6. Ujicoba Perdana.
Setelah yakin dan mendapat dukungan dari empat kakak pilihannya barulah Solar berani melangkah lebih jauh melaksanakan rencananya.
Sebuah kamera digital pun dipesannya melalui situs belanja online dan secara otodidak melalui internet Solar mempelajari tehnik-tehnik fotografi secara dadakan.
Setelah merasa yakin dengan kemampuannya, barulah Solar berani menerapkan tehnik-tehnik fotografi dadakannya pada salah satu korban... Koreksi, relawan... Bukan... Objek, yang adalah kakak-kakaknya sendiri.
Dan kehormatan pertama jatuh pada...
"Yak, bagus Kak Blaze...Gigit sedikit bibir bawahmu, berikan aku ekspresi ketakutanmu Kak.. Oke, perfect."
-Ckrek-
"Uh... So... Solar?" Blaze yang hanya berpakaian tanktop hitam dan celana boxer merah meneguk ludahnya sesaat setelah cahaya kilat kamera di tangan Solar menyinari dirinya. Ia tengah berpose terlentang diatas ranjangnya sembari mengangkat kedua tangannya.
"Ssstt.. Nanti dulu... Sekarang berikan aku wajah pasrahmu kak... Anggap saja kakak mau diterkam Kak Taufan-"
-Pokk-
"Aduh!" Solar mengaduh ketika kepalanya dikeplak oleh kakaknya yang tersebut namanya.
"Kamu kira aku ini tukang perkosa anak orang apa?" ketus Taufan yang sudah bertelanjang dada dan siap difoto oleh Solar.
"Maaf," gumam Solar sembari naik dan berdiri di atas ranjang yang ditiduri Blaze. "Lanjut, kak. Ayo ekspresinya... Aku mau lihat muka ketakutan pasrahmu Kak!"
Mau tidak mau, Blaze menuruti arahan adiknya yang sibuk mengambil foto dirinya. Entah mengapa Blaze mulai menyesali keputusannya mengikuti ide gila adiknya itu.
"Aku jadi malu..." gumam Blaze yang tengah beristirahat seusai sesi fotografi pertamanya bersama Solar.
"Baru segitu doang," ucap Solar yang tengah memindahkan file-file hasil foto kakaknya itu kedalam laptopnya. "Habis ini lepas bajumu kak... Kita coba dengan itu."
Blaze meneguk ludahnya melihat sebuah celana renang mini yang ditunjuk oleh Solar. "Tu... Tunggu. Kamu ngga bilang mengenai celana renang begitu!" protes Blaze yang terlihat sangat tidak nyaman harus berpakaian seperti itu.
"Kak Blaze sudah bilang setuju kan? Nah, nanti kita coba kak. Sekarang biar Kak Ufan dulu."
"Nah, aku harus gimana nih, Sol?" tanya Taufan yang sudah berada didepan kamera.
"Hm..." Solar berpikir sejenak. "Nah... Coba Kak Ufan pakai bajunya dulu."
Taufan menuruti arahan adiknya dan memakai kaus oblong putih
"Nah bagus... Lepaskan perlahan-lahan kak, sibakkan bajunya, busungkan dada Kak Ufan sedikit ya... Ekspresinya polos saja kak, ngga usah senyum dulu."
Taufan menganguk dan perlahan-lahan menyibakkan bajunya. Dengan sengaja ia menahan napasnya, membiarkan dadanya mengembang dan terbusung. Memang tidak terlalu berotot seperti Halilintar namun tetap saja berbentuk dan membidang.
-Ckrek, ckrek, ckrek, ckrek-
Selagi Taufan melakukkan itu, Solar menekkan tombol otomatis kameranya. Yang perlu ia lakukkan kemudian adalah menyeleksi foto-foto yang terbaik.
"Sekali lagi kak, coba Kak Ufan peragakan gerakan kakak waktu stretching sebelum main skateboard kak."
Menuruti kemauan dang fotografer dadakan, Taufan menarik lengannya ke sisi yang berlawanan dan menjepitnya pada lipatan siku lengan yang berlawanan itu.
"Bagus kak... Tatapan matanya tajam... Kayak Kak Hali."
-Ckrek-
"Lagi Kak Ufan."
-Ckrek-
"Huh... Aku ngga sangka bakal menjual badanku sendiri demi kedai kita..." komentar Taufan setelah sesi fotografinya. "Dan demi uang tip..."
"Jangan bilang begitu kak... Nanti betulan kejual, ada yang beli bagaimana?" ketus Blaze
"Bagaimana kalau kita buat taruhan? Yang laku duluan-"
"Jangan coba-coba!" sahut Blaze dan Taufan berbarengan dengan lirikan maut pada adiknya itu sebelum tangan kedua kakaknya itu mendarat di daun telinga Solar dan memutarnya sekuat tenaga.
"Adaw, adaw, ampun, aduh. Demi keuntungan kak!" jerit Solar yang kedua telinganya dijewer oleh kedua kakaknya dengan sangat gemas, atau tepatnya kesal.
"Demi puluhan ringgit kau jual badanku? Sungguh terlalu kau, Solar," ketus Blaze.
"Ratusan ringgit aku masih mau!" ketus Taufan yang otomatis membuat Blaze menatap horror pada kakaknya itu.
"Nah," lirih Solar yang kedua telinganya terlihat merah menyala. "Pendapatku benar secara prinsip kan, kita tinggal menawar harga saja."
"Sudah. Badanku ngga dijual!" ketus Blaze yang sudah siap akan menjewer adiknya itu.
"Dan kamu juga belum bilang untuk apa foto-foto kita itu," ujar Taufan yang khawatir terjebak dalam skema maut rancangan Solar itu.
Sebuah senyuman bangga terpampang di wajah Solar sembari ia membetulkan letak kacamata model visornya. "Tunggu dua atau tiga hari lagi... Sekarang ayo lanjut, kakak berdua."
"Heeee?"
"Ya, Kak Ufan dan Kak Blaze berdua... Ayo tunggu apalagi, masa sama kakak adik sendiri malu!" sahut Solar sembari mendorong kedua kakaknya itu kedepan kamera.
"Nah Kak Ufan peluk Kak Blaze dari belakang... Ekspresinya dong, senyum jahil, ayo... Nah Kak Blaze ekspresi kaget... Ya begitu, natural... Pas."
-Ckrek-
"Nah Kak Ufan keluarin lidahnya, kayak mau menjilat kuping Kak Blaze... Anggap Kak Blaze itu es krim yang nikmat."
Tanpa disuruh pun wajah Blaze langsung merah padam ketika Taufan mengikuti arahan Solar dan...
-Ckrek-
"Sempurna!... Hahahahahaha... Kita akan jadi kaya berkat ide jeniusku ini." Solar tertawa setan saja sembari bertolak pinggang sementara Taufan dan Blaze yang merasa diperalat oleh adiknya itu hanya bisa menepuk jidat dan merutuki nasib mereka yang ternista oleh tawaran Solar.
"Kak Ufan... Ini perasaanku saja atau memang kita telah menjual jiwa kita pada setan iblis?" tanya Blaze sembari melirik sendu pada kakaknya itu.
"Perasaanku sama... Entah dengan apa jiwa kita akan kita tebus dari Lucifer kecil itu," bisik Taufan sembari menunjuk ke arah Solar.
.
Dua hari kemudian...
.
Jam menunjukkan pukul dua pagi. Semua nampak tenang di kediaman tujuh BoBoiBoy bersaudara kecuali di sebuah kamar yang biasa dihuni oleh Blaze dan Thorn.
Kini kamar itu diisi oleh lima orang, Halilintar Taufan, Blaze, dan Thorn yang tengah berkumpul dipimpin oleh Solar.
"Ini hasil dari foto-foto kakak semua" Solar mengeluarkan tumpukan kartu plastik dari dalam saku celananya.
Kartu-kartu itu terlihat polos saja dengan logo kedai mereka.
Tentu saja yang melihat kartu-kartu itu terbengong.
"Ini sih kartu member biasa saja Sol," gumam Halilintar sembari membolak-balikkan sebuah kartu yang berada di genggamannya.
"Ya, kartu biasa saja," tambah Thorn yang ikutan memperhatikan kartu di tangan Halilintar.
Solar menyeringai ketika mendengar komentar-komentar yang bernada sama dari semua saudara-saudaranya itu. "Itulah istimewanya kartu itu. Coba kakak jepit pakai kedua tangan."
Thorn yang pertama mencoba saran Solar. Kartu yang dipegangnya dijepit dengan kedua telapak tangannya. "Waaa... Gambarnya berubah." Thorn terkagum-kagum dengan kartu yang berangsur berubah gambarnya. "Eh, ini... Solar?" Mendadak wajah Thorn memerah.
"Ya Kak Thorn?"
"I.. Ini... Fotoku yang... Memakai celana renang itu kan?" Thorn meneguk ludahnya ketika menyadari gambar logo di kartu itu berubah.
Lebih tepatnya berubah menjadi foto dirinya yang tersipu malu dan menutupi badannya yang hanya bercelana renang saja dengan kedua tangannya.
Sebaliknya, Halilintar nampak tersenyum puas akan foto dirinya yang tengah menggigit sebuah kemasan plastik kecil berbentuk segi empat dengan tatapan matanya yang galak.
"Kalau mataku irisnya merah pasti aku sudah disangka Kak Hali," gumam Taufan yang mengamati foto dirinya yang tengah memperagakan stretching sebelum bermain skateboard.
"Astaga... Aku seperti mau diperkosa," lirih Blaze yang melihat foto dirinya yang tergeletak di ranjang dan mengangkat kedua tangannya lengkap dengan ekspresi wajah pasrah.
"Naaah... Mulai besok aku sebar kartu itu diam-diam di kedai... Bahkan beberapa kukirim keluar negeri," lanjut Solar tanpa memperdulikan tatapan horror dari kakak-kakaknya.
"Kamu kirim kemana Sol?" tanya Halilintar dengan penuh kecurigaan yang mendalam.
"Kebanyakan Indonesia..."
"Mampus! Penggemar kita disana ganas-ganas." Bahkan Halilintar pun meneguk ludahnya.
"Tak masalah... Bagiku selama mendatangkan uang, patut dikerjakan," ujar Solar sembari mengedikkan bahu.
"Kamu enak tinggal terima uang, Solar... Kita yang susah!" Kali ini Thorn ikutan menimpali. "Habislah aku kalau ada teman sekolah yang tahu.."
"Bagus dong. Itu namanya promosi gratis. Disitu fungsi kakak-kakak semua sebagai duta... Ajak mereka ke kedai. Aku yakin pasti berhasil," ujar Solar dengan semangat menggebu. "Kalau bisa gratis kenapa harus bayar?"
"Mau ditaruh kemana mukaku ini." Blaze hanya bisa meringis saja.
Bahkan Halilintar hanya bisa menepuk-nepuk Blaze yang terlihat murung itu pada pundaknya. "Sabar, Blaze... Sabar... Minimal kamu ngga sendirian kalau ketahuan terus dibejek Gempa."
"Oh terima kasih banyak, Kak Hali... Sungguh kakak ini baik hati," sahut Blaze penuh sarkastik dan masih cemberut. 'Kampret kau kak...' kutuknya dalam hati
.
.
.
Bersambung.
Art from Bu Te Q, Rra_chan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top