2 - Kisah Lanjutan Rubah dan Tupai

Berbulan-bulan telah berlalu sejak pertemuan pertama Gustav dengan Atristan. Tanpa disangka pula oleh sang pangeran, bahwa calon ksatria masa depan itu terus mengunjunginya sekali setiap minggu. Di jam yang sama dan pada tempat yang sama pula.

Berkat hal itu, perasaan Gustav terhadap dirinya sendiri menjadi semakin positif hari demi hari. Meskipun dia merasa bersalah juga karena dia sudah menghabiskan banyak waktu dan tenaga milik Atristan hanya untuk membuat mereka saling bertemu.

Seperti hari ini. Sekalipun cuaca bersalju lebat, Atristan tetap mengunjunginya.

"Festival tahun baru untuk memperingati kelahiran Raja January akan dilaksanakan tiga hari lagi. Apa kamu akan ada di sana?" tanya Gustav kepada Atristan dengan penasaran.

"Saya pasti akan ada di sana untuk membantu para ksatria berjaga dan untuk menikmati waktu bersama keluarga saya," ujar anak yang tua empat tahun dari Gustav itu sambil tersenyum memandangi langit.

"Ah, maaf, apa perkataan saya sekiranya menyinggung perasaan Anda?" tanya Atristan balik kepada Gustav tatkala ia menyadari situasi. Bukankah Gustav selalu terkurung di dalam kastil ini? Dia pasti tidak pernah merasakan perayaan festival seperti iu.

Gustav menggeleng kecil. "Tidak apa-apa."

"Kalau begiu maaf-maaf saja, sepertinya saya tidak bisa menemani dan memberi kabar pada Anda minggu depan. Seharian saya akan sibuk. Saya harap Anda memakluminya."

"Tidak apa-apa. Yang penting kamu harus menikmati waktumu selama festival yang berlangsung berhari-hari itu. Kamu tidak harus menemani aku. Kamu kan belum jadi ksatria resmi untukku kan?"

Seketika mata Atristan berbinar. "Kalau begitu apakah aku bisa menemanimu setiap saat kalau aku jadi ksatria pribadi resmimu nanti?"

"A-aa... uhuk, maksudku, bukankah itu hal yang pasti bila seandainya benar terjadi?" balas Gustav sembari memandang ke arah lain.

"Kalau begitu nanti aku tidak hanya akan jadi ksatria kerajaan ini, aku akan jadi ksatria pribadi untukmu juga, Yang Mulia."

"Kamu... kamu sangat ahli berkata-kata manis sepertinya," komentar Gustav.

"Haha! Mungkin itu efek karena aku punya adik kecil. Dia sangat manis dan seumuran denganmu juga! Jadi memberi penghiburan adalah keahlianku!"

"... Kamu sepertinya benar," tanggap Gustav sembari memeluk tubuhnya sendiri yang mulai merasakan angin dingin. "Apa kamu harus kembali lagi ke tempat latihanmu setelah ini?"

"Tidak. Tuan Duke memperbolehkan squire-nya untuk pulang lebih awal. Jadi aku mengambil kesempatan itu untuk menemani Anda sebentar," jawab Atristan, "Apa ada masalah?"

"Cuaca akan semakin dingin saat kamu berjalan keluar dari sini. Apa kamu tidak ingin tinggal sebentar sambil menunggu cuaca baikan?" tanya Gustav. Matanya melirik Atristan dengan sorot khawatir.

"Hehe, sebagai calon ksatria, aku kan harus terbiasa dengan cuaca dingin seperti ini! Lagipula, aku sudah bisa menggunakan sihir sekarang!" balas Atristan dengan semangat.

Laki-laki dengan manik oranye itu lalu menyodorkan tangan. Rambutnya jingganya tampak seolah membara. Di telapaknya muncul cahaya dan panas yang perlahan membakar udara di sekitar.

"Sihir api," kata Atristan sambil melihat ke arah Gustav, seolah menanti-nantikan pujian darinya.

Sang Pangeran memerhatikan api itu dengan seksama, dan tanpa sadar dia berucap dengan pelan, "Sihirmu indah." Kata-katanya itu sangat menyenangkan hati Atristan.

"Aku sudah melatih ini selama setahun penuh semenjak kekuatanku bangkit," ujar Atristan, "Dengan ini aku tidak akan mati kedinginan bahkan di dalam badai es. Jadi, Anda tidak perlu khawatir dengan saya."

Gustav tersenyum lega. "Baguslah kalau begitu."

"Ah, tapi sebelum kamu pergi, apa aku boleh meminta satu hal darimu?" tanya Gustav. Ia meletakkan kedua tangannya di atas api milik Atristan untuk merasakan hangatnya.

"Tentu saja, Yang Mulia."

Gustav mengembuskan napas panjang sebelum mengatakan maksud hatinya. "Aku ingin kamu menganggapku sebagai teman, bukan atasan. Jadi, bicaralah dengan informal padaku."

"... Tapi saya hanyalah rakyat biasa, sedangkan Anda seorang pangeran. Apakah boleh?" tanyanya dengan bimbang.

"I-itu... sejujurnya dibanding ksatria, aku lebih membutuhkan teman, dan aku akan sangat menghargainya bila kamu mau menjadi teman pertamaku," tawar Gustav. Tampak semburat merah kecil di pipinya tatkala ia mengatakan hal itu.

Atristan tertawa kecil. "Jika memang kamu ingin seperti itu, aku ... ekhm... tidak masalah." Sebuah ide lalu terbesit di pikirannya. "Bagaimana supaya pertemanan kita terasa lebih nyata, kita buat panggilan sayang untuk diri kita masing-masing?"

"Eh? Memangnya orang-orang berteman seperti itu?" tanya Gustav dengan polosnya.

Atristan nyengir. "Hehe. Karena rambutmu coklat dan badanmu kecil, aku akan memanggilmu Tupai!" katanya dengan nada menyebalkan.

Setelahnya Gustav diam sebentar, lalu menggembungkan pipinya dengan sebal tatkala dia menyadari maksud Atristan. "Apa kamu ingin menggodaku?" tanyanya. Atristan tidak menjawab dan hanya tersenyum sukses.

"Kalau begitu, kamu adalah rubah karena kamu sangat picik!"

"Hehe, setidaknya rubah lebih keren daripada tupai! Terlebih, aku bisa memakanmu! Waaaa!" Atristan melebarkan kedua tangannya dalam posisi mencengkram seolah ingin menangkap dan menghabisi tupai yang berlindung di balik Jendela di hadapannya.

"Wow, kamu sangat menyeramkan."

"Kamu beruntung karena kamu ada di dalam sana! Kalau kamu ada di luar, aku pasti sudah memakanmu!"

Gustav hanya tertawa kecil tatkala mendengar pernyataan darinya. Sementara Atristan memandang bocah laki-laki di hadapannya dengan perasaan senang. Suasana mereka hangat. Sehingga cuaca dingin seperti terabaikan.

Sesudah cukup lama menemani, akhirnya ia mengucapkan salam perpisahan yang sebetulnya. Atristan melambaikan tangannya dan dibalas oleh lambaian kecil milik teman barunya itu.

Saat Atristan sudah cukup jauh melangkah, ia membalikkan badannya saat sekilas mendapati ucapan yang sampai di indera pendengarannya.

Gustav yang masih ada di bagian lain dari jendela memposisikan kedua tangannya di tepi mulut untuk mengeraskan suara. Ia berucap sambil berteriak dari dalam sana.

"Saat kita bertemu lagi, tolong ceritakan tentang suasana festival itu!"

***

Setibanya saat malam festival, Gustav duduk di samping jendela kamarnya yang berada di bagian paling atas menara. Ia menatap pemandangan di luar kastil nyamannya sambil berpikir : kira-kira apa yang orang-orang lakukan saat ini? Apa akan ada yang namanya pasar malam? Seperti apa pertunjukkan yang ditampilkan di teater lapangan di sana?

"Bibi, apa bibi pernah pergi ke festival?" tanya Gustav kepada wanita yang tengah membereskan kasurnya.

"Pernah," jawabnya, "Tumben Anda bertanya. Biasanya Anda diam dan mengurung diri saat ada hal seperti itu."

Gustav hanya tertawa kecil lalu bertanya lagi, "Apa malam festival itu menyenangkan?"

"Iya, sangat menyenangkan."

"Kalau begitu apa bisa bibi ceritakan semuanya?" tanya Gustav dengan mata berbinar-binar. Mata birunya bak memancarkan sinar kejora malam. Dia benar-benar terlihat seperti anak kecil yang sedang bersemangat saat ini.

Gustav lalu berbalik dan sekarang menghadap ke arah bibi itu. Tampak kembang api mekar di langit yang terlihat di belakangnya. "Apakah menurut bibi aku bisa ke festival saat dewasa nanti?" tanyanya lagi kali ini dengsn lebih dramatis, karena ada lebih banyak kembang api indah yang mekar di atas kepalanya.

Bibi pengasuh itu ragu-ragu, karena diapun tidak tahu bagaimana perintah Raja dan Ratu untuk Gustav saat dia sudah besar nanti. "Ah, kalau soal itu, Yang Mulia...."

Namun, sepersekian detik setelah itu, ia langsung menunjukkan tatapan horror. "Yang Mulia, di belakangmu!"

Gustav yang tiba-tiba diteriaki menjadi kaget, dan tepat saat itu juga, ia merasakan ada suatu makhluk berkuku tajam yang memeluknya dari belakang.

"Pangeran! Pangeran cepatlah lari dari situ!"

Panik. Gustav secara spontan mendorongnya sehingga makhluk tersebut jatuh dari jendela. Bocah laki-laki itu segera berlari dan berlutut dengan gemetaran di hadapan sang bibi.

"A-apa itu tadi barusan, Bibi?"

Tidak punya waktu untuk basa-basi. Sang Pengasuh kemudian segera menggendong Gustav di punggungnya dan berlari ke bawah menuju lorong buntu.

"Bi-bibi! Tapi tempat ini tidak ada jalan keluarnya! Kita sebenarnya mau ke mana, Bibi!?" Gustav kecil bertanya dengan nada penuh ketakutan, dia mencengkeram bahunya dengan erat.

Wanita tua itu menurunkan Gustav di sana. Dia lalu menilik sekitarnya. Mencari-cari keberadaan sebuah tangkai lilin di dinding. Setelah ditemukan, ia kemudian menekan sebuah bata pada di samping kanan penyangga lilin, dan seketika terbukalah sebuah jalan kecil di bawah kastil.

"Yang Mulia Pangeran, dengar baik-baik, Anda harus segera pergi melewati jalan itu," ujar sang pengasuh. Ia merendahkan badannya untuk menyamakan tinggi dengan Gustav lalu memberi pelukan untuk memberi keberanian kepada anak itu.

Di belakang sang pengasuh sudah tampak bayangan makhluk itu semakin dekat. Ia mengejar mereka.

"Anda cukup berjalan lurus, maka Anda akan menemukan jalan keluar menuju sisi lain istana," jelasnya, berusaha untuk bersikap tenang.

"L-lalu, Yang Mulia, jika Anda terus melangkah melewati jalan setapak, Anda akan menemukan kampung kecil tempat saya tinggal dulu," lanjutnya, "Cari seseorang bernama Gigantos. Bilanglah kalau Anda dikenal oleh saya."

Gustav mengangguk mengerti, ia lalu turun ke lorong kecil di bawah tanah itu. "Sekarang, Bibi ayo turun!" Gustav mengangkat tangannya sewaktu ia sudah berhasil turun.

Namun, alih-alih diikuti. Bibi pengasuh itu hanya tersenyum lirih. Ia menutup kembali jalan rahasia itu dan berlari ke arah makhluk gelap itu dengan membawa tangkai lilin yang tadinya melekat di dinding.

"B-Bibi! Kenapa Bibi menutup jalannya! Bibi kan harus ikut kabur!" Gustav dengan panik berusaha menghentikan gerakan lantai kastil yang menutup itu, akan tetapi usahanya nihil.

Sekarang hanya ada kesunyian di sekitarnya, bahkan suara dari atas tidak terdengar lagi-dan Gustav kecil juga tidak ingin mendengar kejadian macam apa yang terjadi di atas sana.

Dengan tampang tidak percaya, Gustav duduk menangis untuk beberapa saat. Dia berusaha untuk menenangkan dirinya.

Ayo, tenangkanlah dirimu Gustav. Kamu kan sudah terbiasa sendirian. Kamu tidak apa-apa.

Gustav menyeka air matanya lalu bangkit berdiri dan mulai berjalan sesuai arahan yang didapatkannya.

Kamu tidak butuh orang dewasa untuk menghibur dirimu lagi kan?

Tak lama kemudian, air matanya sudah berhenti. Anak laki-laki itu sudah membulatkan tekadnya. Dia akan terus bertahan untuk menepati keinginan pengasuhnya-yakni agar Gustav dapat keluar dengan selamat.

Gustav lalu menemukan sebuah peti setelah berjalan cukup jauh. Peti berisi tas yang penuh uang dan sebuah surat di dalamnya.

Gustav tahu betapa pentingnya uang, ia kemudian menggandeng tas tersebut. Setelah membaca isi surat, ia kemudian melanjutkan perjalanannya. Surat yang ditulis tangan dengan guratan tinta indah itu berbunyi:

•••

Jika kamu telah membaca surat ini, berarti kerajaan sedang tidak baik-baik saja, anakku.

Namun, kamu harus mengerti. Karena itu artinya kamu tidak bisa tinggal di istana lagi. Kamu harus lari sejauh mungkin dari sini. Hiduplah tanpa memberitahu identitas kalau kamu adalah Pangeran.

Pergilah dengan perasaan bebas, Gustav! Jangan sekali-kali kamu melihat ke belakang selama perjalananmu.

Hanya tolehlah ke belakang, saat kamu merasa sudah cukup dewasa untuk menghadapi bayangan masa lalu yang mengikutimu.

Pesan terakhir dari ibu, untuk apa yang akan terjadi kedepannya setelah kamu mengalahkan bayangan, lakukanlah sesuai kehendakmu. Kami tidak akan memaksamu untuk mengambil alih takhta, menguasai dunia, atau semacamnya.

Cukup lakukan apa yang kamu rasa benar dan baik untukmu.

Dari Yang Mulia Ratu,
Untuk putra yang selalu ia sayangi, Gustav Oliver.

•••

o==[]::::::::::::::::> TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top