2.2 Lost.


HARI-HARI terus berlalu. Eunji dan Jimin  terus menempel. Presensi pemuda jangkung dengan senyum secerah mentari itu membawa satu hal baru di kehidupan Eunji. Mereka kadang berbagi cerita. Kadang juga hari mereka hanya berteman dengan candaan dari Jimin. Mereka terus seperti itu. Jimin terus warnai hari-hari Eunji sampai lupa dengan seluruh keluh kesah. Bahkan, Eunji telah lupa dengan kedua orang tua egoisnya.

Hari ini adalah hari ke tiga puluh mereka bersama. Mereka memutuskan untuk terduduk di sebuah bangku taman pertemuan mereka pertama. Saat awal konversasi panjang menuju hubungan lebih karib. Bahkan tangan Jimin dengan lancangnya menggenggam tangan Eunji.

“Ji.”

Eunji menoleh.“Hm?”

Jimin menghela napas. “Kalau seandainya kita bersua disini memang direncanakan oleh semesta bagaimana pendapatmu?”

Eunji mengendikkan bahu. “Aku tidak tahu,” ujar Eunji. “Lagipula kau kan hanya mengatakan seandainya. Bukan asli. Kita mana mungkin benar-benar dipertemukan." Eunji tergelak di akhir. “Aku juga tidak berharap kita dipertemukan.”

“Eiyyy, kau ini.”

Eunji tertawa saat Jimin memukul lengannya. Mereka berdua terbahak. Eunji rasa apa sedari dulu ia inginkan, sekarang tercapai dengan terkirimnya Jimin. Pemuda berlesung pipit manakala selalu buat kroma merah muda menjalar di pipi Eunji dengan godaannya. Pemuda dengan mata sipit dengan surai bak kilauan emas manakala mampu buat Eunji ingin kirimkan sejuta prosa menggambarkan tentang keindahan, kesempurnaan, dan semacamnya.

Ia ingin Jimin berada dalam genggaman selamanya. Tak ingin Jimin lepas. Hanya ada di kehidupan Eunji.

"Eunji," Interupsi Jimin menyadarkan Eunji dari tawanya. "Kita sama-sama ciptaan-NYA. dengan itu kita tak bisa mengelak kapan kita akan dihapuskan oleh semesta dan kapan kita memang harus hidup di dunia fana kendati kita ingin cepat-cepat untuk jadi penghuni nirwana. Semua telah ditakdirkan dan kita tak bisa mencurangi."

Eunji tertawa. "Iya, aku tahu."

"Lantas," ujar Jimin diikuti interval. “Kalau aku bilang bahwa aku ini tidak lah bisa seterusnya bersamamu bagaimana? Kalau aku bilang bahwa tiga hari lagi aku akan pergi bagaimana?”

***

“...Kalau aku bilang bahwa tiga hari lagi aku akan pergi bagaimana?”

Aku tertegun. Lantas pandangi Jimin—tersenyum kecut. Oh, tidak! Ucapan Jimin jelas-jelas pseudofakta. Aku yakin, Jimin hanya bercanda. Iya. Jimin hanya ingin buatku untuk takut. Namun, kala melihat senyum getir dan pandangan Jimin meredup, aku benar-benar takut. Tidak! Tidak boleh terjadi! Jimin harus bersamaku! Jimin hanya milikku!

Jimin.” Aku berucap ragu-ragu. “Aku tidak suka candaanmu. Jangan ucapkan seperti itu. Kau milikku.” Aku menghela napas; lantas beranikan diri untuk tatapi manik sejernih air milik Jimin. “Kau harus selalu padaku. Bukankah pertama kau telah berjanji untuk jadi rumahku. Lantas jika kau pergi, siapa yang kujadikan rumah? Kau ingin biarkan aku berjuang sendiri?”

Lantas kulihat Pemuda itu mengatupkan bibir. Hening sejemang. Sebelum Jimin kembali lanjutkan konversasi dengan lebih serius.

“Jika mungkin. Aku ingin curangi keadaan. Ingin ku ubah predestinasi. Namun, bagaimana aku bisa mengubah semua itu kalau aku tak sanggup. Kau tahu, aku hanya dia yang bersalah. Aku hanya entitas—manakala diberi waktu singkat untuk berada pada dunia Fana.”

Aku kembali tertegun. Lantas pandangi pemuda masih dengan senyum mengembang kendati konversasi dibuat sekelam malam. Aku raih pipi seputih salju itu. Ia tak menolak. Bahkan, aku dapat rasakan liquid bening mengalir deras dari kelopak mata. Aku sejujurnya tak begitu paham dengan konversasi Jimin manakala menyatakan bahwa ia adalah entitas bersalah. Namun, persetan dengan itu semua. Aku hanya ingin egois. Sekalipun Jimin hanyalah seseorang akan habis—dengan detik berlalu.

“Ji.” Suara Jimin  sadarkan aku dari kegiatanku. “Jangan menangis saat aku pergi. Ayo kita habiskan waktu yang ada. Aku tak bisa tinggalkan kau. Aku ....” Aku menunggu ucapan Jimin dengan sabar. “Menyukaimu. No. I love you.”

Aku membulatkan iris. Jantungku berdentum menggila. Oh, apakah tadi adalah pernyataan cinta? Namun, kenapa harus disaat seperti ini ia nyatakan cintanya? Aku tak mengerti. Kenapa saat-saat seharusnya hanya ada isak tangis dan sendu harus terselip pernyataan cinta?

“Aku telah terpikat padamu, Nona. Dari dulu. Saat kulihat wajah putus asamu. Saat kulihat senyum terkembang di wajahmu. Maka, aku jatuh cinta padamu. Dan, ini hukumanku. Lalu pada masa ini, aku coba bahagiakanmu. Tapi, hanya sejemang semesta beri aku waktu.” Jimin embuskan napasnya. “Dan kau harus rasakan kehilangan lagi. Kuharap kau bisa terima semua ini. Maaf telah jadi rumah yang hanya bisa hangatkan sejemang.” Oh, tolong aku tak sanggup dengar konversasi dengan selipan getar dalam setiap untaian kalimatnya.

Maka dari itu, entah kenapa, tubuhku bergerak dengan spontan untuk memeluk punggung rapuh pemuda itu. Aku menangis. Terisak. Jika bertanya bahwa aku siap untuk melihatnya pergi, maka tentu saja jawabanku tidak. Aku ingin marah pada predestinasi. Aku ingin marah pada semesta. Aku ingin marah pada Jagad raya. Semuanya. Well, mereka itu jahat. Mendatangkan entitas hanya untuk warnai hidupku sejemang? Tidak adil! Aku muak. Benar-benar muak.

“Ji.” Jimin menangkup kedua pipiku. “May I kiss you? For the last.” Suaranya serak karena sehabis menangis.

Lalu tanpa ada pertentangan, aku mengangguk. Membiarkan Jimin mencium bibirku. Membawaku terhanyut dalam perasaan terdalam—ciuman dengan kesedihan membara. Dimana tak sadar air mataku keluar dari kelopak mata. Aku sadar juga. Aku sadar bahwa aku mencintainya juga. Maka dari itu, setelah Jimin mengakhiri kegiatanya, aku memeluk Jimin dengan air mata telah merembes keluar. Lantas dengan bisikan lemah aku berujar, “I love you, I love you more and more. Please don't go. Please life together with me.”

Namun, nahas. Setelah aku mengatakan itu, Jimin pudar bersama dengan letupan cahaya putih silaukan mata. Jimin pergi. Jimin hilang. Aku menangis lagi. Memeluk lutut. Dadaku sesak. Rumahku telah hilang. Aku tak akan bisa temukan kembali rumahku. Aku sendirian. Tak ada bantu aku bangkit. Tak ada bantu aku untuk berjalan pada predestinasi pahit. Hidupku tak ada warna. Hitam pekat. Warnaku telah hilang. Sekarang tak ada lagi tarik aku saat telah terjerumus ke dalam lubang hitam. Well, aku mungkin akan terpuruk setelah ini. Ibarat aku memanjat menggunakan tali. Saat telah mencapai  atas, tai itu putus lalu jatuhkan diriku hingga sakit dan berdarah-darah. Persis seperti itu. Semesta dan semuanya itu jahat. Jagat raya jahat. Dan, predestinasi juga jahat.

“Malaikatku telah hilang. Rumahku telah hilang. Lantas semesta akan berikan aku apa sebagai pengganti? Lantas apakah semesta hanya biarkan aku terpuruk seperti ini? Hah! Park Jimin bodoh! Bisa-bisanya dia menyuruhku untuk tak bersedih!” Aku berteriak di taman itu.

Lalu, setelahnya hanya gelap yang kulihat.

***

[BONUS]

“Keadaanya lumayan membaik. Sebaiknya lakukan terapi rutin di rumah sakit ini.”

Setelah mengatakan itu, Pria berjas putih keluar dari ruangan. Lantas, Kim Seokjin. Kakak sepupu dari Song Eunji hanya menatap adik sepupunya miris. Ia tahu. Kehidupan Eunji sangat terpuruk. Dan, Seokjin merasa bersalah karena tak pernah mengunjungi Eunji sekalipun. Hingga keadaan adik sepupunya jadi seperti ini.

Ya. Eunji mengalami depresi. Seokjin lantas berjalan mendekati Eunji lalu mengelus pucuk kepala si Adik dengan pelan; takut membangunkan. Namun, Seokjin menghentikan kegiatannya lalu tertegun kala si adik menggumamkan satu nama. Nama sangat asing di telinga Seokjin dan terlebih lanjutan dari nama asing tersebut.

“Park Jimin ...”

Seokjin terdiam.

“Park Jimin ...”

“Park Jimin aku merindukanmu. Song Eunji merindukan rumahnya. Song Eunji rindu dengan guardian angelnya.”

Jimin? Guardian Angel? Apa maksudnya.

“Ji—”

“Jimin. Aku merindukan Jimin. Aku ingin bertemu dengannya. Aku tak sanggup tanpanya. Aku ingin hukum semesta. Aku benar-benar ingin bertemu Jimin.”

Ya. Kehidupan Eunji telah bergantung penuh pada Guardian angelnya. Park Jimin. Pemuda dengan senyum menenangkan hati serta wajah tampan. Cinta pertamanya. Rumahnya.” []

+++

Silahkan lontarkan umpatan kalian untukku disini heheheheheheheheheh. Maaf garink ya wkwkwkwkwkw.







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top