Bab 1 - Sisir Emas

Didedikasikan untuk pitain

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Jaka mendarat dengan mulus di atas dataran rendah di dekat pinggiran hutan, memerintahkan tunggangannya untuk meninggalkan dia, pemuda itu bersiul dengan cara berbeda, memanggil kumpulan burung merpati yang akan memberinya informasi.

Tiga ekor binatang bersayap datang memenuhi panggilan, mendarat pada ranting pohon terdekat, menanti perintah.

"Wahai abdiku yang setia, beritahu kepadaku, apakah kalian pernah melihat kepingan kaca yang berkilau bagai sinar matahari?"

Dua ekor merpati pertama melenggokan tubuh, tidak pernah melihat benda elok yang dimaksud. Namun, merpati ketiga mengepakkan sayap, berputar-putar, ingin menuntun tuannya ke tempat yang dimaksud.

Demi memudahkan pencarian, Jaka, panglima Kerajaan Cahaya, melepaskan pakaian yang dikenakan lalu merubah dirinya menjadi seekor anjing hitam. Menggeram rendah, wajah tampan pemuda itu mengerut membentuk moncong, dengan taring panjang terlihat pada sela-selanya, tubuhnya menyusut dan menekuk, sehingga dia menapak dengan empat kaki, bulu-bulu hitam menutupi kulit, dan seekor buntut mencuat keluar.

Melolong, makhluk itu mulai menjejakkan kaki, berlari mengikuti merpati yang menunjukkan posisi terakhir di mana pecahan kristal itu berada.

*****

Keraton Sekartaji

Bendara Raden Ajeng Dayang Sumbi tengah duduk di atas bale-bale bersama kelima saudarinya, menikmati keindahan bunga yang mekar di taman istana.

Udara pagi begitu segar, berbagai jenis kembang mengeluarkan aroma harum, di kelilingi pohon trembesi yang menaungi mereka dengan ranting dan dedaunan, para gadis merasa nyaman dan bercakap-cakap dengan ceria.

Menggunakan sisir emas berukir bunga miliknya, Dayang Sumbi menyisir rambut hitam panjangnya dengan telaten. Seperti ibunya yang merupakan selir kesayangan dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Bagaskarna, dirinya juga merupakan putri kesayangan ayahnya.

Memperoleh kasih sayang dari penguasa keraton, membuat gadis berusia empat belas tahun ini memiliki perilaku manja dan ingin selalu dilayani, sehingga sering membuat kesal saudari lainnya.

Saat sibuk menyisir, segumpal rambut kusut menyebabkan benda itu menyangkut, merasa kesal, Dayang Sumbi mencoba mengurai rambutnya dengan menggunakan sisir. Namun, benda itu terlempar jatuh di antara semak yang tidak jauh dari tempat mereka duduk.

Wajah ayu gadis itu menekuk jengkel. Melihat sekeliling mencari orang yang dapat mengambil benda itu, dia bertanya kepada para saudarinya. "Kakak, mengapa tidak ada seorang dayang pun yang ada di sini?"

Gusti Raden Ajeng Ayu Ningsih menoleh ke arah adik bungsunya, sebagai putri pertama dan anak dari permaisuri, dia memiliki tugas untuk membimbing adik-adiknya. "Kakak meminta mereka untuk mengerjakan hal lain selain duduk menganggur di sini."

Dayang Sumbi mengerucutkan bibir, menoleh ke arah sisir kesayangannya dia mengeluh. "Sisirku terlempar ke semak-semak, seandainya ada seorang pelayan, dia akan mengambilkannya untukku."

Bendara Raden Ajeng Ratih Sekar, salah satu putri dari selir lain, memutar bola matanya jengkel. "Kau bisa bangkit dan mengambil benda itu sendiri, kan?"

Dayang Sumbi bergidik jijik, melangkahkan kaki menginjak tanah yang becek karena hujan semalam dengan kaki halusnya bukanlah pilihan.

Memutar otak, akhirnya gadis itu menemukan akal, berteriak lantang agar didengar penghuni istana, dia berseru, "Barang siapa yang bersedia mengambilkan sisirku, seandainya dia laki-laki, akan kujadikan suami, seandainya dia perempuan, akan kujadikan saudara."

Saudarinya yang duduk di sebelah gadis itu mendengus kesal. "Siapa yang sudi menjadi suami kamu? Malas sekali, mengambil sisir saja tidak mau."

Dayang Sumbi melirik jengkel ke Bendara Raden Ajeng Sri Purwaningsih. "Bisa saja ada pangeran tampan yang mempergunakan kesempatan untuk meminangku."

Tertawa mengejek, saudarinya berkata, "Pangeran tampan? Yang ada pengurus kuda yang akan kau nikahi."

Wajah Dayang Sumbi mengerut tidak suka. "Lihat saja nanti, aku akan menikahi pangeran yang gagah!"

"Bisakah kalian berhenti bertengkar?!" seru  Gusti Raden Ajeng Ayu Ningsih melerai adik-adiknya meneruskan pepesan kosong.

"Kakak, Dayang Sumbi sembarangan berucap, bagaimana kalau seorang pria bukan dari golongan bangsawan mengambilkan sisir itu untuknya?" tanya Bendara Raden Ajeng Sri Purwaningsih, "kita sebagai putri Keraton tidak boleh sembarangan berjanji."

"Itu betul, Dayang Sumbi sebagi putri Keraton tidak pantas sembarang berkata-kata," tegur saudari lainnya.

Wajah gadis itu menjadi merah padam karena malu dan marah. "Aku tidak sembarangan berucap!"

"Jadi kau benar-benar akan menikahi pemuda yang mengambil sisir itu siapa pun dia?" tanya saudari lainnya tersenyum sinis, "apa kau yakin?"

Mengepalkan jari-jarinya, Dayang Sumbi berkata nyaring, "Aku bersumpah! Laki-laki yang mengambilkan sisirku, siapa pun dia, bahkan binatang selama dia jantan akan kujadikan suami!"

Saudari-saudari gadis itu terkesiap terkejut mendengar sumpah yang tidak pantas diucapkan oleh seorang putri.

Gusti Raden Ajeng Ayu Ningsih, menegakkan punggung, menatap tajam ke arah Dayang Sumbi. "Kau telah bersumpah, maka kau harus melaksanakan sumpahmu."

Gadis itu membalas tatapan kakaknya dengan berani. "Aku tidak akan mengingkari sumpahku."

*****

Jaka, panglima kerajaan Cahaya, dalam wujud binatang, mengendap-endap masuk ke halaman istana, mengikuti panduan dari burung merpati yang mengetahui posisi pecahan kristal.

Tanpa sengaja, dia mendengar pertengkaran yang terjadi. Mendongak melihat ke arah sumber keributan, jantung pemuda itu berdetak kencang, gadis yang dia liat sangat cantik, keelokannya melebihi Dewi-Dewi khayangan yang pernah dia jumpai.

Ujung mata pemuda itu menemukan benda sumber keributan mereka. Sebagai salah satu panglima Penguasa Bawanapraba, tentu dia amat layak mempersunting seorang putri kerajaan dari dunia manusia.

Melupakan tugas utamanya mencari serpihan kristal milik junjungannya, Jaka melangkah di antara semak, mengambil sisir yang dimaksud dengan moncongnya lalu bergegas membawa benda itu ke bale-bale.

Para putri masih sibuk bertengkar, mencoba mendapatkan perhatian, Jaka meletakkan sisir itu di dekat kaki Dayang Sumbi dan menggonggong.

Perkelahian terhenti, lima pasang mata tertuju ke arahnya dan benda yang telah berada di bale-bale.

Dayang sumbi menunduk melihat sisir miliknya, kedua matanya bersinar gembira. Namun, dia mengernyit jijik, saat menemukan benda kesayangannya basah oleh liur binatang.

Mengibas-ibaskan liur yang menempel, dia melemparkan benda itu ke bale-bale sambil menggerutu. "Bukan pangeran, malah anjing kampung."

Keempat saudarinya menatap Dayang Sumbi dan anjing hitam yang berada di dekat mereka bergantian, sebelum tawa mereka meledak.

"Apa yang lucu ?!" bentak gadis itu menautkan alis menatap saudari-saudarinya.

Gusti Raden Ajeng Ayu Ningsih menjawab tegas. "Apa kau lupa kalau kau baru saja berjanji akan menikahi siapa pun yang mengambil sisir itu meski pun seekor binatang?"

Kedua mata Dayang Sumbi membelalak terkejut. "Kakak, aku tadi hanya bercanda."

Saudari-saudarinya tergelak. "Lihat kelakuanmu, bersumpah tanpa menyadari akibatnya."

Namun, Gusti Raden Ajeng Ayu Ningsih, tidak tertawa, dia bangkit berdiri, turun dari bale-bale.

"Kakak, kau mau ke mana?" tanya saudari-saudarinya yang lain, menatap bingung ke arah kakak sulung mereka.

"Aku akan menemui Ibunda untuk mengatur pernikahan Dayang Sumbi dengan anjing itu." Gusti Raden Ajeng Ayu Ningsih melangkah pergi tanpa menunggu reaksi mereka.

Keempat saudarinya termasuk Dayang Sumbi terkesiap. "Kakak, aku hanya bercanda," rengek gadis itu bangkit menyusul kakaknya ke dalam keraton.

Menuju peraduan Kanjeng Bendara Raden Ayu Widiasari, Dayang Sumbi terus merengek agar kakaknya tidak meneruskan masalah pernikahan kepada permaisuri. Namun, Gusti Raden Ajeng Ayu Ningsih telah membulatkan tekad, adik bungsunya harus diberi pelajaran, agar tidak lagi sembarangan bersumpah.

Mengetuk pintu, dia berkata, "Ibunda, ini saya Ayu Ningsih datang menghadap."

Dayang Sumbi meremas jari-jari, menunduk ketakutan, permaisuri tidak menyukainya karena cinta ayahnya telah diberikan kepada selir yang merupakan ibu kandungnya.

"Masuklah." Terdengar suara dari dalam peraduan.

"Kakak, tolong jangan," bisik Dayang Sumbi berusaha menarik lengan Gusti Raden Ajeng Ayu Ningsih, tetapi kakaknya menepis tangan gadis itu dan melangkah masuk.

Seorang wanita berparas cantik, berusia sekitar tiga puluh tahun-an duduk di sebuah kursi yang terbuat dari kayu jati, ranjang besar terletak pada sudut ruangan, hiasan berbagai jenis kipas yang indah dan kain sulam memenuhi dinding kamar. Dua orang dayang, duduk bersimpuh di kanan dan kiri permaisuri menunggu perintah.

Melirik tidak suka ke arah Dayang Sumbi, Kanjeng Bendara Raden Ayu memusatkan perhatian kepada putrinya. "Ada keperluan apa sampai kau membawa anak selir itu?"

Dayang Sumbi menelan ludah, bersimpuh mengikuti kakaknya, dia menundukkan wajah, menatap ke arah lantai.

"Ibunda, saya ingin Ibunda mengatur pernikahan Dayang Sumbi," ucap Gusti Raden Ajeng Ayu Ningsih dengan hormat.

"Pernikahan? Dengan siapa? Siapa yang memberikan izin?" Suara Kanjeng Bendara Raden Ayu meninggi, menatap kedua gadis itu bergantian.

Masih menunduk, Gusti Raden Ajeng Ayu Ningsih menjelaskan peristiwa yang baru saja terjadi di halaman istana.

Suara tawa dari permaisuri terdengar memenuhi ruangan saat cerita usai.

"Jadi, kau bersumpah untuk menikahi seekor anjing?" tanya Kanjeng Bendara Raden Ayu menatap Dayang Sumbi.

"Sa-saya hanya bercanda," jawab gadis itu terbata-bata, gemetar ketakutan.

"Apa ibumu tidak mendidikmu dengan baik? Sumpah bukanlah hal yang mudah ditarik," ucap permaisuri berdiri dari duduknya.

"Di mana anjing itu?"

"Terakhir saya melihatnya di halaman istana," jawab Gusti Raden Ajeng Ayu Ningsih kepada ibunya.

Tertawa keji, Kanjeng Bendara Raden Ayu menoleh ke arah pelayannya. "Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Harya sedang tidak ada di tempat, kita akan melaksanakan pernikahan malam ini juga."

Dayang Sumbi menarik napas terkejut, membelalakan mata, dia memohon pengampunan, kedua matanya berkaca-kaca. "Kanjeng Bendara Raden Ayu, saya mohon, tolong jangan, saya minta maaf."

"Kau telah mengucapkan sumpah! Biar ini menjadi pelajaran untukmu dan ibumu!" bentak permaisuri melotot ke arah Dayang Sumbi, "siapkan pernikahan sekarang! Bawa anjing itu keruang kebesaran dan umumkan kepada masyarakat, kalau putri dari selir kesayangan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Harya telah bersumpah untuk menikahi seekor anjing!"

"Kanjeng Bendara Raden Ayu, saya mohon jangan lakukan ini," Dayang Sumbi menangis, gemetar, bersimpuh menarik kain permaisuri dan mencium kaki wanita itu.

"Tidak! Kau telah bersumpah! Maka kau harus melaksanakan sumpahmu!" Kembali melirik ke arah pelayan, wanita itu memberi perintah, "bawa dia sekarang untuk didandani! Aku ingin dia tampil secantik mungkin saat pesta pernikahan!"

Kedua pelayan mengangguk hormat lalu menarik Dayang Sumbi yang menangis dan meronta untuk diampuni.

Jaka, panglima penguasa Bawanapraba, duduk menunggu dengan tenang di halaman istana untuk dijemput dan dinikahkan dengan gadis rupawan yang telah mencuri hatinya.

*****

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang ya^^

13 Mei 2017

Benitobonita

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top