13 - Penentraman Hati
Rumah Keluarga Ignatio
Gustav membawa Atristan kembali ke rumahnya setelah mereka keluar dari kuil. Perasaan pria bermanik biru langit itu masih berkecamuk kesal. Identitasnya sudah beber, dan sepertinya akan ada semakin banyak orang yang tahu soal itu.
Derrick sebagai penggali informasi terbaik gilda pasti akan mengetahui soal ini juga cepat atau lambat.
Gustav membatin, sembari ia membuat Atristan duduk di atas kasur, di dalam kamar pinjamannya.
Aku harus berkata apa ke Kak Lydia dan rekan-rekan segildaku nanti....
Terhenti dari omongan batinnya, Gustav lalu duduk di samping Atristan. Persis seperti saat ia berkunjung ke tenda Atristan pada malam yang lalu.
"Tris, apa kamu butuh minum?" tanya Gustav kepada pria yang berkulit tan itu.
"Tidak perlu, tetapi terima kasih," jawab Atristan. Ia lalu melihat wajah Gustav lekat-lekat. Jari-jemarinya mendekat perlahan ke helaian rambut berwarna coklat emas bergelombang.
"A-ada apa?" Gustav terbata-bata tatkala Atristan menyisir rambutnya ke samping supaya bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas.
Atristan kemudian berucap dengan pupil mata yang membesar, "Waktu kecil kamu lebih imut," komentarnya.
"Kalau kamu hanya ingin meledekku sebaiknya kamu diam saja."
"Haha, bercanda. Kamu yang sekarang juga tetap tampan," goda Atristan sambil tersenyum kecil.
Wajah Gustav jadi sedikit memerah setelah mendengarnya. Dia lalu memalingkan arah pandangannya. "Kamu ini... setelah membuat khawatir, kamu malah bercanda. Bisa-bisanya ada orang yang seperti kamu."
"Oh, tupai ini khawatir padaku." Atristan mencubit pipi Gustav dengan usil. "Tetapi sungguh, sekarang setelah bersamamu, aku jadi... merasa lebih baik-baik saja."
"Bukan berarti segala rasa sakitku hilang, hanya saja melihatmu di depan mataku seperti ini... rasanya sangat melegakan. Karena aku jadi tahu, kalau aku masih mempunyai hal berharga yang membuat kenang-kenangan menyakitkan, menjadi pantas untuk kuingat kembali," ujar Atristan sembari melepaskan cubitannya di wajah Gustav yang kini membeku.
"... Apa aku seberharga itu?" tanya Gustav sambil tangannya mengusap bekas cubitan Atristan di pipinya.
"Tentu saja, kamu kan pangeranku, Yang Mulia Gustav Oliver," jawab Atristan tanpa sedikitpun keraguan di kata-katanya. Ia tersenyum lebar. Cukup untuk membuat hati Gustav seketika merasakan kedamaian dan pengakuan. Namun, tak lama senyuman lebar itu berubah menjadi senyuman canggung.
"Ngomong-ngomong, Gus. Bagaimana kamu bisa tahu tentang kondisi medisku?" Atristan bertanya sambil menatap curiga ke arah Gustav.
"Ah, itu...." Gustav jadi tersenyum canggung juga setelah Atristan bertanya. Ia lalu terbatuk, kemudian melihat ke arahnya dengan malu. "Jadi... kamu tahu kan, tentang informan terbaik dari gilda prajurit bayaran... aku membayarnya untuk mencari tahu informasi perihal 'atasanku'."
Atristan mendekatkan wajahnya. "Kamu membayar mahal hanya untuk tahu kehidupan yang dialami oleh teman masa kecilmu ini?"
Gustav tidak bisa mengelak. Dia memang sangat penasaran dengan kehidupan Atristan setelah tidak pernah bertemu lagi. "Maaf, aku terkesan sudah menguntit kamu," balasnya tanpa benar-benar menjawab pertanyaan dari Atristan.
Atristan lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Y-yah, tetapi sebetulnya kamu tidak perlu merasa bersalah seperti itu... soalnya aku juga...."
Terdengar suara ketukan dari balik jendela. Tampak seorang pria bersurai hijau gelap tengah menyelinap dengan santai tanpa suara untuk masuk ke dalam kamar.
"Aku juga baru-baru ini meminta Derrick untuk... mendapatkan informasi tentang kamu," sambung Atristan sambil tersenyum dengan kikuk.
Dua insan lelaki itu kemudian saling menatap dengan malu, tetapi tak satupun dari mereka berani untuk berbicara lebih lanjut.
"Wah, sepertinya dunia benar-benar milik kalian berdua, ya?" sebuah suara pria di pojok ruangan memecah suasana canggung mereka. Itu adalah Derrick, yang sedari tadi masuk diam-diam. Dia membawa segulung kertas di tangannya, agaknya untuk diberikan kepada salah satu di antara mereka.
Gustav kemudian segera mendorong dada Atristan yang terlalu dekat dengan wajahnya, ia kelihatan malu. Setelah itu, pandangan manik biru tersebut tertuju ke arah Derrick.
"Kau dengar percakapan kami sampai mana?" tanya Gustav.
Derrick membalas singkat sambil menyeringai. "Semuanya, Yang Mulia." Pria bermanik emerald itu membungkukan badannya dengan hormat di hadapan Gustav.
Gustav tertegun untuk beberapa saat, ia tidak tahu harus membalas salamnya dengan apa. "Kau... tidak perlu formal padaku," ucapnya dengan nada canggung.
"Yah, aku tidak terlalu terkejut akhirnya akan jadi begini. Dari awal latar belakangmu memang sudah terlalu mencurigakan untuk dianggap sebagai 'anak laki-laki mantan bangsawan biasa yang kebetulan diasuh oleh Aphy'," jelas Derrick, seolah-olah ia bisa membaca pikiran Gustav yang penuh pertanyaan saat ini.
"Tapi tenang saja, siapapun identitas aslimu, kau tetap ipar angkat kesayanganku," lanjut Derrick. Ia kemudian melihat ke arah Atristan dengan senyum sangat ramahnya.
"Lalu kau, orang yang membayar mahal untuk mendapatkan informasi soal iparku yang ternyata adalah teman lamamu sendiri. Terima kasih atas uangnya! Hahahahaha!" Derrick tersenyum meledek sambil melempar gulungan kertas kepada Atristan yang ditangkap oleh Gustav.
Gustav mengernyitkan dahinya, "Rasanya seperti aku diperjual belikan di sini." Ia bergumam sembari memberikan gulungan kertas itu kepada Atristan.
"Oh, apa itu artinya aku dapat restu?" celetuk Atristan saat ia menerima kertas bertuliskan banyak hal itu. Gustav sontak menoleh ke arahnya, lalu memandang Derrick yang hanya tersenyum sejak tadi. Dia heran, apakah pertemanan sesama pria harus mendapatkan restu juga?
Setelah itu, senyuman Derrick memudar, digantikan oleh ekspresi seriusnya. "Asalkan kau berjanji untuk menjaga adik ipar manisku selama kau masih bisa bernapas dan tidak mengkhianatinya," ujarnya seraya menatap manik api milik Atristan dengan tajam.
"Seorang ksatria tidak akan pernah mengkhianati tuannya," balas Atristan dengan percaya diri. "Kau bisa mempercayakan Gustav dan informasi ini kepadaku."
***
Mereka kini hanya berdua setelah Derrick pergi. Gustav dan Atristan lalu memutuskan untuk lanjut mengobrol dan saling bertukar informasi yang ada di dalam kertas.
Tujuannya tak lain dan tak bukan ialah untuk memecah rasa tegang setelah kedatangan Derrick yang tiba-tiba, serta untuk memastikan apakah informasi yang mereka dapat soal kehidupan masing-masing itu valid atau tidak.
Sesudah puas berbicara hingga hampir subuh, Atristan lalu membakar kertas-kertas berisi informasi mereka dengan kekuatannya sampai tak bersisa.
"... Kalau aku juga punya atribut api, mungkin aku akan terlihat keren," ucap Gustav tiba-tiba tatkala kertas terakhir hangus dilalap api.
"Aku harap kamu punya atribut lain, sehingga yang keren di matamu itu hanya aku," balas Atristan dengan spontan.
"Ngomong-ngomong soal api, cuacanya entah mengapa jadi sangat dingin," kata Gustav. Dia melihat ke arah jendela yang diterpa angin kuat.
Atristan lalu bangkit berdiri dan mendekat ke arah jendela. Ia mengeluarkan kepalanya untuk melihat langit yang mendung. Setelah itu dia menutup jendela beserta gordennya.
"Sepertinya akan ada badai," ucap Atristan, "Dan hari akan semakin dingin. Bagaimana kalau kita tidur berdua saja? Aku takut kamu kedinginan nanti," tawar Atristan karena dia memiliki elemen api.
"Tidak apa-apa. Ada selimut. Lalu aku juga terbiasa dengan lingkungan ekstrim karena pekerjaan yang mengharuskanku untuk berpindah-pindah," jawab Gustav. Ia menolak tawaran dari Atristan.
"Baiklah," tanggap Atristan. Ia kemudian melangkah keluar dari kamar. "Kalau begitu selamat tidur, Gus. Mimpi indah," katanya sebelum pergi.
"... Mimpi indah juga, Tris." Suara Gustav keluar dengan pelan, tatkala pintunya ditutup oleh sang pria. Sekarang hanya ada dirinya sendiri, dan karena itu pendengarannya jadi lebih sensitif, sehingga dia bisa mendengar suara badai di luar sampai detak jantungnya sendiri.
Gustav lalu merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Ia menarik selimut yang lumayan tebal untuk menutupi tubuhnya, sebelum manik biru langit itu menutup dengan tentram.
Selimut ini... jadi lebih hangat. Apakah Atristan memantrai selimut ini sebelum dia benar-benar pergi?
Gustav membatin kepada dirinya sendiri sambil tangannya memeluk selimut itu erat-erat.
Dia... terlalu perhatian. Kalau begini terus, perasaanku bisa-bisa jadi semakin rumit, sampai aku tidak mengerti lagi.
***
Istana Utama
Langit yang gelap mulai memunculkan awan mencekam. Menjadi tanda-tanda akan terjadinya hujan badai.
Bersamaan dengan tetesan pertama, seorang wanita muncul dari udara dengan bentuk tembus pandang dari butiran-butiran air hujan. Wanita itu kemudian mendekati jendela di sudut paling genap istana.
Ia mengetuk kacanya dengan lembut. Jendela itu lalu membunyikan suara seretan kayu saat dibuka oleh seorang pria bersurai biru.
"Selamat datang ke rumah, sayang," ujar pria itu dengan suara bariton yang sendu.
"Katakan, kabar apa yang kamu dapati, Narelle?" Pria itu lalu menuntun sang wanita elegan itu untuk duduk di atas tempat tidur besar mereka.
"Aku tadi sempat mendengar saat aku menjadi rintik hujan, bahwa perkiraan kita kemarin, tentang prajurit bayaran bernama Gus itu benar adanya," ucap sang wanita bernama Narelle itu sembari ia memangku kepala sang pria, suaminya.
"Dia adalah pangeran yang hilang, yang kita cari-cari."
***
o==[]::::::::::::::::> TBC
.
.
.
( BONUS SCENE )
Pagi harinya...
Pria muda dengan tubuh lumayan gagah itu bangun pagi dengan segar. Ia kemudian membuka jendelanya yang semalam tertutup. Ia menyambut wangi pagi hari dengan perasaan senang.
Aku lupa semalam aku bermimpi apa, tetapi rasanya aku bahagia sekali.
Pria muda itu--Gustav lalu berjalan keluar kamar dan menemukan Felicia sudah siap dengan menu sarapan. Ia mendekatinya setelah menyapa. Ia bertanya, "Apa hanya ada kamu sendirian di sini? Apakah Tris belum bangun?"
"Seperti yang bisa kau lihat," jawab Felicia, "Biasanya kalau dia telat bangun seperti ini, artinya semalam dia sibuk bermesraan dengan wanita. Tetapi belakangan dia tidak dekat dengan siapapun, jadi pasti ini karena dia kelelahan kerja," gumamnya.
"Aku akan membangunkannya," ucap Gustav--yang sadar diri kalau dia adalah sang pelaku yang menguras energi dan membuat Atristan berjaga semalaman.
Dengan demikian Felicia mengiyakannya dan Gustav pun pergi ke kamar yang ditempati oleh Atristan, hanya untuk mendapati pintu yang sudah terbuka dan menampilkan sosok pria bersurai jingga dengan sorot suram.
"... Tris?"
Kedua netra mereka saling bertemu. Mata Atristan tampak agak merah dan sendu, seperti tidak tidur. Setelah melihat wajah Gustav yang mulai khawatir, Atristan lalu menunjukkan senyum terpaksanya.
"Aku tidak apa-apa kok. Hanya saja hujan badai semalam mengerikan sekali," Atristan beralasan.
Gustav tidak mengindahkan alasannya itu dan langsung bertanya tepat sasaran. "Kamu mendapat mimpi buruk?"
"...."
"Tidak usah malu. Semua orang pasti pernah mengalami mimpi buruk-"
Atristan tiba-tiba mendekati Gustav. Ia menyandarkan dagunya ke pundak lelaki di hadapannya.
"Aku mimpi melihat kamu mati."
"...." Sejenak, Gustav merasa ingin memeluk pria di hadapannya, tetapi tangannya menolak untuk bergerak lebih jauh. Alhasil dia hanya mendengarkan seluruh ceritanya sampai habis, sampai Atristan lega untuk menatapnya kembali.
"Yah, mungkin karena efek sebagian ingatanku berangsur-angsur pulih, aku jadi merasa aneh, seperti ada yang berubah dari susunan kepalaku," ungkap Atristan setelah dia melepaskan diri dan kembali berdiri tegap.
"... Kalau... kamu masih merasa buruk, sepertinya tidak masalah kalau kamu mau tidur bersama," balas Gustav, "Kalau ada aku, aku harap kamu jadi tidak terlalu khawatir lagi. Tentang apa yang terjadi di masa lalu, ataupun yang akan terjadi di masa depan."
Gustav melihatnya dengan mantap, membuat Atristan terperangkap sejenak di relung langit di dalam matanya. "Gus, aku...."
"EKHEM! Kalau kalian tidak cepat, akan aku habiskan makanan-makanan ini sebelum dingin!" Sebuah suara perempuan dari ruang makan terdengar menggelegar, membuat Gustav dan Atristan tersadar dari dunia mereka.
"Kakakmu ini baru bangun dari malam buruknya dan kau malah begitu? Perhatian lah sedikit!" Atristan membalas perkataan adiknya dengan nada marah (tetapi seperti ingin minta dimanja). Dia lalu segera turun tangga sambil menggandeng Gustav ke meja makan.
.
Felicia :
***
(Iblis) Narelle Vepar
(Iblis) Cessair Forneus
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top