1 - Kastil yang Ada di Seberang Dunia
Tahun 1350
Kerajaan Oliver
Lautan darah menggenangi lantai marmer di ruang tidur bayi itu. Diikuti oleh suara erangan dan ketakutan, tangisan dan gertakan yang terdengar di seluruh istana. Pada hari itu juga, sang Anak Yang Dipilih Dewi dinyatakan mati di tangan si Palu Api.
Terjepit. Kepala kecilnya itu mulai retak dan mengeluarkan cairan otak. Begitupun dengan bola matanya yang berair dan hidung yang menyentuh lantai, membuatnya tidak bisa bernapas. Anak itu mati dihadapan tubuh ibunya yang bahkan sudah tidak bisa menggerakkan kepalanya. Mata sang Ratu menatap horror pemandangan di hadapannya itu dengan rasa putus asa yang mengerikan.
"Kalian pikir kalian bisa membesarkan Anak Suci ini dan mulai meremehkan kami, Bangsa Iblis. Kalian benar-benar bodoh jika berpikir kami akan melewatkan kesempatan untuk membunuh anak ini."
Sang iblis yang disebut Palu Api itu lalu tertawa, diiringi suara ledakan dan desis ular raksasa yang memangsa para prajurit di luar istana. "Aku tak menyangka manusia rendah seperti kalian bisa sesombong ini membangga-banggakan bayi yang bahkan belum berbicara ini! Mentang-mentang kalian bangsa yang dicintai oleh dewi! Hahahahahahah!"
"Lihatlah akibat kesombongan kalian ini dengan meremehkan kami! Lihatlah bayi ini! Bukalah matamu lebar-lebar, Baginda Ratu! Bagaimana perasaanmu sekarang saat diinjak-injak seperti ini, hah!?"
Iblis berambut merah itu tertawa sadis sambil menghentak-hentakkan palunya. Darah dan daging lunak muncrat ke mana-mana. Sementara Baginda Ratu yang terpaku di pojok ruangan hanya bisa menjerit dan meraung-raung dalam hatinya. Dia ingin berteriak, tapi luka yang diberikan oleh sang iblis terhadapnya telah menghancurkan tenggorokkan dan sendi geraknya.
Tak berapa lama kemudian palu milik sang iblis sudah meretakkan tanah.
Tubuh kecil itu sudah hancur, begitupun dengan kewarasan sang ibunda.
Itu adalah kisah Anak Terpilih yang kedua, yang mati bahkan sebelum minggu ketiga hidupnya.
***
Tahun 1443
Kerajaan Oliver, Kastil Pangeran Kedua
Bocah berambut coklat bergelombang itu sedang asyik duduk di atas kasurnya, sambil membaca sebuah buku. Manik biru cemerlang miliknya menilik satu per satu kata-kata di lembar halaman tanpa menyiratkan bosan.
Anak laki-laki itu adalah Pangeran Kedua generasi ke-15 kerajaan ini, Gustav Oliver. Namun, ia selalu diperlakukan berbeda dari saudara-saudaranya sejak kecil.
Ia hidup terisolasi, bahkan pasangan Raja dan Ratu jarang menemuinya. Hanya sesekali. Pernah suatu saat dalam setahun mereka hanya bertemu dengan sang Pangeran sekali pada waktu ulang tahunnya.
Gustav juga tidak pernah dilukis, seolah-olah orangtuanya tidak mau ada orang dari luar istana yang mengetahui keberadaan anak itu. Seringkali karena hal itu, para pelayan khusus yang dipilih untuknya jadi bertanya-tanya.
"Apa mungkin Gustav adalah anak haram? Sehingga Raja dan Ratu berniat menyembunyikan aib semacam itu?"
Entah seperti apa kebenarannya, tidak ada yang tahu menahu. Gustav kecil sendiri sudah berhenti bertanya-tanya tentang arti keberadaan dirinya di istana yang sunyi ini.
Yang pasti, Gustav tetap mendapat pendidikan selayaknya penerus, dengan catatan guru-guru yang mengajarinya tidak boleh membicarakan soal Gustav saat mereka keluar dari istana.
Katanya, siapapun yang menyebut nama Gustav di luar lingkup istana akan menyebabkan kehancuran. Tapi itu tidak apa-apa, pikirnya, karena dia sudah terbiasa.
Namun, jauh di lubuk hati Gustav, dia sangat ingin bisa bermain di luar-setidaknya dia ingin bergaul dengan kakak adiknya.
Itu adalah imajinasi tinggi, yang menurut Gustav tidak akan pernah terwujud. Jadi ia hanya diam di sini. Terus berangan-angan tentang dunia luar lewat buku-buku yang dibacanya, dan lewat pelajaran yang diterima dari guru-gurunya.
Seperti saat ini, Gustav tengah membaca bukunya seperti biasa namun tanpa merasakan waktu, dia sudah menghabiskan satu buku teologi yang sangat tebal itu dalam setengah hari. Sejak siang hingga tengah malam.
"Sepertinya aku keasyikan," Gustav buru-buru mengembalikan bukunya ke dalam rak buku lalu segera naik kembali ke atas kasurnya.
Aku harus cepat tidur sebelum bibi pengasuh datang untuk memeriksaku.
Tetapi tatkala Gustav menarik selimutnya, pintu kamarnya terbuka dan menampilkan seorang wanita tua yang berwajah galak.
"Pangeran masih belum tidur?" tanya wanita itu sambil mengernyitkan dahi, lalu berkacak pinggang. "Apa pangeran ingin diawasi seharian seperti saat Anda masih kecil dulu?"
Yang ditanya spontan menggeleng. Wanita itu menghela napas, kemudian ia pergi ke depan perapian untuk menyalakannya.
"Anda bahkan sampai lupa untuk menjaga api hingga padam begini," omelnya sambil memasukan kayu bakar.
Gustav kecil menunduk di dalam selimutnya. "Maaf." Ia berkata dengan pelan.
Bibi Pengasuh itu kemudian menatap ke arahnya, masih dengan mata yang galak seperti biasa. "Sudahlah. Lebih baik Anda segera tidur selagi saya menyiapkan perapian untuk malam ini. Besok Pangeran punya jadwal teologi kan?"
"Hmm," balasnya dengan anggukkan. Gustav menurut, dan ia langsung mencoba untuk menutup matanya, tidur menyamping. Ditemani oleh suara perapian yang terbakar di malam yang senyap itu.
Lalu delapan jam kemudian, cahaya matahari tampak mulai merayap masuk ke kamar itu tatkala jendelanya dibuka oleh sang wanita pengasuh. Kemudian ia melakukan kesehariannya. Membersihkan sisa debu arang yang ada di lantai, lalu membangunkan tuan mudanya.
Mungkin karena begadang semalam, bahkan nyanyian burung yang biasanya bertengger di tepi jendela tak mampu membangunkannya. Gustav masih terlelap.
Sampai wanita yang dipanggil Bibi Aphy itu membangunkannya, mengagetkan sang pangeran yang tadi masih ada di dunia mimpi.
"Bangunlah, nanti pagi menjelang siang Anda harus segera mengikuti kelas."
• • •
"Nilai Anda sempurna, Anda pasti sudah belajar dengan keras, Yang Mulia," puji gurunya, Pendeta Elsie Cleric. Gustav tersenyum, ia lalu berterima kasih atas ujian dan pelajaran yang sudah ia dapatkan saat ini.
"Selanjutnya kita akan mempelajari bab ketiga puluh tiga. Dan saya harap Anda sudah membaca setidaknya setengah bab untuk pertemuan minggu depan."
"Baik, Mother."
Setelah mengucap salam perpisahan, kini tinggal Gustav sendiri di ruang itu. Ia lalu duduk di atas kursi di samping jendela, menunggu guru selanjutnya untuk datang. Gustav memandangi pemandangan luar dengan bosan sambil memangku sebelah pipinya. Tapi, kemudian arah matanya menangkap sosok asing. Rambut sosok itu berwarna oranye dan matanya bak bara api.
"Ada anak-anak di sini?" pikir Gustav. Ia lalu membuka jendelanya dan memerhatikan gerak-gerik anak mencurigakan itu. Dia tampak mondar-mandir tidak jelas, dan wajahnya terlihat bingung.
Gustav awalnya ingin membiarkannya saja, tetapi... bagaimana jika nantinya anak itu malah terkena masalah jika dia berlama-lama di sini?
"Hei, kamu!" Gustav memanggil anak tak dikenal dari jendela di ruang belajar lantai dasar itu, "Apa yang kamu lakukan di sana?"
Menyadari bahwa panggilan itu untuk dirinya, anak laki-laki itu kemudian mendekati jendela. Ia menjawab pertanyaan Gustav, "Ekhm... ini memalukan tapi, aku tersesat."
Gustav menatap anak laki-laki berseragam squire yang khas itu dengan waktu yang lama. Ia mencurigai alasannya.
"Ya, ya. Baiklah. Aku awalnya izin buang air kecil, tapi aku berjalan terlalu dalam sampai tiba di daerah ini. Aku lalu memutuskan utuk menelusuri dengan penasaran karena daerah ini tidak ada di dalam peta istana--yang kutahu, kawasan ini adalah kawasan hutan," akhirnya anak itu berkata dengan jujur setelah dipelototi oleh Gustav.
"Apa kamu squire baru? Sepertinya kamu tidak tahu menahu soal larangan yang ada di sini," perkataan Gustav menarik perhatian anak itu, "Kamu sebaiknya jangan berlama-lama di sini. Nanti kamu bisa mati."
"Eh? Masa? Bukankah semua wilayah sekitar istana itu wilayah yang aman?" anak itu balik bertanya, ia malah semakin menghampiri Gustav. "Kalau di sini memang berbahaya, lalu mengapa kamu ada di sini?"
"Akulah bahayanya," jawab Gustav dengan tegas. "Jika kamu sampai membeberkan keberadaanku, kamu dan seluruh penduduk bisa mati."
"Itu omong kosong," tukas anak itu, "Lagipula aku tidak akan membeberkan keberadaanmu, anak misterius. Hal itu tidak ada gunanya bagiku."
"Terlebih, di masa depan nanti, aku akan menjadi ksatria kerajaan ini, dan untuk itu tentunya aku harus memegang penuh ucapanku, bukan?" ujar anak itu dengan percaya diri. "Namaku Atristan Ignatio. Aku adalah squire baru yang dipercaya oleh Tuan Duke Percyval."
"Jadi, siapakah gerangan anak misterius yang berbahaya ini?" tanya Atristan.
"Aku akan mempercayaimu sekali karena kamu adalah squire-nya Tuan Duke," kata Gustav, "Namaku Gustav Oliver."
Atristan sontak membelalakan matanya dengan tidak percaya. "Kamu... keturunan Raja?" Ia bergumam, kemudian membungkukkan badannya dengan hormat. "Mohon maafkan ketidaksopanan hamba. Hamba tidak pernah tahu menahu tentang Anda sebelumnya. Hamba memang masih perlu belajar lebih banyak lagi."
"Maka dari itu, tolong rahasiakan ini. Pasalnya, aku adalah anak yang bernasib buruk," ucap Gustav.
"Apa Anda terkena semacam kutukan?" tanya Atristan, "Apa hal itu membuat Anda harus hidup terisolasi di kastil yang bahkan tidak ada di peta ini?"
"Yang kamu bilang kutukan itu hanyalah asumsi yang bahkan tidak bisa kupastikan kebenarannya. Tetapi mungkin, mungkin saja kamu memang benar," jawab Gustav.
Atristan lalu mendongakkan kepalanya sehingga sedikit masuk melewati batas jendela. "Apa Anda akan selamanya hidup di sini?"
"Melihat dari kondisiku, sepertinya iya," katanya sembari tersenyum.
Namun, Atristan adalah anak yang peka, dan entah kenapa perkataan singkat dari Gustav menyentuh hatinya secara instan. "Yang Mulia, jika Anda mengizinkan, saya ingin membebaskan kutukan Anda!"
"Y-ya?" Gustav membalsnya dengan kikuk. Kata-kata dari Atristan sungguh mengejutkannya.
"Sampai saat saya menyanggupi, saya tidak akan membeberkan rahasia Anda." Anak itu tersenyum meyakinkan. "Saya akan berpegang pada perkataan saya, sebagai ksatria hebat di masa depan nanti."
Kata-kata manis itu mengalir seperti air dengan sendirinya, tanpa disadari oleh Atristan yang hanya mengatakan hal yang tiba-tiba melintas di hati nuraninya. Sementara sang penerima janji menutup mulutnya, wajahnya memerah terharu tanpa disangka-sangka.
Ini adalah kali pertama ia mendengar perkataan dari seseorang yang bilang akan membebaskannya. Pasalnya selama ini dia hanya pernah mendengar kata-kata penuh kasihan, namun tidak ada yang berani bilang kalau mereka akan membawanya pergi dari tempat terasing ini.
"Kamu... tolong pergilah sekarang juga, karena sebentar lagi, akan ada yang datang," pinta Gustav setelahnya.
Dengan segera tanpa bertanya-tanya lagi, Atristan menundukkan kepalanya dan memberi hormat menirukan hormat ksatria yang sering dilihat olehnya saat tengah latihan. Dia menuruti permintaan Gustav dan pergi dari tempat itu.
Saat dia berjalan menjauh dan balik memandang, keberadaan kastil itu sudah tergantikan oleh hutan-hutan yang lebat. Sekejap Atristan mengerti, alasan kenapa tempat itu tidak ada dalam peta--bahkan peta sihir sama sekali--dan hanya bisa dilihat saat ia berjalan lebih dalam dari biasanya.
Sementara itu di sisi lain, Gustav duduk kembali di bangku belajarnya. Dia menutupi wajah dengan malu-malu, menyembunyikan kesenangannya walau itu hanyalah angin lalu sesaat. Setidaknya ada orang yang memedulikannya sekali dan mengungkapkan perasaan itu terang-terangan kepadanya. Setidaknya....
o==[]::::::::::::::::> TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top