17 - Akhir Kontrol Iblis
Kamar bawah tanah, Biara Suci
Pria bersurai coklat emas itu membuka matanya dengan napas lemah. Ia dengan sayu menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Ia memerhatikan pemandangan ruangan yang asing.
Ruangan tempatnya berbaring saat ini tidak memiliki jendela. Dan dinding-dindingnya terbuat dari batu-batu tetapi tertata rapi. Apakah ini ruang bawah tanah? Gustav berpikir, ya, itu jawaban yang masuk akal.
Lalu di sampingnya ada kasur lain yang ditiduri oleh sohibnya, Atristan dengan pulas. Atristan pasti kelelahan sekali setelah pertarungan semalam, dan memikirkannya lagi membuat Gustav jadi merasa bersalah. Seandainya dia lebih kuat dan tahan banting, seandainya dia bergerak lebih cepat dan lebih gesit, iblis itu pasti akan lebih cepat dikalahkan dan korban jiwa yang ditimbulkan tidak akan sebanyak ini.
Manusia terpilih apanya, menghadapi dua iblis saja aku sudah kalang kabut, pikir Gustav sambil memijit kepalanya yang masih terasa pusing setelah mendapat benturan keras di tengkuk.
Tanpa disadarinya, ia menatap Atristan yang tidur damai dalam waktu lama. Dia mulai berpikir, kalau dia harus menjadi lebih kuat demi melindungi dunia, setidaknya dia harus bisa jadi kuat dulu untuk pria ini.
Jika seandainya saja waktu itu Atristan terluka lebih parah... oh, Gustav tidak sanggup membayangkannya.
Aku harus jadi lebih kuat.
Apabila pun nanti aku tidak bisa jadi cukup kuat untuk layak mengemban takdirku sebagai Manusia Terpilih, aku harap setidaknya aku bisa jadi cukup kuat untuk melindungimu.
Demikian, sebuah ikrar yang kuat melekat pada hatinya.
Gustav kemudian bangkit duduk. Ia meraba punggungnya dan merasakan pembengkakan dan rasa sakitnya mulai berkurang. Dia harus berterima kasih kepada wanita yang menyelamatkan mereka kemarin.
Sesaat setelah ia dapat duduk dengan nyaman, pintu ruangan itu terbuka dan menampilkan sesosok wanita bertelinga kelinci dengan tanduk rusa. Wanita itu mengenakan pakaian satin serba ungu, menandakan bahwa dia bukan dari golongan rakyat biasa.
Gustav pernah melihatnya bersama dengan Florian, representatif gilda penyihir. Wanita itu adalah Vesia Jackal, Penyihir Agung Istana saat ini. Selain itu, dia juga orang yang dulu pernah merawat Atristan selama masa pemulihan pasca amnesia dan tampaknya dekat dengan mantan guru teologinya, Elsie Cleric. Jika tebakan Gustav benar, wanita itu seharusnya sudah tahu siapa dia.
Di dunia jalanan, dia selalu dinggambarkan sebagai wanita berkepribadian dan berpakaian sangat gelap. Akan tetapi bila diperhatikan lagi, dia sangat anggun.
Wanita beriris silver itu kemudian mengambil kursi untuk duduk di depan kasur mereka. Ia menyilangkan kakinya yang terselimuti oleh jubah gaun. Manik misteriusnya tertuju pada Gustav.
"Sebuah kehormatan bagi saya untuk bisa bertemu dengan Anda langsung, Yang Mulia. Saya banyak mendengar soal Anda dari Elsie," ujar wanita itu dengan suara yang halus. Ia menatap mereka berdua lekat-lekat.
"Kekacauan akibat serangan mendadak iblis ini ialah karena kegagalan saya mengurus keamanan internal. Dengan ini, saya mohon pengampunan dari Anda yang sebesar-besarnya," katanya sambil menundukkan kepala.
Gustav tidak tergerak. Dia hanya membalasnya dengan lugas, "Tidak. Penyihir istana seharusnya fokus pada pendidikan dan pembinaan teknologi sihir. Bila ada pihak yang harus bertanggung jawab, maka itu adalah para ksatria yang tugasnya jelas untuk menjaga keamanan."
"Tetapi apa boleh buat, kejadian ini sampai harus terjadi," Gustav duduk dengan tegap, "Bila kamu memang merasa bersalah, saya harap kamu dapat membayarnya dengan laporan sejelas-jelasnya, kepada saya, Kapten Atristan, dan gilda prajurit bayaran."
Manik silver itu sontak membuka lebar. Apakah pria yang pandai bicara ini benar-benar dididik dalam lingkungan gilda prajurit bayaran yang liar dan tak tahu malu? Terlebih, dia bisa membedakan tugas penyihir dan ksatria istana dengan baik tanpa miskonsepsi?
Vesia bisa merasakan jantungnya berdebar. Pria muda ini benar-benar adalah orang yang mereka cari selama sepuluh tahun.
Manusia terpilih yang ketiga.
Vesia seketika bangkit dari duduknya lalu memberi hormat, sebagaimana dia mengucap salam kepada Raja-Ratu sebelumnya, "Izinkan saya menjelaskan perkara ini pada Anda, Yang Mulia."
Vesia lalu mulai menjelaskan.
"Sekitar sepuluh tahun yang lalu, iblis kembali berusaha untuk merenggut kerajaan kita. Namun, berbeda dengan perang besar dahulu, kini mereka melakukan sabotase dari belakang, dengan menyelundupkan pasukan mereka secara diam-diam, berbaur ke khalayak ramai."
"Pertama-tama, itu adalah alasan mengapa dahulu kami berusaha keras untuk menyembunyikan keberadaan Anda. Kemudian, penjelasan saya berikutnya adalah tentang apa yang terjadi setelah itu."
Vesia kemudian menceritakan bagaimana Raja dan Ratu, orangtua kandung Gustav, diculik oleh mata-mata iblis. Sehingga terjadi kekosongan kekuasaan yang membuat istana kesulitan untuk berkomunikasi dengan dunia luar.
"Karena kekosongan kuasa itu, posisi pemimpin tertinggi dipegang oleh Dewan Bangsawan, mengingat Pangeran Angellio dan Claudius yang adalah pewaris resmi dulu masih sangat muda."
Vesia menarik napas panjang, memberi jeda sejenak.
"Namun, ternyata terjadi kongkalikong di balik layar. Ada iblis pengontrol yang turut andil mengendalikan pergerakan para bangsawan, sehingga masalah penculikan Raja dan Ratu tidak pernah selesai, dan kerajaan kita menjadi mundur dalam hal ekonomi sampai pertahanan. Bahkan sekarang kita jauh tertinggal dari Kerajaan Egyllis yang adalah musuh abadi kita."
Gustav mengangguk, "Dan wujud iblis pengontrol itu baru kalian semua ketahui setelah kejadian ini?"
"Benar," Vesia mengiyakan dengan lemas, "Sayangnya karena banyak permasalahan yang ditimbulkan iblis dan bangsawan, kami jadi fokus menyelesaikan masalah di permukaan, sedangkan mencari tahu sosok asli iblis pengontrol itu luput dari pandangan kami."
"Selama 10 tahun sosok iblis pengontrol itu luput? Kalian sama sekali tidak berpikir untuk membuat regu penyelidik khusus selama itu?" sindir Gustav. Dia mempertanyakan banyak hal. Vesia dapat merasakan tatapan mengevaluasinya dengan sangat jelas.
Rasanya seperti berhadapan dengan kekecewaan Raja.
"Banyak bangsawan menghalangi gerakan kami." Lagi-lagi Vesia mengiyakan dengan pasrah, "Hukum manusia di negeri ini membuat kami tidak bisa melawan kehendak bangsawan."
"Ditambah iblis sudah jadi jauh lebih pintar sekarang. Semenjak kekalahan mereka dalam perang 20 tahun melawan Yang Mulia Ratu, Ibunda Anda. Pergerakan dan siasat otoriter iblis menjadi semakin defensif dan sulit untuk kita baca."
Gustav termanggut. Dia kembali menanyakan, "Kalau demikian, bukankah berarti rencana iblis untuk perlahan-lahan mengambil alih kerajaan kita ini bisa dibilang sangat matang? Namun, mengapa mereka bisa kelabakan dan memutuskan untuk menyerang saya dan Atristan secara gamblang?"
Vesia berpikir sejenak, sekilas, sosok Elsie yang tengah berdoa kepada dewi terlintas di lubuk hatinya. Dia melihat ke arah pria itu kembali.
"Karena ramalan tentang Yang Mulia ditakuti oleh mereka."
"Maksudmu, mereka begitu karena insting spontan mereka?" Gustav bertanya balik.
Wanita itu menjawab dengan yakin, "Saya rasa Yang Mulia sangat tahu, bahwa rasa takut di tengah jalan menjadi penentu seseorang akan menempuh jalur yang mana."
Singkatnya, penyerangan mendadak di pemandian adalah blunder pihak iblis yang sangat besar. Bagaimana tidak? Mereka mengekspos diri mereka sendiri dan bahkan tidak berhasil membunuh target mereka, Gustav.
"Kalau demikian, apa berarti identitas saya sudah diketahui oleh para iblis?" tanya Gustav dengan rasa khawatir.
"Yang pasti tahu mengenai identitas Anda hanyalah dua iblis 'pengontrol' yang sudah tewas. Sedangkan untuk iblis lain di luar sana, saya rasa mereka hanya tahu tentang keberadaan Manusia Terpilih Ketiga yang telah lahir, bukan nama dan sosok Anda," jelas Vesia sepengetahuannya.
Pria yang jadi lawan bicaranya itu memegang dahu. Ia berpikir untuk sesaat.
"Siapa-siapa saja orang yang mengetahui identitasku saat ini?" tanyanya.
"Setahu saya hanya pihak kuil, saya, Kapten Atristan, dan keluarga inti Duke Percyval saja," jawab Vesia.
"Berarti pihak internal istana, bangsawan lain, dan rakyat belum tahu?"
"Mereka bahkan tidak tahu Anda pernah lahir," ujar Vesia dengan datar. Dia terlalu jujur.
Ouch, itu agak menyakitkan, batin Gustav, tetapi setelah itu dia sedikit tersenyum. Sebuah ide cemerlang muncul di otaknya.
"Kalau begitu, beritahu mereka."
Vesia memiringkan kepalanya dan salah satu telinga kelincinya turun ke bawah dengan heran. "... Maaf?" Bukankah pria muda ini sangat tidak suka ketika Elsie membeberkan identitasnya? Mengapa sekarang ia berubah pikiran?
"Maksud saya, setelah saya melakukan sesuatu yang penting." Gustav lalu turun dari kasur. Ia berdiri mendatangi Vesia, menunjukkan keberaniannya.
"Saya ingin belajar lebih banyak tentang politik kerajaan ini, dan tentang kekuatan saya," ujar Gustav. Ia lalu menundukkan badannya, "Maka dari itu, saya mohon dukungan dari Anda, Lady."
***
Aula ibadah, Kuil Suci Rakyat
Seorang wanita muda dengan pakaian serba putih dan rambut pirang panjang sampai menutupi mata tampak pulas tertidur di atas kursi. Sementara di depan kursinya terdapat altar yang dipergunakan oleh seekor kuda putih untuk menjadi tempat tidurnya. Mereka berdua sangat kelelahan.
Terdengar suara langkah kaki seorang pria mendekati mereka, mengusik tidur sang kuda betina. Namun, betapa gembira hatinya ketika ia melihat siapa yang tengah berjalan itu. Ia seketika bangkit dari tidurnya dan mengangkat kedua kakinya dengan semangat.
"Gustav!" Kuda itu langsung saja mengusapkan kepalanya ke dada sang pria dengan manja. Pria itu tersenyum, ia balas mengusap-usap leher kudanya, atau lebih tepat bila disebut pegasus miliknya.
"Senang bertemu denganmu kembali, Veronika," ucap pria yang disapa Gustav itu, "dan terima kasih karena kamu sudah menyelamatkan nyawaku. Kalau kamu tidak meminta bantuan kuil suci, saat itu aku dan Atristan pasti sudah mati."
"Aku justru lebih merasa bersalah karena kekuranganku sebagai binatang membuat aku harus meminta bantuan dulu," balas kuda itu, Veronika dengan murung.
"Tidak. Kau hebat. Aku dengar semuanya saat bicara dengan Lady Vesia. Dia bilang ketika kekacauan terjadi, kau langsung bergerak cepat untuk meminta bantuan Saudari Magdalena," sanggah Gustav, "Ah, kalau dipikir-pikir. Apa kamu berbicara saat meminta bantuan?"
"Aku berbicara dan menunjukkan kekuatanku, semuanya demi kau," jawab Veronika dengan wajah murung, "Setelah ini aku mau kau memberiku satu ember berisi stroberi."
"Haha, terserah kau saja," jawab Gustav dengan senyuman. Wajahnya lalu dijilat oleh Veronika, membuatnya merasa geli.
Mendengar keributan kecil yang terjadi di antara mereka, wanita muda yang tadinya tertidur pulas di atas kursi perlahan membuka mata emeraldnya. Ia merasa sedikit sebal karena waktu tidurnya diganggu.
Wanita itu lalu melihat ke arah Gustav sambil menarik napas panjang untuk mengumpulkan tenaga. Ia lalu bertanya dengan nada pelan, "Sudah bangun?"
Menyadari pertanyaan itu untuknya, Gustav beralih fokus ke wanita yang ia ketahui bernama Magdalena itu, "Sudah, tetapi Atristan belum."
Gustav kemudian berkata kepadanya, "Terima kasih sudah menyelamatkan kami, Saudari Magdalena. Kalau kamu tidak ikut dengan Veronika, kami benar-benar akan berada dalam bahaya."
Magdalena berdehem, dia menundukkan kepalanya. "Sudah kewajiban saya untuk membantu penduduk yang kesulitan."
"Bicara tentang penduduk, bagaimana kondisi korban yang lainnya?" tanya Gustav dengan rasa khawatir.
"Mereka sedang diobati oleh Bunda Elsie dan yang lainnya," jawabnya, "Lalu saya tidak sempat membantu mereka karena saya ketiduran di sini. Saya mohon maaf karena Anda harus melihat ketidaksopanan saya."
"Tidak apa-apa, lagipula kamu pasti lelah setelah menggunakan kekuatan kamu untuk mengobati kami," ujar Gustav dengan rasa bersalah. Ia lalu mengganti topik percakapan mereka.
"Ngomong-ngomong aku punya beberapa pertanyaan ingin aku tanyakan padamu." Gustav lalu mendekatinya, ingin duduk di sebelahnya, tetapi langsung dihardik oleh Magdalena.
"Tolong jangan duduk di dekat saya."
"Maaf." Gustav akhirnya berdiri satu meter di hadapannya. Menjaga jarak dari Magdalena yang tengah sensitif.
Gustav mulai bertanya, "Jadi mengenai hal yang ingin saya tanyakan, kamu adalah keturunan keluarga Cleric, benar?"
"Ya, saya adalah anak perempuan dari kakak Yang Mulia Ratu, Ibu Anda. Kita masih sepupu," jawab Magdalena.
"Apakah kamu bisa mengajarkan tentang kekuatan keturunan keluarga kita, kekuatan suci kepadaku?"
o==[]::::::::::::::::> TBC
A/N:
Bonus visualisasi (dari kiri ke kanan)
- Magdalena Cleric
- Elsie Cleric
- Vesia Jackal
Dan sepertinya cerita ini akan menjadi lebih berat, ya, terutama untuk konflik kepentingannya, haha. Lalu Gustav juga sudah mulai menunjukkan motivasinya. Apa menurut kalian situasinya akan berjalan lancar? Rencana macam apa yang ingin dia lakukan?
Saya tidak tahu dengan kalian, tetapi apakah kalian suka dengan konflik rumit seperti ini atau konflik yang dinyatakan secara gamblang (seperti konsep jahat vs baik)? Kalau menurut selera saya sendiri, saya suka mengonsumsi keduanya.
So... which types of fiction conflicts you like the most? Let me know your thoughts through the comment section ;)
See ya in next chapter
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top