11 - Proposal

Bulan bersinar terang pada tengah malam. Begitupun sabuk bintang yang terlihat mengitari dengan beragam warna di langit kelam.

Selain itu, tahu hal apa lagi yang tengah memunculkan cahaya?

Benar. Kamar yang ditempati oleh Gustav sekarang masih menampakkan sepucuk sinar dari lentera yang sudah agak redup--menjadi pertanda bahwa dirinya tadi berjaga.

Ada satu orang yang menyadari hal tersebut. Atristan yang baru pulang dari pertemuan rahasianya di Kastil Duke dan Biara Bawah Tanah masuk ke dalam rumahnya dengan diam-diam. Pria berbadan tegap itu lalu menaiki tangga dan pergi ke kamar di mana cahaya lentera tersebut berasal.

Dia mengetuk pintunya sekali dan tidak ada jawaban. Dia mengetuk untuk yang kedua kalinya dan masih tidak ada jawaban.

Sehingga Atristan memilih untuk menggunakan cara yang kurang sopan, dia membuka pintu kamar itu pelan-pelan. Dia tidak ingin membangunkan pria yang mungkin saja sedang tertidur pulas di dalam dan lupa mematikan api.

"Pintu yang tidak dikunci, lalu lentera yang tidak dimatikan. Kamu ternyata bisa lupa akan hal-hal kecil juga." Atristan berkomentar sambil tersenyum gemas. Ia lalu berjalan mendekati pria yang kini tengah tertidur pulas di atas kursi mejanya.

Atristan berniat untuk mematikan api lentera dengan sekali jentikkan jari, tetapi niatnya terhenti saat matanya tanpa sengaja menangkap tulisan corat-coret Gustav.

"Kamu... ini baru hari pertamamu bertugas secara resmi dan kamu sudah membuat rencana sebanyak ini?" komentar Atristan dengan kagum. Ia tersenyum puas. Dia tidak salah pilih orang.

Atristan lalu menutup jendela kamar dan mematikan lentera di atas meja.

***

Keesokan paginya, kala matahari mulai menampakkan diri, Atristan dan Felicia sudah siap untuk pergi bekerja. Sehingga mereka meminta Gustav yang lebih bebas untuk menjaga rumah.

"Lalu jangan lupa untuk membersihkan halaman, memberi makan kuda, memberikan titipan Felicia kepada nenek tetangga, dan--"

Gustav menutup mulut Atristan dengan jari telunjuknya. "Aku tahu. Kamu tidak perlu mengulanginya dua kali."

"Haha, kalau begitu kami mengandalkanmu! Terima kasih sudah menawarkan diri untuk membantu!" ujar Felicia. Dia lalu membawa sekeranjang penuh dengan bunga kering dan melangkah pergi. "Kakak juga cepat pergi kerja! Jangan melamun di sana!"

"Iya, iya." Atristan yang sekarang tengah berada di seragam baju besinya lalu naik ke atas kudanya.

"Ada sesuatu yang harus kukerjakan di perbatasan. Aku mungkin akan pulang lebih larut hari ini," jelasnya tanpa menunggu pertanyaan dari Gustav.

"Kalau begitu, sampai jumpa, Gus. Kamu juga harus semangat menyelesaikan proposalmu." Atristan melambaikan tangannya sambil tersenyum manis saat ia mulai menjauh dari pandangan.

Gustav awalnya agak kikuk, tapi dia tetap membalas lambaian tangannya walaupun telat. "Kamu... hati-hati lah di jalan," seru pria muda bermanik biru cerah itu.

"Wah wah, lihatlah mereka. Sudah jadi seperti pasangan suami istri di hari pertama."

"Apa katamu?" Gustav melirik ke arah datangnya suara tersebut. Seperti dugaannya, kalimat menggelikan itu datang dari kuda pegasusnya yang tengah berbaring malas di kandangnya.

"Aku tadi bilang kalau aku akan menemanimu hari ini," jawab sang pegasus, Veronika dengan tidak jujur. Namun, barangkali karena tadi Gustav terlena, dia benar-benar berpikir kalau perkataan kuda putih itu adalah sungguhan.

"Itu sudah seharusnya. Aku akan pergi ke istana nanti setelah selesai membereskan rumah. Aku ingin mengajukan proposal kerjaku," katanya sambil melihat ke arah Veronika.

"Kau sudah tahu apa yang seharusnya kamu lakukan, bukan?"

Veronika nyengir. "Perkataanmu adalah perintah bagiku."

***

Istana Utama
Ruang Kerja Pangeran Pertama

Manik biru milik si sulung mengobservasi kertas-kertas proposal kerja yang diberikan oleh Gustav. Dia membaca cepat, namun jelas dia memerhatikan dengan teliti.

Sekitar kurang dari lima menit, dia menyudahi kegiatan membacanya. Angellio meletakkan berkas itu di atas mejanya di hadapan Gustav. Dia melihat orang di hadapannya dengan cukup senang, tetapi tidak sampai bisa mengukir senyuman puas di muka wajahnya.

"Pengajuan dana untuk meningkatkan taraf hidup anggota, mempertahankan kesetiaan, dan saran untuk mereformasi perbudakan. Semua itu adalah hal yang bagus. Terlebih di poin terakhir, pernyataanmu sungguh menarik," Angellio menatap Gustav dengan seksama.

Gustav meneguk ludah sebelum pria yang lebih tua tiga tahun itu melanjutkan kata-katanya. Angellio mengernyitkan dahi, "Namun, saya bertanya-tanya. Apakah perhitungan dananya sudah faktual? Lalu kamu tidak memberikan waktu pasti kapan kamu ingin mendapat suntikan dana, dan kapan tujuanmu dalam proposal dapat tercapai."

"Idemu oke, dasarnya ada, tetapi perencanaannya tidak jelas. Saya tidak bisa menerima ini," tegas Angellio.

Dia lalu menambahkan, "Lalu, setelah melihat pemikiranmu, sepertinya ekspektasiku akan jadi semakin tinggi terhadap representatif lainnya. Jika pekerjaan mereka ditolak, kamu jadi bersalah, lho?"

Mata biru Angelio lalu berubah warna menjadi merah. Dia menyatukan kedua tangannya di atas meja. "Katakan, bagaimana caramu mendapatkan pemikiran seperti ini. Jika jawabanmu menarik, saya mungkin akan mempertimbangkan untuk membantumu," tawarnya.

Tetapi Gustav menyadari perubahan kecil darinya dan tidak langsung menjawabnya secara terang-terangan. "Karena saya adalah prajurit bayaran yang punya banyak pengalaman bertahan hidup dan bertemu orang-orang asing. Bukan hal aneh bila saya memikirkan kesejahteraan untuk orang-orang saya dan masyarakat kecil."

"Saya tahu itu, tapi tulisanmu terlihat seperti sudah sangat yakin untuk dapat mengubah dunia! Maksudku, dari mana kamu dapatkan semangat cendekia seperti itu?" komentar Angellio. Dia kehilangan sisi dinginnya saat menanggapi jawaban yang tidak sepenuhnya salah itu.

Tidak salah lagi, matanya akan memerah bila dia sedang dikontrol oleh iblis, batin Gustav yang segera menyadari perubahan atmosfer di sekitarnya.

"Lalu? Apa itu adalah hal buruk?" Gustav bertanya balik. Dia lalu meraih kertas proposalnya sementara Angellio hanya memerhatikan gerak-gerik pria yang lebih muda darinya itu.

"Apa Anda takut rakyat biasa seperti saya bisa membuat perubahan di kerajaan ini?" Gustav memancing sekaligus menegaskan identitas palsunya. Dia bukan pangeran yang hilang, dia adalah rakyat biasa. Kenyataan itulah yang Gustav ingin orang-orang percaya.

"...." Angellio tidak membalas provokasinya, dia memberi tatapan tidak suka.

"Saya terima saran Anda untuk memperbaiki proposal saya. Namun, saya tidak akan menerima tawaran bantuan dari Anda," ujar Gustav sambil merapikan kertas dokumen di tangannya.

"Saya akan bekerja sama dengan representatif gilda lain mengenai pemikiran saya. Kami akan mematangkan ide masing-masing, kami akan memuaskan Anda." Gustav memberikan senyuman. Dia lalu membungkuk dengan hormat untuk menyampaikan salam perpisahan.

"Saya mohon pamit undur diri, Yang Mulia Pangeran Pertama. Semoga Anda jaya selalu." Setelah mengucapkan itu, Gustav pergi meninggalkan Angellio yang berdiam diri. Maniknya kembali menjadi biru.

***

Hari sudah berganti menjadi tengah malam menjelang subuh, dan Gustav baru saja pulang dari 'rapat kecilnya' bersama representatif gilda lain sepulangnya ia dari istana.

Syukurlah representatif gilda pedagang dan penyihir mendukung pemikiranku dan setuju untuk terus bekerja sama kedepannya.

Pria dengan rambut coklat emas bergelombang itu terlihat kelelahan. Namun, di wajahnya terlihat senyuman kecil, ia puas.

Gustav lalu bergumam kecil sembari bersandar sebentar ke leher kudanya, Veronika. "Aku tidak sabar untuk melihat reaksi Kak-- maksudku, Pangeran Angellio besok."

"Sepertinya kamu sukses besar hari ini." Terdengar suara yang familiar di telinganya dan suara tapak kaki kuda lain.

Gustav lalu menoleh dan menemukan Atristan yang tengah dalam seragam armornya. Dia ternyata juga baru pulang. Benar-benar sebuah kebetulan yang pas. Mereka lalu memutuskan untuk pulang bersama-sama sambil berbagi cerita.

"Jadi kamu memutuskan untuk bekerja sama dengan representatif lainnya untuk menyempurnakan proposal kerja kalian?" tanya Atristan penasaran.

Gustav mengangguk. "Kami rapat seharian. Lalu, besok dan lusa kami akan rapat lagi. Kalau semua berjalan lancar, proposal-proposal kami akan selesai dalam dua kali pertemuan setelah hari ini."

Atristan sontak menoleh. Dia menunjukkan ketertarikannya. "Kalian membuat lebih dari satu?"

"Itu saran dari Nona Yuno, representatif gilda pedagang. Dia bilang akan lebih baik kalau tema-temanya kami pisah, karena 'bos' yang kami hadapi adalah Yang Mulia Pangeran Pertama," jawab Gustav menanggapi rasa penasarannya.

"Yah, Yang Mulia Pangeran Pertama memang orang yang pemilih dan rapi. Dia pasti akan lebih suka kalau pengelompokkan temanya jelas begitu," celetuk pria bersurai jingga itu.

Gustav memandang ke arahnya. "Kamu bersikap seolah-olah tahu tema-tema apa yang kami persiapkan."

Atristan langsung saja mengalihkan pandangannya. Dia tersenyum. "Haha~ Tidak. Aku hanya menebak saja. Lagipula, aku yakin dengan apa saja yang akan kamu lakukan kedepannya."

"Sebuah kehormatan," jawab Gustav, "Lalu, bagaimana dengan pekerjaanmu? Apa yang kamu lakukan di perbatasan ibukota?" lanjutnya.

"Peninjauan. Pelatihan. Hal-hal semacam itu. Lalu apa kamu ingat ksatria-ksatria yang dulu bersama denganku waktu pembasmian sungai? Aku puas mengerjai mereka di sana! Hahaha!" Atristan tertawa mengerikan, dan Gustav hanya bisa berdoa untuk keselamatan mereka.

"Memangnya apa yang kamu lakukan? Hukuman verbal?"

"Aku menyuruh mereka untuk mengayunkan pedang 300 kali atau tidak kuizinkan istirahat."

"Kamu benar-benar jahat, Kapten." Gustav terkekeh pelan.

Atristan ikut tertawa kecil, ia lalu memerhatikan Gustav. "Ternyata kamu orangnya bisa bersosial dengan baik juga."

"Memangnya kamu pikir aku orang yang seperti apa?" tanya Gustav.

"Di rumor, kamu itu orangnya dingin, pendiam, tidak terbuka dengan wanita, tetapi memesona," jawabnya.

"Kamu sekaramg jadi tahu kalau rumor itu tidak benar kan?"

"Rumor itu setengah benar."

"Di bagian mana?"

"Kamu memesona."

Terjadi keheningan untuk beberapa saat setelah tatkala mereka melewati pepohonan rindang. Kini cahaya bulan bersinar di atas mereka. Menimpa wajah Gustav yang agak terkejut dengan pujian tiba-tiba darinya dan Atristan yang memasang wajah tulus.

Gustav bisa merasakan detak jantungnya yang bertambah cepat dan pipinya memanas. Ya, sudah jelas ini ulah siapa. Ini salah Atristan, ksatria istimewa berelemen api itu.

"... Terima kasih. Namun, bisakah kamu menarik kembali mantra panas api yang kamu tujukan kepadaku?"

"Tetapi aku sedang tidak memakai mantra apapun?" Atristan terlihat bingung.

"Lupakan perkataanku tadi."

Mereka lalu melanjutkan perjalan pulang. Sesampainya mereka di rumah, mereka memasukkan kuda mereka ke kandang lalu segera berganti baju di ruangan masing-masing.

Namun, sebelum Gustav selesai memakai bajunya, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk.

"Apa kamu sudah selesai?" tanya suara bernada bariton itu.

"Tidak. Apa yang kamu inginkan?" tanya Gustav yang tengah mengikat tali baju kainnya.

"Aku ingin mengajakmu ikut beribadat bersama. Kebetulan ada sesi tengah malam di kuil bawah tanah. Mumpung kita masih terjaga, bagaimana kalau kita ke sana?"

Ibadah bersama tidak terdengar buruk.

"Bagaimana dengan adikmu?"

"Dia biasanya ikut sesi sore. Biarkan saja dia tidur," jawab Atristan. "Aku tahu jalan pintas ke kuil, jadi kita tidak perlu kuda."

Gustav kemudian membuka pintu. Dia sudah bersiap dengan buku Kitab di tangannya. "Ayo pergi."

Mereka lalu berjalan dengan Atristan yang menuntun arah dengan apinya. Sesekali pria bertubuh lebih besar itu melihat ke arah Gustav yang terlihat bersemangat untuk pergi meski wajahnya datar.

"Dia sepertinya sangat semangat untuk pergi ibadah. Imut juga."

"Kudengar di tempat lain tidak ada yang namanya kuil atau biara bawah tanah, ya?" tanya Atristan untuk mencairkan suasana seraya mereka memasuki lorong yang ada dalam gua yang Atristan klaim merupakan jalan pintas.

"Itu benar. Kalau ada pun, biasanya masih dalam status kontruksi. Kamu tahu sendiri berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membangun satu kuil jadi, di bawah tanah pula. Sehingga kami terpaksa beribadah masing-masing di rumah sendiri supaya tidak ketahuan oleh iblis," jelas Gustav, "Maka dari itu, di setiap rumah di luar ibukota, ada yang namanya altar mini."

"Altar mini? Sepertinya aku pernah lihat saat aku sedang misi ke luar kota. Tapi aku tidak terlalu memikirkan fungsinya bagi kalian. Ternyata sedalam itu," jawab Atristan.

"Karena kerinduan akan Dewa Dewi, orang-orang mulai mencari alternatif untuk melanjutkan ibadah mereka meski dalam ketakutan genggaman iblis."

"Hah, setelah mendengar penjelasanmu. Aku jadi merasa kalau imanku kurang." Atristan menggaruk dagunya yang tidak gatal.

"Playboy sepertimu bisa sadar diri juga." Gustav tertawa kecil.

"Hah, aku sudah tobat tuh? Kamu sendiri lihat kan aku sudah tidak aktif menggoda perempuan-perempuan lagi."

Gustav tersenyum, namun tidak kelihatan karena keadaan yang cukup gelap meski sudah disinari oleh api yang keluar dari jari Atristan. Katanya, "Aku akan percaya dengan kesungguhanmu."

Sesudah beberapa lama berjalan semakin ke bawah, mereka pun tiba di depan sebuah pintu gerbang berwarna putih keemasan yang dijaga oleh seorang wanita muda dengan tudung putih polos, menandakan kalau dia adalah penghuni baru.

"Katakan, apakah Anda percaya dengan Dewa Dewi?"

"Kami percaya."

"Silakan masuk."

Mereka lalu masuk ke dalam pintu gerbang kuil bawah tanah itu. Gustav terlihat terkesima. Meski sekarang isinya sepi, tetapi ini pertama kalinya ia datang ke kuil suci rakyat. Pasalnya, sewaktu ia masih kecil, ia selalu pergi ke kuil suci istana seorang diri dengan guru teologinya.

Atristan menangkap ekspresi kagum Gustav. Padahal ini hal yang sederhana, ditambah suasananya sedang sepi, tetapi ia terlihat sangat gembira.

Kesederhanaan yang simpel itu membuat Atristan merasa semakin jatuh padanya.

***

Dua jam telah berlalu, kini sesi ibadah tengah malam telah selesai. Dua insan lelaki itu kini sedang bersiap untuk pulang, akan tetapi suara wanita yang terdengar halus menghentikan langkah mereka.

"Sir Atristan, apakah saya bisa meminta waktu Anda sebentar?"

***

o==[]::::::::::::::::> TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top