1.1 Sad Rhythm.
DALAM ruangan temaram, Ia termangu dalam sendu. Bibir bergetar bersamaan dengan iris terkatup. Kedua tangannya hanya bergetar menutup kedua indera pendengaran. Ia tak sanggup. Kedua tungkai telah bergetar dalam duduknya. Ia menutup telinga, mata karena tak ingin dengar semua. Dengar umpatan-umpatan kasar disertai dengan isak tangis memantul-mantul pada ruangan luas. Ia ingin tuli, ingin buta kendati semesta dukung dan suruh ia untuk bertahan. Tapi, ia muak. Gadis itu muak karena predestinasi pahit tercecap terlalu banyak. Dan fakta itu membuatnya tak suka.
Gadis itu. Song Eunji lantas seret tungkai tuk raih kenop pintu. Ia lantas keluar lalu bersembunyi dibalik tembok. Pandangi kedua insan—barangkali tengah berdebat penuh kemarahan. Satunya mencaci, satunya membantah. Eunji tersenyum getir. Eksistensinya tak dianggap. Ia tak suka dengan kondisi seperti ini. Lantas, dengan penuh keraguan, Eunji langkahkan tungkai—berada di belakang kedua insan manakala tengah beradu mulut.
“Ma, Pa, cukup,” ujar Eunji lemah. “Mama dan Papa jangan buat eksistensi dan presensi ku tak berguna. Jangan buat aku merasa semakin takut. Cukup, Pa, Ma. Bila perlu jika kalian tak cocok lagi ... bercerai saja. Lebih baik kalian berpisah—”
“Song Eunji! Cukup! Kembali ke kamar!”
“Kenapa, Ma?” Eunji membalas tanpa takut. “Benar kan? Mama dan Papa itu egois. Tak pentingkan Eunji. Lebih baik kalian berpisah! Temukan kebahagiaan masing-masing. Eunji muak! Eunji—”
Belum sempat perkataan Eunji selesai, ia merasakan panas di pipi. Ia memegang pipinya manakala telah kesakitan sembari memandang Papa yang merah padam; menahan amarah. Papa lantas berdesis, “Diam, Ji. Papa bilang masuk kamar. Ini urusan orang tua.”
Eunji tertawa dengan air mata telah merebak. Ia mengusap air mata kasar sebelum berujar dengan nada bergetar. “Egois,” ujar Eunji. “Aku benci kalian!” Teriaknya sebelum membawa sepasang tungkai keluar rumah.
Kenapa semesta jahat padanya? Kenapa harus berada di antara orang-orang egois? Mengapa ia harus berada diantara orang-orang manakala tak pedulikan eksistensi? Sungguh, Eunji pertanyakan makna hidupnya apa? Apakah ia hidup disini hanya untuk jadi orang tak berguna? Tak bisa diandalkan? Hanya jadi pengalih rasa sakit? Presensi tak diinginkan? Ah, ingin tertawa saja rasanya. Well, ia tak ingin hidup di dunia fana ini. Ia lebih baik pejamkan mata untuk selamanya, terbang ke angkasa dan pecah jadi subtil—lalu melebur tak kembali selamanya.
Seandainya memang bisa, ia benar-benar memilih seperti itu. Lalu kala ia hidup kembali, tak ada gurat elegi dalam nadi. Tak ada ratapan sendu. Tak ada lembaran lara. Hanya senyuman. Kebahagiaan. Tak ada kepedihan. Tak ada kelabu. Tak ada sendu. Rasanya menyenangkan. Ah, atau jadi penghuni nirwana selamanya tidak apa-apa.
Selama bisa terlepas dari kehidupan dan raga tak berguna.
000
SATU langkah.
Satu langkah lagi Eunji bisa terhantam oleh mobil, jika tak ada tangan menarik pergelangan tangannya lalu memeluk pinggang Eunji sembari berbisik, “Jangan menjadi bodoh, Nona.” dengan lirih. Eunji meronta-ronta dipelukan pemuda itu—takut diapa-apakan. Namun, ia tak berhasil berontak dan berakhir digendong bridal style ke satu taman. Eunji nyaris memekik dan spontan melingkarkan tangan dileher pemuda itu. Pipinya dihiasi semburat merah muda. Astaga, ia sangat malu. Apalagi napas pemuda itu terasa pada wajah Eunji. Akan tetapi, kegiatan menatap-muka-pemuda-asing-itu terhenti kala badannya telah tertidur di kursi taman. Pemuda itu melipat tangan di depan dada sembari mendesis, “Bodoh,” ujarnya lalu menunjuk Eunji. “Tidak tahu ada mobil! Bagaimana kalau kau tertabrak. Untung ada diriku.” Ucapannya diakhiri decakan beruntun. “Kalau kau meninggal siapa yang repot!”
“Ya tidak tahu,” ujar Eunji ketus. “Lagipula aku tak akan dipedulikan oleh siapapun.” Eunji tertawa miris diakhir kalimat.
Hening menyergap. Pemuda itu telah terduduk di sebelah Eunji. Sedangkan gadis itu tertunduk—sembari memainkan ujung baju—menyembunyikan sasmita gelisah dari pemuda itu. Sedangkan pemuda itu tersenyum tipis ke arah Eunji. Ia mengusap surai hitam Eunji. Gadis itu mendongak, pipinya memanas seiring usapan lembut pada surainya. Jujur saat manik Eunji tatap manik jernih pemuda itu, jantungnya menjerit.
“Jangan menyerah, ya.” Pemuda itu tersenyum teduh. “Kadang memang kita tak bisa menentukan bagaimana kehidupan kita. Kadang, kira dapatkan predestinasi pahit. Kadang bisa juga dapatkan banyak afeksi lalu berujung dengan kita dapatkan euphoria. Namun, ada pasti ada manis pahit terdapat di dalamnya.” pemuda itu memegang bahu Eunji. “Misalnya, kau menganggap bahwa kehidupanmu tak berguna. Tak ada kebahagiaan. Namun, pasti saja ada satu rasa bahagia manakala bisa terbitkan senyum. Seperti saat kau mendapatkan sesuatu kau sukai.” Pemuda itu menepuk pundak Eunji dua kali.
Eunji mengerjap. Ia terpana. Sebelum mengulum senyum lalu bersuara. “Thanks,” ucap Eunji tulus sembari menyingkirkan telapak tangan pemuda itu dari bahunya. “Sungguh. Itu sangat membantu. Barangkali sedikit menohok. Ucapanmu mungkin bisa sadarkan aku.” Eunji terkekeh lalu tersentak. “O, iya. Kita belum berkenalan. Kau siapa?”
“Park Jimin.”
“Song Eunji.”
“Well, Park Jimin aku sangat berterima kasih dengan ocehan panjangmu yang sialnya berguna. Kendati mungkin rasa muakku telah buatku ingin menyerah. Lelah,” ujar Eunji tulus dalam setiap perkataannya. “Kau memberiku nasehat aku pertanyakan eksistensi. Saat aku inginkan rumah.” Ada interval tercipta sebelum Eunji kembali melanjutkan. “I have no home.”
“But, now you can consider me like your home.”
Iris Eunji membulat. Dengan napas tercekat ia berujar, “No! I can't.” Eunji menggeleng ribut. “Aku tak bisa. Aku tak sanggup percaya pada orang lain. Aku tak—”
“Believe me.” Jimin memotong konversasi dengan cekatan. “Percaya padaku. Tak apa. Kau telah temukan eksistensi rumah. Jadikan aku tameng hidupmu. Jadikan aku sandaranmu.”
“Kenapa?” Eunji bertanya. “Kenapa? Kenapa kau begitu ingin jadi rumahku saat semua eksistensi jauhi aku. Presensiku itu tak berguna. Lalu kenapa kau tak biarkan aku menyerah? Aku ini bodoh! Aku tak berguna!” Nada Eunji meninggi. “Kalau mungkin semesta ijinkan ... lebih baik aku pergi! Aku sudah tak kuat berada di dunia fana. Lalu kenapa kau ingin jadi rumah ku? Kenapa?”
Desir angin menyapu surai keduanya. Jimin lantas menghela napas sebelum kembali berucap. Nadanya jernih—memantul-mantul pada gendang telinga. Bahkan, Eunji kembali terpukau. Gadis itu serta merta menahan napas. Wajahnya memanas seiring perkataan dari Jimin mengudara.
“Apakah perlu jawaban atas semua itu?” tanya Jimin mengerling ke arah Eunji. “Apa perlu alasan? Aku ucapkan ini karena aku tulus. Aku ucapkan ini karena aku memang ingin. Tak perlu kuutarakan tujuanku kan?” Jimin dengan berani mengacak surai Eunji. “I have no reason to be your home.”
“Hm. Baiklah,” ujar Eunji pada akhirnya. “Tapi, bagaimana kalau rumahku tak kutemukan presensinya lain waktu? Kau tak akan tinggalkan aku kan?”
Jimin terdiam. Eunji juga terdiam. Namun, dalam sekon berikutnya Jimin membuka konversasi.
“Kita nikmati dulu, ya?” []
***
[1046 WORD]
maaf. tapi, silahkan dilanjut jika kepo wkwk. dan untuk kepastian. chapter 2 untuk bab ini bakalan panjang:) dan intinya akan garing seperti kerupuk.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top