7 - Sungai Ayden II
"Kapten!" Gustav yang melihat teman lamanya ditarik langsung saja tanpa pikir panjang berlari untuk mendapati tangannya. Namun, ia malah ikut terseret ke tengah sungai.
"!!?"
Gustav sempat kehilangan napas untuk sesaat akibat tarikan yang tiba-tiba. Namun, ia segera mengendalikan dirinya lagi dan mengarahkan pedangnya ke sumber tarikan. Sembari tangannya tetap berpegangan pada Atristan.
Atristan tidak dapat mengekspresikan rasa kagetnya. Untuk apa prajurit bayaran yang baru ia kenal sehari itu mengambil risiko untuk menyelamatkan nyawanya?
Pria berambut jingga berantakan itu hanya terdiam tatkala sebuah sinar keluar dari pedang milik pria yang tengah berada dekat dengannya. Lalu sang ahli pedang mengayunkan senjatanya dan memotong akar monster yang tadinya melilit kaki Atristan.
Sekejap setelah ia melakukan itu, suasana menjadi hening. Tidak ada erangan monster atau apapun itu. Tatkala Gustav menengok lebih dalam, tiada satu pun keberadaan makhluk hidup yang kelihatan. Sungai itu sepi.
Yang dapat tampak olehnya hanyalah sebuah lingkaran sihir di dasar sungai yang bercahaya redup lalu mati.
Tidak ingin terlalu memikirkannya untuk sekarang, Gustav dengan segera berenang sambil membawa tubuh sang ksatria api ke permukaan sungai.
Napas mereka terengah-engah begitu sampai di tepian. Syukurnya masalah monster-monster ikan tadi sudah dibereskan oleh para prajurit bayaran di daratan sehingga mereka bisa sedikit merasa lega.
"Gus! Apa kau tidak apa-apa?" Salah seorang prajurit bayaran menghampirinya dengan tergesa. Ia lalu menarik tangannya sehingga Gustav bisa berdiri.
"Aku tidak apa-apa." Pria bersurai coklat emas itu menarik napas panjang. Ia lalu melihat ke arah Atristan yang masih bertumpu pada lututnya.
"Kurasa sebaiknya kalian lebih khawatir pada Kapten Api ini," ujarnya sembari mendekat ke arah pria yang apinya padam dan zirahnya basah kuyup itu.
Gustav menawarkan tangannya kepada sang Kapten. Atristan menilik ke arahnya dengan sekilas, ia menerima tawaran tangannya. Sesudah berdiri, Atristan lalu berkata kepada Gustav dengan sedikit perasaan malu, "Terima kasih."
"Sama-sama," jawab Gustav. Ia lalu melihat ke arah para ksatria istana yang baru bergerak untuk menampung mayat-mayat ikan yang rekan-rekannya barusan bunuh.
"Padahal kamu tidak perlu menyelamatkan aku," ujar Atristan, "Aku bisa melawannya sendiri. Apa guna jabatanku sebagai kapten kalau aku tidak dapat mengalahkan dia?"
"Aku akan percaya kamu dapat mengalahkan dia jika kamu bukanlah pengguna elemen api yang diseret ke perairan," sanggah Gustav.
Ia melirik ke arah Atristan lagi, "Lalu apa aku boleh jujur padamu? Ksatriamu payah. Mereka tidak punya inisiatif sama sekali dalam banyak hal," utarnya dengan ironis.
Atristan tidak mengelak hinaan dari pria bermanik biru cerah itu. Jika ditanya jujur pun, dalam hati ia juga merasa sebal dan terkhianati oleh bawahannya.
"Aku akan menghajar mereka nanti," balas Atristan sambil tersenyum dan menatap para ksatria dengan mengancam, membuat mereka bergidik ngeri.
"Ngomong-ngomong, namamu Gus kan?" Pria yang lebih tinggi itu mengalihkan pandangan ke arah pria di depannya.
"Apa kamu mau menjadi perwakilan representatif gilda mercenary di istana?" tawarnya, "Menurutku dari segi kemampuan, kamu sudah cocok. Ditambah dari biografi anggota yang kubaca, kamu adalah adik angkat ketua gilda yang sekarang."
Gustav ingin menggeleng begitu ia mendengar tawaran itu. Dia tidak bisa membayangkan bila dirinya harus berada di ibukota lebih lama. Akan tetapi, ketika ia melirik ke arah rekan-rekan seperjuangannya, mereka semua mengangguk-angguk pertanda setuju.
Gustav hanya bisa menghela napas. Ia mengiyakan permintaan sang Kapten. Atristan tersenyum lebar, ia lalu menyuruh Gustav untuk berjalan di samping kudanya saat mereka akan kembali ke istana.
Perjalanan pulang itu berjalan dengan mulus. Mereka melewati jalur hutan kecil tanpa hambatan di bawah terangnya sinar bulan purnama. Malam yang tadinya menendang adrenalin itu kini sudah tenang. Menyisakan keheningan yang terjadi untuk beberapa saat.
Hingga sang pria bagai api di malam hari itu berkata dengan nada rendah kepada pria bertapak kaki, yang berjalan di samping langkah pelan pelan kudanya.
Ya, kudanya berjalan lambat. Atristan memang tidak ingin begitu buru-buru pergi ke istana. Toh, dia sendiri tidak begitu suka di dalam sana. Tapi apa boleh buat, dia tidak bisa melakukan tugas di luar selamanya.
"Butuh tumpangan? Kamu pasti lelah karena ikut masuk ke dalam masalahku tadi," tawar Atristan kepada pria yang memiliki rambut gelombang itu.
"Maksudmu... kita naik kuda bersama? Entahlah. Membayangkannya membuatku merasa canggung," ceplos Gustav sambil ia menengok ke arah pria di samping atasnya.
"Ah." Manik mereka lalu bertemu untuk sesaat. Dalam beberapa detik, Atristan seolah terhipnotis dengan bola mata yang memantulkan cahaya rembulan itu.
Tidak ingin terlena lebih lama, Atristan segera memalingkan wajahnya. Membuat Gustav bingung, tetapi ia tidak terlalu memikirkan reaksinya. Toh menurut dia, Atristan hanya bersikap sopan saja. Tidak ada maksud apapun.
"... sangat disayangkan," sambung pria bermata api itu.
"Ekhm," kalimatnya tidak berhenti di situ saja. Dia lanjut bercakap-cakap dengan Gustav untuk menghilangkan kikuk, "Nanti, apa kamu bisa pergi ke tendaku sebentar? Ada beberapa hal yang aku ingin bicarakan denganmu."
***
Barak Ksatria Istana
Tenda Kapten Atristan
Gustav masuk ke dalam tenda setelah ia mengganti pakaiannya yang tadi basah. Di situ ia melihat Atristan sedang duduk di atas kursi kayu sederhana di samping kasur kecil, agaknya karena menunggu kedatangan sang prajurit bayaran yang dinantikan.
Lalu ia melihat ke sekeliling isi dalam tenda itu. Semuanya tertata dengan rapi, begitupun dengan stand zirah milik Atristan yang berdiri dengan gagah.
Sang pemilik tenda sendiri mengenakan pakaian tunic sederhana dengan atasan yang terbuka, menunjukkan belahan dadanya namun terkesan elegan dan masih dalam tahap sopan. Selain itu baju yang ia kenakan cukup rapat, sehingga sedikit menunjukkan pola otot-ototnya. Berbeda dengan Gustav yang memakai semacam kain hingga menutupi tubuh bagian atasnya.
"Kamu bisa duduk di atas kasurku," ujarnya, "Perlakukan saja senyamanmu."
Perkataan Atristan membuyarkan lamunan Gustav yang sedari tadi memerhatikannya. Prajurit bayaran itu lalu duduk di atas kasur sang pemilik tenda dengan agak malu. Ia lalu menampar-nampar pipinya untuk kembali ke pikiran lurus.
"Ada apa?" tanya Atristan yang tiba-tiba bangkit berdiri lalu mendekatinya.
"... Apa kamu tidak kedinginan malam-malam mengenakan baju yang terbuka seperti itu? Apa kamu ingin menggodaku?" tanya Gustav dengan spontan di dalam pikirannya.
Namun, tentu saja Gustav masih punya rasa sopan dan harga diri untuk tidak menanyakan hal semacam itu kepada kapten pasukan kerajaan dengan gamblang. "Tidak. Saya hanya sedang berpikir pertanyaan apa yang sebaiknya saya tanyakan kepada Anda."
Atristan kemudian duduk di sampingnya, di atas kasur yang sama. "Kamu tiba-tiba bercakap dengan terlalu formal. Santai saja, tidak perlu menggunakan saya dan Anda," ujarnya.
"Lagipula akan ada hal pribadi yang ingin aku tanyakan padamu nanti. Sekarang bukanlah pertemuan resmi, jadi bersikaplah semaumu," katanya sembari melihat ke arah Gustav. Pria yang menjadi lawan bicaranya itu sendiri tidak menjawab, baginya kalimat itu bukanlah kalimat untuk membuatnya nyaman. Melainkan sebuah kalimat yang berarti 'kau memang bebas, tapi jagalah sopan santunmu.'
Atristan membuka suaranya lagi, "Pertama-tama, kita akan membahas hal resmi dulu, bagaimana?" tanya Atristan untuk mendapat pendapat dari Gustav.
Pria berpenampilan biru tua itu mengiyakan Atristan. Ia pun lanjut bicara. "Jadi akan kuberitahu kamu soal perkara tugas dari istana ini."
Dia berkata bahwa alasan utama kenapa istana menurunkan misi ini adalah karena para iblis ingin mengetes tingkat kesetiaan gilda. Lalu, gilda yang mendapatkan misi semacam ini bukan hanya gilda prajurit bayaran saja, melainkan juga gilda lain seperti gilda penyihir dan gilda pedagang.
"Mereka mendapat misi masing-masing sesuai bidang pekerjaan gilda. Tetapi perwakilan istana untuk memimpin regu mereka itu berbeda-beda."
Pemimpin regu gilda mercenary adalah dirinya sendiri, Kapten Atristan Ignatio. Pemimpin regu gilda penyihir adalah penyihir istana, Lady Vesia dari Utara. Lalu yang terakhir, pemimpin regu gilda pedagang adalah tuan muda keluarga Duke Percyval, Lucas Percyval.
"Apa kau percaya kalau tujuan mereka hanya untuk mengetes kesetiaan gilda walau diberi tugas aneh-aneh?" tukas Gustav.
Raut wajah Atristan lalu berubah menjadi serius. "Itu dia masalahnya. Aku sendiri berpikir kalau tujuan mereka bukan hanya itu. Tidak mungkin hanya satu atau dua."
"Aku sendiri juga merasa janggal. Mereka memberi misi untuk kita pergi ke Sungai Ayden, tetapi mereka tidak menyiapkan perahu sama sekali," lanjutnya, "Seolah-olah mereka memang ingin menyulitkan, atau malah, mereka sengaja ingin coba membunuh kita."
Gustav memberi tanggapan setuju. "Reaksi ksatriamu juga sangat aneh, mereka hanya membiarkan kamu dan kita sendiri saat bertarung melawan monster. Seolah mereka tau akan ada sesuatu atau karena mereka telah diancam oleh seseorang."
Pria bersurai coklat emas itu mengernyitkan dahinya. Ia lalu menanggapi lagi, kali ini dengan agak cemas, "Kapten, apa mungkin istana (iblis) berniat untuk membunuhmu?"
***
Sungai Ayden
Di waktu yang sama....
Tatkala para pasukan mercenary dan ksatria sudah kembali ke istana dengan tenang, sebuah lingkaran sihir kembali muncul di dasar sungai Ayden.
Dari sana keluar sosok yang mengerikan. Tampak seekor monster dengan wujud seperti ikan berukuran raksasa keluar dari dalam lingkar. Yang keluar bukan hanya sebagian 'akar' dari tubuhnya lagi, melainkan seluruhnya.
Jika harus dideskripsikan, dia memiliki sirip kepala berbentuk tentakel yang menjalar bak akar. Sementara sirip sampingnya lebih menyerupai tangan manusia yang kurus kering dan bersisik seperti sisa tubuhnya. Ekornya panjang dan tajam bak kapak bermata dua.
Gustav beruntung karena ia tidak melihat wujud aslinya. Pasalnya, monster itu sangat suram dan mengerikan. Salah satu sirip kepalanya terlihat mengeluarkan darah hitam. Ia habis terluka akibat pedangnya Gustav.
Berbeda dengan tebasan pedang manusia biasa. Kali ini rasanya seratus kali lebih sakit.
Monster itu kemudian melangkah dengan 'tangannya' menuju tepian. Lalu saat tangannya naik ke atas permukaan, wujudnya langsung berubah menjadi seorang pria dengan rambut biru perak yang memantulkan sinar rembulan, seperti air sungai saat ini.
Dia mengenakan pakaian serba hitam dengan jubah di wujud manusianya. Dia terlihat sangat tampan. Sampai orang-orang mungkin tak akan percaya bila mereka diberitahu wujud aslinya.
Bersamaan dengan keluarnya dia, seorang wanita bersurai abu-abu berbayang lavender ikut muncul pula dari bebatuan sungai di pinggiran seberang.
"Cessair Forneus," panggil sang wanita kepada monster yang telinganya tengah berdarah itu sambil dirinya berjalan di atas air untuk pergi menemuinya.
Suara panggilannya terdengar sangat cantik dan menggema. Sampai pendengaran sang pria--Cessair yang harusnya rusak dapat mendengar lagi walau samar.
Ia lalu langsung mendekati wanita yang indah itu dan memeluknya. "Maafkan aku, Narelle. Seperti yang kamu lihat, aku gagal memberantas Kapten Atristan. Kamu pasti merasa kecewa."
Wanita bernama Narelle itu mengelus pipinya sambil tersenyum tipis, menenangkan Cessair yang gelisah, "Tidak apa. Setidaknya kamu masih bisa mendengar suaraku."
Narelle dengan pelan-pelan menyentuh bagian telinganya yang putus dengan tatapan dingin. Setelah itu dia kembali melihat Cessair dengan raut muka menenangkan. Ia lanjut berbicara, "Jadi, siapa orang yang sudah dengan berani menebas telinga kamu?"
"Seorang prajurit bayaran dengan kekuatan misterius bernama Gus," jawab Cessair sembari ia menggenggam lembut tangan Narelle di wajahnya, "Berkaitan dengan hal itu, aku jadi teringat akan perintah tambahan yang diberikan oleh Tuan Leviathan saat aku ditugaskan untuk mencelakai Kapten Atristan."
"Katanya, saat ini para tetua masih meributkan soal keberadaan pangeran Oliver yang hilang dari kastil misterius berbalut sihir."
"Sehingga pada tes kesetiaan gilda manusia sekarang, selain mencelakai ketiga pemimpin, tetua juga meminta kita untuk mencari jejak keberadaan pangeran di setiap gilda dengan cara mengendus siapapun orang yang memiliki aroma berkat Dewi."
"Lalu, apa kamu merasakan kekuatan dewi dari manusia rendah yang sudah menyakitimu itu?" tanya Narelle. Manik merah mudanya menangkap fokus mata merah kelam milik sang pria.
"Tidak. Kekuatannya terasa cacat. Elemennya hambar bagai manusia yang baru membangkitkan sihir," jawab Cessair, "Akan tetapi, bekasnya begitu menyakitkan. Makanya aku jadi curiga dan was-was. Meski persentasenya kecil, kemungkinan kalau dia adalah pangeran yang hilang itu tetap ada bukan?"
"Kau mungkin memang benar. Namun, perkataan hanyalah sebuah spekulasi. Kita tidak boleh sampai terlihat takut ataupun curiga padanya secara terang-terangan," balas Narelle. Ia lalu menuntun Cessair untuk masuk ke dalam hutan, "Nanti saat rapat, mari beritahu tetua soal kecurigaan kita."
Tetapi Cessair langsung menghentikan Narelle, lalu ia berkata dengan nada yang suram nan rendah. "Jangan beritahu siapapun."
"Jika spekulasiku terbukti benar dan tetua sampai tahu kalau saat ini aku gagal membunuh dia, kita berdua bisa mati seperti Caim," ungkap Cessair dengan gentar, "Aku tidak masalah kalau aku dihukum. Tapi aku tidak mau kamu ikut terseret dalam masalahku."
Narelle menghela napas panjang. "Baiklah, aku turuti maumu," Ia lalu mengalihkan pandangan kepada pria itu dan memeluknya, "Kita akan awasi dia untuk saat ini."
"Nah, sekarang, ayo pulang, sayang. Aku perlu mengobatimu."
Sebuah lingkaran sihir lalu terbentuk dengan instan setelah Narelle mengatakan keinginannya. Dua insan yang pasti bukan manusia itu kemudian dengan sekejap menghilang dan meninggalkan sedikit jejak genangan air di tanah yang tadi mereka pijak.
Beberapa saat sesudahnya, seorang pria berjubah coklat dengan panah di punggungnya melompat dari atas pohon ke tanah. Ia lalu menyelidiki sisa genangan air dengan khawatir.
"Gus dalam bahaya," gumam pria berambut coklat kehijauan yang kita kenal itu, Derrick.
Lalu sesuai dengan julukan Derrick sebagai Pria Bayangan, mata-mata penggali informasi terbaik yang sebutannya terkenal di antara tiga gilda--dan yang setia terhadap gilda mercenary. Dengan sekejap ia melompat ke seluk beluk pohon-pohon dan hilang dalam kegelapan malam.
Aku harus menyampaikan apa yang kudengar tadi kepada Lydia secepatnya.
o==[]::::::::::::::::> TBC
Atristan aslinya pake helm, tapi saya malas gambarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top