2. Malam Minggu Yang Indah.
Sejak rapat dadakan yang diadakan oleh Gempa malam lalu, Solar tidak memperlihatkan tanda-tanda sudah ataupun sedang tidur. Terakhir kalinya ia masuk ke dalam kamar hanyalah untuk mengambil laptopnya saja.
"Pagi kak Gem," tegur Solar yang mendengar langkah kaki ringan berjinjit dari arah tangga rumah. Tanpa melihat pun Solar bisa tahu karena ia hafal dengan suara langkah kaki dan kebiasaan bangun subuh kakaknya itu
"Pagi, Sol," tegur Gempa yang masih memakai setelan tidurnya, celana boxer dan baju lengan pendek hitam. Ia memperhatikan adiknya yang mengenakan baju lengan panjang putih dan bercelana pendek itu masih getol mengetik pada laptopnya. "Biar kutebak... Kamu belum tidur ya?"
Solar mengangguk pelan sebelum tangannya meraih sebuah kaleng minumam berlogo banteng yang sedang beradu. "Tanggung, kak. Aku harus berhasil malam nanti."
Gempa menggelengkan kepalanya. "Oke, Sol... Sudah berapa kaleng minuman itu kamu hajar dari semalam?" tanya si kakak yang khawatir dengan kesehatan adiknya yang memang suka bergadang itu.
"Sedikit kak, cuma enam kaleng-"
Solar belum sempat menyelesaikan kata-katanya ketika bangku tempat ia duduk ditarik dan diputar paksa oleh Gempa. "Tidur sana!" perintah si kakak yang benar-benar khawatir sembari menunjuk kearah tangga.
Dari jam sebelas malam lalu sampai jam empat pagi itu, Solar masih berkutat di depan layar laptopnya. ditemani oleh berkaleng-kaleng energy drink yang membuatnya terjaga. "Tanggung kak!" protes Solar sembari memutar bangkunya kembali dan menghadapi laptopnya.
Gempa menyerah saja dan membiarkan adiknya berbuat sesuka hatinya. Namun didalam hati, ia memuji tekad Solar untuk menolong kedai mereka yang terancam pailit itu.
"Eh ya, kak... Boleh aku pinjam seratus ringgit?" tanya Solar ketika Gempa mulai memasak untuk sarapan penghuni rumah. "Besok pagi kukembalikan."
"Hah? Seratus ringgit? Kamu bilang semalam ngga perlu modal, ngga ada resiko."
"Aku ngga bilang ngga perlu modal lho kak," sahut Solar sembari menggoyang-goyangkan jari telunjuknya. "Aku bilang semalam kalau aku perlu waktu."
Gempa memutar bola matanya keatas sembari menghela napas panjang. "Ujung-ujungnya kedai keluar duit lagi-"
"Aku mau pinjam uang kakak, bukan uang kedai." Sebuah seringaian sinis melintas di bibir mungil Solar. "Kan kakak dulu bilang ngga boleh mengganggu keuangan kedai."
"Sama saja kau dengan Taufan." Gempa hanya menggerutu sembari meneruskan acara memasaknya. "Dasar adik licik..." Dan berbisik pelan pada dirinya sendiri.
Bahkan ketika sarapan pun Solar masih sibuk dengan usahanya. Katena tidak mungkin menaruh laptopnya diatas meja makan yang dipenuhi oleh keenam kakaknya, kini Solar beralih menggunakan ponselnya.
"Astaga, Solar. Taruh dulu ponselmu! Sarapan dulu!" ketus Gempa yang melihat adik terkecilnya itu masih memegangi ponselnya yang memakai dua ring holder pada bagian belakangnya.
"Mau untung ngga, Kak Gem?" ujar Solar yang tengah multitasking. Tangan kiri memegang ponsel, tangan kanan memegang sendok dan menyuapi mulutnya sementara ujung hidungnya dipakai untuk mengetik.
"Pesek hidungmu nanti Sol," komentar Taufan yang memperhatikan aksi multitasking adiknya itu.
"Gimana caranya itu, ajarin aku dong," pinta Thorn yang terkesima melihat aksi Solar mengetik dengan hidungnya.
Solar menjawab dengan suara agak sengau karena disambi mengunyah makanan di mulutnya "Hanya master multitasking yang bisa, Thorn... Seperti aku ini."
"Suka-sukamu deh Solar... Awas saja kalau rencanamu gagal..." ancam Gempa yang masih menatap tajam pada adiknya itu.
"Tenang. Feeling-ku kita pasti sukses... Tapi aku butuh bantuan untuk jaga kedai nanti malam."
"Tenaga ekstra ya... Siapa yang kamu butuhkan?"
Solar terdiam sejenak sembari menatapi semua kakak-kakaknya yang menatap balik kearahnya. "Nanti aku butuh..."
.
.
.
"Alamak...akuuu lagi yang kena... Kak Ufan yakin dengan rencana Solar ini?"
"Yah aku sih memang giliran jaga kedai malam ini, Thorn... Aku jadi ragu..."
Thornlah yang dipilih Solar untuk membantunya malam itu selain Taufan dan Ice yang memang dapat giliran jaga kedai dimalam minggu itu.
Yang membuat mereka semua, kecuali Ice, kurang nyaman adalah gaya berpakaian mereka yang dipaksakan oleh Solar.
Thorn terlihat berkemeja hijau muda dengan dasi hitam dan lengkap dengan rompi hijau tua.
Taufan tidak berbeda jauh penampilaannya, mungkin malah lebih spektakuler. Dia mengenakan kemeja dalaman berwarna biru muda dan dipadu dengan dasi berwarna kuning muda. Sebagai pelengkap, Taufan memgenakan jas berwarna biru gelap.
Ice sebagai barrista bersyukur tidak perlu menggunakan jas, hanya kemeja lengan panjang saja.
Solar sendiri?
Sang pencetus ide terlihat lebih spektakuler dengan setelan serba krem dari kemeja, jas, celana panjang, dan sepatu. Yang berwarna lain adalah dasinya yang berwarna keemasan.
Yah, kalau pernah menonton film The Godfather, penampilan mereka semua lebih mirip mafioso di film itu daripada penjaga kedai.
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam, yang biasanya adalah waktu tutup kedai. Namun kali ini tidak.
Justru rencana Solar baru saja dimulai.
Tidak seperti biasa, beberapa meja dan kursi diberikan tenda yang tertutup. Lampu penerangan di sekitaran kedai dimatikan dan beberapa lilin menerangi meja-meja yang tidak tertutup tenda dan berhiaskan karangan bunga mawar.
"Welcome to ... BoBoiBoy Solar Love Cafe!" seru Solar dengan bangganya sembari memperlihatkan maha karyanya pada Taufan, Ice, dan Thorn.
"Astaga, Solar .... Mati kau dibejek Gempa," keluh Taufan sembari tepok jidat ketika melihat plakat atas kedai yang kini dipenuhi hiasan bunga-bunga dan simbol hati berwarna pink terang. "Mana kamu pakai acara bawa-bawa Thorn pula!"
"Tahu ngga Kak Ufan kalau sudah ada limapuluh pasangan yang booking tempat? yang kujual seharga tiga puluh ringgit? lima puluh ringgit untuk yang tenda."
Baru saja Taufan akan berkomentar ketika sepasang pengunjung mendekati kedai mereka. "Permisi, Solar. Kita sudah booking meja .... Atas nama... AduDu dan KiKiTa ...."
Solar langsung tersenyum lebar menyambut kedatangan sepasang teman sekolahnya. "Akhirnya kalian datang .... Kukira ngga jadi." Solar menengok ke arah Thorn. "Kak Thorn, tolong antarkan mereka ke meja nomer tiga."
Thorn hanya menghela napas panjang dan memasang senyum terbaiknya ketika mengantarkan kedua teman adiknya itu ke sebuah meja yang dudah disiapkan. Kemudian ia menyalakan lilin di meja itu sebelum mencatat pesanan mereka.
Dan sepasang lagi pengunjung menghampiri Solar. "Kami sudah booking ... tenda .... Atas nama Probe dan Ocho."
"Oh, kalian ikuti aku." Dengan senyuman terbaiknya, Solar mengantarkan sepasang pengunjung itu kesebuah meja yang tertutup tenda. Ia memberikan sebuah kemasan sachet plastik kecil kedapa mereka setelah menyalakan lilin dan mencatat pesanan mereka.
Taufan terbengong saja melihat kejadian itu. "Uh ... Solar .... Pasangan yang tadi itu sesama pria lho," komentarnya dengan suara pelan.
"Lantas kenapa kak?" Solar bertanya balik sembari tersenyum puas, membayangkan pendapatan malam itu yang akan dihasilkannya. "Bau uang mereka sama saja dengan bau uang pengunjung lain," jelasnya sembari menyeringai dan menghirup bau lembaran ringgit yang diterimanya.
"Bukan itu," ketus Taufan, "kamu ngga bilang kalau kamu open untuk pasangan seperti itu .... Gempa yang ngga sengaja tahu kalau aku agak belok saja sudah stress, apalagi kalau dia tahu kamu yang blak-blakan." menyediakan tempat? Tenda tertutup pula!"
"Gampang, Kak Ufan ...," bisik Solar sembari menyelipkan beberapa lembar puluhan ringgit kedalam saku celana kakaknya itu. "Ngga ada yang perlu Kak Gempa ketahui, kan?"
Taufan tercengang melihat Solar tengah menyogok dirinya. "Astaga ... Solar ... Kamu ... kamu ... memang adik terbaik!" sahutnya sembari memeluk Solar dengan senyuman ekstra lebar.
"Senang berbisnis dengan kakak," bisik Solar sembari membalas pelukan kakaknya itu.
.
.
.
Jam dinding tepat menunjukkan jam 02.30 pagi dan Gempa masih berbaring gelisah di atas sofa sembari menatap pesawat TV yang menyala dengan pandangan yang hampa.
Terakhir kali ia menelpon Solar untuk mengecek keadaan kedai adalah jam duabelas malam. Dari latar suara di telepon terakhir Gempa bisa menyimpulkan kalau suasana kedainya di malam itu terdengar ramai. Ia bahkan bisa mendengar alunan musik romantis yang lembut di sela-sela pembicaraan teleponnya.
Cemas dengan keadaan kedai, Gempa memutuskan untuk pergi kembali ke kedainya. Dengan langkah cepat dan berjinjit, ia berlari-lari kecil menuju kedainya.
Rahang bawah Gempa langsung terasa akan lepas ketika ia melihat pelataran kedainya dipenuhi tenda-tenda yang kadang bergoyang dengan sendirinya tanpa diterpa angin dan pasangan-pasangan kekasih yang terlihat bermesraan pada meja mereka masing-masing.
"Solar!" panggil Gempa ketika menghampiri adiknya yang tengah menghitung keuntungan malam itu.
"Selamat datang di BoBoiBoy Solar Love Cafe..." Solar yang mengucap sambutan sembari memutar badannya terkejut ketika ia melihat Gempa yang ternyata memanggilnya. "Eheheheh... Kak Gempa..." cicitnya dengan cengengesan.
"Bo... Boi... Boy... Solar... Love... Cafe?" Gempa meneguk ludahnya ketika menyebut nama kafe dadakan kreasi adiknya itu.
"Thanks, Lar, cafemu hebat!" puji AduDu yang tengah meninggalkan pelataran kedai sembari bergandengan tangan dengan KiKiTa.
Gempa memucat...
"Makasih, Sol... Malam yang indah" Pujian kembali terlontar dari Probe dan Ocho terlihat tersenyum sumringah.
Lutut Gempa mulai gemetaran...
"Solaaar, apa ini?" Thorn yang sedang berberes-beres nampak memegang sebuah benda lentur yang terbuat dari karet tipis hampir transparan yang ditemukannya berceceran di dalam tenda.
-Bruk...-
Rubuhlah Gempa tak sadarkan diri setelah melihat Thorn yang dengan polosnya mengumpulkan sisa-sisa alat kontrasepsi itu.
.
.
.
Bersambung.
Author note:
Ocho=Ochobot dalam bentuk manusia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top