Bab 7. Si Pasrah
***
"Ma, aduh! Kuping aku sakit!"
"Biarin! Siapa suruh nggak bisa jaga menantu mama?"
"Enggak gitu, Ma. Mama salah paham."
"Salah paham gimana? Udah jelas-jelas ada video dan beritanya. Masih mau ngelak?"
Zanna berusaha untuk menahan tawanya melihat raut kesakitan Sebastian saat telinganya dijewer oleh Mama Farah. Seperti dugaannya, undangan untuk datang menghadiri syukuran kehamilan Nadine di rumah mertuanya hanya formalitas supaya bisa mengintrogasi sekaligus mengeksekusi Sebastian.
Dan kalau sudah nyonya rumah bertindak, takada yang bisa menghalanginya, termasuk sang suami yang memilih duduk sambil menyaksikan pertunjukan antara anak dengan ibu itu.
Acara syukuran empat bulan kehamilan Nadine sudah selesai sejak tiga puluh menit lalu, sekitar jam 5 sore. Tidak banyak yang diundang, hanya keluarga terdekat saja karena memang dilakukan secara sederhana dengan mengusung konsep intimate. Orang tua Zanna sendiri sudah pamit sepuluh menit lalu, tinggal keluarga inti Sebastian yang sedang berkumpul di ruang keluarga.
"Na, kamu diapain aja sama Tian?" Tanpa melepas jewerannya, Mama Farah menatap Zanna sayang, berbanding terbalik dengan saat wanita itu menatap anaknya yang lebih seperti Godzilla.
Zanna tak langsung menjawab, melainkan melirik Sebastian terlebih dahulu. Suaminya itu tampak pasrah dengan tangan memegang telinganya yang memerah. Seketika, muncul setitik rasa iba di hati Zanna. Mau bagaimanapun, Sebastian tidak sepenuhnya salah. Toh, dia juga yang membantu Zanna, bahkan sampai mengobatinya. Ini semua gara-gara fans Sebastian yang terlalu excited bertemu dengan idola mereka.
"Enggak diapa-apain, malah Babas bantu aku waktu jatuh di restoran." Sebagai istri yang baik, Zanna memang seharusnya membela Sebastian, kan? Ya, walaupun terkadang pria itu suka semena-mena dengannya.
Mata Mama Farah menyipit. "Serius? Tapi masalah berita itu—"
"Tadi adek udah bilang kalau semuanya salah paham, Ma. Kasihan, mukanya kayak nahan buang air berhari-hari." Bukan Zanna yang menyahut, tapi Abian—kakak Sebastian sekaligus si sulung keluarga Nugraha. Pria yang wajahnya mirip dengan Sebastian itu baru datang dari dapur seraya membawa segelas susu hamil yang langsung diberikan kepada sang istri, Nadine.
"Tapi mama malu sama keluarga Zanna, Bian. Untung mereka ngerti kalau Tian itu artis, jadi mereka nggak terlalu ambil pusing." Mama Farah menatap Sebastian kesal sebelum melepas jewerannya. "cuma anak ini aja yang bandel banget. Harusnya memang pernikahan kalian nggak usah disembunyiin."
"Kalau enggak disembunyiin, bukan nggak mungkin kalau ada hal yang lebih buruk dari berita kemarin, Ma."
Mama Farah langsung melotot ke arah Sebastian. "Daripada Zanna diberitain jadi orang ketiga?"
Sebastian menghela napas lalu mendorong tubuh Mama Farah pelan menuju sofa dan memintanya untuk duduk di sebelah Papa Adam. "Semuanya udah clear, Ma. Jadi nggak usah mikir macem-macem."
Mama Farah mendengkus. "Awas aja kalau kamu apa-apain Zanna lagi."
"Iya, Ma," ucap Sebastian sambil mendaratkan bokongnya di samping Zanna.
"Makanya, Dek, mending kayak abang, bantu Papa di perusahaan. Enggak perlu ngurusin berita sampah setiap harinya." Celetukan Abian langsung dihadiahi lemparan bantal oleh Sebastian yang tepat mengenai wajahnya.
"Nggak usah panggil aku 'Dek'. Aku udah besar! Lagi pula, suka-suka aku mau jadi apa, yang jalanin kehidupannya juga aku."
Abian terkekeh. "Inget, kamu anak bontot di sini. Jadi suka-suka abang juga mau manggil kamu apa. Jabatan manajer masih kosong, tuh. Kali aja kamu berminat, nggak sia-sia sarjana manajemen yang kamu dapetin."
"By, jangan godain Tian terus." Barangkali kasihan dengan Sebastian yang wajahnya sudah memerah menahan kesal, akhirnya wanita yang perutnya sudah kelihatan membuncit itu menegur Abian, dan seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, pria itu langsung terdiam.
Zanna yang melihat keharmonisan keluarga Sebastian, tanpa sadar mengulas senyum. Dia ingat saat pertama kali masuk ke dalam keluarga Nugraha. Awalnya, Zanna sempat khawatir kalau mereka tidak akan menerimanya, apalagi eskpresi Papa Adam yang sedatar triplek seolah tak suka kepadanya, tapi ternyata dia salah. Wajah Papa Adam memang sudah ditakdirkan begitu. Dan, untuk Nadine, wanita itu sangat lembut sekali. Pembawaannya yang dewasa membuat Zanna merasa mempunyai kakak, terlebih dia merupakan anak tunggal.
Mama Farah juga sama sekali bukan mertua yang membeda-bedakan menantunya. Semua sama rata, bahkan terkadang Zanna merasa kalau dia dan Nadine yang jadi anaknya Mama Farah karena lebih disayang daripada anak-anaknya sendiri. Uniknya, bukan hanya Sebastian dan Zanna saja yang dijodohkan, tapi Abian dan Nadine juga menikah karena perjodohan.
Kebetulan, Nadine bekerja di perusahaan otomotif milik Papa Adam sebagai manajer yang akhirnya memilih untuk mengundurkan diri setelah hamil. Maka tak heran kalau Abian sampai menyuruh Sebastian untuk menjadi manajer.
Aneh, kan? Keluarganya sudah kaya dan punya perusahaan, tapi Sebastian justru memilih jalan hidupnya sendiri.
"Puas kamu liat aku dimarah Mama?"
Zanna mengernyit lalu menoleh saat mendengar bisikan di telinganya. Tampak Sebastian sedang menatapnya masam.
Zanna berdecak. Dia mendekatkan wajahnya ke telinga Sebastian, ikut berbisik seperti yang dilakukan pria itu, "Siapa suruh perlakuin aku kayak simpanan?"
"Kamu!"
"Apa, Bas?" Sementara Sebastian menipiskan bibir, menahan kesal, Zanna malah tersenyum senang.
***
Meski acara utama dari syukuran kehamilan Nadine sudah selesai, ternyata ada acara lain lagi di sore hari, khusus untuk teman-teman Abian dan Nadine. Pantas saja Mama Farah melarangnya untuk pulang duluan. Sebenarnya, bukan acara penting, sih, hanya saja Zanna merasa kurang sopan kalau tiba-tiba pamit pulang. Alhasil, dia dan Sebastian ikut bergabung.
Dengan taman belakang yang menjadi tempat, mereka memutuskan untuk melakukan permainan balon berpasangan. Karena Abian dan Nadine tidak ikut serta, maka mereka kebagian menjadi juri.
"Kalau aku nggak ikut aja, gimana Kak?" tanya Zanna saat ide bermain balon berpasangan diusulkan. Nadine yang sedang duduk di bangku taman sambil mengelus perutnya langsung menggeleng.
"Ikut aja, Na. Kenapa nggak ikut? Udah ada Tian juga."
Zanna mengulum bibirnya lalu menoleh ke belakang sebentar, tempat Sebastian, Abian dan teman-temannya berada. Mereka sedang mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan. Entah itu meniup balon atau memberi batas antara start dan finish.
"Aku nggak biasa main gitu, Kak. Aku temenin Kakak aja gimana? Biar Babas sama Bang Bian aja yang main." Zanna masih mencoba untuk merayu wanita hamil itu, berharap Nadine mau menyetujuinya. Jujur saja, dia benar-benar enggan untuk bermain, apalagi dengan Sebastian. Firasatnya mengatakan kalau permainan tersebut membawa dampak buruk baginya.
"Nggak boleh gitu, dong. Permainannya harus berpasangan, jadi harus sama pasangan masing-masing. Bian udah punya tugas buat manjain aku, nanti enak buat dia kalau aku suruh main."
Kalau sudah begini, Zanna bisa apa? Takada. Itu berarti, dia mau tak mau harus ikut bermain bersama Sebastian. Zanna mengerang kesal, lalu dengan langkah lesu, dia berjalan menghampiri Sebastian yang sudah siap dengan membawa balon berwarna pink.
"Kamu ngomong apa sama Kak Nadine?" tanya Sebastian curiga.
"Kepo banget! Kamu nggak boleh tau urusan perempuan."
Sebastian hanya memutar bola mata sebagai balasan.
"Baik, di sini, aku bakal kasih tau cara mainnya. Jadi, masing-masing pasangan harus bawa balonnya menggunakan dahi. Setiap beberapa langkah, pasti bakal ada musik. Dan, waktu musik dibunyiin, kalian wajib buat goyang, nggak boleh ada yang jalan. Begitu musik berhenti, baru kalian boleh lanjut. Siapa yang duluan melewati finish, itu adalah pemenangnya. Kalau balonnya pecah atau jatuh, kalian didiskualifikasi."
Mampus aku!
Zanna rasanya ingin menghilang dari peradaban ketika Abian menjelaskan cara permainannya. Ternyata ini jawaban dari firasat buruknya. Tidak mungkin, kan, dia melakukan permainan tersebut bersama Sebastian?
"Baik. Permainan kita mulai, ya."
Zanna mengumpat pelan, menyayangkan nasibnya yang tak pernah beruntung sejak menikah dengan Sebastian. Dia memejamkan mata sejenak, berusaha memberi kata-kata motivasi untuk dirinya sendiri. Oke, Zanna. Ini hanya permainan saja. Dia hanya tinggal mengikuti instruksi dan bertahan hingga garis finish.
Kamu pasti bisa!
Namun, nyatanya ketika balon tersebut sudah Zanna tahan menggunakan dahi—yang otomatis berhadapan dengan wajah Sebastian—dia merasa ingin angkat tangan ke kamera, apalagi saat mata Sebastian menatapnya tajam yang seolah menghunusnya hingga ke titik terdalam.
Zanna tidak kuat, Tuhan!
"Hitungan ketiga. Satu ... dua ... tiga!"
Setelah bunyi peluit terdengar, Zanna dan Sebastian langsung berjalan dengan balon di dahi. Zanna sedikit kesulitan menyamai langkah Sebastian yang panjang-panjang hingga tak jarang dia tertatih dan membuat balon tersebut bergerak turun.
"Na, yang bener jalannya!"
"Ini udah bener, Bas!"
Entah apa yang merasukimu
Hingga kau tega mengkhianatiku
Yang tulus mencintaimu...
Musik mulai mengalun, yang berarti perlombaan harus berhenti dan menari mengikuti irama lagu. Zanna yang malu menari di depan umum—karena biasanya dia dance K-Pop di kamar—ditambah dengan balon yang harus dia pertahankan, hanya menggoyangkan tangan dan pinggul seadanya. Begitu juga Sebastian yang tariannya seperti robot kehilangan baterai, kaku sekali.
Salah apa diriku padamu
Hingga kau tega—
Musik berhenti. Zanna dan Sebastian kembali berjalan, tapi karena terlalu terburu-buru, Zanna hampir tersandung. Beruntung Sebastian dengan sigap menahannya. Sayangnya, balon mereka semakin bergerak turun.
"Hati-hati, Na!"
"Kamu jalannya kecepetan!"
Sebastian mengembuskan napas kasar lalu menautkan jari-jemari mereka ke dalam genggaman hangat. "Supaya kamu enggak jatuh lagi," ucap pria itu saat melihat wajah syok Zanna.
Tahu kalau mereka sudah tertinggal di belakang, sementara teman-teman Abian sudah berada di depan, Zanna menelan kembali segala bentuk protesan akibat tindakan Sebastian yang tiba-tiba. Mereka terus berjalan meski balon mereka semakin turun. Tinggal sedikit lagi garis finish, Zanna sudah bersorak hati. Namun, tak sengaja tubuh Zanna ditabrak oleh pasangan di sebelahnya, hingga balon mereka terjatuh dan sebagai gantinya sesuatu yang lembab dan dingin mendarat tepat di bibir Zanna.
Untuk sesaat, waktu terasa berhenti, menyisakan Zanna yang masih mencerna semuanya sebelum kemudian matanya melotot sempurna.
Bibirnya sudah diperawani!
***
Hola, Lovey! Kangen sama Sebastian-Zanna, nggak?
Aku update lagi setelah kemarin absen wkwk. Mau gimana lagi, kemarin hari sibuk dan aku gak sempet nulis. Maafkan, ya, hiks.
Soooooo udah aku update, nih. Gimana-gimana? Bibir Zanna udah enggak suci lagi gara-gara Sebastian. Mari tabok Sebastian, yuk.
Sampai jumpa lagi!
Bali, 5 Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top