Bab 1. Si Cerewet
***
"I really love you. Be my girlfriend, please?"
"Yes! I do."
Zanna menggigit bibir bawahnya dengan tangan meremas bantal sofa saat pria yang berada di layar televisi berukuran 55 inch itu mulai memajukan wajahnya, hendak mencium sang wanita yang tersenyum malu-malu. Namun, ketika sedikit lagi bibir mereka bertemu, layar televisi tiba-tiba berubah hitam, membuat Zanna seketika menoleh ke samping. Tampak Sebastian berdiri dengan satu tangan berkacak pinggang dan tangan lainnya memegang remote.
"Kamu apa-apaan, sih? Kenapa dimatiin? Aku belum selesai nonton!" protes Zanna. Dia bangkit, ingin mengambil remote tapi berhasil dicegah Sebastian yang langsung mengangkat benda tersebut tinggi-tinggi.
"Bas!"
"Apa?"
"Kembaliin!" Zanna sampai harus melompat untuk mencapai tangan Sebastian karena perbedaan tinggi mereka yang timpang. Dia yang memiliki tinggi 165 cm hanya sebatas bahu Sebastian yang tingginya hampir mencapai 190 cm. Iya, Zanna akui kalau Sebastian memang tinggi sekali, persis seperti tiang listrik berjalan. Entah mengidam apa ibu mertuanya dulu saat mengandung pria itu.
"Nggak bisa! Siapa suruh nonton begituan? Kurang kerjaan banget," sahut Sebastian. Dia berjalan ke arah rak di samping televisi-tempat menyimpan pigura foto-lalu meletakkan remote di bagian paling tinggi. Sengaja, supaya Zanna yang terlihat imut jika disandingkan dengannya itu tidak bisa mengambil remote.
"Bas! Kamu ganggu banget, tau! Dari tadi aku nonton enak-enak aja, kok, tanpa gangguan kamu." Bibir Zanna mengerucut sebal. Bagaimana tidak, adegan tadi adalah adegan inti yang sangat dia tunggu-tunggu selama beberapa episode. Dan, dengan gampangnya Sebastian mengacaukan semuanya.
Santet Sebastian boleh nggak, sih?
Sebastian berbalik, sebelum menyentil kening Zanna pelan, menimbulkan pekikan kecil dari wanita itu.
"Iya, nontonnya keasyikan sampe lupa masak. Aku kelaperan, Na."
Mendengar ucapan Sebastian yang mirip dengan keluhan, Zanna spontan menatap ke arah jam dinding. Matanya langsung membola saat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas. Astaga ... pantas saja Sebastian bertingkah sangat menyebalkan. Ternyata karena perutnya belum terisi, tapi bukan salah Zanna sepenuhnya, kok. Dari tadi Sebastian mendekam diri di kamar, jadi daripada dia takada kerjaan, lebih baik dia menyelesaikan episode drama yang belum sempat dia tonton.
Kesempatan, selagi mendapat libur sehari.
"Kamu nggak bilang kalau laper."
Sebastian memutar bola matanya. "Harus banget aku kasih tau dulu baru kamu jalan? Memang kamu lihat aku makan dari pagi? Peka dikit, Na."
Zanna berdecak. Dia bukan ahli telepati yang bisa membaca pikiran kalau Sebastian sedang lapar. "Ya, udah. Aku buatin dulu."
Zanna akhirnya mengalah. Biarlah dia ketinggalan episode berharga daripada harus membiarkan Sebastian kelaparan. Bukan apa-apa, hanya saja dia takut kalau Sebastian sakit atau bahkan mati karena telat makan. Bisa-bisa nanti dia masuk penjara dengan tuduhan kelalaian kepada suami sekaligus aktor papan atas. Kan, ngeri.
Zanna melangkah menuju dapur diikuti Sebastian. Ketika membuka kulkas, dia hanya menemukan dua butir telur, sayur-sayuran, stok yoghurt kesukaan Sebastian, dan beberapa bumbu cepat saji. Tanpa sadar, Zanna menghela napas. Dia lupa kalau belum belanja bulanan.
"Buatin aku nasi goreng."
Zanna dibuat kaget dengan suara Sebastian yang berada dekat di telinganya. Diliriknya pria itu yang sedang berdiri seraya bersedekap dada, layaknya bos. Zanna mencibir, meski tangannya tetap bergerak menyiapkan bahan-bahan untuk membuat nasi goreng.
"Inget, jangan pedes."
"Iya."
"Jangan pake bawang juga."
"Iya, Bas."
"Telurnya setengah mateng."
Zanna mendengkus, ingin sekali menutup mulut comel Sebastian dengan lakban. Cerewetnya pria itu sudah seperti ibu-ibu yang sedang berbelanja di pasar. Kenapa tidak dia sendiri saja yang masak? Bebas mau memasukkan apa pun ke dalam nasi gorengnya, bahkan racun sekalipun. Kalau Zanna jahat, sudah dipastikan nasi goreng Sebastian akan dia berikan sianida. Sayangnya, Zanna yang memiliki hati sebaik malaikat tidak akan setega itu.
"Iya, Bas, iya. Aku inget."
Sebastian tak menyahut lagi. Dia memutuskan duduk di kursi pantry dan bermain ponsel, sementara Zanna mulai berkutat dengan peralatan memasaknya. Keheningan merajai suasana dapur. Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Hanya terdengar suara penggorengan dan spatula yang beradu. Sudah dua bulan Zanna menyandang status sebagai istri dari Sebastian Aksa Nugraha, seorang aktor tampan yang namanya sedang berada di puncak ketenaran.
Tidak, mereka menikah bukan karena cinta, melainkan karena perjodohan dengan dalih Zanna yang berumur 27 tahun sudah sangat siap berumah tangga bersama Sebastian yang hampir menginjak kepala tiga. Zanna sendiri tidak tahu kalau orang tuanya dan orang tua Sebastian ternyata teman semasa SMA. Dia mengenal pria itu hanya sebagai aktor terkenal yang bekerja sama dengan rumah produksi tempatnya bekerja.
Maka, jangan tanya seberapa kagetnya Zanna saat mendengar kabar tersebut. Dia sempat menolak-walaupun tak dipungkiri kalau dia juga terpesona dengan Sebastian-tapi orang tuanya bilang kalau selain sudah cukup umur, perjodohan yang mereka lakukan adalah nazar sewaktu masih sekolah.
Dan, kalau sudah menyangkut nazar, Zanna hanya bisa menurut, meski dia masih heran dengan jalan pikiran para orang tua. Hei, ini bukan zaman Siti Nurbaya lagi. Zaman sudah serba canggih, di mana manusia bisa mendapatkan jodoh melalui aplikasi.
Namun, untuk seorang Zanna Kirania yang kurang percaya dengan aplikasi tersebut, perjodohan memang tidak buruk-buruk amat. Apalagi dia yakin kalau pilihan orang tuanya pasti yang terbaik baginya. Hanya saja, ada yang perlu digarisbawahi di sini. Karakter Sebastian yang sangat jauh berbeda dari yang dia lihat di publik.
Awal-awal pernikahan, mereka masih berada di titik kecanggungan, tapi lama kelamaan bobrok Sebastian mulai ditunjukkan, yang membuat Zanna harus menyetok kesabaran setiap hari. Contohnya, ya, tadi. Sebastian menjadi pria yang sangat menyebalkan. Belum lagi syarat yang diajukan pria itu setelah mereka menikah; pernikahan mereka harus dirahasiakan.
Oke, Zanna tahu kalau Sebastian sedang berada di puncak karir, tapi dia tak pernah mengira kalau dia akan ikut masuk ke dalam sandiwara yang biasanya dilakukan oleh para publik figur; berpura-pura single padahal sudah punya keluarga.
Tak cukup sampai di situ, untuk semakin menyempurnakan aktingnya, Sebastian melepas cincin pernikahan mereka dan menyimpannya di lemari, sangat berbeda dengan Zanna yang tetap memakai cincin tersebut di jari manisnya.
Hah! Memangnya, Zanna menginginkan pernikahan ini? Kalau bukan karena masih menghargai keluarga mereka, sudah dari awal Zanna ogah mempertahankan cincin tersebut.
Sebastian itu ibarat pohon pisang. Punya jantung tapi tidak punya hati.
Zanna mematikan kompor lalu menuangkan nasi goreng ke piring. Dia hanya membuat satu porsi saja, karena sebelumnya dia sudah mengganjal perutnya dengan roti. Dia memang tidak terbiasa makan berat untuk sarapan, bisa sakit perut.
"Mau ke mana?" Barangkali penasaran dengan Zanna yang hendak pergi setelah meletakkan piring di hadapannya, Sebastian lantas bertanya.
"Ke supermarket. Bahan-bahan habis," jawab Zanna seadanya seraya memperbaiki ikatan rambutnya yang agak longgar.
Sebastian mengangguk lalu memasukkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya. "Aku nitip yoghurt."
"Loh? Yoghurt kamu, kan, masih ada stok di kulkas."
"Lagi dikit, takutnya kalau habis enggak sempet beli."
Zanna seketika menatap Sebastian aneh, seolah-olah pria itu baru saja mengatakan kalau alien akan datang untuk menguasai bumi. Pasalnya, stok yoghurt milik Sebastian di kulkas masih banyak, setidaknya masih cukup untuk persediaan selama seminggu, apalagi mengingat Sebastian yang jarang sekali diam di rumah kecuali lenggang atau hari libur karena waktunya lebih sering dihabiskan di lokasi syuting. Jadi kasihan, buang-buang uang namanya. Belum tentu juga Sebastian akan meminum semuanya.
"Nanti kalau habis, aku beliin lagi, Bas."
"Kamu belanja pake uang siapa?"
Zanna mengernyit. Kenapa tiba-tiba Sebastian beralih topik pembicaraan?
"Uang ... kamu." Meski bingung, Zanna tetap menjawabnya. Ya, dia memang tidak berbohong kalau semua kebutuhan rumah tangga dicukupi oleh Sebastian, termasuk uang bulanan.
"Ya, udah. Jangan banyak protes. Beliin aja apa yang aku suruh."
Mulut Zanna langsung megap-megap, bak ikan koi yang terdampar di daratan. Dia ... tak bisa berkata-kata lagi. Ingin sekali meremas wajah Sebastian yang tampan, tapi tidak jadi setelah sadar kalau wajah pria itu merupakan salah satu aset paling berharga yang harus dijaga.
Serius, selain menyebalkan, salah satu sifat Sebastian yang tidak Zanna sukai adalah kesombongannya yang sudah mendarah daging hingga ke saraf pusat.
Sebastian setan!
***
Halooo, ketemu lagi dengan aku, hehe. Kali ini aku membawa cerita Sebastian dan Zanna.
Gimana dengan part 1 nya? Mau dilanjut, nggak?
Kalau mau, langsung komen, ya. Insyaallah bakal aku up minimal seminggu 2 kali atau bisa lebih wkwk
See you!
Bali, 24 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top