1. Krisis
Untuk kesekian kalinya di siang hari itu Gempa menarik napas panjang dan melenguh panjang. Biasanya ia selalu tampak ceria dan senang jika menjaga kedai peninggalan kakeknya disela-sela kegiatan kuliahnya. Namun kali ini wajahnya tidak ada tanda-tanda keceriaan sedikitpun.
Bahkan teman baik Gempa, yaitu Fang yang sedang berada di kedai dan beberapa kali memesan minuman pun tidak mampu memperbaiki mood Gempa yang down.
"Alamak. Gempa, jangan... Ini sudah Ice Chocolate Special yang keenam kau paksa aku minum!" protes Fang yang terlihat bersandar lemas pada bangkunya ketika Gempa menyuguhkan segelas Ice Chocolate Special buatannya yang besarnya hampir menyamai lengan Fang sendiri.
"Ayolah Fang... Biar kedaiku balik modal, paling ngga buat hari ini saja," pinta Gempa dengan memelas.
"Tu... Tunggu!" ujar Fang yang dengan susah payah berdiri dari duduknya dengan perut yang terlihat membuncit. Dengan langkah yang terseok seok dan disertai bunyi air yang teraduk-aduk dari perutnya, Fang berjalan secepat kakinya mampu ke toilet umum yang berada di dekat kedai.
Bagaimana Gempa bisa hilang cerianya?
Catatan pendapatan kedainya bisa diukur dengan jari sedangkan catatan pengeluarannya perlu penggaris untuk diukur. Yang lebih menyakitkan adalah daftar piutang yang tak kalah panjangnya.
"Aduuuh... Mana aku harus bayar gaji buat Hali, Taufan... Duh...Semuanya!" Jadilah Gempa semakin merutuki keadaan kedainya yang sangat sepi pengunjung.
Memang beberapa bulan terakhir saingan usahanya bertambah banyak. Beberapa franchise asing yang bermunculan merambah Pulau Rintis mulai menyedot pelanggan kedai milik Gempa yang diwariskan oleh kakeknya. Apalagi kedai franchise itu biasanya tempatnya lebih nyaman, ber AC dan banyak yang buka 24 jam.
"Gempa," panggil Fang yang baru saja kembali dari toilet dengan wajah yang pucat pasi. "Huurkk!" Dan bahkan hampir muntah melihat segelas lagi Ice Chocolate Special yang tersaji. "Cukup, sudah, aku ngga kuat minum lagi!"
Gempa terlihat sangat kecewa. Ia langsung melipat kedua tangannya diatas meja dan membenamkan wajahnya dalam lipatan tangannya itu. "Habislah kedaiku...Hiks... Habislah... Hiks... Matilah aku...Hiks," lirih Gempa disela-sela sesegukannya.
Fang yang melihat itu hanya bisa menghela napas, dengan sukar karena perutnya yang masih membuncit itu. "Gem..." panggil Fang sembari memegang dan menggenggam tangan sahabatnya yang tengah bersedih hati. "Coba bicarakan dengan yang lain... Hali, Taufan, Blaze, Thorn, Ice, Solar. Semuanya... Mereka pasti mau membantu."
Gempa menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya "Sudah kan...Hiks... Mereka... Mereka semua... Hiks... Sudah membantu... Jaga kedai."
"Itu aku juga tahu, Gem... Tapi pernah ngga kamu ajak mereka membahas bisnis kedai ini?"
"...Belum..."
"Cobalah!" ketus Fang. "Daripada kamu paksa aku minum sepuluh gelas Ice Chocolate Special-mu itu! Minuman enak malah jadi ngga enak Gem!"
"Apa?" Mendadak Fang mendengar sebuah suara mendesis dibelakangnya, lengkap dengan hawa gelap yang terasa mencekat dan dingin. "Kau bilang Ice Chocolate Special buatan Gempa ngga enak? Itu maksudmu, Fang..." Bahkan Fang merinding ketika ia merasakan sebuah tangan yang berkulit kasar mendarat dan mencengkeram tengkuknya.
Sepertinya telah terjadi salah faham yang harus diralat oleh Fang sebelum cengkeraman tangan di tengkuknya semakin erat. "Ah, Hali, bukan begitu maksudku!" seru Fang panik. "Gempa memaksaku minum sepuluh gelas Ice Chocolate Special-nya!"
"Waaah. Kau benar-benar sahabat yang terbaik, Fang!" puji Halilintar yang berada di belakang Fang. "Tunggu apalagi, habiskan! Gem, ayo, buat empat lagi!" ujarnya sembari mengedikkan alis mata penuh isyarat kepada Gempa.
Fang hanya bisa meneguk ludahnya sembari meraih gelas Ice Chocolate Special yang keenam itu dengan tangan yang gemetaran. Ia tidak tahu harus takut dengan yang mana. Bujukan persuasif Halilintar yang masih mencengkeram tengkuknya? Gempa yang tersenyum-senyum sembari meracik empat gelas Ice Chocolate Special? Atau empat gelas Ice Chocolate Special itu sendiri yang terlihat seperti racun maut dihadapannya?
.
Malamnya...
.
Gempa akhirnya berhasil mengumpulkan semua saudara-saudaranya sesuai dengan anjuran dari Fang. Dari Halilintar yang tertua sampai Solar yang terkecil mereka semua berkumpul di ruang tengah.
Dan tidak semuanya terlihat antusias...
Ice terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya seperti burung pelatuk karena mengantuk.
Blaze yang duduk diantara Ice dan Thorn hanya melipat tangannya sembari menggoyangkan kaki karena tidak sabar ingin segera bermain game di kamarnya.
Thorn yang duduk disisi Blaze dan berhadapan dengan Solar hanya celingak-celinguk saja.
Solar yang duduk disisi Taufan terlihat sesekali membetulkan kacamatanya dengan gelisah
Taufan yang berada diantara Solar dan Halilintar hanya memain-mainkan jarinya saja dan berharap apapun alasan mereka dilumpulkan oleh Gempa tidak memakan waktu lama.
Halilintar yang duduk berdampingan dengan Taufan hanya berdiam diri saja sembari menatap pada Gempa yang berdiri di hadapannya dan semua adik-adiknya.
Gempa menarik napas panjang dan berdehem satu kali sebelum mulai berbicara. "Oke... Kalian semua aku kumpulkan karena satu masalah penting."
"Kak Hali mau menikah?" celetuk Blaze yang kontan dihadiahi lirikan tajam dari Halilintar dan Gempa sekaligus. Dengan bijaksana, Blaze memilih untuk diam kembali.
"Kedai kita bermasalah," lanjut Gempa sembari memandangi semua saudaranya. Kecuali Halilintar yang memang sudah tahu masalahnya sejak siang tadi.
"Gopal terlalu banyak hutang ya kak?" Thorn langsung bertanya. Ia memang sering melihat catatan hutang kedai yang mayoritas dipenuhi oleh nama Gopal.
Gempa meneruskan penjelasannya sekaligus menjawab pertanyaan adiknya. "Itu sebagian kecil saja, Thorn... Kedai kita sudah sepi pelanggan sejak banyak kedai asing buka di Pulau Rintis... Dari Starbucks, Seven Eleven, sampai AM PM, mereka semua kini punya gerai masing-masing yang menjual minuman seperti kita."
"Berat kak kalau saingan dengan yang begituan." Kali ini Blaze memakai logikanya. "Aku sama Thorn sering nongkrong di Starbucks itu... Ruangan mereka ber-AC, koneksi WiFi mereka gratis."
"Barrista mereka ganteng-gan... Maksudku cantik-cantik." Taufan menambahkan, meskipun keseleo lidahnya membuat semua saudaranya menatap aneh kepadanya.
"Kita kalah menu." Halilintar ikutan menambahi. "Dan aku ngga menganggap biskuit buatan Yaya itu bagian dari menu meskipun ampuh sebagai pestisida."
Solar hanya diam dan menunduk saja, bahkan kedua matanya tampak terpejam sementara dahinya mengerenyit. Semua kakak-kakaknya pun tahu itu ciri khasnya ketika sedang berpikir.
"Kalau begitu kita tambahin menu kedainya... Mungkin jenis minuman baru? Orang juga lama-lama bosan dengan yang itu-itu saja." Dengan entengnya Ice menumpang jawaban dari saudara-saudaranya yang lain. "Solar bisa ujicoba ramuan baru, Kak Taufan juga bisa membuat kue kan? Belajar dari Kak Yaya katanya."
Ucapan Ice membuat Taufan berpikir karena ada benarnya. Memang ia pernah mencoba membuat biskuit bersama Yaya dan hasilnya tidak terlalu buruk. Hanya komposisi bumbunya saja yang perlu dirubah seperti susu kambing jantan rasa apel hijau yang mungkin hanya bisa ditemukan sekali seumur hidup. "Ya, aku bisa membuat kue-kue kecil... Jauh lebih enak daripada kalau Gempa yang buat."
Gempa baru saja akan protes namun langsung terdiam. Kalau urusan memasak makanan harian ia memang jagonya, tapi nol besar dalam urusan membuat kue, biskuit atau cemilan ringan sejenis itu. "Oke, rencanamu boleh juga." Gempa mengangguk, mengakui bahwa rencana kakak kembarnya itu baik dan mudah dilaksanakan. "Tapi untuk awalnya pakai modal darimu dulu ya, Fan?"
"Duh, Gem, uangku pas-pasan... Masa ngga ada barang seratus atau duaratus ringgit? Untuk start awalnya."
"Buat seadanya dulu saja Fan, kita masih coba-coba, kan?"
Taufan menghela napasnya, sebetulnya ia tidak rela mengeluarkan uang sebesar itu. Namun untuk saat ini memang ia harus mengalah. "Ya sudah... Kucoba membuat sedikit dulu mulai besok."
"Terima kasih, Fan." Gempa tersenyum kecil ketika Taufan menyanggupi permintaannya. Kini perhatiannya tertuju pada seorang lagi saudaranya yang disebut oleh Ice. "Solar?"
Perlahan dengan dramatis Solar mengangkat kepalanya dan membuka kedua kelopak matanya dengan perlahan. "Ya kak?"
"Gimana? Apa kamu bisa membuat ramuan rasa baru untuk kedai kita?"
Solar menarik napas panjang sebelum memulai bicara. "Bisa, tapi yang kutanyakan, apa ada gunanya?" Ia bertanya balik.
"Pasti ada, Sol! Masa kamu ngga percaya dengan kemampuan kita semua?" tanya Taufan yang merasa sedikit tersinggung dengan pertanyaan Solar yang pesimistik itu.
"Aku percaya kemampuan Kak Ufan, juga Kak Gempa, aku yakin bahwa kita semua bisa meracik Chocolate Special dengan benar... Tapi aku ngga yakin kalau menambah menu atau menjual kue bakalan jadi untung."
"Pasti untung, Solar," ketus Taufan. "Selama ada pemasukan, pastilah kita untung."
"Ck ck ck ck." Solar mendecih sembari menggoyang-goyangkan jari telunjuknya. "Salah... Pendapatan pasti ada, tapi keuntungan? Belum tentu. Apa Kak Ufan ngga memikirkan modalnya? persentase harga jual dibanding modal? Dan kita bicara makanan lho, kak... Namanya makanan pasti ada kadaluarsanya."
"Ah... Iya... Benar juga..." Penjelasan adiknya itu membuat Taufan jadi berpikir kembali apakah rencananya untuk menjual kue itu akan membawa untung atau hanya impas saja.
Kini Gempa terlihat mulai memijit-mijit keningnya karena kepala terasa berdenyut-denyut. "Kamu gimana sih Solar? Rencana bagus-bagus kok malah dirusak?"
"Lho, aku bukan merusak, tapi rasional kak," protes Solar yang tidak suka dirinya disebut merusak rencana. "Daripada menjual makanan, mengapa kita tidak tawarkan sesuatu yang lain... Jasa misalnya? Atau fasilitas? Sesuatu yang berbeda dari kafe atau kedai franchise yang lain."
Gempa yang mendengarkan ide Solar langsung terdiam. Pendapat adiknya yang berotak encer itu justru lebih masuk akal daripada ide-ide dari saudaranya yang lain. "Oke, apa rencanamu, Sol?"
"Oh, banyak kak... Apalagi kalau kita bicara mendapatkan uang sebanyak mungkin." Sebuah senyuman perlahan merambat di wajah Solar. "Untuk awalnya, coba besok kita buka sampai jam dua pagi. Aku bisa janjikan keuntungan berkali-kali lipat dari biasanya."
"Jam dua pagi?!" Seluruh saudara-saudaranya yang lain kontan terkejut mendengar ide adik terkecil mereka yang sepertinya akan radikal.
"Oh, salah, bukan jam dua pagi. Tapi jam tiga pagi." Dengan enteng Solar mengkoreksi ucapan sebelumnya.
"Oke, aku jadi ragu-ragu, apa rencanamu sebetulnya, Sol?" Blaze pun yang sedari tadi berdiam diri jadi ikutan bertanya.
"Aku ngga bisa kasih tahu sekarang... Karena mendadak, aku sebetulnya agak kurang yakin apakah akan berhasil atau ngga..." Solar berhenti sejanak dan memandang ke arah Gempa. "Beri aku waktu sampai jam duabelas siang besok, Kak Gem. Kalau aku berhasil, maka rencanaku kujalankan, kita buka sampai jam tiga pagi. Kalau gagal, kita buka seberti biasanya saja. Tidak ada resiko... Bagaimana?"
Gempa terdiam dan berpikir. Tawaran Solar terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja, praktis ia tidak perlu mengeluarkan biaya lebih banyak untuk mendapatkan keuntungan. Mungkin hanya tenaga saja untuk menjaga kedai sampai pagi. Lagipula, lusa adalah hari minggu, tidak ada yang harus sekolah atau kuliah sehingga bisa istirahat panjang kalau-kalau rencana Solar untuk tutup kedai di pagi hari berhasil.
"Oke, Solar... Kita coba idemu."
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top