1

Clara benci keramaian. Apalagi kalau di tempatkan pada situasi di mana dia harus melihat senyuman palsu orang-orang.

Di tengah jam kosong karena siswa kelas 12 sudah tidak begitu aktif lagi, banyak dari mereka berkumpul untuk menunggu pengumuman kelulusan. Sebagian lagi sibuk mengabadikan saat-saat seperti sekarang menjadi kenangan.

Berbeda dengan Clara yang memasukkan kedua tangannya ke dalam jaket dan duduk di pojokan. Menurutnya, alur hidup memang semembosankan ini, tak ada hal menarik sama sekali. Percuma punya hubungan atau kenangan karena manusia itu datang dan pergi. Clara tidak ingin membuang-buang waktunya dengan hal yang tak berguna.

"AAAAAAAKH!" Pekikan dari kelompok populer itu menarik perhatian. Mereka menangis dan saling berpelukan saat hasil seleksi bersama masuk perguruan tinggi diumumkan. "GUE KETERIMA PILIHAN PERTAMA! GILAAA!"

"Wah, selamat, Zata! Lo emang keren!"

"Kalo Inggit gimana?"

"Gue juga diterima anjirrr!"

"Aaakh seneng banget!"

Clara terkekeh ringan. Baru diterima kuliah saja sudah kegirangan begitu. Padahal belum tentu bisa bertahan saat menjadi mahasiswa nanti. Apalagi ... ketika melihat beberapa anak yang murung karena belum mendapat kesempatan untuk diterima, rasanya jadi berlebihan kalau harus menunjukkan rasa bahagia sampai seperti itu.

Lantas dari jendela di sampingnya, Clara mendengar ketukan beberapa kali. "Ssst, Clar!"

Clara menoleh dan menatap datar laki-laki yang tersenyum lebar itu. "Ikut gue bentar!" ucapnya sambil melambaikan tangan.

Walau sebenarnya malas, Clara pun menurut. Dia beranjak dari kursinya dan hendak ke luar kelas. Tapi sebelum hal itu terjadi, dia sempat jatuh tersungkur karena dijegal seseorang. Kala mendongak, dia melihat kelompok populer itu tertawa tanpa beban.

"Ups, sorry, ya?" Zata menutup mulutnya. "Gue nggak lihat lo lewat. Ah, atau karena keberadaan lo emang nggak penting di sini? Hahahah!"

"Hahahah!"

Clara hanya diam tanpa berniat membalas perkataan gadis itu. Dia bangkit dan hanya menatap sengit Zata. Kemudian Clara melanjutkan perjalanannya ke arah yang diisyaratkan laki-laki tadi.

Sampai di sana, Clara bersedekap dada. "Apaan?"

"Ini."

Clara menerima benda yang dibungkus plastik hitam itu. Ketika dibuka, terpampang sebuah judul yang langsung dia baca.

ARE YOU REAL?

Novel yang sedang laris dan sangat terbatas itu kini ada di genggamannya. Sontak Clara kembali mendongak. "Lo ... dapet ini dari mana?!"

"Kebetulan kakak gue kenal sama penulisnya. Ada yang bilang kalau saking populernya, mau diangkat jadi film."

Clara membolak balik novel berukuran tebal yang sampulnya berwarna hitam. "Nggak percaya gue. Indonesia jarang bikin film fantasi karena anggarannya besar, tapi makasih novelnya, Yo. Gue udah nunggu novel tentang vampir ini dari lama."

Tio tersenyum lalu menunjuk ke arah pipinya. Sekarang Clara tau apa tujuan pria sinting ini, tapi karena sudah dikasih novel mahal, maka Clara menurut saja. Dia maju dan langsung mengecup pipi Tio. Walau setelahnya, dia merasa ingin mual dan merinding sekujur badan.

"Okey, gue balik dulu. Bye, Clara!"

Setelah punggung Tio menjauh dari pandangannya, Clara merengut. "Dasar sinting! Apa yang dia suka dari gue, sih? Emang kalo mata udah silinder dari lahir ya gini."

***

Lantaran mampir ke warnet sepulang sekolah, Clara jadi kehilangan angkot langganannya. Mau tidak mau karena hari sudah malam, dia jadi jalan kaki. Tentu saja Clara tidak kenal takut. Dunia gelap, horor, dan thriller adalah asupannya.

"Pas di rumah, ayah pasti belum pulang," gumam Clara. Dia jadi sengaja memperlambat jalannya walau daerah ini terkenal sepi. Entah nyali dari mana yang dia simpan sampai tidak peduli kalau suatu hal buruk mungkin saja terjadi.

Mbremmm! Mbremmm!

Clara menoleh, terdengar bunyi motor yang melaju kencang dari jauh. "Balap liar?" gumamnya.

"HEI, GAVIN! MENDING LO NGAKU, KALAU LO ITU PECUNDANG!" seruan itu terdengar kencang sampai Clara bisa mendengarnya dengan jelas. "KALAU KALI INI LO KALAH, MAKA KARYA LO HARUS JADI MILIK GUE! CUMA ADA RESTA! NGERTI LO?!"

Bunyi motor itu semakin terdengar jelas. Clara yang berjalan di pinggir jalan otomatis minggir, tapi anehnya salah satu pembawa motor menendang motor yang lain sampai dia oleng ke arah Clara.

"AWAS!"

Brak!

Clara hanya bisa melebarkan matanya sampai seluruh pandangannya berubah gelap.

"Aduuuh," keluhnya sembari menyentuh kening. Perlahan, dia mencoba untuk membuka matanya. Ketika mengedarkan pandangan, suasana jalan masih menjadi pemandangannya. "Huh ... untung gue nggak kenapa-napa."

Lantas Clara menegakkan tubuhnya. Baru akan berbalik, dia melihat sepasang kaki yang mirip dengan kakinya masih terbaring. Saat menunduk, Clara langsung membeku.

Dia melihat tubuhnya sendiri masih tergeletak di atas aspal dengan darah berlinangan.

"Bangsat ...," gumam Clara. Padahal dia sudah susah payah bertahan hidup, tapi bagaimana mungkin bisa mati hanya karena kejadian ini?

"Enggh ... capek juga ternyata."

Kali ini Clara jatuh terduduk saking kagetnya. Tubuhnya sendiri yang dia pikir sudah terpisah dari raga malah terbangun, tapi anehnya bukan Clara yang ada di dalamnya.

"A--apa yang--"

"Hai! Siapa namamu?" ucap tubuh Clara yang terbangun dengan senyum lebar kepada jiwa Clara sendiri.

"Hah?" Jujur saja Clara tidak takut, tapi terkejut. Hal di luar nalar ini masih tidak bisa dia mengerti. Sangat membingungkan.

"Ah ... Clara, ya?" ucapnya setelah melihat nametag di baju seragam Clara. Kemudian dia tersenyum lagi. "Situasinya cukup genting. Jadi aku tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan. Tapi kamu tenang saja. Aku akan membawa tubuhmu ke rumah sakit dan memastikannya baik-baik saja. Lalu, aku juga akan membantumu menjalankan kehidupanmu yang sangat membosankan ini."

"Terus aku?" tanya Clara sembari menunjuk dirinya sendiri. Kalau tubuhnya dipakai orang lain, lalu apa yang akan dilakukan Clara? Mana mungkin dia bergentayangan tanpa arah.

"Kamu masuk ke tubuhku," ucapnya.

"Ini maksudnya kita barter?" kata Clara yang semakin bingung.

Perempuan itu mengangguk. "Aku yakin kamu tidak akan menyesal setelah masuk ke tubuhku. Aku butuh bantuanmu dan aku akan membantumu."

Setelah terdiam beberapa menit untuk berpikir, Clara langsung mendongak lagi. "Tapi kenapa? Kenapa aku harus setuju? Dan kamu itu siapa?!"

Perempuan itu lagi-lagi tersenyum. "Kamu akan segera tau jawabannya." Lalu dia meniup sesuatu dari tangannya. Serbuk yang seperti kristal langsung melayang dan menyerbu wajah Clara. Gadis itu segera mengucek matanya karena kesulitan melihat.

"Aduh! Ini apa, sih?" Clara berusaha mengucek matanya saking perihnya. Saat merasa sudah baik-baik saja, Clara mulai mendengar suara bising dari sekitar.

"Tidak! Tidak bisa begitu. Duchess tidak mungkin melakukannya!"

"Tau apa kau soal duchess? Rencana yang kau ajukan itu juga terlalu imajinatif!"

"Apa kau bilang?! Jangan bicara macam-macam! Memangnya ke mana kau saat duke dan duchess terdahulu masih hidup? Bukankah kau menutup mata dan telinga karena tidak peduli pada mereka?"

"Hei! Jaga mulutmu itu!"

"Diamlah kalian! Kalian berdua itu bodoh!"

"HEI!"

Clara tidak paham. Saat membuka mata, tiba-tiba saja dia sudah duduk di depan meja makan panjang beserta orang-orang yang saling berdebat. Hal yang paling membuatnya bingung adalah gaya pakaian, juga bentuk ruangan ini. Rasanya seperti sedang berada di dunia lain.

"Yang Mulia, apa makanannya perlu saya tambah lagi?" ucap salah seorang pelayan di sebelah Clara.

Kening Clara berkerut. Kenapa dia dipanggil Yang Mulia? Rasanya seperti panggilan terhadap orang yang memiliki kekuasaan besar. Saat Clara hendak menyentuh sendok, dia melihat pakaiannya yang tak kalah aneh. Clara pun meraba renda-renda yang ada di gaunnya.

"Duchess Fleyin, apakah Anda baik-baik saja?" Pertanyaan itu membuat Clara langsung menjadi pusat perhatian. Orang-orang yang sebelumnya berdebat juga jadi bungkam.

Hah? I--ini aku harus jawab apa? pikir Clara yang tak terbiasa dengan perhatian sebanyak ini.

"A--a--aku ...."

Sesuatu tiba-tiba muncul dari balik tangan Clara. Padahal sebelumnya dia yakin kalau tidak sedang menggenggam apa-apa.

Identitas:
Duchess Adeira Kaluviie Fleyin, 20 tahun.
Penguasa Duchy Lassendyon.
Anak tunggal.

Ini apa maksudnya? Aku harus jawab apa?!

Tak hanya panik, Clara juga kebingungan. Intinya, sepertinya sekarang dia benar-benar telah memasuki tubuh perempuan yang memasuki tubuhnya. Jadi, sekarang dia adalah Duchess Adeira Kaluviie Fleyin yang dimaksud?

Tapi, duchess itu apa? batin Clara yang mulai mengetuk-ngetuk jarinya.

"Ehem, ak--aku baik-baik saja," kata Clara akhirnya.

Senyum dari beberapa orang asing ini membuat Clara waswas.

"Kalau begitu, Duchess pasti baik-baik saja kan tentang masalah tambang kristal di daerah timur? Karena rencananya akan kami kelola di bawah pengawasan Anda," ucap salah satu di antara mereka.

Jujur nggak ngerti ngomong apa. Kalo diiyain takut salah, ditolak juga takut salah, pikir Clara.

"Tidak, Duchess! Jangan serahkan tambang itu pada mereka. Biar kami saja!" kata salah seorang yang lain

"Tidak-tidak, Duchess! Jangan mereka! Karena kalau mereka yang mengelolanya, maka akan semakin hancur nantinya."

Aha! Jadi mereka sedang berusaha menjilatku?

"Kalau begitu tidak perlu diberikan pada siapa-siapa," ucap Clara yang memasuki tubuh Adeira. Dia bangkit dan meminta pelayan untuk memandunya ke kamar.

"Tapi, Duchess!" seru semua orang.

Sampai di kamar, Adeira menutup pintunya lalu menyandarkan tubuh hingga merosot ke bawah.

"Gila! Ini di mana, sih?" Dia menatap tangannya sendiri, lalu menangkup pipinya. "Aku ... aku ... beneran tukeran tubuh?!"

Tap! Tap! Tap!

Suara langkah kaki yang kian mendekat membuat tubuh Adeira membeku di tempat. Bukannya dari luar kamar, tapi malah di dekatnya. Saat dia mendongak, tampak seorang pria dengan pakaian aneh menatap tajam dirinya.

"Kau sudah datang ... pengganti Duchess Adeira?"







BITE ME IF YOU CAN

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top