worst than a nightmare


Pagi ini kelas Aizawa sensei berlangsung seperti biasa, teramat membosankan. Ditambah sang pengajar sendiri justru sibuk bergelung nyaman di dalam kantung tidur yang dibawanya tanpa mempedulikan sibuknya penghuni kelas mengerjakan tugas yang diberikannya. Kebanyakan otomatis mengernyitkan dahi lantar tidak mengerti hal apa yang diminta oleh tugas itu.

Benar saja, sejurus kemudian sudah terjadi kerusuhan namun Aizawa sensei nampak terlalu fokus pada hibernasinya sampai-sampai abai dengan keadaan kelas yang ribut menyamai pasukan demonstran.

Shoto masih setia berada di tempatnya, memutar-mutar pena di tangan dan mencoret abstrak di bagian belakang buku. Sejujurnya ia juga sedikit dibuat bingung namun lebih memilih diam menghemat energi untuk latihan lapangan nanti.

Helaan napas terdengar berat, Shoto memilih menutup buku dan menyenderkan bahunya setelah melakukan sedikit perenggangan untuk melemaskan otot-ototnya yang terasa kaku. Kedua lensanya mengamati gerak-gerik pemuda berambut pirang yang belakangan sering tanpa sadar ia amati.

Yang Shoto tahu, pemuda itu memiliki raut wajah galak dengan amarah yang meledak-ledak tiap kali berinteraksi dengan sesama. Itu cukup menjengkelkan bagi sebagian orang namun terlihat sedikit unik bagi Shoto. Tiap kalimat yang dilontarkan Katsuki disertai dengan percikan api dari quirk yang dimilikinya seakan mengajak siapa pun untuk baku hantam.

Iya, sedetail itu pengamatan Shoto mengenai Katsuki.

Meski berada dalam satu kelas, keduanya tidak dapat dikategorikan sebagai teman dekat. Mereka hanya berinteraksi seadanya sebagai teman sekelas yang baik. Katsuki yang meledak-ledak dan Shoto yang terlalu malas meladeni adalah satu kesatuan yang buruk.

"Todoroki, sudah selesai mengerjakan tugas?" Itu Yaoyorozu menyapa dengan suara lembut, seperti biasa layaknya teman yang saling membantu saat diperlukan.

"Belum."

Yaoyorozu tersenyum simpul lalu mencondongkan tubuhnya mendekati buku bersampul biru yang baru saja diabaikan oleh pemiliknya. "Aku sudah mengerjakannya, kau boleh lihat kalau kau mau." Shoto bisa melihat ada semburat tipis merah muda di kedua pipi gadis itu. Lagaknya yang malu-malu dan suara yang agak terbata terlihat dengan jelas jika gadis ini menaruh perhatian lebih kepadanya.

"Ah, terima kasih. Tapi kurasa itu tidak perlu, aku sudah menyusun rangkaian kalimat untuk jawabanku nanti."

Shoto pikir itu kalimat halus untuk menolak tawaran seseorang. Wajah Yaoyorozu terlihat sedikit kecewa beberapa saat, namun gadis itu cukup pintar dalam mengatur raut wajahnya. "Baiklah, kau bisa bertanya padaku jika tidak mengerti." Gadis itu kemudian berlalu tanpa menunggu respon Shoto selanjutnya. Shoto sendiri memilih abai dan segera melanjutkan tugasnya agar ia bisa segera bersantai di perpustakaan sambil menyelipkan beberapa camilan dan minuman dingin untuk menemani.

Bel berdering, Aizawa sensei menenteng kasurnya keluar kelas setelah memberi amanat kepada ketua kelas untuk mengumpulkan seluruh tugas dan membawanya ke ruang guru. Guru satu itu memang tidak suka direpotkan namun seringkali merepotkan.

Iida memberi instruksi untuk meninggalkan tugas yang telah dikerjakan di atas meja masing-masing agar lebih mudah mengurutkannya. Ia lebih terlihat seperti sedang mempersulit diri, tapi ya si pemuda berkacamata itu dengan suka rela melakukannya dengan dalih kewajiban sebagai ketua kelas yang baik. Mulia sekali, semoga dirinya dipenuhi berkah.

Sebagian siswa sudah pergi meninggalkan ruang kelas, hanya tersisa beberapa termasuk Iida yang sedang mondar-mandir sembari membawa tumpukan buku di tangannya. Melihatnya begitu sudah membuat Shoto lelah, sebaiknya ia segera menyusul Midoriya dan lainnya ke kantin sebelum bel masuk berdering.

Iida menjadi orang terakhir yang duduk di bangku kantin, ia pasti langsung meluncur ke sini setelah selesai mengumpulkan tumpukan buku ke ruang guru. Shoto fokus pada makanannya, menyumpit ramen yang uapnya masih mengepul. Sebenarnya dia bisa saja menggunakan esnya untuk mendinginkan ramen, tapi ia terlalu malas memakai kekuatannya untuk hal sepele seperti itu. Di depannya, Katsuki menatap makanannya tidak selera. Ini merupakan pemandangan yang ganjil, apa dia sedang sakit? Shoto sedikit khawatir.

Katsuki beranjak pergi tanpa menghabiskan makanannya, semua yang di sana memandang aneh dirinya. Sebelum Midoriya hendak bertanya, Katsuki sudah hilang ditelan kerumunan orang.

"Aku akan menyusulnya." Shoto bergerak tanpa dikomando, dirinya sendiri juga terkejut karena kalimat yang terlontar dari bibirnya. Perkataan refleks karena terlalu perhatian, begitu?

Katsuki tidak ada dimana pun, di kantin, ruang kelas, atau pun lapangan. Shoto berhenti untuk mengistirahatkan tubuhnya yang sedari tadi mondar-mandir mencari Katsuki, yang hasilnya nihil. Ada satu tempat yang belum didatanginya, mungkin saja pemuda tempramental itu berada di sana.

Waktu istirahat hampir usai, dan Shoto bahkan belum menaiki setengah anak tangga. Sebenarnya tempat ini tidak boleh dikunjungi, karena itu sangat cocok dijadikan tempat untuk menyendiri atau bolos. Gagang pintunya sudah berkarat, bunyi gesekan terdengar jelas saat pintu digerakkan.

Sesuai dugaan, ia menemukan pemuda yang dicarinya sedang duduk bersandar sambil memejamkan mata menikmati sepoi angin yang memainkan rambutnya pelan. Sepertinya Katsuki sedang banyak pikiran akhir-akhir ini. Berdasarkan pengamatan Shoto, seminggu belakangan ini anak dari pasangan Bakugo memang bersikap aneh. Menjadi lebih pendiam dan penyendiri.

Pemuda itu terlelap, Shoto tak setega itu untuk membangunkannya. Ia memilih untuk ikut duduk di sampingnya dan turut merasakan embusan angin, benar saja hal ini membuat perasaan tenang, ditambah dengan pemandangan langit biru cerah.

Katsuki sepertinya agak terusik, namun ia tetap memejamkan matanya. Tanpa sadar, Katsuki sudah menjatuhkan kepalanya bersandar di bahu Shoto. Tubuh Shoto mendadak kaku, ia tidak pernah berada di posisi seperti ini sebelumnya jadi ia hanya diam membiarkan pemuda itu terlelap di bahunya.

Sepertinya Katsuki lelah sekali, wajahnya begitu damai tidak dipenuhi emosi dan kerutan seperti biasanya. Pasti ada yang mengusiknya akhir-akhir ini, Shoto penasaran, tapi ia memilih bungkam. Tangannya bergerak mengelus helaian pirang itu, saraf sensoriknya dapat merasakan tekstur halus dan lembut.

"Ah, maaf. Aku membangunkanmu, ya?"

Katsuki masih mengumpulkan kesadarannya sebelum satu kernyitan muncul di dahinya. "Sedang apa kau di sini?" Tanyanya ketus.

"Aku mencarimu, yang lain turut khawatir," ucap Shoto tanpa basa basi.

Katsuki mengembuskan napas, lalu mengusap wajahnya kasar. Menunjukkan ekspresi itu lagi, seperti frustrasi karena tak sanggup menanggung beban di pundaknya. Shoto kira, Katsuki akan berteriak memakinya, namun ia salah. Pemuda itu kembali menormalkan ekspresinya dan kembali menyandarkan tubuhnya ke dinding.

"Pergilah, bel masuk pasti sudah berbunyi tadi."

Memang benar, bel masuk sudah dibunyikan sedari tadi. Tapi Shoto memilih untuk meninggalkan pelajaran dibanding meninggalkan Katsuki. Toh ini juga pertama kalinya ia bolos, hitung saja sebagai kenakalan remaja yang wajar.

"Kalau ada masalah, kau bisa menceritakannya padaku, atau pada yang lain. Berbagilah." Shoto menjatuhkan kepalanya untuk tidur di paha Katsuki sebagai bantal, tidak peduli jika ia akan ditendang atau diledakkan sekalipun. Rasanya empuk dan nyaman, seperti rumah yang ia harapkan. "Aku tau, kita semua pernah merasa frustrasi dan bingung bagaimana cara melampiaskannya."

Melihat tidak ada tanda-tanda kekerasan, Shoto menutup kedua matanya dan kembali melanjutkan perkataannya yang sempat terjeda. "Percayalah, kau tidak sendiri. Ada banyak yang peduli padamu, termasuk aku," ucap Shoto dengan intonasi pelan di akhir.

Hening, tidak ada tanggapan dari lawan bicara sebelum Shoto merasa ada setetes air jatuh mengenai wajahnya. Apakah turun hujan? Seingatnya cuaca sedang cerah dan ramalan cuaca tidak mengatakan akan turun hujan hari ini. Mata Shoto terbelalak saat melihat asal air itu, Katsuki-nya menangis.

"Tertawa saja, kuledakkan kau."

Shoto segera mendudukkan dirinya, lalu memeluk tubuh Katsuki. Menurut yang pernah dibacanya, sebuah pelukan dapat membantu seseorang yang tengah bersedih, dan Shoto langsung mempraktekannya.

"Hero apanya, aku gagal, tak pantas disebut hero," adunya seperti anak kecil, menenggelamkan kepalanya di pundak Shoto tanpa peduli air matanya akan membasahi seragam Shoto. "Aku bahkan tidak dapat menyelamatkan anak itu! Pahlawan macam apa yang membiarkan nyawa seorang anak hilang tepat di hadapan ibunya?! Aku sungguh tidak berguna." Katsuki mencengkram erat seragam yang dikenakan Shoto sampai terlihat kusut, melampiaskan luapan emosi yang ditahannya.

Shoto ingat kejadian pilu minggu lalu, saat mereka ditugaskan untuk menyelamatkan para sandera dari perampok di sebuah pusat perbelanjaan besar. Sayang, kurangnya informasi tentang lawan membuat mereka harus kehilangan satu nyawa. Anak kecil yang gagal diselamatkan itu hangus terbakar tepat di hadapan ibunya. Meninggalkan goresan luka mendalam yang tidak akan bisa disembuhkan. Psikis sang ibu terguncang hebat sehingga harus menjalani perawatan intensif di bangsal kejiwaan. Bukan salah Katsuki, ia dihadapkan dengan lawan licik dan tidak sebanding yang mengharuskannya memilih pilihan sulit.

Maka dengan berat ia putuskan untuk menyelamatkan para sandera lain lalu bergegas menyelamatkan bocah itu, naas, ia terlambat. Kobaran api lebih dulu melahap tubuh kecil anak itu dengan sang ibu yang menjerit histeris tak berdaya. Pasukan bantuan datang terlambat, meski akhirnya villain itu berhasil dilumpuhkan, mereka tak berhasil menyelamatkan nyawa anak itu. Luka bakarnya sudah terlalu parah dan ia mengembuskan napas terakhirnya setelah mendapat pertolongan pertama.

Kejadian mengerikan itu terus menghantuinya, membuatnya mengutuk diri sendiri karena lemah. Shoto yang tergabung dalam tim bantuan juga bisa merasakan kefrustrasian Katsuki. "Kau sudah melakukan yang terbaik. Kadangkala, kita memang dipaksa untuk memilih—berat sekalipun."

Shoto mencoba merangkai kalimat selanjutnya, berusaha tidak menyakiti hati rapuh di dekapannya. "Maka balas dendamlah, lampiaskan rasa frustrasimu dengan menjadi kuat. Dengan itu kau bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa di masa depan."

Isakan Katsuki tak lagi terdengar, ia mengangkat wajahnya yang memerah dengan jejak air mata yang masih terlihat jelas. Matanya terlihat membengkak dan jika diperhatikan ada lingkar hitam di kantung matanya, sepertinya Katsuki tidak bisa tidur nyenyak. Kejadian itu benar-benar membuatnya terguncang.

"Aneh mendengarmu banyak bicara," ucap Katsuki sambil memalingkan wajah, tidak mau memperlihatkan wajahnya yang jelek sehabis menangis seperti anak kecil. "Lebih aneh melihatmu menjadi pendiam," balas Shoto dengan senyum tertahan. Sepertinya keadaan Katsuki sudah lebih baik dari sebelumnya.

Katsuki merebahkan tubuhnya dengan berbantalkan paha Shoto, meniru apa yang Shoto lakukan tadi. Menyamankan diri di sana dan memejamkan matanya pelan. "Bangunkan aku saat bel pulang berbunyi," pintanya pelan. Tangan Shoto kembali bergerak untuk mengusap rambut Katsuki, membuat pemuda itu semakin terlelap.

"Todoroki."

"Hm?"

"Terima kasih," ucap Katsuki sambil tersenyum kecil dan memandang lurus mata Shoto hangat.

Setelah seminggu dihantui mimpi buruk, akhirnya Katsuki bisa terlelap dengan nyenyak di pangkuan sang rival. []

End

UEUEUE gue nangis tiap todobaku interact, gemes. Yang satunya meledak-ledak yang satunya lagi penyabar gitu😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top