sudah banyak orang yang duduk di kursi. Bihyung datang mengantarnya ke kursi kosong. Begitu ia hendak duduk, kursi di dorong pelan dari belakang oleh Bihyung. Kemudian serbet diletakkan di leher dan wine dituangkan di gelas.

Benar-benar pelayanan kelas satu dari restoran bintang lima … atau mungkin lebih tepatnya, pelayanan khas orang-orang bangsawan yang ada di Eropa bumi.

Yoo Joonghyuk meraih tangkai gelas dan memutarnya sebentar sebelum merasakan sedikit cairan merah itu di lidahnya. Rasa manis yang kuat mengalir dari lidah ke tenggorokannya, kemudian membakar otak dan tubuhnya menjadi panas. Ia segera meletakkan gelas wine kembali ke meja. Ini kali pertama ia meminum alkohol sejenis wine, biasanya ia hanya minum soju, bir, atau anggur biasa yang disajikan di bar. Karena itu, kadar alkohol yang terlalu tinggi seperti wine* tidak sesuai seleranya.

(*Arbi: aku tidak pernah minum anggur, jadi semua info ini didasarkan dari pencarian internet.)

Mungkin menyadari situasinya, Bihyung datang mengantarkan segelas air putih. Yoo Joonghyuk meminumnya dalam sekali tegukan dan membiarkan otaknya mendingin.

"Kau tidak bisa minum wine? Hahaha, lemah!" Suara wanita yang akrab terdengar di sampingnya. Yoo Joonghyuk menoleh, mendapati Han Sooyoung duduk di kursi sampingnya tanpa ia sadari.

Sebuah kebetulan yang tampak disengaja. Entah itu Han Sooyoung yang ingin duduk di sampingnya, atau Bihyung yang tidak tahu hubungan keduanya, pada dasarnya mereka berdua berakhir duduk bersama seperti ini, benar-benar seperti takdir.

"Aku tidak ingin mengacau karena mabuk." Ia membuat dalih untuk menjaga harga dirinya.

Han Sooyoung sangat paham kelakuan temannya ini. Ia hanya mencibir setelah mendengar alasannya dan meminum segelas wine dalam satu teguk. Dokkaebi di belakangnya terus menuangkan botol wine ke dalam gelasnya yang kosong.

Bisa-bisa satu gudang anggur habis hanya untuk perutnya.

Raja Dokkaebi datang di saat yang tepat bersama dengan remaja berjubah hitam yang tidak asing lagi di mata Yoo Joonghyuk. Ah, seharusnya ia tahu kalau kadal besar itu akan datang juga.

Seakan menyadari kehadiran Yoo Joonghyuk, naga berwujud manusia tersenyum dan melambai ke arahnya.

"Kalian saling kenal?" bisik Han Sooyoung yang juga melihat tindakan remaja berjubah hitam itu.

Yoo Joonghyuk memalingkan matanya, tidak ingin banyak berbicara tentang apa yang terjadi sebelumnya. Bagaimana pun, itu masih menyangkut harga dirinya.

Dokkaebi mempersilahkan keduanya duduk di kursi khusus yang sudah disiapkan. Raja Dokkaebi mengetuk pinggir gelas kaca dengan pisau, menimbulkan suara yang menarik perhatian. Semua mata tertuju ke arahnya, menunggu kata-kata yang akan ia ucapkan.

"Terima kasih atas kesediaan Anda sekalian untuk hadir di perjamuan makan yang sederhana ini."

Sederhana, ya? Bagi orang Korea, kata sederhana di mulut Raja Dokkaebi adalah suatu kemewahan yang tidak bisa dimiliki oleh siapa pun. Mungkin bagi penduduk dunia ini, jamuan makan seperti sekarang tergolong 'sederhana'. Jadi, seperti apa jamuan makan 'kemewahan' di dunia ini?

Raja Dokkaebi mengucapkan kata-kata sambutan yang tidak penting, mengulang penjelasan yang tidak perlu, dan menambah kalimat yang tidak ada hubungannya dengan perjamuan makan; sudah layaknya pembina upacara yang berpidato selama lebih dari satu jam, membiarkan murid-muridnya berjemur di bawah panasnya matahari.

Ehem, abaikan lelucon itu.

Akhirnya, Raja Dokkaebi memperkenalkan remaja di sampingnya. "Di sini adalah Yang Mulia <Abyssal Black Flame Dragon>, datang ke permukaan untuk menyambut para pahlawan terkasih."

Naga berwujud manusia itu hanya mengangkat tangan dan melambai sebagai sapaan. Orang-orang bumi saling bertatapan sejenak sebelum bertepuk tangan sebagai sambutan.

Kecuali Kim Namwoon. Dengan perban di tangannya, ia bangkit dari kursi dan menunjuk ke arah naga berwujud manusia. "Kau pasti naga jahat yang akan menjadi bawahan Raja Iblis untuk menghancurkan dunia!"

" … " Hening mencekam menyelimuti ruang makan.

Ketika semua orang berpikir bahwa Kim Namwoon pasti akan mati, terdengar tawa dari remaja berjubah hitam yang wujud sejatinya adalah seekor naga tua. <Abyssal Black Flame Dragon> tidak menahan tawanya dan membiarkan semua orang melihat bagaimana ia terhibur dengan tingkah Kim Namwoon.

[Bocah, kau sangat menarik.] Suara yang menggema di telinga manusia biasa memasuki hati setiap orang yang mendengarnya. <Abyssal Black Flame Dragon> menunjukkan seringai lebar pada semua manusia di depannya. [Kau beruntung karena aku yang berdiri di sini. Jika itu mereka yang dari ras lain, jarimu yang menunjukku saat ini akan lenyap tak berbekas.]

•••

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top